The Real Marriage Life
“My Life is an open book, anyone can read and learn from it”.
PARTNER BEFORE PARENT
For my daily charger Natali Ardianto, and my daily energizers M & V.
“My Life is an open book, anyone can read and learn from it”.
For my daily charger Natali Ardianto, and my daily energizers M & V.
Apa yang Anda Dapatkan dari Buku Ini?
Anda akan mempelajari pentingnya komunikasi asertif dalam hubungan suami istri.
Anda akan menemukan berbagai macam pendekatan yang bisa dilakukan saat menghadapi masalah pernikahan.
Anda akan mengerti bahwa setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Dengan mengetahui ilmunya, Anda bisa meminimalisir pertengkaran atau perdebatan.
Anda akan mendapatkan penerapan metode MBTI yang bertalian dengan gaya komunikasi suami istri.
Anda akan mempelajari perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.
Anda akan menemukan karakteristik perkawinan yang berhasil.
Anda akan menemukan langsung kasus per kasus yang dialami sendiri oleh penulis dan cara penulis menyelesaikan masalahnya.
Selain itu, Anda juga akan mendapatkan tips berikut.
Tips Menghadapi Konflik Manajemen Keuangan
Rumah Tangga
Tips Pentingnya Peran Istri bagi Wanita Bersuami
Tips How to Maintain Marriage?
Tips agar Suami Tenang Bekerja
Tips Meningkatkan Pelayanan terhadap Suami
secara Teratur
Tips How to Arouse Your Spouse?
Penulis: Nuniek Tirta Sari
MBTI Trainer
Blogger
Speaker
Community builder
Angel Investor
Buku ini Ditujukan untuk:
Pasangan suami istri yang ingin memperbaiki dan meningkatkan kualitas hubungan.
Calon pengantin yang sedang mempersiapkan
diri memasuki dunia pernikahan
Siapa saja yang ingin memperkaya pengetahuan tentang pasang surut kehidupan rumah tangga.
© 2021, Nuniek Tirta Sari
The Real Mariage Life
Pasang Surut Kehidupan Pernikahan
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit
Editor: Dewi Kournia Sari
Proofreader: Titis Adinda
Pewajah isi: Siti Qomariyah
Desainer sampul: Setya Brata Gagas
PT SERAMBI ILMU SEMESTA
Jln. Pertanian III No. 58
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12510 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Cetakan I: 2021
ISBN: 978-602-290-118-1
ISBN Digital: 978-602-290-120-4
Sebuah Pengantar
Oleh Josef Bataona, Former HR Director Unilever, Danamon, Indofood, Book Writer, www.josefbataona.com)alasan kita hadir di muka bumi ini.
Masing-masing mempunyai peran yang menjadi bagian dari panggilan hidup kita. Akan tetapi, kita juga memainkan peran bersama orang lain, atau membantu orang lain untuk bisa bermanfaat lebih maksimal. Hadirnya buku The Real Marriage Life, tulisan Ibu Nuniek Tirta Sari, menurut saya adalah bagian dari pemenuhan panggilan hidupnya untuk membantu atau menginspirasi orang lain dalam mengarungi hidup berumah tangga.
Dengan keberanian yang luar biasa serta ketulusan yang mendalam, Ibu Nuniek mau menceritakan secara gamblang perjalanan hidup keluarga yang
dialaminya bersama suami dan keluarga besar. Hal paling menarik adalah ceritanya dibuat berimbang: saat bergumul menapaki hidup yang sulit dan ketika
gembira dalam keberhasilan. Tatkala menghadapi masalah pelik dengan suami atau anak, tak lupa dia menceritakan detailnya dan bagaimana mereka mengatasinya. Banyak cerita yang dikedepankan berkaitan dengan langkah proaktif mencegah masalah, demi membangun rumah tangga bahagia.
Dengan menuliskan itu semua dalam buku ini, Ibu Nuniek memberikan peneguhan tentang nilai-nilai positif kehidupan yang dianut oleh keluarganya, dan nilai-nilai tersebut akan menjadi warisan berharga bagi anak cucunya.
Siapa saja yang membaca buku ini, mereka akan menemukan banyak inspirasi tentang cara mendapatkan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, tentu diawali dengan ajakan berpikir positif. Pembaca
lantas diminta untuk melihat permasalahannya dari berbagai sudut pandang, dan melihat bahwa ada lebih dari satu kemungkinan jalan menuju solusi.
Tulisan di buku ini cukup gamblang memaparkan pengalaman dan pengetahuan Ibu Nuniek yang
luas. Isinya juga diperkaya dengan sharing atau konsultasi selama ini, baik dalam seminar, workshop, atau tanya jawab di media sosial. Ibu Nuniek sangat
percaya, semua orang punya sumber daya dalam dirinya yang bisa dimanfaatkan dalam memecahkan masalah.
Saya melihat peluang besar bahwa tulisan di buku ini bisa menjadi contoh kasus nyata yang bisa
dimanfaatkan dalam sesi pembelajaran oleh siapa
saja, termasuk Lembaga Pendidikan ataupun
Lembaga Konsultasi di masyarakat. Buku ini sangat saya rekomendasikan, baik untuk mereka yang baru
merencanakan pernikahan atau yang sudah berumah tangga. Pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi berbagai masalah, bisa menjadi inspirasi yang
digunakan saat kita menghadapi problem kehidupan rumah tangga. Semoga buku The Real Marriage Life sukses dan menjadi manfaat bagi banyak orang.
buku The Real Marriage Life ini sudah menjadi utang pribadi saya sejak bertahun-tahun lalu. Hampir semua teman baik saya tahu keinginan saya menerbitkan buku ini. Temanteman sekelas semasa kuliah bahkan pernah ramairamai mendoakan agar buku ini dapat dirampungkan secepatnya. Pengikut di media sosial dan pembaca blog saya juga banyak yang bertanya, jadi kapan menerbitkan bukunya?
Ya, kapan?
What took me so long to finally finish this book? Kalau kendalanya soal tidak ada waktu menulis, saya lumayan rajin kok menulis buah pikiran, entah di blog atau media sosial. Kalau kendalanya soal tidak ada ide, itu mustahil. Sebab ide untuk menulis isi buku ini sudah ada di kepala bertahun-tahun lamanya. Kalau kendalanya soal ketidakmampuan atau ketidakmauan, jelas tidak juga karena saya mampu dan mau.
Jadi, apa sebenarnya masalahnya?
Masalahnya adalah ... saya terlalu banyak pertimbangan sehingga membuat khawatir:
bagaimana kalau nanti ternyata pernikahan saya (knock on wood) gagal?
bagaimana kalau nanti ternyata anak-anak saya tidak bahagia?
bagaimana kalau nanti orang menaruh harapan terlalu tinggi karena apa yang saya tulis, dan kecewa ketika mendapati kenyataan yang berbeda?
Dan what if what if lainnya ....
Namun, saya disadarkan melalui kalimat dr. Fred Toke pada seminar “Caring for the Depressed” yang saya ikuti, bahwa sebuah masalah itu bukan masalah. Masalah sesungguhnya adalah bagaimana cara kita memandang masalah. Apakah dengan kacamata negatif atau positif? Kacamata pesimis atau optimis? Pilihan sebenarnya ada di tangan kita. Jadi, kenapa tidak memilih yang baik saja?
Sekarang, saya memilih untuk melihat kekhawatiran itu sebagai satu tantangan yang menarik untuk ditaklukkan. Kalaupun pernikahan saya gagal (tapi semoga jangan sampai, ya!), kalaupun anak-anak saya tidak bahagia, kalaupun orang-orang kecewa, apakah itu berarti pengalaman saya tidak berharga?
Apakah itu berarti pemikiran saya tidak berguna?
Tidak kan?
Saya mungkin saja berbuat salah, tetapi saya bukanlah kesalahan.
I might fail, but I am not a failure. Jadi, dengan pola pikir seperti itulah, saya bertekad untuk menyelesaikan buku ini. Dengan harapan, apa yang saya tulis dapat berguna bagi kamu yang membacanya.
Ya, kamu.
Kamu yang masih single dan sedang mencari pasangan hidup. Kamu yang sudah pacaran dan ingin naik ke jenjang pernikahan. Kamu yang baru menikah dan sedang menyesuaikan diri dengan pasangan. Kamu yang telah lama menikah dan mulai berada di titik kejenuhan. Atau kamu yang pernikahannya baik-baik saja dan bertanya-tanya apakah masih bisa lebih bahagia lagi.
Enjoy!
Cheers, Nuniek Tirta SariBeing deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage—Unknown
“Mbak Nuniek dan Mas @nataliardianto #couplegoals banget deh!”
“Mbak Nuniek beruntung ya punya suami kayak Mas Natali.”
“Mas Natali beruntung ya punya istri kayak Mbak Nuniek.”
Di era kejayaan media sosial seperti sekarang ini, semua orang ingin menampilkan sisi terindah, terbaik, ter-instaworthy dari diri dan kehidupannya. Tak terkecuali aku, kamu, kami, dan kita. Sehingga banyak yang melihatnya bisa jadi merasa iri, bahkan meratapi diri ketika kehidupannya tidak/belum sebaik yang dilihatnya di timeline orang lain, kemudian menjadi kurang bersyukur. Tidak banyak yang berani menunjukkan perjuangan di balik layar panggung kehidupan dunia nyata maupun maya, khawatir itu akan menjatuhkan nama baik, kredibilitas, dan pencitraannya.
The Real Marriage Life ingin mendobrak itu semua sebagai penyeimbang dengan cara menyuguhkan cerita nyata secara terbuka, dan membagikan makna yang didapatkan setelah menghadapi masalah yang sudah pernah diselesaikan. Kejujuran yang ditampilkan mungkin tidak dapat dicerna oleh semua orang. Begitu pula keberanian untuk berbagi secara terbuka, mungkin tidak untuk dipraktikkan oleh semua orang.
Kalau beberapa tahun lalu saya punya misi mengedukasi followers media sosial saya untuk ber-
gaya hidup sesuai kemampuan melalui hashtag #superaffordablestyle (yang malah jadi viral sebagai “Istri Direktur”, hahaha), beberapa tahun ini saya punya misi mengedukasi followers saya untuk tidak mudah menyerah dalam mengarungi bahtera pernikahan, melalui hashtag #therealmarriagelife :). Setiap hari saya juga menerima banyak sekali DM curhat tentang persoalan rumah tangga. Mulai dari hubungan dengan pasangan, mertua, anak, hingga masalah pengaturan keuangan.
The Real Marriage Life hadir sebagai pengingat untuk tidak berhenti menyirami rumput di halaman sendiri meski sedang tandus, dan mengerti bahwa di balik hijaunya rumput tetangga, ada banyak kotoran
hewan yang menjadi pupuk kandang untuk menyuburkannya. Maksudnya, jangan lekas iri melihat kemesraan pasangan lain, karena di balik kemesraan
itu juga pasti ada perjuangan dan proses untuk mencapai dan menjaga keharmonisan. Jadi, jangan mudah menyerah, berjuanglah!
belakang pendidikan saya adalah Master of Arts di bidang Psychology Counseling, setelah sebelumnya Sarjana Ilmu Komunikasi di bidang Public Relations. Pada saat buku ini ditulis, saya juga sedang menyelesaikan tesis untuk gelar Master of Theology. Dari dulu saya memang suka belajar dan upgrade ilmu, sebab menurut saya investasi yang tak pernah merugi adalah investasi pada perkembangan diri. Jadi, semua pendidikan yang saya tempuh itu utamanya untuk bisa membekali diri saya pribadi dulu, kemudian otomatis untuk membekali diri saya sebagai seorang istri, ibu, dan peran-peran lainnya. Seperti kata pepatah, “When you educate a man, you educate a man. When you educate a woman, you educate the nation.”
Mengapa dulu saya memilih jalur psikologi?
Kebutuhan! Hahaha... Pada waktu itu, saya menetapkan tema hidup saya setahun ke depan adalah
“Journey to Find Peace of Mind”. Sebab kala itu, saya belum bisa mendapatkan ketenangan pikiran akibat burn out menjalankan multiperan dengan
kondisi “gelas kosong”. Ada masanya ketika saya sakit kepala setiap minggu dan bolak-balik rumah sakit sampai CT Scan tapi nihil. Puncaknya ketika saya harus diopname akibat GERD, dan dokter spesialis internis bilang itu karena dipicu stres. Lalu hasilnya? Ternyata saya psikosomatis.
Malam itu saya sendirian di kamar rawat inap VVIP rumah sakit mahal dengan pemandangan tertinggi di Jakarta. Wajah bengkak-bengkak akibat alergi antibiotik, dalam kondisi perut kosong karena diminta puasa 15 jam sebelum endoskopi, menunggu suami yang belum pulang hingga tengah malam. That was one of the saddest moment in my life, and I promise myself not to be that low again. Saya harus bisa menyembuhkan diri hingga akar masalahnya maka saya harus belajar psikologi. Dan terbukti, belajar ilmu psikologi sangat membantu saya memulihkan diri sendiri. Pada akhir tahun berikutnya, saya sepenuhnya berhasil mendapatkan ketenangan pikiran. Bonusnya, saya jadi bisa membantu orang lain dengan pengalaman dan ilmu yang saya dapatkan. Seperti kata mentor saya, Pak Julianto Simanjuntak, “Luka itu investasi. Tidak ada luka yang sia-sia!”
Buat saya, hal yang paling menyenangkan dalam menjalani profesi saya ini adalah dapat membantu dan menginspirasi banyak orang. Sebagai orang dengan tipe kepribadian INFJ, panggilan saya adalah menjadi inspirator, and to help people finding their
life purpose. Saya sering menerima ucapan terima
kasih karena telah memberikan inspirasi, mengubah pola pikir, kebiasaan, hingga gaya hidup, dan itu
membuat saya makin semangat untuk membantu dan menginspirasi lebih banyak orang lagi. Tak jarang ketika saya pergi ke luar kota, ada saja teman di dunia maya yang minta bertemu dan memberikan sesuatu. Itu selalu membuat saya terharu dan sangat berterima kasih.
Dalam sebuah workshop, ada yang pernah bertanya pada saya, kesulitan apa sih yang pernah saya alami sebagai konselor saat membantu orang lain?
Kesulitannya adalah ketika saya tidak bisa menjawab curhat atau pertanyaan dengan cepat karena ada banyak sekali. Kalau beruntung, bisa saya jawab dalam hitungan hari. Kalau kurang beruntung, baru bisa dijawab dalam hitungan minggu atau bulan, bahkan ada yang tidak sempat terjawab sama sekali. Ada juga yang demanding, minta dijawab cepatcepat, padahal sosial media sama sekali bukanlah prioritas saya. Prioritas utama saya adalah menjalankan peran istri dan ibu dulu, baru mengerjakan hal lain. Karena saya paling tidak tahan dengan orang agresif (dalam hal apa pun itu), biasanya yang agresif begitu malah saya jawab paling belakangan :)).
Kesulitan lain yang saya alami sebagai konselor adalah ya kalau tidak hati-hati bisa burn out. Karena mendengar masalah orang lain terus menerus itu emotionally draining, lho.
Namun begitu, ketika mendengarkan orang lain curhat, saya merasakan empati, rasanya ingin memeluk mereka. Apalagi kebanyakan masalahnya pernah saya alami juga. Biasanya saya selalu sertakan virtual hug di akhir jawaban. Tetapi, seorang konselor yang baik kan tidak boleh counter transference, yaitu memproyeksikan atau menanggapi setara, perasaanperasaan atau sikap klien berdasarkan pada pengalaman masa lalu atau hubungan konselor dengan orang lain. Makanya dalam menjawab curhat, sebisa mungkin saya menahan diri supaya tidak lebih banyak menceritakan ulang pengalaman pribadi, kecuali itu masih betul-betul related dan ada pelajaran yang bisa diambil. Jangan sampai orang lain curhat malah dibalas dengan curhat balik, hehe. Mentor saya selalu bilang, konseling itu bukan memberikan jalan keluar, melainkan memberi jalan masuk. Maksudnya, jalan masuk klien ke dalam dirinya sendiri sehingga nanti dia menemukan sendiri jawaban yang dia cari. Jadi, kita tidak boleh menyuruh klien mengambil keputusan A/Z. Hal yang boleh dilakukan adalah membuka pikiran klien bahwa selain jalan A, masih ada lho jalan B, C, D hingga Z. Terserah klien mau lewat mana. Selama tidak berkaitan dengan narkoba atau membahayakan nyawa, konselor tidak boleh mengintervensi keputusan klien.
Ngomong-ngomong, saya punya hobi traveling dan bermimpi! Hehe... Tapi, bukan mimpi saat siang bolong karena saya biasanya memberikan target pencapaian mimpi saya. Sebab mimpi tanpa deadline ya hanya mimpi, sedangkan mimpi yang diberi deadline adalah goal. Pada awal tahun lalu, saya menargetkan traveling ke-20 kota di 5 negara sepanjang 2018. Ternyata setelah saya hitung pada akhir 2018, saya berhasil traveling ke 30 kota di 10 negara!
Menurut saya, perempuan masa kini sangat diuntungkan dengan kebebasan memilih. Kalau zaman dulu perempuan sekolah saja dilarang, sekarang mau
sekolah tinggi juga bebas. Mau jadi ibu rumah tangga atau wanita karier, bebas. Mau pakai jasa asisten rumah tangga atau urus rumah sendiri, bebas.
Tinggal bagaimana caranya bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil, itu kembali lagi ke pribadi masing-masing.
Pada masa sekarang, teknologi berperan penting karena memudahkan hidup kita, terutama kaum
hawa. Contoh paling simpel saja, saya sudah tidak pernah lagi grocery shopping. Kalau ada barang habis di rumah, tinggal buka handphone dan pesan
lewat aplikasi belanja seperti Titipku.com, Happyfresh, Tokopedia, Shopee, dan lain-lain. Ke mal pun sekarang lebih sering untuk meeting, makan, dan nonton saja. Kalau belanja, hampir semua
sudah online. Saya sering sekali traveling, tetapi baru sekali pakai jasa tour and travel. Selebihnya semua diurus sendiri, enggak ribet karena dibantu berbagai macam aplikasi. Mulai dari beli tiket, menyusun itinerary, rekomendasi tempat-tempat yang ingin dikunjungi, beli tiket atraksi, semuanya bisa pakai aplikasi seperti Tiket.com, SygicTravel, TripAdvisor, Google Map, dan lain-lain.
Akan tetapi, masih banyak yang tergagap-gagap dengan cepatnya perkembangan teknologi dan belum bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Sesimpel mencatat agenda di kalender digital pun masih banyak yang belum tahu. Masih banyak juga yang tidak tahu bahwa pemakaian gadget anak bisa dibatasi pakai aplikasi. Atau bagaimana cara mentracking keberadaan anggota keluarga tanpa perlu sewa detektif segala, hehe.
Hal yang ingin saya sampaikan untuk para perempuan Indonesia yang ingin sukses berkarier atau menjadi entrepreneur sekaligus menjalani perannya sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga adalah poin-poin berikut.
Terima diri sendiri dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Kalau lagi merasa marah, ya akui dulu saja. Jangan jadi marah sama diri sendiri karena marah, ya pastinya akan tambah marah-marah.
Terima dulu, peluk diri sendiri, lalu cari cara bagai-
mana supaya marahnya tidak merugikan diri sendiri dan/atau orang lain. Karena kalau menyangkal, tidak akan terjadi perubahan.
Saya sering banget terima curhat, “Jadi saya harus gimana? Apakah saya harus berpisah atau bertahan?” Tapi, ketika ditanya apa yang dia mau sebenarnya, tujuan akhir yang dia inginkan ke mana, dia nggak tahu. Itu sama saja seperti orang yang bertanya harus lewat mana dan naik moda transportasi apa, tetapi ketika ditanya tujuan ke mana dia nggak tahu.
Bagi saya, di antara semua peran yang saya sandang, prioritas saya yang utama saat ini adalah peran sebagai istri. Mengapa? Sebab itu adalah perintah
Tuhan, yang menjadikan wanita sebagai penolong yang sepadan bagi pria. Karena itu, saya mengutamakan tugas saya sebagai istri di atas tugas-tugas
lainnya, termasuk tugas sebagai ibu. Gimana caranya? Yuk, baca halaman-halaman berikutnya.
How do we know that he/she is the one?
First, no one in this world is perfect for you. Even when you think you found one, be prepared to find the fact that he/she is not that perfect. The good news is, there is someone that is just right for you. But bear in mind that you can't find Mr./Ms. Right. You make one.
The first time I met this guy (Mr. Right) for real was in July 2002, at an Indonesian blogger community gathering (Blogbugs). We’ve been knowing each other for several months only via blog. I read his blog and he read mine, give comments, and exchange links, as simple as that. Being smart, firstborn, famous-geek, calm, and shy, he got my attention in the first place as a perfect guy.
Unfortunately, he already got a girlfriend. So I simply forget him and continue my journey in finding Mr. Right. A year later we met again in the first national blogger gathering-Blogbugs Anniversary (May 2003). Under the circumstances that he was being on the lowest point of his life; that he thought
there won’t be any girl who would accept him for who he is and who he was.
Given the fact that he’s not as perfect as I wish he is, I work out to make him the right one for me. Not merely because I love him, but also because he’s worth it. Not easy. Most of my friends were questioning why I chose him. His mom was wondering what I see in him. He even thought that I’m out of his league.
The hardest part, was how to convince my parents that he’s the right one. They’ve been opposing my choice since the very beginning. Understandable, since there are some differences between us: from personality, appearance, occupation, to religion. But I took that as an exciting challenge.
He was extremely an introvert at that time, while I was behaving extremely extroverted. He never mingles and seldomly initiates a conversation with others. When my family or friends started a conversation, he only responded with “yes” or ” no”. I see that as the first thing I need to work out is to make himself acceptable. He needs to be more open, engage with others, and involve in activities around him, thus people will get to know him better.
Practice makes perfect. So I always ask him to accompany me in any community I joined, take him to my house as frequently as possible so he can get
more chance to communicate with my family, and involve him in conversations with my friends. I gave him a great book that ever changed me when I was 18: How to Win Friends and Influence People by Dale Carnegie. Soon he learned that it gives him more advantage to be a socialized person rather than a loner. He slowly becomes more welcome to others, be an open person. Later, he even behaves more extroverted than I was before.
On a D-FM radio interview, September 2010, he was asked, “What’s the most important decision you’ve ever made that brought the biggest changes in your life?” He answered, “The most important decision and biggest changes in my life are when I met and married my wife. I learned how to convert from an introvert person to be an extrovert person.”
Sebelum mempelajari MBTI, saya mengira bahwa saya adalah extrovert karena tidak kesulitan bergaul, sedangkan suami introvert karena sulit bergaul. Namun, setelah mendalami MBTI saya belajar bahwa extrovert introvert tidak ditentukan dari mudah atau sulitnya seseorang bergaul, tetapi tentang bagaimana ia mendapatkan energi.
Friends said, he looked so geeky and I looked chic. My parents said, he looked childish and I looked stylish. He even admits he was “cupu” at that time
with old school “belah tengah” hairstyle. We laugh together when we remember our first date at a café in Kemang, having a candlelight dinner. I was wearing an office outfit with a blazer, short skirt, and high heels; while he was wearing a T-shirt, cargo pants, and slippers! ^.^ Though I think he’s naturally cute, yes I guessed he will be more adorable if I can makeover his look.
So, I took that as another challenge. When I saw a guy with a cool hairstyle, I told him that he can be more handsome than that guy with the same hairstyle. He then becomes a loyal customer of one barbershop for about 7 years. I gave him a moisturizer I was using and see the difference after using it (too bad the product doesn’t exist anymore). I encourage him to try a new style and not just stuck with the old fashion. Now, he becomes a truly metrosexual, sometimes more stylish than I am.
At that time, he was still studying at Fasilkom UI to get his bachelor's degree. I was already quite steady with my career as a secretary, while also studying in UMB majoring in PR on weekend. I paid the tuition fee by myself, while he still received it from his parents. Though he also took some freelance projects and sometimes got as much money as I got or even more, my conservative-minded parents just didn’t buy it. What they expect was a man who has a good
career with a steady income, to make sure that the man can feed me and nurture my future kids well. Believing that this guy has very big potential to be a successful man, I see that it’s just a matter of time.
After been dating for 1 year 3 months, he started his first job a day after graduation day, right on my birthday. His salary was half than mine. In less than a year it’s upgraded up to 80% of my salary. Then a year later he moved on to another company, and ... didn’t get paid at all for months. We were married and Michelle was just born, I fully support our little family financially. During that period, I never complain nor talk about it to anybody. I only told his mom after the problem was gone. Neither did I ever let him down through such hard times. Things were getting better; he worked for another company and started to get income as much as I got, then hijacked by another company and surpassed my income. Now my parents can rest assured that this guy is a good breadwinner.
If you are a loyal reader of my blog, you’d probably still remember my blog post titled “Tuhan dan Cinta” on September 2003, which was quite controversial and got hundreds feedback, positive and negative. It explains everything; I wouldn’t say anything more. One thing for sure: we maybe had
different religion, but we have one belief. I am thankful that we are now walking on the same path. There, I tackled all the obstacles to get my Mr. Right, against all odds. Not easy, it involved tears of both sadness and happiness. Love is never enough. It needs trust, honesty, compromise, sacrifice, understanding, diplomacy, and communication skill. And of course, teamwork. Between you and your loved one.
You must know when to go on and when to stop. On a critical period of our relationship, I once told him, “If you’re not happy with our relationship, I am OK if you leave. With all potentials you got, I’m sure you can get someone better than I am.” Then he answered, “But no one could ever changed me the way you do. Even my mom.”
Yet, it’s not a happy ending. Why? Because true love has no end. Next step and bigger challenge for me now is: how to maintain the marriage. ***
“Fight for your love, but don’t low yourself to beg.”
banget saya dicurhatin, yang inti pertanyaannya adalah bagaimana caranya mengubah pasangan saya? You know what? That sounds so wrong in so many ways! Pertama, saya nggak kenal pasangan kamu? Kedua, kalaupun kenal, yang hidup sama dia kan kamu? Ketiga, mana bisa orang berubah kalau dia sendiri tidak merasa harus ada yang diubah? Keempat, kalaupun dia tahu ada yang harus diubah, siapakah saya yang bisa membuatnya MAU untuk berubah?
Tentu saja, saya tidak menulis keempat poin di atas sebagai jawaban ke mereka, coz it’s kinda harsh, haha. Akan tetapi, saya selalu mendorong mereka untuk terlebih dulu memahami kepribadian pasangan dan kepribadian dirinya. Dengan memahami kepribadian masing-masing dan perbedaannya maka biasanya akan jauh lebih mudah menemukan garis merah inti permasalahannya. Setelah itu baru deh bisa diurai, bagaimana cara mengatasi dan mengantisipasinya.
Ada banyak sekali metode mengidentifikasi perbedaan kepribadian yang bisa dipelajari. Saya sendiri selama kuliah pascasarjana psikologi konseling pastoral belajar tentang DISC (dominance-influence-steadiness-conscientiousness) , MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory), four temperaments theory (sanguine-choleric-melancholicphlegmatic) , dan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). Dari kesemuanya itu, yang paling berpengaruh besar dalam keharmonisan hubungan dengan pasangan adalah setelah kami berdua belajar tentang MBTI.
Saya dan suami belajar MBTI ini sejak 2014, dari salah satu mata kuliah S2 saya. Waktu itu dosen saya bilang, “Buat yang punya pasangan, besok ajak deh sit in di kelas saya, karena ini bagus sekali buat yang sudah berpasangan.” Di antara belasan mahasiswa saat itu, hanya suami saya yang ikut. Ternyata, dia terkesan banget dengan MBTI dan paling rajin nyatet. Terus kami langsung mikir “Walah, jadi selama ini kita berantem cuma gara-gara beda dikotomi doang”. Andai kami mengerti perbedaan itu dari dulu, nggak perlu deh ribut-ribut receh nggak penting. Kami berdua lalu merasa bahwa MBTI ini menarik dan penting dipelajari untuk semua orang.
Begitu terkesannya suami dengan MBTI ini sampai-sampai dia terapkan di dunia kerjanya. Suami sebagai salah satu pendiri dan saat itu masih menjadi pemimpin divisi teknologi Tiket.com, meminta para
karyawannya untuk melakukan MBTI Assessment ini supaya dia bisa memetakan bagaimana pendekatannya ke karyawan sesuai tipe kepribadian mereka masing-masing. Memang asiknya MBTI ini bisa diterapkan ke berbagai aspek, yakni hubungan personal, profesional, formal, informal, semua bisa.
Saya kemudian baru ambil sertifikasi MBTI pada 2018 di The Myers-Brigg Company yang berpusat di Amerika Serikat. Kebetulan waktu itu ada pelatihannya di Bali, saya langsung ikut. Biayanya USD 2,600 atau sekitar 35 juta rupiah per orang, belum termasuk akomodasi. Kenapa setelah 4 tahun belajar
MBTI saya baru ambil sertifikasi? Karena waktu itu saya baru tahu seorang teman baik saya terselamatkan pernikahannya setelah belajar otodidak MBTI. Terus dia bilang begini, “Ngapain punya ilmu banyak nggak dibagi-bagi ke orang. Paling nggak kan ada 17.000 followers tuh di Instagram, di-educatelah followers-nya.” Oh iya, betul juga!
Untuk memahami dasar-dasar MBTI beserta penerapannya, baik dalam kegiatan sehari-hari maupun dunia kerja, silakan ikuti MBTI training online saya, ya. Caranya, ketik di browser: a.natali.id/mbti.
Di video itu dijelaskan secara rinci mulai dari sejarah
MBTI, pengertian MBTI, mengapa memilih MBTI, perbedaan nature dan nurture, cara mengidentifikasi
tipe kepribadian kita dan orang lain, termasuk juga
bagaimana mindset yang benar dalam melakukan
assessment MBTI supaya jawabannya nggak beru-
bah-ubah terus, dan tentunya penjelasan masingmasing dikotomi secara lebih terperinci. Sementara pada bab buku ini, saya hanya akan memberikan beberapa contoh yang berkaitan dengan pasangan dan anak saja, ya. Karena kalau dikupas semuanya, butuh satu buku khusus lagi, hahaha.
Dalam MBTI ada yang namanya dikotomi: Ekstrovert atau Introvert? Sensing atau Intuition? Thinking atau Feeling? Judging atau Perceiving?
Bayangkan saja ini seperti tangan kanan dan tangan kiri. Kita bisa saja memakai keduanya, tetapi mana yang paling nyaman dipakai ketika terlepas dari segala tuntutan dan peran, itulah yang dinyatakan sebagai preferensi kepribadian kita.
A Extrovert atau Introvert? (Bagaimana cara kita mendapatkan energi)
Ekstrovert (E)
Mendapatkan energi dari luar dirinya, dengan cara berinteraksi dengan orang lain. Fokus pada dunia luar, orang-orang, dan kegiatan.
Mendapatkan energi dengan cara refleksi diri dan merenung (membaca, menulis, melukis). Fokus ke dalam diri, ide, refleksi, dan pengalaman.
Penerapan pemahaman MBTI dan kaitannya dengan hubungan suami istri ini berkaitan erat dengan gaya komunikasi. Contohnya, kami punya kawan pasutri sesama Ekstrovert, mereka bisa saling sering telepon setiap hari, sampai belasan kali! Belasan kali dalam sehari! Lalu saya cerita ke suami, dengan lempengnya dia komen, “That’s awful.” Saya bilang, “Awful menurut kita, tetapi gaya komunikasi kita mungkin awful juga buat mereka.” Soalnya, saya sama suami nggak suka telepon-teleponan. Bukan karena marahan atau lagi malas ngomong, tetapi memang tidak suka teleponan aja. Bahkan, pernah saya jalan sama teman seharian, dia takjub, “Eh iya beneran, kamu nggak ditelepon suami seharian, ih! Kok bisa, sih?” LOL. Terus kami komunikasinya gimana?
Ya, kami komunikasi via WhatsApp saja, lebih enak tertulis kalau buat saya dan suami. Itu pun tidak terlalu sering yang remeh-remeh, lebih sering yang penting-penting. Selebihnya, kami lebih suka
komunikasi langsung di meja makan atau peraduan. Terus curhatnya kapan? Ya, kalo lagi pacaran. Paling sedikit sekali dalam seminggu alokasi waktu buat
#pacaranmingguini. Nggak kurang? Buat kami nggak. We’re very content with it.
Gaya komunikasi berkaitan erat dengan kepribadian kita dan pasangan. Saya dan suami samasama Introvert, jadi kebutuhan ngobrol tidak setinggi teman kami yang sama-sama Ekstrovert dengan pasangannya. Jadi buat yang Introvert, kalau sering ditelponin gitu malah gengges banget karena kebutuhan Introvert sangat besar bagi diri sendiri buat mendapatkan energi. Sementara bagi ekstrovert, kebutuhan besarnya itu ada pada interaksi dengan orang lain untuk mengisi energinya. Itulah kenapa awalannya “extro” (dari luar), dan intro (dari dalam). Itu baru satu contoh aja sih.
cara kita mengolah informasi)
Sensing (S)
Fokus pada realita, fakta yang terverifikasi, dan pengalaman masa lalu. Fokus pada yang nyata, aktual, spesifik, konkret, dan hal-hal yang pasti.
Intuition (N)
Fokus pada peluang, kemungkinan pada masa depan, big picture, dan wawasan. Fokus pada pola dan arti, abstrak, imajinatif.
Contoh riilnya, teman saya yang sudah punya usaha sukses, mau buka cabang lagi di beberapa kota besar. Dengan menggebu-gebu dia sampaikan ke pasangannya, “Aku mau buka lagi nih di sini, potensinya gede banget dan udah ada partner yang setuju.” Nah, pasangannya jawab begini, “Kalau kamu buka di sana, waktu kamu makin berkurang dong buat keluarga. Sekarang aja waktu kamu udah berkurang banyak.”
Dalam pandangan si N yang mau buka usaha ini, kalau dia buka cabang baru paling dia benarbenar fokus selama satu tahun, setelah itu bisnisnya bisa jalan sendiri dan dia bisa punya waktu (dan uang!) lebih banyak lagi buat keluarganya. Akan tetapi, karena pasangannya S, dia tidak bisa melihat itu. Hal yang dia lihat adalah sekarang saja waktunya sudah terbatas, apalagi nanti kalau bisnisnya makin gede lagi. Nah, ini biasanya konflik-konflik di rumah tangga yang sering terjadi.
Jadi, tipe Intuition punya banyak gagasan besar, sedangkan tipe Sensing fokus pada detail-detail yang ada di depan matanya. Bukan berarti orang N/S itu jelek, nggak sama sekali. Keduanya punya kelebihan.
Maksudnya gimana? Orang dengan tipe Intuition ini ibaratnya dia ngegas, punya banyak sekali ide di kepalanya, punya plan-plan besar, mau ini mau itu, buat ini buat itu. Sementara orang dengan tipe Sensing lebih ke tukang ngerem-nya. Dia bisa menggenggam tangan si N ini untuk menginjak bumi.
Tapi, warning juga untuk teman-teman yang memiliki perbedaan pada dikotomi yang ini sama pasangan. Kalian harus benar-benar lebih kerja keras untuk bisa saling toleran. Kenapa? Karena berdasarkan data, kalau berbeda pasangan antara N sama S ini, tingkat perceraiannya lebih tinggi. Sebab, N sama S ini bicara tentang mindset, dan mindset itu agak lebih sulit digoyah. Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah adaptasi dan toleransi.
cara kita mengambil keputusan)
Thinking (T)
Cenderung mengambil keputusan berdasarkan logika, impersonal, pemikiran objektif. Mengutamakan standar objektif dan kebenaran.
Feeling (F)
Cenderung mengambil keputusan berdasarkan prioritas pribadi, nilai dalam hidup dan hubungan. Mengutamakan harmoni dan dinamika.
Contoh di real life-nya seperti ini. Dulu, sebelum belajar MBTI, saya pernah open trip ke suatu tempat. Nah, pemandu saya bilang, “Nanti bayar becaknya dua puluh ribu.” Setelah itu, saya bilang sama
teman saya yang satu becak, “Hah, segini jauh 20 ribu? Tega amat, jauh banget ini sih. Kasih 50 ribu ajalah.” Teman saya lalu menjawab, “Jangaaan. Itu namanya kamu ngerusak pasaran.” Hah, ngerusak pasaran? Apaan sih, bilang aja pelit.
Dia kemudian menjelaskan, “Kalau kamu kasih
lebih, besok-besok dia bakal nggak mau lagi tuh tarifnya 20 ribu, jadi kamu ngerusak harga pasaran.”
Karena dulu saya belum belajar MBTI, saya melabeli dia “pelit” dan bawa-bawa suku segala. Setelah belajar MBTI, akhirnya saya mengerti: oh, cara berpikir dia tuh Thinking banget.
Bagi orang dengan tipe Thinking, menjaga sistem dan objektivitas itu sangat penting. Sementara kalau orang tipe Feeling seperti saya, mencoba merasakan apa yang dirasakan si abang becak, kasian sekali perjalanan jauh seperti itu hanya dibayar 20 ribu. Karena dulu saya tidak bisa melihat hal tersebut, saya malah jadi menghakimi.
Oleh karena itu, inilah pentingnya mengidentifikasi kepribadian dengan menggunakan MBTI. Paling tidak, kita tahu, oh, dia begitu bukan karena jahat atau pelit, tetapi ya buat dia, menjaga sistem dan harga pasaran itu penting. Itulah kenapa kita harus
3A: AWARE, ACCEPT, ADAPT. Setelah kita tahu nanti akan mudah nih, oke kita aware dulu bahwa dia orang dengan tipe Thinking. Setelah itu, kita bisa terima (accept) bahwa perbedaannya ada pada dia (tipe) Thinking, sedangkan aku (tipe) Feeling, Baru
setelah itu kita bisa saling beradaptasi (adapt). Solusi yang dapat dilakukan untuk situasi seperti itu adalah tetap bayar 20 ribu, tetapi kasih tip lebih dengan bilang bahwa uang tambahan ini buat jajan sarapan. Beres kan? :)
D Judging atau Perceiving ? (Bagaimana cara kita berorientasi ke dunia luar)
Judging (J)
Sangat aware dengan konsep waktu. Ingin semua serba terorganisir, suka buat jadwal, rencana, checklist, menghindari last minute stress.
Perceiving (P)
Kurang aware dengan konsep waktu. Ingin meng-explore pengalaman, fleksibel terhadap perubahan, senang dengan Sistem Kebut Semalam.
Sebelum belajar MBTI, saya dan suami itu sumber ributnya ini melulu. Sebab saya dan suami totally different pada dikotomi ini. Saya tipe Judging banget, sedangkan suami Perceiving sekali. Biasanya, down side of Judging people itu adalah maunya cepat-cepat, karena prinsip orang Judging itu adalah
“kalau bisa sekarang, kenapa harus nanti?”
Sementara down side of Perceiving people itu adalah suka menunda-nunda alias procastinating, karena prinsip itu adalah “kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?” LOL.
Jadi ya misal:
“Daddy, lampu depan mati.”
“Iya, ntar.”
Nah, NTAR nya itu kapan, hanya Tuhan dan dia yang tahu. Bisa bulan depan, tahun depan, abad depan, entah kapanlah. Sementara kalau saya kan maunya segera. Padahal ya nggak enak juga nagihnagih terus. Jadi jalan tengahnya seperti ini: kalau saya minta dia mengerjakan sesuatu, saya kasih batasan waktu.
Contohnya:
“Daddy, lampu depan mati. Minggu depan kan arisan. Sebelum arisan, lampunya udah dibenerin, yaa.”
Dengan begitu, dia tetap punya keleluasaan untuk memilih waktunya sendiri. Saya juga tenang karena bisa set ekspektasi sudah beres sebelum arisan. Jadi tetap ada deadline, tapi dia yang memutuskan kapan pengerjaannya.
Semoga dengan memahami perbedaan kepribadian menggunakan instrumen MBTI ini, kalian bisa lebih memahami diri sendiri dan pasangan, ya.
Waktu
masih pacaran, saya pernah datang ke rumah (calon) suami saya. Ibu (calon) mertua menyambut, lalu saya—setengah basa-basi
setengah lagi kepo—bertanya, “Bapak di mana, Bu?” Dijawab enteng oleh beliau, “Nggak tahu.”
Saya shock.
Kok bisa sih istri tidak tahu suami pergi ke mana? Kok bisa sih suami tidak bilang dia mau ke mana? Memang tidak minta izin dulu, ya? Kok bisa
sih istrinya tidak bertanya? Memang nggak kepengen tahu, ya?
Dalam lingkup keluarga yang saya tahu pada
saat itu, setiap anggota keluarga wajib mengabari
anggota keluarga yang lain setiap hendak melangkah ke luar rumah. Papa saya ke warung depan aja pasti
bilang lho ke mama!
Itulah pokok masalahnya: ketidaksadaran akan
perbedaan pohon keluarga. Bertahun-tahun kami
menikah tanpa awareness tentang betapa pentingnya
memahami perbedaan kebiasaan yang berakar dari
pohon keluarga ini. Saya pernah kesal ketika suami
menghilang tanpa kabar malam-malam, meninggalkan saya dan anak-anak di rumah dalam tanda tanya: pergi ke mana dia? Ngapain, ya?
Setelah beberapa jam, akhirnya dia pulang.
Rupanya, dia pergi ke rumah ibunya, yang memang hanya berjarak 270 meter dari rumah kami.
Dalam pikiran logis suami, dia tidak mengabari saya karena toh hanya pergi ke rumah ibunya sendiri. Kan dekat, saya juga bisa menyusul.
Namun, dia lupa perasaan saya.
Saya merasa tidak nyaman ditinggal tanpa diberi tahu ke mana dan untuk apa dia pergi. Memang hanya ke rumah ibunya sendiri, tetapi apa susahnya mengabari? Memang dekat, tetapi repot sekali menyusul malam-malam dengan dua batita yang sudah waktunya tidur.
Bagi dia yang sangat logis, sepertinya perasaan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit dimengerti. Jadi, saya harus mencari cara lain untuk mengajarinya menghargai perasaan orang lain, terutama pasangannya tanpa harus berdebat panjang lagi.
Suatu hari pada Desember 2008, setelah menjaga stand bazaar ditemani mama seharian, saya pulang bersama mama saya ke rumah beliau. Sengaja, saya tidak menginfokan ke suami untuk tahu bagaimana reaksinya. Dan ya, dia mengira saya kabur dari rumah. Padahal, yang saya lakukan persis seperti yang dia contohkan: toh hanya ke rumah mama sendiri, dan jarak dari bazaar di Blok M ke rumah
mama di Mampang juga dekat, kan dia bisa nyusul sendiri.
Jadi, seperti itu lho rasanya kalau ditinggal tanpa kabar. Meski cuma ke rumah orang tua, dan meski bisa menyusul juga. Dia pun akhirnya mengerti. (PS: Tapi ini TIDAK untuk ditiru ya, karena masih ada cara yang lebih baik: Komunikasi Asertif. Baca di halaman selanjutnya :)).
Saya pernah membuang percuma 15 bungkus mie instan karena sudah kadaluarsa. Sekantong plastik besar kopi ABC dan dua pack besar migelas yang masih utuh juga terpaksa dibuang karena sudah melewati batas tanggal amannya. Dan, ini bukan sekalidua kali terjadi selama satu dekade ini.
Sebelum menikah, kita mungkin belum melihat bagaimana cara hidup dan kebiasaan keluarga lain dalam belanja. Ada keluarga yang terbiasa menimbun bahan makanan dengan alasan kepraktisansupaya kalau butuh selalu ada; ada juga keluarga yang terbiasa membeli eceran dengan alasan penghematan—supaya hanya membeli yang benar-benar dibutuhkan, hanya pada saat betul-betul diperlukan.
Setelah menikah, kebiasaan yang berbeda itu harus melebur menjadi satu, hingga kadang menimbulkan pergesekan. Yang satu menganggap yang lain
boros karena terus menimbun barang yang akhirnya
tidak pernah dipakai atau terpaksa dibuang karena
sudah tak layak konsumsi; yang lain menganggap
yang satu pelit ketika kehabisan barang saat dibutuhkan. Sebenarnya, yang diperlukan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi kebiasaan baik atau buruk yang kita bawa dari keluarga asal kita. Setelah itu, diskusi untuk kompromi, kebiasaan mana saja yang mau kita adopsi dan mana yang harus kita buang jauh-jauh. Atau lepas semua kebiasaan bawaan itu lalu ciptakan kebiasaan baru dalam keluarga ini.
Komunikasi asertif adalah kemampuan untuk mengomunikasikan kepada orang lain apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Komunikasi asertif = BPS (Bagaimana Perasaan Saya).
Bagaimana caranya? Gunakan “I language”.
Formulanya:
Aku merasa ... + ketika ... (+ aku ingin ... *)
*optional
Contoh komunikasi asertif:
“Kamu terlambat terus deh!”
“Aku sedih lho kamu terlambat”
“Kamu ngga pernah perhatian sama aku!”
“Aku seneng lhoo kalo dikasih kado pas ultah, kan hari spesial akuu. Nggak mesti mahal kok, tanaman murah aja aku terima dengan suka cita.”
“Kamu kenapa sih males banget?”
“Aku seneng lho kalo kamu mau beresin gelas bekas teh ke washtafel, biar di meja nggak jadi banyak semut.”
Prinsip saya dalam hal ini: ketika suami melakukan kesalahan, boleh kritik tindakannya yang salah, tetapi jangan serang kepribadiannya.
Sebab, tindakan dan kepribadian itu dua hal yang berbeda. Biasanya, saya dan suami menggunakan teknik BPS ketika #pacaranminggu ini.
Be hard on the problem, but be soft on the person.
Percakapan di meja makan usai pesta malam natal antara seorang ibu, tante, dan sepupu yang sudah dua tahun menikah, tetapi belum punya anak.
Ibu : “Kamu nginep di rumah anakku aja apa?”
Sepupu : “Kenapa?”
Ibu : “Biar diajarin caranya bikin anak!”
Tante : “Hahaha, iya anaknya hebat tuh. Tokcer!”
Si sepupu hanya bisa tersenyum getir, meski dalam hatinya saya tahu pasti rasanya sakit dan sedih luar biasa. Keesokan harinya saat keluarga besar kumpul di rumah mertuanya, ia tak kelihatan, hanya suaminya. Sendirian.
Kejadian lain beberapa tahun lalu, antara seorang pakde dengan calon menantu di pesta pernikahan kerabat:
Pakde : “Kamu kapan nyusul?”
Calon mantu : “Ya, saya nunggu aja pakde. Sebagai orang Jawa, harus dari pihak laki-lakinya dulu yang datang melamar kan.”
Pakde : “Nikah itu bukan soal siap nggak siap, tapi niat atau nggak niat. Coba ditanyakan.”
Setelah percakapan itu, plus gempuran pertanyaan yang sama dari kanan kiri, si calon mantu mendekam di kamar mandi selama satu jam untuk menenangkan diri sendiri karena air mata tak henti mengalir.
Sometimes people need to keep their distance to keep having a good relationship. We can’t accommodate everyone’s hope upon us, can we?
Apa sih maksudnya #PacaranMingguIni?
Kalau kamu sering mengikuti postingan saya di media sosial, pasti sudah lumayan familiar, ya dengan hashtag #PacaranMingguIni. Sebuah hashtag yang disematkan untuk menandai ketika saya pacaran sama suami. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan ini yang sering saya terima dari para followers saya tentang hashtag tersebut.
Kenapa pacaran?
Karena ya memang harus berduaan. Tidak boleh diganggu sama anak, orang tua, mertua, saudara, teman, tetangga. Apalagi sama anaknya orang tua mertua dari saudaranya teman tetangga. #halah
#ribet
Kenapa minggu ini?
Karena kegiatan ini dijadwalkan rutin setiap minggu alias seminggu sekali. Beneran? Iya, bener. Dulu
waktu suami masih ngantor, jadwalnya setiap Jumat
malam, supaya Sabtu—Minggu full buat anak. Sekarang karena mostly Senin—Jumat kami sudah bareng anak-anak terus, jadi dijadwalkan Sabtu siang/sore.
Nggak bosen, gitu?
Ya ampun sis, kalau pacaran yang menyenangkan saja bosen, gimana ngelakuin hal-hal lain yang nggak menyenangkan? Pacaran itu kan reward, hadiah setelah melakukan kewajiban-kewajiban kita sebagai orang tua dan suami/istri.
In our case, we’re lucky to have a solid support system. Kami punya asisten rumah tangga dan personal assistant yang bisa diandalkan. Punya orang tua/ mertua yang tinggal satu kota. Banyak saudara yang juga tinggal satu area. Jadi, nggak ada masalah.
Lha, kalau nggak punya support system, gimana?
Ya ... memang agak susah sih, tapi jangan menyerah!
Dulu saya juga pernah kok bertahun-tahun jadi fulltime ibu rumah tangga tanpa ART, tanpa personal assistant, dan tanpa baby sitter. Cara pacaran saya
zaman dulu itu ya ngobrol atau nonton bareng pas anak-anak sudah tidur.
Kalau ditinggal pacaran, anak-anaknya suka protes nggak?
Nggak. Kami memang sengaja membangun kebiasaan pacaran meski kami sudah menikah dan punya anak. Dari kegiatan orang tuanya itu, anak-anak bisa melihat bahwa hal tersebut sebagai kebutuhan yang wajar. Karena anak-anak juga sudah cukup besar, kami beri pengertian kalau pacaran rutin setelah menikah itu penting buat menjaga kesehatan pernikahan. And we want them to keep this value.
Pacaran setelah nikah tuh ngapain aja sih?
Ya, mirip kayak pacaran sebelum nikah. Bedanya, kalau mau lanjut ke kamar, ya halal saja. Hahaha. Biasanya, kami melakukan hal-hal yang kami senang bareng-bareng. Suami senang nonton, ya saya temani nonton. Saya seneng makan bareng, ya kita makan bareng.
Terus apa manfaatnya?
Wah, pastinya banyak, ya. Pertama, refreshing . Bebas tugas dari rutinitas pekerjaan, baik kantor maupun rumah tangga. Kedua, melancarkan komu-
nikasi. Uneg-uneg minggu itu bisa dikeluarkan dengan santai tanpa baperan. Ketiga, memperkuat relasi. Kita jadi tahu apa maunya pasangan kita.
Tapi, pasanganku tuh nggak romantis, mana mau dia pacaran!
Menurutmu, suami saya aslinya romantis? Oh, tidak sama sekali. Hahaha. Bayangin, saya tuh baru dikasih kado ulang tahun setelah sepuluh tahun menikah! Itu juga karena dikomporin anak-anak. Hahaha. Ngasih-ngasih surprise juga baru beberapa tahun belakangan ini kok.
Lantas bagaimana cara membujuk pasangan yang nggak romantis itu biar mau rutin pacaran?
Mulai dengan menemaninya melakukan hal-hal yang dia sukai. In my case, saya tahu suami suka nonton.
Ya, saya pun menemani suami nonton, meski saya nggak selalu suka filmnya, apalagi thriller, duh! Sebelum atau sesudah nonton kita makan bareng, nah itu saya suka karena saya bebas curcol, hehe.
Nggak bangkrut tuh pacaran mulu tiap minggu?
Ya, kan pacaran nggak harus selalu keluar uang atuh neng, akang. Bisa olahraga keliling komplek. Bisa
foto-foto di taman. Bisa ibadah bareng, atau kayak temanku, Edy Sulistyo dan istrinya yang jalan kaki keliling mal menjelang malnya tutup karena apartemen mereka ada di atas mal.
Intinya, banyak cara menuju peraduan pacaran halal. Coba saja dulu diagendakan. Siapa tahu malah ketagihan. Saya tuh dulu gampang uring-uringan. Darah BaBel ala Ahok mengalir setiap kali nggak sabaran. Sejak rutin pacaran, puji Tuhan jadi lebih mudah dijinakkan. Hehehe.
Happy wife = happy kids = happy family
Yuk, luangkan waktu untuk pacaran setelah menikah. Jangan lupa berbagi kebahagiaanmu sama pasangan dengan hashtag #pacaranmingguini lalu tag Instagram saya @nuniektirta biar yang lain juga ketularan bahagia :) Selamat pacaran!
menulis ini sambil tersenyum-senyum sendiri. Malam itu saya ketawa cekikikan dikelitikin suami sampai teriak kegelian. Candaan itu terhenti karena si bungsu ketuk pintu, ia mengira ada kegaduhan aneh. Tahunya emak bapaknya lagi main kelitikan kayak anak-anak Ucul, si kucing Persia beranak tiga. Sepuluh menit sebelumnya, suami baru saja hendak memasang earphone untuk menonton Netflix dari komputernya. Saya bicara dengan nada suara merajuk manja, “Sini dooong, istrinya ditemenin, disayang-sayang. Udah ditinggal kerja dari jam 8 pagi baru pulang jam 9 malem, kan istrinya kangennnn ....”
Suami menghampiri saya, duduk dan bersender di sofa. Saya meraih tangannya dan meletakkannya di atas kepala saya. “Naaahhh, gituuu... ubun-ubunnya diuyel-uyel biar ademmm,” ujar saya sambil memeluknya erat dan menguyel-uyel perutnya yang membulat. Hormon oksitosin mengalir deras memenuhi hipotalamus pada otak kami.
Lima menit selanjutnya kami gemes-gemesan. Tapi tenang, tidak ada adegan yang perlu disensor kok. Hanya ada percakapan dagelan suami istri yang terdengarnya seperti becandaan, tetapi tidak semua pasangan bisa mengomunikasikan topik itu dengan baik: how to arouse your spouse.
Istri : “Jadi begini lhooo, disayang-sayang duluuu, diajak ngobrol duluuu...”
Suami : “Lha kalo aku sentuh mesti melengos jadinya kumales.”
Istri : “Lagian asal main sergap aja, emangnya aku kucing.”
Suami : “Kan sama aja, ujung-ujungnya ke sana.”
Istri : “Buat laki-laki sama aja, buat wanita mah bedaaa.”
Siami : “Apa bedanya?”
Istri : “Kan udah sering kuajarin moso lupa melulu.”
Suami : “Kan kita baru nikah 13 tahun.”
Istri : “Hyaa itu dia, udah 13 tahun.”
Suami : “BARU 13 tahun, optimis dong.”
Istri : “Eaaaa. Ya, intinya untuk “mengakses”
wanita, caranya ya disayang dulu, diajak ngobrol dulu, jangan langsung diserbu. Coba perhatiin aja, tiap abis pacaran pasti dapet jatah kan.”
Suami : “Nggak juga, kadang biasanya Mommy ketiduran.”
Istri : “Eh iya juga ya, hahaha. Tapi, berarti pilihan Daddy untuk nggak ke bioskop semalem udah tepat. Jadi nggak kecapean karena pulangnya kemaleman, hehehe.”
Suami : “Ya untung aja filmnya lagi nggak ada yang bagus. Eh, emang Mommy beneran nggak mau ya nonton film Escape Room?”
Istri : “Emoh. Sinopsisnya aja ngerikno gitu. E-poster-nya nggak menarik blas, orang teriak-teriak. Gitu mau dapet jatah, ya nggak bisalah. Udah ilfil duluan. Kayak waktu di Portugal, udah siap eh malah nonton film teriak-teriak, ya sudahlah lupakan, syebel.”
Suami : “Emang iya ya?”
Istri : “Hyaaa, gimana. Makanya kenapa aku gak mau ada TV di kamar kan.”
Suami : “Ya udah berarti kalau nginep di hotel cari yang nggak ada TV-nyaa. Eh, emangnya ada?”
Istri : “Adalah, Airbnb aja. Kayak yang di Berkeley, eh di Burlingame waktu itu.”
Suami : “Itu ada TVnya kok! Di lantai bawah.”
Istri : “Ya kan di luar kamar, bukan di dalam. Suasana peraduan jangan dirusak sama
tontonan apalagi yang teriak-teriak. Bikin illfeel.”
Suami : “Peraduan tuh apaaa lagi?”
Istri : “Tempat mengadu ....”
***
To listen and not only hear when your woman is speaking.
To ask “how are you, how are your feeling today?” during the day.
To bring her favorite food & drink out of the blue.
To be with her when she’s down.
To hug her when she’s upset or sad or mad.
To take care of her when she’s sick because even vvip treatment from the best hospital couldn’t make her feel better than you do.
To share domestic duties without grump especially when you never thank her for doing it all the time.
To support her when she needs a break from daily routines for a while. To tell her if you’re unhappy when she has done something wrong instead of keep silent or even backstabbing her by telling it to others and keep her clueless.
Inget
banget dulu di “medan perang” jadi pejuang ASI as a new mom pada hari-hari pertama. Bayi saya tahu-tahu sudah minum susu formula, yang dikasih sama orang lain, tanpa seizin saya. Ngerti sih niatnya baik, kasian bayinya. Tapi, ibu bayinya nggak perlu dikasih tahu dulu gitu? Saya lantas harus menelan komentar orang-orang, “Susunya kecil sih, jadi sedikit ASInya”, “Waktu seumurmu, aku nggak segemuk itu”. Padahal kemudian terbukti pada anak keduaku, ASIX sangat membantu proses pelangsingan.
Dulu saya juga stres karena bayi saya nangis terus. ASI makin tidak keluar akibat ibu bayinya kelaparan kerena masih patuh sama eyang buyut suami, “Suami mau makan dilayani. Kalau suami belum makan, jangan makan.” Lha, suami saya baru sampai rumah pukul 11 malam, setelah lelah seharian ... ah sudahlah.
Anak kedua saya berhasil ASIX, yass! Lalu bebas masalah? Tentu tidak! Si bayi nenen semalaman sampai perih. Nenen dilepas, bayi nangis kejer. Bayi
nangis tidak kunjung berhenti, ibu bayi dibentak suami, “UDAH DIBANTUIN GENDONG JUGA!”
Permisi, mohon maaf numpang tanya, itu anak yang nanam saham siapa ya? Karena sakit hati, saya nangis dan telepon taksi lalu kabur dari rumah pukul 4 pagi sambil gendong bayi. Dan, itu tepat di hari ulang tahun saya yang ke 28. Ulang tahun paling menyedihkan.
Anak kemudian tumbuh besar, sudah nggak drama ASI dong, ya? Tetap, ada. Kali ini perkara siapa yang cuci botol! Zaman tidak ada pembantu karena tidak mampu, perkara cuci botol sebiji aja jadi perang dunia. Akhirnya, botol dicuciin juga sih, tapi kemudian di-Tweet ke seluruh jagad maya, “Ya udahlah dikasih Tuhan yang kayak gitu...” Duh
Gusti, sakitnya tuh sampai ke ulu hati.
Tetapi tenang, saya sudah memaafkannya 100% dan sudah tidak sakit hati lagi. Sebab, dia tidak jahat. Dia hanya korban dari budaya patriarki. Untung dia sudah tobat dan mengerti bahwa akar buruk harus ditebas. Akar buruk itu adalah kebiasaan-kebiasaan lama yang berefek tidak baik bagi hidup kita. Saya tahu, sebetulnya hal ini tidak patut di-publish karena terlalu emosional. Tapi, saya merasa perlu untuk mengungkap ini sebagai bagian dari the real marriage life. Tujuannya apa? Agar para suami tahu perjuangan istri yang sesungguhnya itu seperti apa, tidak cuma tahunya minta dilayani saja. Dan, semoga para istri pun mengerti bahwa suami juga ber-
juang menyesuaikan diri, melepas budaya patriarki yang melekat bertahun-tahun.
Semoga para suami dan istri bisa saling memaafkan, sama-sama ikhlas menebas akar buruk dan mengganti dengan tunas yang baru. Untuk orangorang selain suami dan istri: BACK OFF. Tidak perlulah ikut campur nyuruh-nyuruh orang lain bikin atau nambah anak, pakai request jenis kelamin segala, memangnya semudah request lagu ke band café.
Ada yang sempat bertanya pada saya waktu itu, apa yang sempat membuat saya bertahan dan yakin bahwa suami akan berubah? Dan seberapa lama upayanya untuk sama-sama menyadari dan berubah?
Tahu nggak apa komentar suami setelah baca email-email tentang keuangan yang sudah saya bahas di bab sebelum ini? Katanya, “Aku ndableg banget, ya?” Aku ketawa dan bilang, “Itu karena Daddy belum tahu aja kok.” Kesalahan paling umum adalah sering kali kita tidak bisa membedakan antara perlakuan dan kepribadian. Dia melakukan kesalahan, kita menudingnya jahat. Padahal, dia tidak jahat. Dia hanya tidak tahu atau tidak paham, tidak mengerti atau tidak peduli karena beda pandangan/ pemikiran saja.
Hal yang membuat saya bertahan adalah yakin
bahwa dia orang baik, dan orang baik bukan berarti tidak pernah melakukan hal-hal yang kurang/tidak baik. Lagi pula, baik di mata siapa dulu?
Sejak mengenal konsep manage expectation, saya tidak mengharapkan suami akan berubah. Akan tetapi, sayalah yang harus terlebih dulu mengubah perspektif, cara pendekatan, dan penerimaan. Pada akhirnya, setelah saya melakukan perubahan, suami tanpa diminta atau tanpa diharapkan pun otomatis ikut berubah, ke arah lebih baik tentunya. Berapa lama? Bertahun-tahun. Untuk yang sedang merasa suaminya jahat, tidak pengertian, dan lainlain, tenang. Segala sesuatu ada masanya. Semua hanya butuh waktu, proses dan usaha. Semua akan indah pada waktunya, selama masih ada kemauan untuk berjuang dan berusaha memperbaikinya.
Awareness is the first step to change. And before we want to change others, start with changing ourselves first.
“Mba, pernah nggak ngerasain pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Kalau pernah, menyiasatinya seperti apa?”
Sebuah pertanyaan menarik saya terima di media sosial saya. Nah, untuk yang mau dan baru berumah tangga, saya punya wejangan supaya tidak mengulang kesalahan yang pernah saya dan suami lakukan terkait pengelolaan keuangan. Mari saya dongengkan masa lalu saya dulu, ya.
Saya dan suami secara materi memulai rumah tangga dari 0,1. Angka 1 di belakang 0 itu “modal” dari mertua berupa mobil Toyota Corolla berusia 10 tahun, plus isi rumah seperti TV, AC, kulkas yang dibelikan dari amplop kawinan, yang semua biaya resepsinya juga ditanggung mertua. Pada malam pertama pernikahan, saya ajukan pertanyaan ke suami, “Jadi, kita tinggal di mana nih?” Ndilalah ada tante yang rumahnya sedang tidak terpakai, kami bisa menempatinya gratis.
Seiring berjalan waktu, anak pertama kami lahir. Ia membawa rezeki sehingga kami bisa membeli rumah second. DP pinjam dari mertua, sisanya nyicil
ke bank selama 10 tahun. Setelah rumah terbeli, suami pindah kerja ke start up dan ...
NGGAK DIGAJI SEMBILAN BULAN! Gaji saya sebagai sekretaris operasional perusahaan minyak waktu itu 3,2 juta dengan pembagian: bayar cicilan rumah 1,8 juta dan pembantu 700 ribu. Sisa 700 ribu, buat apa? Buat beli susu formula karena anak saya gagal ASIX, pampers (pake popok kain cuma kuat sebulan pertama karena ampun deh repotnya), imunisasi, dokter anak, dan bensin. Makan gimana? Nebeng mertua, hehe.
Pada masa survival itu, semua serba susah. Makan saja susah. Sebelum nebeng mertua, setiap hari kami hunting warteg baru buat dinner. But to be honest, that was one of the happiest periode of our marriage life, in my opinion. Everything was so simple. We strive together, do everything together. We barely argue about money.
Setelah anak lahir dan keuangan “pincang” karena suami kerja nggak digaji pun, seinget saya, kami tidak pernah berantem soal uang. Saya cuma pernah nangis melihat deretan taksi di depan lobi
Rumah Sakit Haji karena uang yang saya punya hampir habis buat bayar imunisasi. Sisa uang saat itu nggak cukup untuk naik taksi. Saya lalu jalan ke depan naik angkot sambil menggendong bayi 3 bulan di bawah terik matahari pukul 1 siang. Turun dari angkot, saya terus jalan kaki lagi dari depan komplek karena naik becak pun uangnya sayang.
Sampai rumah, saya SMS suami (zaman itu belum ada WhatsApp): “Kita nggak bisa begini terus...” Tapi, saya tetap nggak cerita apa-apa kalau saya tadi nangis.
Saya tidak pernah membicarakan soal itu ke siapa pun. Bahkan, mertua juga tidak tahu kalau anaknya berangkat kerja setiap hari, tetapi berbulanbulan tidak digaji, padahal kami semua tinggal satu atap. Sebab saya pikir, suami sudah cukup tertekan karena nggak bisa menafkahi anak istrinya.
Nah, itu dongeng masa-masa survival saya. Pengeluaran jelas lebih besar dari pemasukan karena ya memang pemasukannya “pincang” dan jumlahnya belum bisa menutupi kebutuhan dasar. Penyelesaiannya cuma satu: naikkan pemasukan. Karena pengeluaran dasar sudah tidak ada yang bisa diturunkan lagi. Bisa dibilang, we have no lifestyle at that time.
Selanjutnya, kami masuk ke masa security. Saya inget sekali, habis pulang interview suami peluk saya sambil bilang, “Aku diterima kerja, gajinya 5 juta!” Suami senang sekali akhirnya bisa punya gaji lagi setelah 9 bulan dinafkahi istri. Lebih senang lagi karena untuk pertama kali dalam hidupnya, gajinya lebih besar dari gaji istri.
Sekitar dua tahun kemudian, lanjut ke fase berikutnya, di mana keuangan keluarga seharusnya sudah membaik. Gaji suami sudah 3x lipat dari gaji saya, dan saya masih bekerja di perusahaan minyak,
plus punya bisnis online yang penghasilannya 6x lipat dari pekerjaan utama.
Pemasukan naik, pengeluaran aman dong?
Nggak ada masalah keuangan lagi dong harusnya?
Oh, belum tentu.
Lupa ya? Yang mahal itu bukan biaya hidup, tapi gaya hidup.
Dan yaa, kelas menengah ngehe kayak saya dulu itulah yang kebanyakan gaya. Mulai merasa nggak cukup punya satu pembantu, tambahlah dua nannies. Mulail merasa nggak muat mobil sedan, gantilah ke family car sejuta umat keluaran terbaru. Lalu, mulai merasa capek nyetir sendiri, pekerjakanlah sopir pribadi. Gaji naik sedikit, gayanya nambah selangit. Ya, jelas minuslah!
Setiap bulan kami meringis duit habis. Nutupin kebutuhan keluarga pakai hasil bisnis. Gali lubang tutup lubang. Pinjam tambahan modal usaha sama mertua, bayarnya nyicil tiap bulan. Belum lagi cicilan rumah, mobil, kartu kredit, dan anak pertama yang mulai masuk playgroup pula. Alhasil, kami bersitegang terus karena suami merasa sudah memberikan semua gajinya yang berkali-kali lipat dari gajinya yang dulu, tapi kok masih saja kekurangan.
Di sisi lain, saya pun sudah merasa atur keuangan dengan benar, tetapi suami masih saja memperta-
nyakan. Padahal, saya nggak pernah pake uang keluarga untuk kebutuhan pribadi, nggak pernah nyisihin buat uang jajan juga, sementara dia masih dapat uang saku. Setengah terisak, aku teriak, “Ya udah kamu aja yang urus uangnya!”
Sejak itu, nggak ada yang namanya uang keluarga. Gajiku ya gajiku, gajimu ya gajimu. Kami urus masing-masing dengan pembagian seperti ini.
Suami bayar:
Kredit rumah
Kredit mobil
Kartu kredit keluarga
Kartu kredit pribadi
Istri bayar:
Gaji pembantu
Gaji karyawan
Uang belanja dapur
Kartu kredit pribadi
Saya inget banget, waktu itu pada 2010 makan siang bareng Pak Andy Zain di Mega Kuningan. Sambil menunggu yang lain, kami ngobrol ngalur ngidul. Entah sedang membicarakan apa, di satu titik beliau bilang, “Kalau anak sekarang tuh gaji baru belasan juta aja udah pada pake sopir segala.”
Dalam hati saya teriak, “PAK, ITU SAYAAAA DAN SUAMIIIIIII.” Hahaha.
Jadi, bagaimana penyelesaian masalahnya kalau pengeluaran lebih besar dari pemasukan pada masa security? Jawabannya ada dua pilihan.
1 Naikkan pendapatan. Waktu itu, saya bikin bisnis online HamilCantik.com yang penghasilannya 6x lipat dari gaji saya.
2 Turunin pengeluaran (baca: jangan kebanyakan gaya! Waktu itu tidak kami lakukan karena masih butuh pengakuan, hahaha).
Setelah anak kedua lahir, saya harus berhenti bekerja karena si bungsu alergi susu apa pun selain ASI, sedangkan saya memerah ASI mau pakai apa pun selama 2 jam cuma dapat 30 ml. Sudah mencoba sufor antialergi termahal sekalipun, hasilnya bayi saya dua kali opname saat usianya belum genap setahun. Mbak yang urus anak-anak dari bayi sampai berhenti bekerja karena takut bayi yang diasuhnya mati! Sudah dicoba juga membawa bayi ke kantor selama enam bulan, tapi saya kewalahan.
Setelah berhenti bekerja, saya hanya mengandalkan penghasilan dari bisnis toko online yang sudah menurun karena modalnya tergerus pengeluaran rumah tangga, dan mulai ada pesaingnya. Karena gaji
pembantu dan karyawan masih saya yang bayar, ketika mereka berhenti bekerja, saya nggak segera cari penggantinya. Semua saya kerjakan sendiri. “Hemat dan sehat,” argumen saya waktu itu ketika hidup tanpa pembantu. Yeah!
Tapiii, suami merasa nggak nyaman karena sudah kerja di kantor seharian, pulang ke rumah disambut oleh ... tumpukan piring kotor! Sementara itu, saya merasa suami perhitungan sekali. Padahal kalau mau hitung-hitungan, saya jauhhh lebih capek kerja di rumah ngurusin SEMUANYA: nyapu, ngepel, nyuci, masak, jemur, antar jemput anak, urusan toko online mulai dari layanan pembeli sampai paketin barang... what ever you name it. Dia cuma cuci piring doang pake dramaaa, ya ampun.
Alhasil, beberapa kali kami bertengkar hanya soal siapa yang cebokin anak, cuci botol susu anak, dan kunciran anak! Sekarang ngerti kan kenapa suami nggak mau nambah anak? Hehehe.
8 Oct, 2010
“Daddy, sori tadi aku terlambat bangun jadi nggak bisa bantu urus Michelle. No excuse, aku salah. Meski nggak ngomong langsung, bisa kerasa kok kalau Daddy sebenarnya misah misuh. Apalagi sampe di-Twitt segala. Minggu lalu juga kamu sempet curcol ke my mom, meski mamaku bilang jangan sampe diributin, tapi yah ... lumayan bikin down. Seperti yang Daddy bilang juga, pengen punya pembantu full time supaya pagi-pagi nggak kesusu urus Michelle, nguncirin rambutnya, etc. Aku bukannya nggak mau punya pembantu full time. Selama ini, aku bilang sudah cukup dengan yang part time. Alasannya, karena anak-anak juga nggak mau sama mbaknya selama ada aku. Jadi, ya capeknya sama aja. Cuma aja nggak ada yang bisa bantu pagi-pagi
kalau aku bangun pagi kesiangan kayak tadi, dan nggak ada yang bantu ngemong kalau kita sama-sama pergi.
Sebenarnya, ada alasan lain yang nggak kalah penting: dengan mbak part time kita bisa hemat sampe 300 ribu. Itu bisa buat bayar uang sekolah Michelle, yang sampai hari ini belum kebayar karena uangnya belum ada, nunggu pembeli dari hamilcantik dulu.
Kalaupun aku jadi jauh lebih capek karena harus jungkir balik urus dua balita full time (plus urus hamilcantik, bundagaul, dan kerjaan lain untuk dapetin tambahan) tanpa ada yang dimintain tolong ini itu selama nggak ada kamu dan si mbak, atau harus bawa anak-anak kalau aku pergi, sejujurnya aku ikhlas banget ngejalaninnya. And I do enjoy it! Aku pikir, ya itulah konsekuensinya. Kalaupun aku mengeluh itu karena anak-anak suka ribut, rebutan macem-macem, bukan karena kamu terlambat pulang jadi nggak bisa bantu aku urus Michelle & Vica yang makin malam makin menggugah emosi.
Sejujurnya, I feel much happier lately selama nggak ada pembantu full time karena aku menjadi sangat aktif dan produktif, berguna bagi orang-orang yang aku sayang. Seharian aku menikmati banget main sama anak-anak. Cuma, seharian main gitu pastilah ada up and down-nya, dan biasanya anak-anak jadi rewel kalau udah magrib ke atas. Sialnya, kamu pulangnya malem. Jadi yah, pas ketangkep pas kamu pulang pas wajahku sudah kusut karena anak-anak rewel dan ribut. Sering juga aku sambut kamu dengan good mood, tapi kamunya pelit bicara atau sibuk nonton/Twitter-an.
Yang bikin senang adalah ketika kamu pulang, aku lihat kamu senyum meski kamu capek. Mau ajak aku ngobrol dan ajak main anak-anak. Jadi, sabar, ya. Tetap usaha bikin kuncir Michelle yang bagus. Nanti kita ambil mbak full time kalau keuangan sudah memungkinkan, dan kalau anak-anak cocok sama mbak barunya. Hopefully soon. But meanwhile, please stop sweating about small stuff like ponytail. It makes me sad. Really :((
Balik ke persoalan keuangan. April 2011 saya mulai kerja lagi. Saya sudah punya uang saku sendiri lagi. Sudah bisa hire pembantu full time lagi buat asuh anak-anak ketika saya bekerja. Pendapatan suami juga sudah mulai meningkat lagi dengan gaya hidup kami yang masih sama. Saya lalu heran, kok
kita bisa nggak punya tabungan? Nggak ada dana darurat, nggak ada asuransi jiwa, nggak punya tabungan pendidikan yang memadai, nggak punya
dana pensiun. Aset juga hanya mobil dan rumah yang ditempati. Maka saya pun mengajukan suatu permintaan ke suami ...
Saya ungkapkan lewat email.
Januari, 3, 2012
Daddy,
I’m a bit concerned with our financial management. Sekarang ini memang income kita berdua sudah sangat mencukupi, alangkah lebih baik kalau kita kelola dengan lebih bijak. We never know what’s gonna happen next kan?
Apalagi anak-anak bakal butuh biaya banyak untuk pendidikan, our parents are getting older, and we have several goals to achieve, like buying new cars, holiday in Disneyland and an apartment.
So, I’m thinking of taking over the financial management to my hand, with your supervision. Dulu, aku nyerah karena kita selalu merasa kekurangan padahal aku udah mati-matian puter uang. Dengan kondisi yang sekarang, kita bisa lebih leluasa mengarahkan aliran uang ke pos-pos yang benar sehingga tidak bocor ke mana-mana, dan pada masa tua nggak menyusahkan anak cucu juga.
My proposal is, aku dan kamu tetap punya uang saku. Let’s say 5 juta rupiah per bulan. TIDAK TERMASUK uang bensin, tol, parkir, rumah tangga, dan sebagainya. Murni uang jajan. Selebihnya dimasukkan ke rekening bersama, bisa pakai salah satu rekening bankku yang kosong. Dari situ, dipecah lagi ke pos-pos rutin, tabungan dana darurat dan investasi seperti reksadana atau obligasi. Seluruh transaksi uang masuk dan keluar untuk rekening bersama ini akan tercatat dan ada laporannya setiap bulan, plus print out buku tabungannya.
Dengan demikian, manajemen keuangan kita transparan dan terarah. Jelas tujuannya. I believe by this way kita bisa lebih tenang in spending our money too.
Gimana? Xoxo
Menurut kalian, permintaan saya disetujui nggak? Suami menjawab lewat email pada hari yang sama.
What about your travelling? Where will it come from? Sekarang aku sudah save 4 juta per bulan.
Sorry to say, my proposal was rejected. Pada akhir tahun yang sama, ada satu kejadian yang bikin saya down banget. Waktu mendampingi suami bicara di Bandung, saya menemukan bahwa suami nggak jujur perihal amplop yang diterima sebagai pembicara. Padahal, sampai saat itu saya tidak pernah minta gaji/amplop dan tidak pernah dikasih juga, sama sekali.
Saya merasa ya ampun, pakai bohong segala, kayak bakal dirampok aja. “Aku ini istrimu lho ... kalo giliran bokek aja, curhat!” Its not about the money; it’s about the honesty. Kalau marah biasa, saya bisa cerewet. Tapi, kalau sampai kecewa banget, saya diam seribu bahasa. Hampir seminggu saya nggak sanggup ngomong ke suami, dan akhirnya ... kirim email.
After deep contemplation, I decide to communicate what’s been bugging me. I don’t wanna sweat the small stuff but if that small stuff is crucial for our relationship, then I better speak up. So we can avoid the same problem in the future.
Been thinking for a week trying to understand why you lied to me as if I’m gonna rob your money. Am I greedy? Did I waste your money for my own delight? Let’s see ...
The credit card you paid was spent for gasoline, electricity, cellphone, TV cable and internet, insurance, groceries, family lunch/dinner, other bills of your company, all of which are barely for my own pleasure. The house installment you paid was for the house we live in, it even has your sole name on the certificate though I fully paid the installment for the first year.
The car installment you paid was for the vehicle that you use everyday to office. The school fee and education insurance you paid was for our kids’ brighter future. The driver’s salary was so you can sleep for 1,5 hours otw to office and another 2 hours otw home. What about everyday food? I paid for the catering. How about clothes? I bought from my own salary. What about the maid? 10% of my salary goes to her.
I failed to understand. The same confusion when I tried to understand why you were so opposing when I purpose to remanage family financial. I really don’t get the reason why. Do you think I’m gonna steal your money? I have more savings than yours. The saving that I set aside from my salary after deducted by 10% for catering & mineral water, 10% for maid, 12% for my parents, 10% for petty cash, 10% for clothes & self indulgence. Also from side projects as an influencer (just like you got as a speaker) I can pay 25% of our debt to your mom.
If the reason was based on suspicion, then it’s me who should be suspicious. Whether you spend your money for lunch/ dinner/movie/hangout with those girls you often flirt on.
My sole intention was just helping you, for God’s sake. My main concern was our kids future education; if just to enter primary school you can’t even pay for it, then what about the next stages which surely need much more money?
Your defence was that because you already paid for the credit card, house & car installment, monthly school fee, driver’s salary. But you forgot one important thing: it’s all your responsibility as a husband and a father.
The fact that I’m also working doesn’t change your obligation as a breadwinner. I make my own money so I don’t have to use your money to indulge myself or buy apparels for me & kids or compensate for my inability to do the cooking everyday or pay someone to help me with domestic duties (though it’s still your responsibility to provide sandang pangan papan).
Imagine this: if one day I leave/ pass away, you still have to pay all those things by yourself. Plus extra money for good nanny so kids are well taken care of; good maid to do the domestic works, plus education savings, plus emergency fund, not to mention pension fund so you can enjoy life in your old age.
When I die, I don’t think my soul could rest in peace before I’m assured that our kids get a good education and decent living.
Now that you want to manage your money by yourself, that’s fine. In fact, it helps me free from dizziness. I push aside all the negative thinking on how you spent it. I don’t ask for a financial report. Even if you don’t do my request to set aside at least 5% of the salary for education savings. I don’t give a damn anymore.
But when you can’t even be honest about how much you get, that really makes me down. If you can’t share happiness (for the good news, not the money), then why do you always share the downside like, “ I’m running out of money”, “It’s my last 100”, “I’m broke”, etc.
Not that I don’t want to hear your problem, but come on ... I tried to help you but you rejected it in the first place and now you are complaining about things I don’t even know how much & how wise you spent it.
If you’re running out of money because you just bought me a branded bag or jewelry, I can swallow it. When was the last time you gave me a present, btw? It makes me sad that you expect sympathy, without ever thinking empathy first. It’s not about the money. It’s about honesty, trust, appreciation, and commitment.
I appreciate all your efforts to make peace with me these couple of days. I hope the sweet things you did were not just merely to aim a sorry. I didn’t hate you. I was just disappointed. I hope you understand now. I miss you.
Ps: I don’t expect a reply; I prefer not. Just prove your commitment in making things right.
And he replied ...
December, 4, 2012
Istriku.
Gaji besar tapi semua uang ya habis buat operasional. Lha kalau nggak ada extra money kemarin, aku pasti sudah pusing tujuh keliling mikirin bayar 7 jutanya yang kemarin dari mana.
Aku nggak nyaman mommy yang manage uangnya karena berarti aku lebih minta-minta uang lagi ke mommy donk? Lha yang sekarang aja uang habis buat operasional. Jangan pikir on work days aku ngeluarin uang banyak. Lha makan siang aja dari kantor, kecuali Jumat makan di luar, itu juga bareng Dev ya paling makannya HokBen, Yoshinoya, KFC, etc. Jadi, jangan pikir aku hedon lho.
Gampangnya gini, sekarang buat bayar-bayar kemarin saldo BCA-ku dari gaji kemarin tinggal 2 jutaan. Ini sudah termasuk uang bicara kemarin sudah habis. Menurut mommy apa aku sudah “hedon” belanja-belanja yang unnecessary? Engga koq. Lha memang expenses kita besar.
You have to understand kalau aku nggak punya sisa uang yang cukup, aku pasti nggak bisa konsentrasi di rumah dan di kantor. I know this ridiculous for you, tapi ya gitu deh sifat aku.
Aku kira mommy begini karena nggak ada housemaid. Seriously, aku merasa mommy selalu uring-uringan dan sensi begini everytime nggak ada housemaid. Beneran lho.
Ya sudah baikan ya.
menyerahkan keuangannya ke aku? NOPE. Jadi, ini intinya kenapa dia menolak saya yang mengelola ke-
uangannya adalah karena: “Aku malu banget kalau
harus minta uang Mommy. Aku merasa seperti suami gagal.”
December, 4, 2012
Somehow I knew you’d respond with an explanation that I already understood, but you missed the point. I should have stressed more on why I was disappointed: hiding things you shouldn’t hide. That leads to my confusion on how to trust when dishonesty is often shown. Anyway, peace accepted.
Go home soon.
Jangan salah sangka, ya. Suami sangat bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Hanya saja perlu saya jelaskan kondisi kami saat itu bahwa gajinya sudah jauuuuhhhh berkali-kali lipat dari gaji saya, apalagi dari gajinya yang terdahulu.
Tapi, saya kasihan dia kayak selalu kehabisan uang pada akhir bulan. Padahal saya yakin banget harusnya masih bisa punya banyak uang lebih.
Perlu diketahui juga, sejak masih single, yang boros banget itu dia, yang pintar nabung itu saya.
Posisi keuangan pada saat itu pun saya sudah punya dana darurat sebesar 10x gaji, meskipun gaji saya cuma 1/5 gajinya. Hingga konsekuensinya, saya jadi sombong dan masa bodoh. Saya merasa, ah saya juga punya uang sendiri ini, terserahlah! S ak karepmu.
Saya menjadi sangat tersinggung kalau suami ngasih uang ke sopir atau pembantu, lha istrinya aja nggak pernah dikasih uang. Apalagi waktu suami mengeluh saat sopirnya korupsi. “Nggak usahlah ngomong ke aku. Kamu ngasihnya juga nggak lewat aku kan? Mana kutahulah.”
Dibarengi suatu drama, situasi itu “mempermudah” saya mengambil keputusan dengan pemikiran saya saat itu: ngapain bertahan, malah enakan sendirian.
“Aku mau cerai!”
Itulah ucapan pertama saya setelah tidak bisa bicara selama 3 hari penuh. Di situlah titik balik kehidupan pernikahan kami. Suami dengan segenap hati berjuang supaya pernikahan kami bertahan. Kami pergi ke konselor pernikahan, tetapi saya tidak puas dengan hasilnya. Saya bolak-balik ke dokter dan masuk rumah sakit karena psikosomatis. Saya bertekad menuntaskan akar penyebab psikomatis itu sekaligus mengkonseling diri sendiri dengan kuliah
S2 Psikologi Konseling. Kami juga ikut retreat pasangan suami istri dan itu sangat membantu pemulihan kesehatan pernikahan kami.
Setelah beberapa bulan, kami berhasil menyelesaikan semua masalah, dan kami berdua seperti menjadi orang baru. Kuliah konseling sangat membantu saya memulihkan kesehatan psikologis, membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dan anak-anak pun bisa melihat perubahan ini.
Retreat pasutri juga sangat membantu kami memulihkan kesehatan pernikahan, membentuk tujuan pernikahan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Bonusnya, tanpa diminta, suami menyerahkan pengelolaan keuangan ke saya sepenuhnya, sesuai ilmu yang diajarkan retreat pasutri bahwa sebaiknya pengelolaan keuangan keluarga diserahkan kepada pihak yang paling pandai mengatur keuangan, dan tidak baik jika berjalan masing-masing.
Kesimpulan dari episode pengelolaan finansial keluarga saya adalah seperti ini.
Tahun ke 1–2 pernikahan, saya yang mengelola keuangan keluarga.
Tahun ke 3–7 pernikahan, gaji urus masingmasing, bayar masing-masing.
Tahun ke 8–sekarang, saya yang kelola keuangan keluarga.
Pelajaran penting yang bisa diambil dari perjalanan panjang pengelolaan keuangan keluarga kami adalah sebagai berikut.
1 Hal yang menjadi masalah bukan soal besar/kecilnya uang yang dimiliki, tetapi soal keterbukaan dan pengelolaannya.
2 Gaji besar bukan jaminan lebih bahagia dari gaji kecil, apalagi kalau gaya hidup melebihi batas kemampuan.
3 Pentingnya menyatukan pengelolaan keuangan keluarga agar sejalan, satu haluan, dan satu tu-
juan. Percayakan pengelolaan keuangan keluarga kepada yang paling bisa mengaturnya.
Mengapa hal ini saya ceritakan semua dengan detail, sampai mengungkapkan isi email segala? Memangnya suami tidak marah, ya? Sering sekali saya menerima banyak curhat yang sedang mengalami hal sama, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara mengomunikasikannya. Itulah mengapa saya merasa perlu dan penting untuk membagikan screenshot email dengan suami. Baiklah, saya runut saja alasannya, ya.
1 To get the sense of real life. Kalau hanya diceritakan mungkin masih ada yang bertanya, meski di dalam hati, “Masa sih? Mana buktinya?”
2 To show you how we communicate. Ini tidak lain supaya bisa memberikan inspirasi alternatif cara mengomunikasikan kegundahan kepada pasangan, seperti yang kami lakukan. Saya banyak menerima curhat mengalami hal yang sama, tetapi hanya bisa diam saja. Malas ngomong, kalau pun bicara jadi ribut. Remember: in your anger, do not sin.
3 Sudah dibicarakan dengan suami dan setelah dijelaskan maksud dan tujuan serta misi yang ingin disampaikan, dia tidak keberatan. Sebab tujuannya bukan untuk mendiskreditkan siapa pun. Ini murni untuk bahan pembelajaran bersama.
Sudah menjadi kebiasaan saya sejak dulu bahwa
kalau masalah yang kami hadapi tidak begitu serius, saya bisa ngomong secara langsung. Akan tetapi, kalau masalahnya serius yang ngomonginnya aja malas, di-internalisasi dulu di pikiran lalu diolah ke dalam bentuk tulisan. Kenapa begitu? Sebab, lewat
tulisan, semua poin tersampaikan, lebih terstruktur, lebih teratur, serta lebih jelas dan lugas.
Saat ini, semua penghasilan kami (gaji, hasil
sewa properti, investasi, dan lain-lain) masuk ke rekening bersama atas nama suami dan saya. Kami
sama-sama punya akses untuk cek kapan pun. Saya
pegang ATM, sedangkan suami mengakses lewat
PIN internet banking atau sebaliknya tergantung kebutuhan. Kami sama-sama punya jatah uang saku
masing-masing setiap bulan yang jumlahnya sama
rata-rata 10% dari pendapatan tetap. Uang jajan ini
bebas dipakai untuk keperluan pribadi dan kami
masing-masing tidak mempertanyakan dipakai untuk apa saja. Saya sih biasanya menggunakannya
buat jajan dan nabung investasi juga.
Lalu berapa persenkah dari gaji bulanan yang ditransfer ke rekening bersama? Jawabannya adalah
100%. Baru habis itu dibagi-bagi sesuai proporsi. Dulu pernah menerapkan sistem prorate 80% dari
gaji masing-masing. Hasilnya ya jomplang karena
gaji dia waktu itu 10 x lipat dari gaji saya, padahal kebutuhan masing-masing nggak berbeda jauh.
Jadi, sekarang 100% gaji kami masuk ke rekening bersama dulu, barulah dialokasikan 10% dari total pendapatan berdua ke uang saku masingmasing, 10% untuk amal, 15% untuk orang tua, dan sisanya untuk biaya hidup dan investasi. Pernah ada yang bertanya, “Apa sih yang bikin
Mba Nuniek yakin bahwa bisnis yang dibangun suami someday akan membuahkan hasil? Nggak gajian berbulan-bulan itu kan berat banget lho. Dulu pas masih masa-masa berjuang pernah nggak berandai-andai, ‘andai suami gue karyawan di kantor A, pasti gajian aman’, atau membandingkan kondisi kita dengan pasangan lain, dalam hal finansial tentunya?”
Sejujurnya, saya bukan yakin pada bisnisnya. Saya yakin pada dirinya bahwa ia pasti berusaha memberikan yang terbaik buat keluarganya, dengan
caranya. When in doubt, trust him. Membandingkan dengan keadaan sebelumnya, pernah. “Andai dia waktu itu nggak pindah kerja, sekarang kita sudah menikmati bonus dan THR.” Kalau membandingkan dengan orang lain, tidak pernah. Karena itu, saya pernah mewek saat nonton film Keluarga
Cemara waktu Emak bilang, “Gak pernah sekalipun
Emak menyesal ....” Untuk lebih jelas, silakan baca chapter “How to Find The Right One?” di halaman selanjutnya, ya.
Selanjutnya, apa yang terjadi setelah di-manage?
Setelah keuangan saya ambil alih, hal-hal ini yang terjadi pada keluarga kami adalah sebagai berikut.
Setiap bulan saya mengirimkan laporan keuangan dan bukti pembayaran. Mengalokasikan dana untuk memberikan uang
bulanan kepada mama saya dan mamanya. Saat itu dimulai dari 5% pendapatan bulanan kami, sekarang meningkat jadi 15% dan ke papanya juga. Sebetulnya, waktu masih kelola gaji masing-masing, saya sudah rutin ngasih ke mama saya 12% dari gaji saya sendiri. Suami sebelumnya nggak pernah ngasih uang bulanan ke orang tuanya, tetapi ngasih ke bude yang kurang mampu (karena mertua memang tergolong lebih mampu).
Untuk menghilangkan sindrom OKMB alias
Orang Kelas Menengah Baru yang nggak bisa lihat duit sedikit saja pasti gatel buat dipake untuk GAYA HIDUP, jadi kami paksain beli apartemen di Alam Sutera untuk investasi, cicil langsung ke developer. Karena kalau nabung beneran di bank masih bisa digampangin: uangnya masih
ada kok di tabungan, masih bisalah jalan-jalan bulan ini :D.
Baru Jumat beli apartemen, Minggu pas belanja
grocery beli apartemen lagi di KemangView
Bekasi. Masih OKMB juga sih sebenarnya, masih impulsif gitu, tetapi setidaknya uang yang
dibelanjakan bukan barang konsumtif yang nilainya turun terus.
Kami beli polis asuransi jiwa dan penyakit kritis untuk suami sebagai pencari nafkah utama yang uang pertanggungannya disesuaikan dengan kebutuhan hidup pada saat itu. Penting sekali untuk meng-upgrade asuransi kalau kebutuhan hidup juga sudah naik. Waktu pertama punya dulu itu saya mikirnya yang penting punya dululah. Uang pertanggungan nggak terlalu besar waktu itu tapi cukuplah. Seiring bertambahnya kebutuhan dan kemampuan, suami sendiri yang meminta UP dinaikkan semaksimal mungkin. Bonusnya, pertama kali setelah sepuluh tahun menikah, suami memberikan kado ulang tahun untuk istrinya! Iya, setelah anak-anak sudah besar. Itu pun karena “dikomporin” anak-anak.
Katanya, karena baru kali ini punya dananya dari uang saku karena sebelumnya kan hampir nggak ada sisa. Sejak saat itu, hampir setiap ulang tahun saya dapat hadiah bunga, cake, dan kado. Yay!
Dalam acara follow up retreat pasutri, suami blak-blakan cerita ke circle group. Pas baru nyerahin balik pengelolaan keuangan ke saya, dia (kasarnya) ngomong dalam hati, “Rasain!
Emang enak?” Tapi, sebulan kemudian dia bingung, “Lho kok bisa sih cukup-cukup aja?”
Padahal aset properti langsung nambah dua lho,
malah enak punya uang jajan tetap, nggak cuma ambil dari sisa-sisa pengeluaran, dan masih bisa ngasih orang tua pula.
Tahu nggak kenapa? Sebab, selama di tangan dia, uangnya banyak bocor ke hal yang nggak penting. Taruh uang parkir di mobil sesukanya, diambil sopir dan dia nggak ngeh. Setelah saya yang pegang, saya jatah. Jadi, tidak ada lagi celah. Begitu juga dengan makan-makan. Yang
biasanya kalau makan bareng teman dia sering gaya-gayaan traktir, sekarang ya bayar masing-masing.
Percaya nggak percaya, ketika kedua belah pihak saling jujur dan percaya, pintu rezeki mengalir lebih deras lagi.
Anyway, setelah keuangan dikelola dengan baik, aset bertambah satu per satu dan bisa menghasilkan passive income. Kesimpulannya, keuangan keluarga lebih terarah, sehaluan, satu tujuan. Terima kasih Tuhan, kami sudah bebas cicilan. Kecuali satu cicilan yaitu mobil, itupun nyicil dengan alasan khusus. Padahal waktu mau beli itu dananya sudah ada, tadinya sudah mau bayar lunas saja. Tapi pada saatsaat akhir kami setuju ambil kredit saja dengan pertimbangan berikut.
1 Dapat special rate 3% buat kredit mobil, sudah termasuk asuransi all risk selama 3 tahun. Dihitung dengan biaya-biaya lain, totalnya lebih mahal kalau beli tunai + beli asuransi all risk sendiri.
2 Dana utuhnya kami kunci di instrumen investasi yang menawarkan return jauh di atas 3% jadi kalau dihitung-hitung masih lebih untung.
3 Membantu Bapak Kepala Kantor Cabang Bank yang baik dan helpful untuk mencapai targetnya.
Kami juga sudah punya dana darurat yang cukup, asuransi jiwa kepala keluarga dengan UP yang memadai, asuransi kesehatan dan penyakit kritis, dana pendidikan anak-anak sampai kuliah, dana pensiun, investasi di beberapa start up companies, dan bonus tambahannya: bayar nazar ajak orangtua
jalan-jalan ke Amerika.
Iya, sejak 2014 saya dan suami bernazar: kalau
ada cukup dana, akan ajak orang tua ke Amerika
selagi sehat. Seperti biasa, kami beri target mimpi itu supaya menjadi goal: Agustus 2017, minimal 1 minggu di US. Terima kasih Tuhan, mimpi itu terwujud lebih awal pada Juli 2017 selama dua minggu, lebih lama dua kali lipat dari target yang ditentukan.
Tahun berikutnya, kami sekeluarga bisa mengajak mama, adik kakak, dan anak-anaknya jalanjalan melihat sakura dan salju di Jepang. Meski dua
tahun sebelumnya kami dan anak-anak sudah pernah ke Jepang, tapi rasanya berbeda karena bertepatan dengan waktu bunga sakura mekar, masih ada salju dan pastinya lebih seru karena ramai-ramai. Kami juga bisa mengajak mertua dan ipar merayakan ulang tahun mama mertua dengan roadtrip dua minggu keliling Australia-Brisbane-GoldcoastSydney-Snow Mountain-Melbourne.
Sepanjang 2018, saya telah mengunjungi 4 benua, 10 negara (termasuk dua negara bagian), dan 30 kota. Ini benar-benar melebihi ekspektasi saya pada awal tahun, yaitu hanya 4 benua, 5 negara, dan 20 kota. Sekali lagi, saya bagikan semua ini bukan untuk pamer atau riya, melainkan untuk memberi gambaran bahwa inilah yang kami dapatkan setelah bertahan dari segala macam cobaan pada masa lalu, dan tidak menyerah dengan keadaan. Ibarat orang travelling, episode ini menampilkan keindahan puncak Wayag Raja Ampat. Sementara sebelumnya menampilkan perjalanan menuju Wayag yang penuh perjuangan.
We are not born this way but we surely work hard to deal with our imperfections.
What counts in making A happy marriage is not so much how compatible you are, but how you deal with incompatibility.
—Leo Tolstoy
Setelah menikah, waktu itu kami memaksakan diri untuk menabung demi ingin punya rumah pertama. Kami beli dengan mencicil. Dulu kami
berpikir bahwa daripada uang habis untuk bayar kontrakan, ya mending uangnya jadi utang produktif. Dulu kami betul-betul nggak bisa nabung karena
boros akibat tuntutan gaya hidup. Kalaupun nabung, pasti kepake begitu uangnya turun, selalu ada celah. Jadi, ketika itu kami putuskan, ya sudah yuk kita nabung dengan bentuk mencicil rumah.
Turned out, it was one of the best decision we’ve ever taken. Jadi bayangkan, waktu itu kami cicil rumah yang harganya Rp180 juta. Lokasinya di Pondok Gede, tepat perbatasan Jakarta dan Bekasi.
Tapi sekarang, nilai rumahnya berapa? Harganya
berubah menjadi Rp1.3 miliyar dalam waktu 14 tahun.
Dari sini kami belajar bahwa kalau mau cicil rumah memang sebaiknya sejak semuda mungkin.
Bayangkan gini deh, Rp180 juta, itu kami cicil Rp1,8 juta per bulan. Uang Rp1,8 juta kala itu lebih dari
setengah gaji saya. Waktu itu berat banget bayarnya. Setengah gaji coba. Gaji suami ketika itu Rp1,5 juta sebagai instruktur. Gaji saya Rp3,2 juta sebagai executive secretary di perusahaan minyak. Masih okelah, ya sebenarnya Rp3,2 juta sama Rp1,5jt masih masuk 30%. Makanya waktu itu bisa. Tapiiii, beberapa bulan kemudian suami memulai start up dan nggak gajian sembilan bulan, seperti yang sudah
saya ceritakan sebelumnya. Otomatis, bayar cicilan
cuma dari gaji saya saja. Jadi, setengah lebih dari gaji
saya alias 1,8 jutanya buat bayar cicilan rumah!
Terus mana baru punya bayi lagi buat beli susu
sama pampers. Ya, ampun. Makannya gimana?
Numpang sama mertua. Jadi, kalau teman-teman
melihat kami sekarang mungkin hidupnya enak, ru-
mahnya asyik, ada kolam renang, tamannya asri, dan segala macam fasilitas lain, jangan bayangkan
kami bisa langsung begini. Kami juga dulu melalui
masa-masa sulit juga kok, jadi jangan sedih. Semoga kalian juga nanti bisa. Amin!
Kembali lagi, kami memilih untuk menabung lewat mencicil rumah. Karena bayangkan Rp180 juta
ya, artinya kalau saya bisa menyisihkan uang Rp1,8
juta setiap bulan, saya butuh 100 bulan untuk bisa
beli rumah seharga 180 juta, ya kan? Seratus bulan
dibagi 12 bulan itu butuh waktu 8 tahun. Nah, ka-
lau saya mencoba menabung Rp1,8 juta selama 8
tahun, apa yang terjadi? Uangnya terkumpul sih
Rp180 juta, tetapi harga rumahnya bukan Rp180
juta lagi, melainkan sudah keburu jadi 1 miliar!
Alhasil, nggak kebeli deh.
Karena itu, meskipun kami berutang, tetapi utang yang kami punya itu produktif karena nilai asetnya, pertumbuhannya itu jauh lebih tinggi daripada bunga yang kami bayarkan. Plus sekarang kami sudah menikmati hasilnya. Karena rumahnya sudah lunas, kalau kami mau jual juga bisa dengan harga berkali-kali lipat. Rumah itu sekarang kami
kontrakkan dengan nilai Rp45 juta setahun. Itu artinya, modal 180 juta itu sudah balik dalam waktu
4 tahun. Dan jangan lupa, kami juga sudah puas tinggal di sana selama 11 tahun. Jadi, rumahnya sudah dipakai dan kami tidak mengeluarkan uang siasia buat kontrakan.
Namun sekali lagi, yang saya paparkan tadi adalah pengalaman dan sudut pandang saya dan suami.
Mungkin kamu punya sudut pandang sendiri untuk bahan pertimbangan masing-masing. Pada akhirnya, yang menentukan keputusannya, ya, kalian sendiri.
Semoga kalian bisa memulai investasi. Pahami kondisi, kenali profil risiko, dan tetapkan tujuannya.
Jangan lupa untuk menikmati prosesnya, jangan terpaku hanya pada tujuannya saja. Semoga berhasil dan tetap semangat!
Punya mentor itu penting banget! Mentor itu ibarat penuntun yang bisa memberi tahu kita jalan mana yang sebaiknya dilewati dan jalan mana yang sebaiknya dihindari karena dia sendiri sudah melaluinya.
Cara memilih mentor, yang paling gampang adalah cari seseorang yang menurutmu sudah meraih apa yang masih ingin kamu raih. Bayangkan 5-10 tahun lagi kamu mau jadi seperti apa/siapa. Nah, mintalah dia menjadi mentormu.
Saya dan suami memiliki beberapa mentor bukan hanya dalam hal bisnis, tapi juga dalam perkawinan. Para mentor membantu kami melihat masalah secara lebih objektif sehingga bisa mengambil keputusan dengan lebih bijaksana.
Siapa sajakah mereka?
Pak Jonggi Manalu atau kami memanggilnya Opung, usianya 68 tahun. Sosok yang sangat low profile.
Komisaris yang mau turun gunung jadi CEO ad in-
terim dan berjasa dalam menyelamatkan arah perusahaan yang didirikan suami beserta rekan-rekannya yaitu Tiket.com sejak tahun kedua hingga sebelum diakuisisi GDP melalui Blibli.com.
Beliau sudah banyak makan asam garam dalam dunia bisnis. Sering kali kebijakannya tidak dapat
dimengerti oleh suami dan rekan-rekannya pada saat itu. Biasanya beliau bilang, “Pikiranmu belum nyampe.” Benar saja, kebijakan itu terbukti tepat setelah
dijalani tiga tahun kemudian. Dan akhirnya suami pun paham jalan pikirannya.
Beliau juga pernah secara tidak langsung menyelamatkan uang kami hingga ratusan juta. Waktu itu kami terlalu naif dan hendak menyetujui pinjaman dana darurat dari “teman” dengan bunga sangat tinggi. Ketika mengetahui hal itu, beliau geram dan sangat menentang keras, sampai tengah malam
membuat hitung-hitungan dengan tulisan tangan. Untung kami mengikuti saran beliau, uang kami pun terselamatkan.
Selain memiliki mentor bisnis, kami juga punya mentor pernikahan. Pak Julianto Simanjuntak dan Ibu
Roswita Ndraha adalah pasangan suami istri pendiri
Lembaga Konseling Keluarga Kreatif (LK3) dan
Yayasan PELIKAN. Mereka memberikan pengaruh
besar dalam keharmonisan rumah tangga kami, baik
melalui komunikasi langsung, seminar yang diada-
kan, atau buku-buku yang mereka tulis. Tulisantulisan beliau juga dapat dibaca pada websitenya, www.juliantosimanjuntak.com
Saya bisa mendalami ilmu konseling berkat program kuliah S2 konseling yang Pak Julianto pimpin, dan itu mengubah hidup saya. Banyak sekali perubahan baik yang terjadi setelah saya belajar ilmu konseling melalui kuliah tersebut. Bahkan ketika baru kuliah 3 bulan, putri sulung saya yang pada
waktu itu baru berusia 8 tahun, memeluk saya dari belakang sambil bilang, “I’m so happy Mommy now is not grumpy.” Duh, terharuu banget mommynya dibilang udah ngga suka marah-marah lagi.
Pernah ketika pernikahan kami bermasalah, saya berinisiatif mendaftar pada retreat pasutri yang mereka selenggarakan. Pada waktu itu saya bertanya, “Pak, saya ini kalau ada masalah tidak bisa tidur dan maunya dibahas sampai tuntas. Sementara suami kalau ada masalah malah menghindar dan nggak mau bahas saat itu juga. Gimana, ya sebaiknya?”
Beliau menjawab kurang lebih seperti ini, “Inti dari membahas masalah itu tujuan utamanya apa?
Untuk mencapai solusi kan? Nah, kalau dibahas saat itu juga, apakah bisa menjadi solusi? Mungkin ya, buat kamu. Tapi tidak, buat suami. Jadi sebaiknya, buat dulu kesepakatan mau dibahas kapan. Jadi, kamu bisa tidur malam itu, dan suami juga punya jeda. Sehingga ketika masalah itu dibahas, kepala
masing-masing sudah “dingin” dan “tidak panas” lagi.”
Jika sudah berusia lanjut, saya ingin menjadi seperti mereka saat seusianya: keliling Indonesia bahkan dunia untuk menebarkan manfaat positif keluarga kreatif sehingga bisa lebih banyak keluarga yang diselamatkan pernikahannya seperti kami.
Mentor Bisnis dan Pernikahan
Michel Birnbaum dan Gina D’Angelo adalah pasangan suami istri favorit kami yang paling fun dan super asik. Awal kenal Michel pada 2010 ketika kami mengundang beliau sebagai narasumber komunitas startup yang kami inisiasi, #StartupLokal. Michel adalah seorang mentor, investor, dan CEO MindSignsHealth.com.
Keduanya rajin mengirimkan ucapan dan artikel tentang bisnis, hubungan, dan pernikahan. Kalau ke Singapura, kami sempatkan untuk catch up, baik di restoran maupun di kediaman mereka. Jika ngobrol dengan mereka, nyambung apa saja dan sampai berjam-jam pun nggak bosan. Dari mereka pula kami tahu tentang Seven Year Itch, suatu kepercayaan umum tentang siklus ketidakpuasan dalam sebuah hubungan. Kebetulan, pada waktu itu kami baru saja “lulus” dari ujian Seven Year Itch tersebut.
Hal yang kami kagumi dari mereka berdua ada-
lah keterbukaan satu sama lain, sehingga apa pun yang diobrolin Michel, Gina bisa nyambung, dan
sebaliknya. Mereka berdua juga sangat lucu, santai menghadapi hidup, tetapi juga berkomitmen tinggi pada pekerjaan maupun hubungan dengan
pasangan.
Salah satu nasihat dari mereka yang selalu saya ingat adalah selalu sediakan waktu untuk ngobrol
dengan anak. Mereka punya tradisi makan malam bersama dan mengobrol di meja makan sejak anakanaknya masih kecil. Tradisi itu juga yang hingga
saat ini kami jalankan bersama keluarga kecil kami.
Meski kini mereka sudah dalam fase empty nest (semua anaknya sudah tidak tinggal lagi bersama mereka), tetapi mereka selalu menyempatkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka.
Selama 25 tahun saya hidup tanpa pembantu. Sejak kecil, di keluarga saya semua tugas rumah tangga dikerjakan bersama-sama. Saya ingat waktu SD tugas saya tiap sore sebelum mandi adalah ngepel rumah. Upahnya 50 perak, yang biasanya saya pakai buat jajan wafer Superman. Kalau ditabung 2 hari, bisa beli Coklat Ayam :)). Setelah menikah, tetap nggak ada pembantu. Kami sudah kayak main rumah-rumahan di rumah tante yang kebetulan sudah tidak ditinggali. Pagi sebelum berangkat kerja bersama, saya menyiapkan roti dan suami membuat minuman. Sorenya pulang bareng lagi, mampir dulu di warteg buat makan malem. Setiap hari nyobain warteg di sepanjang jalan yang kami lewati :D.
Masih inget sekali excited-nya pulang cepet untuk nobar serial “Desperate Housewives” di TV sambil nyetrika baju di sofabed. Karena tidak ada AC di ruang tamu, jadi pakai kipas angin butut yang bunyinya krek krek kreekk. Pas hamil, berat badan saya nambah 24 kg, saking gerahnya jadi setiap ma-
lem ngemil es batu dan bebas mondar mandir pake baju mini (*oh plis jangan dibayangin*). It was the funniest period of our marriage life :)).
Setelah punya anak, barulah saya merasakan punya pembantu. Saya yang seumur-umur terbiasa membereskan kamar sendiri, sempet takjub waktu balik dari kamar mandi tahu kamar tidur sudah rapi. Oh, jadi gini ya rasanya punya pembantu? =)) Belum lagi sebagai ibu baru, si bayi sebentar-sebentar diambil alih oleh ketiga pembantu yang ada di rumah mertua. Lha, saya jadi bingung mau ngapain.
Setelah pindah ke rumah sendiri dan nambah anak jadi dua, saya bukan cuma punya satu pembantu, tetapi sekaligus tiga. Satu untuk urus rumah tangga, dua untuk urus masing-masing bayi. Ditambah satu karyawan toko online yang saat itu saya jalani, plus satu sopir pribadi. Jadi, anggota keluarga inti cuma empat orang, tetapi yang membantu ada lima orang. Gaya pisan euy! :p
Lalu ada masanya ketika saya nggak punya pembantu dan karyawan sama sekali. Jetlag pasti. Lha, dari pertama punya anak sudah dibantuin sama para “dayang”, tiba-tiba harus urus semuanya sendiri! Mulailah saya play victim, mengasihani diri sendiri, merasa orang paling merana sedunia karena harus urus dua balita sambil tetap membantu perekonomian keluarga.
Setelah gonta ganti pembantu dalam beberapa tahun, saya baru menyadari satu hal: saya kembali
dihadapkan pada persoalan yang sama karena saya belum benar-benar belajar. Ibarat ujian dapat nilai jelek, saya dikasih kesempatan untuk remedial, berulang-ulang sampai nilainya bagus. Dan, kunci jawaban ini saya dapatkan begitu saja ketika sedang menjemur pakaian sebelum menjemput anak-anak pulang sekolah: ketika ada pembantu, saya menjadi pemalas. Ketika tidak ada pembantu, saya menjadi pemarah.
God doesn’t want me to be that way, so He gave me the same painful experience over and over again until I get it.
Mulailah saya menjalani apa pun keadaan yang Tuhan berikan dengan rasa ikhlas, penuh penerimaan. Dari sana, langkah saya menjadi lebih ringan.
Ada yang bantu syukur, tidak ada yang bantu juga tidak masalah. Justru karena tidak ada yang bantu, anak-anak malah lebih mandiri dan tidak bossy.
Menyiapkan makan, keperluan sekolah, seragam, semua sudah bisa mereka lakukan sendiri. Mereka juga bisa berempati dengan menawarkan bantuan seperti menyikat kamar mandi. Bahkan, sering juga membuatkan masakan dan minuman buat saya kalau sedang “dikejar-kejar” deadline tugas kuliah dan kerja :).
Ada masanya kami dibantu oleh mbak yang kerja maksimal dua jam per harinya. Tugasnya melakukan pekerjaan rumah tangga yang saya kurang suka: cuci piring, nyapu-ngepel, dan menyetrika. Kalau
saya harus ke kantor, dia datangnya pagi. Kalau saya nggak pergi, dia datang siang. Minggu libur, dan kalau kami keluar kota dia juga diliburkan. Tugastugas lainnya kami lakukan bersama sekeluarga. Saya sering wanti-wanti si mbak untuk membiarkan anak-anak melakukan tugasnya masing-masing supaya mandiri.
Beneran deh, kalau kita ikhlas apa pun jalannya akan terasa dimudahkan. Tapi, ya untuk menuju
ikhlasnya itu memang tidak mudah. Harus melalui proses, and we can’t discount the process. Satu hal: kalau zaman sekarang saja udah susah cari pembantu, apalagi pada zaman anak-anak kita dewasa nanti, mungkin Indonesia udah setara dengan negara maju lain yang biaya jasa pembantunya selangit. Kalau mereka tidak dibiasakan hidup mandiri sejak dini, I’m afraid it would be too late for them to learn. I just don’t want them to become spoiled brats and make others—especially their spouses—become uncomfortable with their recklessness.
Ever since you were born, you made me a mother, and my husband a father
We had no experience in raising a baby, nurturing a kid, guiding a teenager
You became our pilot project, our beta tester, our first experience
I remember the day when I delivered you to the world
I cried not because it hurts, but because I didn’t expect you to came that soon
I thought I had to push a little bit more, but of a sudden you just out and cried
After that, everyone smiles, including me
Some shed tears, but tears of joy and happiness
Happy that you came to the world healthy and pretty
I remember the struggle to breastfeed you for the first week
Despite the pain, I kept on trying, you kept on crying
I was under pressure of giving you the best but failed
There were many other times I feel as a failure of being a mom
Those times when I yelled, shouted, mad, angry at you (and your sister, too)
Those scary moments when I am consumed by the ugly monster within myself
Just like tonight...
Ironically right after I posted something about forgiveness
I shouted hard because you were reluctant to study for your final exam
Left you in your room with your dad to study while I tame my monster alone
Later I found out that I was not the only one crying
When I get your dad water to drink, I thought it was for him
But in fact it was for you, who were trying so hard to stop crying
1,5 hour later when your dad already left your room
I entered your room and saw you standing with swollen eye
I hugged you tight and said I’m sorry, truly sorry
I was asking you not only to forgive me
But most important was, to forgive yourself, too
For letting (the monster within) me to hurt you...
You might blame yourself for awaken my scary monster
Yes what you did might probably trigger my anger
But here are the things I want you to remember:
That it’s not entirely your fault
That it’s me dealing with my flaws
That it’s me healing my inner child
I kissed you goodnight and you smiled, that’s enough for me
I can’t promise that I won’t make the same mistake
I can’t guarantee that I won’t be angry with you anymore
I can’t ensure that everything will always be easy as we wish
But...
I can assure you that I will always love you no matter what I can promise you that I love you not because you’re this and that I can pledge that you will always have a special space in my heart
Love, Your mom
Sebelas tahun lalu waktu anak pertama baru lahir, teman kerja di Singapura yang anaknya sudah menginjak remaja berpesan kepada saya, “Enjoy time with your kids, play while they still want to play with you, and capture the moments. Coz time flies and suddenly they have their own world. And by then you’ll miss them being your children.”
I have to thank her for giving me the advice in advance and doing what she said, coz it’s oh so true. Now I’m giving the same advice to all parents out there.
Pada masa-masa terberat saya menjadi ibu rumah tangga dengan dua balita tanpa bantuan pengasuh ataupun asisten rumah tangga, Tuhan pernah memberi saya mimpi dahsyat yang membuat saya terbangun tengah malam. Intinya, pada mimpi itu tiba-tiba balita-balita saya sudah dewasa dan saya tidak merasakan masa kanak-kanak mereka bersama saya. Rasanya sedih luar biasa. Belakangan saya baru tahu itu adalah teknik “reframing”.
Sejak mereka bayi, saya cukup rajin rekam video sehari-hari pakai kamera HP. Dulu suami suka komentar kalau saya foto/videoin anak. “Dikit-dikit rekam, ngapain sih gitu aja direkam?” dst dsb. Saya selalu jawab, “You’ll thank me later.”
And yes, look at it now, he did. You know what I like most about photos? It never changes even though the people in it do. Collect moments and freeze memories. And be surprised by how much changes had happened.
Maret 2016, saya pernah bertanya kepada dosen saya Bu Riani Josaphine Suhardja dalam
kelas personal healing, “Bagaimana mengatasi rasa
marah pada diri sendiri akibat marah pada anak?”
Sering kali saya merasa marah pada diri sendiri
karena tidak dapat menguasai emosi saat marah
pada anak, padahal tahu itu tidak benar. Beliau menjawab dengan pengalaman pribadinya ketika mengalami hal tersebut dan apa yang dilakukannya.
Kuncinya adalah kemampuan kita untuk bisa memahami dan memaafkan. Selain ilmu personal healing, kami dapat bonus ilmu parenting.
Oke, secara teori saya sudah dapat bekal lagi
nih. Eh, siapa sangka ternyata pagi ini Tuhan langsung memberikan ujian praktik ....
Pagi hari dimulai dengan drama. Si kakak yang
biasanya bangun sendiri pukul 5 pagi, sampai pukul
6:30 sangat susah bangun akibat tidur kemalaman, padahal upacara dimulai pukul 7 pagi. Dengan lembut saya membangunkannya, dan dengan penuh ke-
sabaran membujuknya untuk segera siap-siap sekolah, tetapi luar biasa susah.
Bukannya mendengarkan perkataan saya untuk masuk kamar mandi di kamarnya, dia malah ngeloyor ke ruang wardrobe di atas. Padahal saya sudah bilang bajunya sudah siap di depan kamar mandi kamarnya, tapi dia tidak mendengarkan. Saat saya suruh turun ke bawah, dia mendengus dan bersungut-sungut. Di situlah saya merasa marah, and awaken the monster within. Dengan emosi dan nada suara tinggi saya katakan supaya dengarkan dan hormati saya sebagai orang tuanya. Dan, dia baru benar-benar sadar setelah itu.
Dengan dada sesak, jantung berpacu keras dan ubun-ubun “mendidih”, saya tinggalkan dia di bawah lalu menenangkan diri di zen place saya: kursi goyang di balkon atas. Saya pun memandangi tanaman hijau, mendengarkan worship songs melalui earphone, berbaring pada bantal hijau besar, dan mengayun-ayunkan diri di greenie benzie. Setelah berdoa, saya mulai mencoba menelisik apa yang terjadi pada saya. Saya mengonseling diri sendiri dan mempraktikkan teori personal healing yang saya dapatkan kemarin.
Apa perasaan saya? Marah.
Marah pada siapa? Diri sendiri.
Mengapa marah pada diri sendiri? Karena telah marah pada anak dengan cara yang tidak baik, meskipun tahu bahwa itu tidak benar.
Apa yang saya rasakan ketika marah pada diri sendiri? Sangat tidak nyaman.
Apakah ada pengalaman masa kecil yang membuat saya merasa tidak nyaman seperti itu? Ada.
Saat apakah itu? Ketika orang tua atau kakek dari mama memarahi saya jika tidak mendengarkan mereka.
Selain perasaan tidak nyaman, apa lagi yang saya rasakan saat itu? Marah. Marah karena apa? Karena mereka sendiri tidak mendengarkan saya dan tidak memberikan saya kesempatan untuk didengarkan.
Apakah itu membuat saya merasa diabaikan dan tidak dihargai? Sangat!
Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipi dan saya mulai terisak-isak. Inilah arti kemarahan saya yang sesungguhnya: saya marah karena merasa diabaikan dan tidak dihargai. Saya benci ketika saya tidak didengarkan. Itulah inner child saya yang terluka, yang dipicu kembali oleh tindakan anak saya yang tidak mendengarkan perkataan saya (padahal dia hanya sedang sangat mengantuk!!).
Saya kemudian berdoa, supaya saya benar-benar mengampuni tindakan mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Saya tidak membenci orang tua atau kakek dari mama saya, tidak sama
sekali. Saya sungguh menyayangi dan menghormati mereka. Saya hanya merasa terluka atas amarah mereka ketika itu, yang mungkin mereka sendiri bah-
kan sudah lupa telah melakukannya. Saya mengerti bahwa mereka melakukan itu tanpa niat menyakiti saya, tetapi demi kebaikan saya. Meskipun caranya mungkin kurang berkenan, karena jaman dulu seberapa banyak sih yang belajar ilmu parenting? Saya yang sudah belajar pun kadang masih sering sulit menerapkannya, apalagi mereka yang tidak belajar, bukan?
Saya berdoa sambil menangis hingga tertidur. Bahkan, ketika saya menuangkan tulisan ini pun air mata masih merembes. Tapi, bukan lagi air mata kesedihan yang saya rasakan, melainkan air mata kelegaan. Lega ketika saya mampu mengidentifikasi inner child saya yang terluka, dan membuat saya mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya. Selain mengampuni tindakan orang tua dan kakek saya, saya juga harus meminta maaf pada anak saya agar ia juga tidak terluka seperti saya. Biarlah akar buruk pohon keluarga dicabut sampai di sini saja. Saya mempertimbangkan cukup lama apakah
tulisan ini hendak saya simpan sendiri sebagai catatan pribadi, atau saya bagikan kepada teman-teman. Saya berpikir jika disimpan untuk diri sendiri, okelah hanya saya yang mendapat pemulihan. Namun, jika saya publish secara terbuka, bukan tidak mungkin ada di antara kalian yang juga mendapatkan pemulihan atau setidaknya tercerahkan. Sebab saya yakin, bukan hanya saya ibu yang merasa marah pada diri sendiri ketika marah pada anaknya, dan
bukan hanya saya anak yang wajib mendengarkan kata orang tua tanpa diberi kesempatan untuk didengarkan sebelumnya.
Salah satu trauma dalam hidup saya adalah ketika usia 13 tahun difitnah oleh guru Bimbingan Konseling (BK) yang mengatakan ke orang tua saya bahwa saya terlibat jaringan bandar narkoba. Iya, kamu nggak salah baca. BANDAR NARKOBA.
Saya tidak tahu dia menyimpulkan dari mana, tetapi kemungkinan gara-gara ada laporan yang melihat saya jalan dengan teman yang memang pernah mencoba narkoba. And yes, I tried nitrazepam once out of curiousity, and detest the effect. But that's all, for God's sake, nothing less nor more.
Hal yang paling menyakitkan buat saya bukan semata tentang tuduhan itu, melainkan ketika saya tidak pernah ditanyakan kebenarannya. Tidak ada hak jawab, bahkan ketika berusaha menjelaskan malah dibentak. Mereka menelan mentah-mentah laporan itu sebagai sebuah kebenaran. Dan saya harus menanggung konsekuensi atas perbuatan yang tidak saya lakukan.
Orang tua saya kemudian mengambil keputusan sepihak untuk memberhentikan semua les di luar sekolah: bahasa Inggris di Santa Lucia, bahasa Prancis di CCF. Padahal saya suka banget les-les itu. Sedih, kecewa, jengkel, dan marah, campur aduk jadi satu. Lamaaa saya hidup tanpa kesadaran bahwa innerchild saya masih terluka di situ. Sampai pada 2014, saya dapat tugas kuliah menulis tentang masalah terbesar dalam hidup, dan masalah itu saya tulis di urutan nomor satu.
Dosen sekaligus mentor saya Pak Julianto selalu bilang, pengakuan adalah gerbang pemulihan.
Bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah, kalau masalahnya itu sendiri bahkan tidak diakui keberadaannya? Pantesan aja sensitive button saya selalu muncul ketika saya merasa tidak didengarkan. Ya, saya bisa over sensitive dan bahkan meledak kalau suami memotong kalimat saya, atau kalau anak saya tidak mendengarkan perkataan saya.
Saya belajar bahwa meskipun orang lain yang melukai, tetapi kitalah yang berkuasa akan hati kita. Kuasa memaafkan pun sepenuhnya ada pada kita, terlepas dari mereka mau minta maaf atau tidak.
Saya pernah dipanggil ke sekolah menghadap wali kelas anak pertama kami yang berusia 13 tahun. Beberapa bulan sebelumnya saya juga pernah menghadap guru BK. Intinya mereka mengingatkan saja agar si anak belajar lebih serius menghadapi ujian. Sebab, nilainya masih banyak yang di bawah standar sekolah. Saya maklum saja karena sekolahnya memang terkenal berstandar tinggi dalam hal nilai akademis. Sebelum masuk sekolah itu pun, ia sudah saya beri tahu, “Hang on there ya, after this I promise you can choose your own desired high school in art.”
Andaikata dulu saya tidak pernah mengalami kejadian pahit saat remaja, sangat mungkin saya akan melakukan hal yang sama: marah kepada anak akibat nilainya jelek, karena saya lebih memikirkan reputasi saya sebagai orangtua, mengesampingkan pendapat dan perasaannya. Akan tetapi, saat saya dipanggil ke sekolah menghadap wali kelas anak sulung kami, saya kalem saja. Sorenya ketika si sulung masuk ke kamar, saya tanyakan bagaimana perasaannya. Apa saja kesulitannya dalam belajar. Kami pelukan, uyel-uyel-an, kelitikan, saya cium-cium rambutnya yang wangi habis keramas.
Setiap luka yang terjadi adalah investasi. Soal investasi itu jadi untung atau rugi, tergantung bagaimana kita mau menyikapi. And I’ve decided long time ago to take some gain by forgiving and making peace with my inner-child.
Suatu malam saat putri pertama kami berusia 9,5 tahun, ia melakukan ritual bersih-bersih sebelum tidur: mencuci muka dengan sabun pembersih wajah, sikat gigi, mengoleskan body lotion, etc. Melihatnya, suami berkomentar, “Kok, sekarang ritualnya banyak amat sih?”
Putri pertama kami spontan menjawab, “Ya, namanya juga mau remaja.” Sontak suami dengan lebainya merespons, “Huaaaaaaaa! Tidaaaaakkk!”
Daddy pun kemudian melanjutkan, “Pantesan sekarang sudah nggak mau pegangan tangan sama Daddy lagi. Maunya cuma pegang bahu. Sudah nggak mau dicium-cium lagi. Huaaaaaaa!”
Saya tertawa melihat suami yang kelabakan anaknya sudah beranjak remaja dan tingginya sedikiiiitt lagi sudah sama dengan mommynya. Change along your kids changes. Ya, kita sebagai orang tua harus berubah seiring dengan perubahan anak-anak kita. Ketika anak beranjak remaja, ia sudah tidak bisa lagi diperlakukan seperti balita, misalnya.
Menurut Arun Gogna dalam bukunya, Lasting Gifts You Can Give Your Children, sebagai orang
tua kita memakai tiga topi yang memainkan peranan berbeda sesuai tahap kehidupan anak.
Inilah prinsip 3 topi dalam parenting menurut Arun Gogna
Controller Hat (Topi Pengontrol)
Pada acara LOJ Conference yang saya ikuti beberapa waktu lalu, Arun Gogna mendemonstrasikan topi pengontrol ini bentuknya seperti safety helm warna kuning/oranye yang sering dipakai tukang bangunan. Topi ini kita pakai saat anak berusia 0–10 tahun.
Dengan menggunakan topi pengontrol ini, peran kita sebagai orang tua adalah mengontrol apa yang harus, boleh, dan tidak boleh dilakukan anak. Periode ini adalah tanggung jawab kita untuk membatasi mereka agar mereka terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Kita juga dituntut untuk memberikan contoh nyata, walk the talk. Kalau menyuruh anak gosok gigi sebelum tidur, ya kita juga gosok gigi sebelum tidur. Kalau menyuruh anak bangun pagi, kitanya juga harus kasih contoh kalau kita sendiri bangun pagi, dan sebagainya.
Coaching Hat (Topi Pelatih)
Topi pelatih ini bentuknya mirip topi pelatih baseball. Topi ini dipakai ketika anak berusia remaja,
13–19 tahun. Ketika memakai topi ini, kita tidak boleh lagi berada dalam “lapangan permainan”, tetapi harus berada di sisi lapangan, memantau mereka, hanya sesekali saja memanggil mereka untuk memberikan arahan. Persis pelatih baseball. Pada masa ini, anak tidak lagi membutuhkan informasi terlalu banyak dari orang tua; yang mereka butuhkan adalah inspirasi. Jadi, kita harus menginspirasi mereka, dan tidak lagi menginstruksi mereka.
Consultant Hat (Topi Konsultan)
Topi konsultan ini dipakai oleh orang tua ketika anak-anak telah dewasa, yakni 20 tahun ke atas. Sebagai konsultan, orang tua diharapkan memberikan masukan hanya ketika diminta. Masalahnya, menurut Arun Gogna, banyak orang tua yang tidak rela melepaskan topi pelatih, dan bahkan topi pengontrolnya, padahal sudah saatnya mereka memakai topi konsultan karena anak mereka telah berusia dewasa.
Hal ini merupakan akar dari problem mertua–menantu pada umumnya, yaitu ketika orang tua ma-
The main message of the Coach is, “I trust you to make the right decision.”
sih menyuruh anak/menantu melakukan ini/itu karena mereka masih memakai topi pengontrol tadi. Saran dari Arun Gogna, apabila terjadi konflik seperti itu, yang harus menghadapinya adalah anak kandung dari orang tua tersebut.
Balik lagi ke cerita awal soal “kesedihan” suami menghadapi anaknya yang sebentar lagi beranjak remaja, rasanya kita semua sebagai orang tua juga akan/sedang/pernah mengalaminya. Mungkin kita
tidak siap melepaskan peran sebagai controller untuk menjadi pelatih lalu konsultan. Jujur saja, sebagai orang tua kita pasti punya tendensi untuk mengontrol anak sesuai keinginan kita. Di sinilah kita harus belajar, bahwa “To hold on is to let go. Know when to let go.”
2016 lalu, saat ke acara playdate, di antara blogger moms dengan anak-anaknya, saya baru merasa ternyata saya sudah tua juga, he. Bukan karena usia dan uban yang mulai bermunculan, tetapi karena anak-anak saya sudah nggak ada lagi yang berusia balita. Si bungsu usianya sudah 8 tahun, si kakak akhir tahun nanti 10 tahun.
Sebenarnya, sudah dua tahun belakangan ini saya berusaha mempersiapkan diri untuk memiliki remaja putri. Apalagi anak saya perempuan dua-duanya, dan jarak usianya juga berdekatan. Apa saja usaha yang saya lakukan?
Kuliah lagi!
Saya mengikuti program kuliah S2 Psikologi
Konseling yang diadakan oleh KeluargaKreatif.com yang bekerjasama dengan STT Jaffray Jakarta. Sama
sekali bukan buat kejar nilai atau gelar, tetapi murni
buat ambil ilmu dan pengetahuannya. Bagi saya, kuliah itu adalah salah satu investasi terbaik untuk pengembangan diri. Ilmunya bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga, dan semoga buat orang lain juga. Asli, saya dapat banyaakkk banget ilmu parenting yang selama ini tidak saya dapatkan di buku-buku atau majalah-majalah parenting sekalipun. Ada mata kuliah khusus tentang
Psikologi Perkembangan, Konseling Anak, Konseling
Remaja, Konseling Keluarga.
Saya juga senang membaca buku-buku yang mendukung passion saya pastinya. Beberapa di antaranya: How to Talk So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk - Adele Faber & Elaine Mazlish
How to Say It to Your Kids – Dr. Paul Coleman
Surviving The Terrible Teens – Dr. Sandi Mann, Dr. Paul Seager, and Dr. Jonny Wineberg
80 Uncommon Solutions for Everyday Parenting Problems – Dr. Riley’s Box of Tricks
Selain itu saya juga membekali anak-anak
melalui buku-buku terkait, seperti serial Why seri Puberty, juga ada buku khusus tentang persiapan
menjadi remaja dan persoalannya. Untungnya, anakanak saya hobi baca, jadi tanpa disuruh pun kadang mereka minta beli dan baca sendiri.
Sejak mereka balita, saya sudah memberikan mereka buku Who Has What? Isinya membahas perbedaan tubuh anak laki-laki dan perempuan. Memasuki SD, saya berikan buku Why? Seri Puberty. Sengaja saya kenalkan mereka pendidikan seksual sejak dini sebelum mereka terkontaminasi dengan yang lain. Prinsip saya, daripada mereka diam-diam mencari tahu sendiri di luar dari sumber yang belum tentu benar, lebih baik mereka bertanya kepada saya sebagai orang tuanya secara terbuka.
This is important because friends are central to teen. Menurut Gottman & Parker, teman itu penting bagi remaja karena alasan-alasan berikut.
Companionship to share interets, dreams, fears and hang out with
Stimulation friends provide entertainment, excitement, and fun
Physical support to accompany them
Ego support to boost self-esteem
Social comparison to behave well
Intimacy/affection to develop warm, share secrets and feelings
Berteman itu tidak hanya dengan teman sekolah saja. Dengan saudara, teman sekolah minggu, atau
kenalan baru. Dengan saudara, hampir setiap akhir pekan mereka kumpul bareng sepupu di rumah eyangnya seusai les piano.
Saya dan suami selalu terbuka dan ada untuk mereka ketika mereka hendak sharing apa saja. Biasanya ini kami lakukan saat makan bersama, karena suasana lebih relaks dan terbebas dari situasi HALT: Hungry, Angry, Lonely, Tired. Dengan demikian, mereka bisa menyampaikan cerita apa saja kepada
kami tanpa sungkan.
Suatu waktu, di meja makan, sehabis pulang sekolah, si bungsu yang pada waktu itu berusia 7 tahun berkata, “Mom, I don’t like Monday.
“Saya berhenti sejenak dari kegiatan memilah baju kotor untuk dicuci. I decide to use 5 Whys Technique to understand her problem.
Sumber foto: https://www.slideshare.net/VirgieMaeLima1/ problem-solving-15042598
“Oh, you don’t like Monday?” (pertama saya paraphrase pernyataannya untuk memvalidasi feeling-nya)
“Yes.”
“Why?” (Why #1)
“Because I don’t like computer.” (Fakta pertama, muncul informasi yang dihapus dari pernyataan awal).
“Oh, I thought you like computer. Why you don’t like computer?” (Why #2)
“Because the teacher asked us to write down a story about human.” (Fakta kedua, muncul informasi yang terdistorsi).
“
Hm.. Why you don’t like it?” (Why #3)
“It makes me confused.” (Fakta ketiga, muncul informasi yang digeneralisasi pada pernyataan awal).
“Oh, you’re confused. Why?” (Why #4)
“It is a story but the teacher asked us to write it all with capital letters, so weird. But I continued writing it the right way, you know, with capital on first letter and then small letters. I saved it and then I run away from the class.” (Fakta keempat, muncul informasi lebih detail yang makin jauh dari pernyataan awal)
“Wow. Why did you run?” (Why #5, sambil menahan tawa karena lucu bayangin dia lari).
“Takut salah semua. Heeheee.” (Fakta kelima, muncul informasi inti atau akar permasalahan, bahwa dia takut dibilang salah padahal menurutnya
cara dialah yang benar, yaitu menulis cerita dalam bentuk paragraf dengan huruf besar di awal saja, bukan huruf besar semua).
That’s my super perfectionist little curly girl. Jadi bisa dilihat, akar masalahnya jauh sekali dari pernyataan awal, ya?
Teknik bertanya ini cocok diterapkan untuk menggali informasi yang terhapus, tergeneralisasi, dan terdistorsi. Bisa juga diterapkan untuk menetapkan pilihan. Namun, KURANG COCOK diterapkan untuk proses konseling terutama pada permasalahan yang berat karena bisa membuat orang merasa diinterogasi/disalahkan/dipojokkan.
Saya pernah membaca buku Intimate Relationships, Marriages & Families karangan Mary Kay DeGenova ini sebagai bahan referensi tugas kuliah. Isi buku ini lengkap sekali, dan ilmunya penting untuk dibagi. Jadi daripada cuma tersimpan rapi di memori komputer saya, lebih baik saya share yaa. Berikut ini adalah empat kriteria yang mendefinisikan keberhasilan perkawinan, yaitu sebagai berikut.
Banyak orang mengatakan bahwa pernikahan yang bertahan lama lebih sukses daripada pernikahan yang bertahan sementara. Dalam banyak kasus, stabilitas pernikahan dan kualitas pernikahan berjalan seiring. Namun, lama atau tidaknya pernikahan tidak dapat dijadikan kualitas perkawinan secara keseluruhan, sebab banyak juga pasangan yang bertahan lama dalam perkawinan meskipun di dalamnya
terdapat rasa frustasi, konflik, atau ketidakbahagia-
an. Jadi, durability dan kualitas pernikahan harus seimbang, ya.
2 Approximation of Ideals (Mendekati Cita-cita)
Cara lain mengevaluasi keberhasilan perkawinan adalah dengan melihat sejauh mana perkawinan mendekati cita-cita pasangan atau memenuhi harapan mereka. Kedua belah pihak memiliki konsep masing-masing mengenai hubungan yang ideal.
Kriteria lain dalam keberhasilan perkawinan adalah dengan melihat apakah perkawinan itu memberikan kontribusi yang cukup terhadap kebutuhan-kebutuhan individual, termasuk berikut ini.
Psychological needs (kebutuhan psikologis) –cinta, kasih sayang, persetujuan, dan pemenuhan diri.
Social needs (kebutuhan sosial) – pertemanan, persahabatan, dan pengalaman baru.
Sexual needs (kebutuhan seksual) – pemenuhan kebutuhan seksual baik secara fisik maupun psikologis.
Kriteria ini membutuhkan pasangan yang menyadari kebutuhan masing-masing dan memberi an-
dil dalam memenuhinya. Perhatikan penekanan pada kata “memberi andil”. Pernikahan tidak mungkin bisa memenuhi seluruh kebutuhan. Beberapa kebutuhan akan selalu dicapai melalui peran di luar perkawinan itu sendiri, misalnya pekerjaan, pertemanan, kegemaran, dan rekreasi. Namun, perkawinan yang sukses memberikan kontribusi yang dapat diterima.
Ada dua hal yang perlu dicermati.
a. Pertama, akan sangat membantu jika pemenuhan kebutuhan ini mutual, dalam arti saling memenuhi target. Dalam hubungan di mana hanya salah satu pihak saja yang melakukan pemenuhan kebutuhan sementara yang lain hanya menerima, maka yang memberi sering kali menjadi kelelahan.
b. Kedua, saling memenuhi kebutuhan ini hanya mungkin terjadi apabila kebutuhan itu berada dalam batasan harapan yang realistis. Orang yang sangat tergantung, posesif, misalnya, menuntut terlalu banyak cinta dan persetujuan yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh pasangannya. Dalam hal ini, perkawinan mungkin gagal. Bukan karena keengganan memenuhi kebutuhan pasangan, tetapi karena tuntutan tidak masuk akal dari pasangan yang tak pernah puas.
Sebagian besar penelitian tentang keberhasilan perkawinan mengukur kepuasan pernikahan: sejauh mana pasangan puas dan terpenuhi dalam hubungan mereka. Menurut pandangan ini, keberhasilan perkawinan didefinisikan sebagai sejauh mana kedua pasangan dalam hubungan merasa puas, bahwa perkawinan telah memenuhi harapan yang masuk akal dan kebutuhan bersama.
Definisi ini mengakui bahwa ada perbedaan individual dalam harapan dan perlu persyaratan sehingga apa yang memuaskan seseorang mungkin tidak memuaskan pasangannya. Kepuasan perkawinan meliputi kualitas perkawinan, penyesuaian-penyesuaian perkawinan, dan kebahagiaan perkawinan.
Masih dari buku yang sama yaitu Intimate Relationship, Marriage and Families karangan Mary Kay DeGenova yang membahas tentang keberhasilan perkawinan, kali ini saya akan berbagi tentang 12 karakteristik pernikahan yang berhasil.
Berdasarkan berbagai penelitian, komunikasi yang baik merupakan salah satu kunci penting dalam keberhasilan pernikahan. Komunikasi efektif melibatkan kemampuan bertukar ide, fakta, perasaan, sikap, dan keyakinan sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dan diinterpretasikan secara akurat oleh penerima, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, tidak semua komunikasi bermanfaat bagi hubungan. Komunikasi bisa menjadi produktif maupun destruktif. Mengutarakan kritik dengan cara yang menyakitkan dapat memperburuk suatu hubungan. Dengan demikian, itu perlu keso-
panan, kebijaksanaan, dan pertimbangan dalam menciptakan komunikasi yang produktif.
Salah satu kebutuhan manusia yang paling penting adalah kebutuhan untuk merasa diterima dan dihargai. Dua orang yang saling menyukai, yang mengagumi dan saling mendukung upaya masingmasing, yang bangga dengan prestasi masing-masing, yang secara terbuka menyampaikan apresiasi satu sama lain, dan yang membangun harga diri masingmasing mampu memenuhi kebutuhan emosional mereka dan membangun hubungan yang memuas-
kan. Saling menghormati dalam pernikahan meliputi menghargai perbedaan dan menghormati perbedaan individu sebagai manusia yang penting.
Salah satu alasan penting untuk menikah adalah kebersamaan. Pasangan yang pernikahannya berhasil, menghabiskan waktu bersama secara cukup dan secara berkualitas. Riset membuktikan bahwa pasangan yang saling berbagi minat, melakukan hal-hal bersama, dan bergaul bersama-sama, dan berada
dalam social group yang sama pula, memperoleh kepuasan lebih dalam hubungan mereka. Namun demikian, bukan hanya kuantitas saja, tetapi juga kualitas kebersamaan yang harus diperhatikan. Kepuasan pernikahan meningkat ketika tingkat komunikasi tinggi selama menghabiskan waktu luang bersama. Riset menunjukkan bahwa keterlibatan dalam sebuah hubungan—yaitu memberikan usaha terhadap kelanggengan hubungan itu—sangat penting dalam membina kepuasan.
Wanita cenderung menjaga hubungan dengan cara berpikir dan berbicara, sedangkan pria cenderung menjaga hubungan dengan cara melakukan aktivitas dan menghabiskan waktu bersama.
Banyak pasangan menjauh hanya karena mereka jarang bertemu satu sama lain. “Kurangnya waktu bersama bisa jadi musuh paling pervasive (yang dapat menembus) yang dimiliki oleh keluarga yang sehat.” Interaksi dalam pernikahan dan kebahagiaan berjalan seiringan.
Interaksi dalam jumlah yang pas berkontribusi terhadap pernikahan yang bahagia, dan pernikahan yang bahagia cenderung meningkatkan jumlah interaksi.
Persahabatan, sama seperti kebersamaan, sangat penting dalam perkawinan. John Gottman telah mempelajari lebih dari 2.000 pasangan dengan cara melakukan wawancara ekstensif dan merekam video interaksi pasangan. Dalam salah satu studinya, dari 100 pasangan menikah, ia menemukan bahwa bagi wanita, unsur penting dalam meningkatkan seks, romansa, dan kasih sayang dalam perkawinan adalah dengan cara meningkatkan rasa persahabatan.
Sementara bagi pria, kunci meningkatkan seks, romansa, dan kasih sayang adalah dengan mengurangi konflik, sebab argumen berarti mengaktivasi respons alami pria “fight or flight” dan membuat mereka merasa terancam dan tak bersemangat untuk seks.
Faktor lain yang berkontribusi pada kesuksesan perkawinan adalah kesatuan spiritualitas dan nilai-nilai bersama. Pasangan yang berhasil saling berbagi kegiatan spiritualitas; memiliki tingkat orientasi keyakinan yang tinggi, dan nilai-nilai yang termanifestasi dalam perilaku religius.
Pasangan yang taat beragama menunjukkan bahwa agama mereka memberikan kontribusi untuk pernikahan mereka dalam beberapa cara, seperti dukungan sosial, emosional, dan spiritual dari keyakinan mereka. Banyak pasangan menikah beralih ke iman mereka untuk bimbingan moral dalam membuat keputusan dan menangani konflik.
Pernikahan yang berhasil membutuhkan motivasi tingkat tinggi: keinginan untuk mempertahankan perkawinan dan kemauan untuk meluangkan waktu dan usaha untuk memastikan semuanya itu berjalan dengan baik. Komitmen, dibandingkan faktor kepuasan atau investasi, merupakan prediktor terkuat sebuah persistensi hubungan. Komitmen dianggap
memiliki 3 komponen: niat untuk bertahan, kelekatan psikologis, dan orientasi kognitif untuk berada dalam hubungan dalam jangka panjang.
Salah satu pertanyaan penting adalah kepada siapa dan untuk apa komitmen itu? Komitmen melibatkan tiga bagian sebagai berikut.
a Komitmen diri sendiri. Ini meliputi keinginan untuk bertumbuh, berubah, dan menjadi partner pernikahan yang baik.
b Komitmen satu sama lain. Ketika mengucapkan janji pernikahan, setiap pasangan mengucapkan janji atau sumpah terhadap satu sama lain
c Komitmen terhadap hubungan, pernikahan, dan keluarga. Komitmen merupakan kemauan untuk mendukung “pertumbuhan yang sedang berlangsung dalam suatu hubungan”. Ketika anak dilibatkan, komitmen melampaui hubungan pasangan, tetapi juga mencakup seluruh unit keluarga.
Satu harapan penting dari hampir semua pasangan menikah adalah memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Kebutuhan ini bervariasi, tergantung dari cara pasangan bersosialisasi. Beberapa orang memiliki kebutuhan lebih tinggi untuk keintiman emosional dibanding yang lain. Akan tetapi, kebanyakan orang berharap kebutuhan akan kasih sayang dapat terpenuhi dari perkawinan.
Kata-kata yang mengekspresikan kehangatan, penghargaan, tindakan yang menunjukkan rasa kasih, persetujuan, membangkitkan semangat, dan me-
naikkan kekuatan ego, sama pentingnya dengan kontak fisik dan keintiman seksual. Pasangan yang terlibat dalam kehidupan pernikahan bahagia dalam
jangka waktu panjang, sering kali menunjukkan kekaguman terhadap pasangannya, dan menghargai pasangannya tanpa mengambil begitu saja (take for granted).
Masalah adalah bagian dari kehidupan. Semua pasangan, baik yang pernikahannya berhasil maupun
gagal, mengalami masalah dan tekanan baik di dalam maupun di luar hubungan mereka. Hal yang membedakan adalah, mereka yang pernikahannya berhasil, mampu menangani masalah dengan cara kreatif.
Pasangan yang berhasil dalam pernikahan juga memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa frustrasi. Mereka belajar menangani amarah dengan cara yang lebih sehat dan konstruktif, daripada menyalahkan anggota keluarga lain.
Stres atau tekanan hadir dalam berbagai macam bentuk dan memainkan peranan kunci dalam kepuasan perkawinan. Riset menunjukkan bahwa semakin stres lingkungan, semakin tinggi tingkat perceraian pasangan, dan paparan kejadian yang penuh
tekanan berkaitan dengan meningkatnya agresi perkawinan.
8 Responsibility (Tanggung jawab)
Tanggung jawab melibatkan kemampuan untuk dapat diandalkan dalam konteks keluarga, yang juga berarti memikul tanggung jawab untuk pemeliharaan keluarga. Keberhasilan perkawinan tergantung pada asumsi mutual, berbagi, dan pembagian tanggung jawab dalam keluarga.
9 Unselfishness (Tidak Mementingkan Diri Sendiri)
Terlalu mementingkan diri sendiri dalam pernikahan mengurangi tanggung jawab masing-masing pasangan untuk keberhasilan hubungan. Keberhasilan perkawinan berdasarkan pada semangat saling menolong, dengan cara memenuhi kebutuhan pasangannya sebaik memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
10 Empathy and Sensitivity (Empati dan Kepekaan)
Empati mengacu pada kemampuan untuk mengidentifikasi dengan perasaan, pemikiran, dan sikap orang lain. Orang yang berempati adalah orang yang mendengarkan, memahami, dan peduli. Menurut hasil
riset, empati merupakan bahan penting dalam keberhasilan pernikahan.
11 Honesty, Trust, and Fidelity (Kejujuran, Kepercayaan, dan Kesetiaan)
Ketulusan, kebenaran, kesetiaan, dan kepercayaan adalah hal-hal yang mengikat pasangan untuk terus bersama. Sekali saja rasa percaya dirusak, membangunnya kembali akan sangat sulit dan melibatkan kerelaan untuk memaafkan. Ketika salah satu pihak melukai pihak lainnya namun mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf, hubungan itu dapat dibangun kembali hanya jika pihak yang dilukai bersedia memaafkan pasangannya.
12 Adaptability, Flexibility, and Tolerance (Adaptasi, Fleksibilitas, dan Toleransi)
Pasangan yang pernikahannya berhasil mengakui bahwa hidup ini tidak statis, bahwa situasi dan keadaan berubah sebagaimana manusia melewati berbagai tingkatan dalam siklus kehidupan. Mereka mau dan mampu beradaptasi terhadap perubahan keadaan, memahami bahwa perubahan adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Mereka tumbuh sebagaimana pasangannya berevolusi, berubah, dan menyesuaikan harapan terhadap hubungan sebagaimana
dibutuhkan. Adaptasi dan fleksibilitas membutuhkan tingkat kedewasaan emosional yang tinggi. Orangorang yang fleksibel tidak merasa terancam oleh perubahan. Mereka menerima tantangan perubahan karena bagi mereka perubahan itu memberikan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang.
saya tidak mengerti, mengapa saya bisa senang dan tenang seharian bersama anakanak, namun begitu suami pulang saya menjadi uringuringan, lebih mudah tersinggung dan gampang marah pada anak-anak. Padahal suami tidak berbuat apa-apa dan saya juga tidak merasa ada masalah dengan suami. Awalnya saya pikir apakah karena suami sering pulang terlambat. Akan tetapi, begitu dia pulang tepat waktu pun saya tetap merasakan hal yang sama. Atau apakah karena anak-anak lebih sulit diatur ketika ada ayahnya? Tidak juga. Lalu, apa yang terjadi?
Setelah belajar ilmu psikologi melalui kuliah
konseling, saya mempelajari apa yang dinamakan displacement sebagai salah satu self defense mechanism.
“Displacement is the redirecting of thoughts feelings and impulses directed at one person or object, but taken out upon another person or object. People often use displacement when they cannot express their feelings in a safe manner to the person they are directed at. The classic example is the man who gets angry at his boss, but can’t express his anger to his boss for fear of being fired. He instead comes home and kicks the dog or starts an argument with his wife. The man is redirecting his anger from his boss to his dog or wife. Naturally, this is a pretty ineffective defense mechanism, because while the anger finds a route for expression, it’s misapplication to other
harmless people or objects will cause additional problems for most people.”1
Intinya adalah kemarahan atau kekecewaan yang salah sasaran. Jadi sebenarnya secara sadar ataupun tidak, begitu suami pulang, otomatis timbul harapan saya untuk mendapatkan perhatian. Namun, saya kecewa dengan perilaku suami saat itu yang pulang hanya untuk makan, nonton tv, lalu tidur. Akan tetapi, saya tidak bisa mengidentifikasi kekecewaan saya sendiri karena logika saya berpikir bahwa suami sudah capek. Sementara kebutuhan emosi utama saya sebagai wanita yaitu afeksi, tidak terpenuhi sama sekali. Afeksi yang saya butuhkan berupa perhatian, entah sekadar ditanya, “How was your day?”, atau syukur-syukur dibawakan makanan kesukaan, itu belum terpenuhi. Ingat, afeksi ya, bukan sexual fulfillment (which is the first emotional need of men based on His Needs Her Needs book by William Harley). Sebab, affection dan sexual fulfillment adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Bagaimana saya bisa mengutarakan kekecewaan saya kalau saya cepat-cepat merasionalisasi pikiran dengan berkata pada diri sendiri, “Ah saya saja yang terlalu penuntut!” Di lain pihak, suami pun juga pastinya tidak nyaman ketika pulang melihat saya uringuringan. Saya tidak tahu apa yang terjadi, dia pun juga tidak tahu apa yang terjadi. Ditambah lagi apa-
1 Source: http://psychcentral.com/lib/15-common-defense-mechanisms/2/
bila ia juga sedang menghadapi masalah dalam pekerjaan, bagaimana mau berbagi dengan istri kalau istrinya terlihat marah-marah terus? Sedangkan saya juga bagaimana bisa ngomong kalau melihat suami saja sudah jengkel karena cuek bebek. Kalau sudah begitu, tingkat toleransi kami terhadap kesalahan
anak-anak jadi menurun jauh. Bahkan kadang yang tidak salah pun jadi salah. Terjadilah yang dinamakan displacement. Duh, semua jadi tak nyaman kan.
Meskipun saya sudah memahami konsep mengelola harapan alias managing expectation, nyatanya saat itu saya belum mastering skill how to convey my expectations. Untunglah ketika saya dan suami mengikuti retreat pasutri beberapa tahun lalu, kami bisa saling mengomunikasikan secara terbuka sepenuhnya apa yang menjadi harapan dan kekecewaan kami selama ini. Satu hal yang terus digarisbawahi
selama mengikuti retreat pasutri: jangan pernah mengharapkan pasangan berubah! Jangan.
Lho, kenapa?
Pertama, manusia hanya mau berubah ketika keinginan datang dari dalam dirinya sendiri. Kalau tidak, itu namanya bukan berubah, tapi berpurapura. Kedua, karena poin pertama tadi maka kita akan selalu kecewa ketika harapan kita tidak terpenuhi. Ketiga, yang bisa kita lakukan adalah: ubah diri sendiri!
Lho, kok, dia yang salah, kitanya yang harus berubah? Hmm, salah dari kacamata siapa dulu?
Kalau dari kacamata saya, tentu suami yang salah, wong nggak bisa ngerti keinginan istri. Akan tetapi, dari kacamata suami, tentu saya yang salah, wong bisanya cuma marah-marah. Suami mana tahu apa keinginan saya kalau saya nggak pernah bilang kan? Kalaupun pernah, saya bilangnya sebel kalau dia pulang terlambat. Padahal bukan pulang terlambatnya, tetapi nggak ada perhatiannya itu yang bikin saya sebel. Dan itu tidak saya ungkapkan karena takut dibilang terlalu menuntut. Ujung-ujungnya ya itu tadi, saya jadi uring-uringan karena kebutuhan akan afeksi tidak terpenuhi.
Jadi, solusinya apa? Pertama, akui dulu pada diri sendiri kalau kalau kita memang punya kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam kasus saya, kebutuhan afeksi yang belum terpenuhi. Lalu, ini yg penting: ngomong aja! Ya, ngomong, tanpa takut dihakimi (bahkan oleh diri sendiri) kalau saya jadi seperti terlalu menuntut. Ngomong, tanpa takut kecewa jika harapan yang saya utarakan nantinya tidak bisa terpenuhi. Ngomong, supaya sinkron.
TAPI, ada tapinya nih, ngomong-nya baik-baik, ya, nggak perlu ngegas. Kalau saya sih biasanya dengan nada manja, dan ini yang terpenting: gunakan kalimat asertif. Apa itu? Kalimat yang tidak menyerang, tetapi mengedepankan bagaimana perasaan dan apa harapan saya.
Contoh, daripada bilang, “Kamu tuh pulang telat mulu sih, aku kan capek urusin anak-anak seha-
rian”, mendingan bilang, “Daddy, aku sebenarnya sedih lhoo kalo Daddy pulang telat terus. Aku pengen deh Daddy pulang on time, biar kita punya waktu santai bareng sama anak-anak di rumah.”
Ternyata memang, dengan mengungkapkan apa harapan saya sebenarnya, itu sudah membuat saya lega. Persoalan dipenuhi atau tidak, sebenarnya tidak terlalu berarti. Istilahnya, keluarkan dulu kotoran yang mengendap di tangki hati agar bisa diisi dengan air bersih yang baru. Dan biasanya sih, ketika kita mampu mengomunikasikan dengan cara yang tepat, pasangan bisa mengerti dan mau menyesuaikan kok. Kita kan manusia, diberi keistimewaan oleh Tuhan dengan kemampuan pikiran dan perasaan supaya bisa berkomunikasi dengan cara yang manusiawi pula. Kalau dipikirpikir, saya dulu seperti kelinci peliharaan saya saja deh, yang kalau tidak melihat saya tampak antenganteng saja, tapi begitu melihat saya langsung rusuh untuk mendapatkan perhatian supaya diberi makan =)).
Our wedding anniversary is on May 20 and I feel like sharing my tips about how to maintain a marriage, as I promised a few years ago :).
When you feel insecure, you easily get jealous. And jealousy leads to dispute. Daripada terus-terusan menuntut dan berpikiran negatif yang bisa menghabiskan energi, kenapa tidak diputarbalikkan menjadi motivasi untuk memperbaiki kualitas diri dan mencari kesibukan dengan kegiatan positif?
Keeping up with spouse and shifting to the same level will help you stay away from insecurity. Banyak yang mengeluh ketika pasangan berubah, padahal perubahan adalah satu-satunya hal yang abadi di du-
nia ini. Perubahan tak bisa dilawan, tetapi bisa diarahkan. Jangan curhat sembarangan
Jika sedang menghadapi masalah, ceritalah hanya
dengan orang yang benar-benar kita percaya bisa bantu mengatasi masalah yang sedang kita hadapi. Kalau hanya sekadar berbagi perasaan, tunggu saja sampai masalahnya selesai.
Saat benar-benar sedih/marah/kecewa, saya memilih diam seribu bahasa, daripada berkata-kata yang bisa
menyakiti hatinya lalu saya sesali kemudian. Jadi, biasanya saya menunggu hingga emosi saya stabil dan berpikir jernih, lalu menyusun kata sebaik mungkin melalui tulisan. Setelah itu, saya kirimkan melalui email atau tulisan tangan.
Pahami dan maafkan
Ketika pasangan melakukan kesalahan besar, tetapi dia mau mengakui dan meminta maaf, ingat satu hal yang bisa mempercepat proses memaafkan bahwa kesalahan itu terjadi bukan dengan niat untuk menyakiti, tetapi karena sebagai manusia dia juga punya kelemahan, kecuali kalau dia benar-benar mela-
kukannya dengan niat untuk menyakiti, itu lain cerita ya. Jangan ceritakan keburukan pasangan kepada orang tua, terutama ibu
Ketika kita disakiti, ibu yang paling merasa tersakiti. Kita mungkin bisa memaafkan pasangan yang telah menyakiti kita, tetapi belum tentu ibu bisa berlaku demikian.
Sehebat-hebatnya istri di luar rumah, tetap biarkan suami yang memimpin
rumah tangga
Ini bukan soal anti feminisme, nonemansipasi, dan sebagainya. Akan tetapi, soal bagaimana membuat pria merasa berharga dan dihargai. Lagi pula, pria yang pandai memimpin itu lebih seksi, bukan? ;)
Kalau dia pada dasarnya kurang romantis, ya jangan menuntut dia untuk jadi romantis. Kalau dia tidak pernah menyuguhkan kejutan, ya jangan mengharap
dia memberikan kejutan. Karena jika kamu berharap
lebih dan harapanmu itu tidak bisa terwujud, kecewa yang kamu dapat.
Coding tiap malam sampai subuh, ya nggak masalah. Brainstorm tiap malam sampai pukul 2 pagi, ya nggak apa-apa juga. Yang penting sama-sama senang dan tidak merugikan satu sama lain.
Perbuatlah apa yang kamu ingin orang lain perbuat terhadapmu, begitupun sebaliknya. Kalau kita tidak mau pasangan sibuk dengan gawainya saat makan malam, ya kita jangan mulai duluan :)). Sama juga halnya ketika kamu dan pasangan sedang sibuksibuknya, tetapi kamu sedang ingin diperhatikan, jangan ragu untuk memulai duluan. Sempatkan waktu untuk sekadar mengirim pesan romantis singkat untuk pasangan, supaya dia tidak terlalu stres. Simpel tapi tetap bermakna, kan?
What I love the most from our marriage is this high sense of humour. Dagelan srimulatan. Kita bahkan bisa ledek-ledekan soal mantan atau gebetan, hehe. Thank God, through the years, our love strengthens and grows abundantly. Yes, there were the lowest points in our marriage that pushed us to the limit and made us feel like giving up. But then again, our love and commitment saved us. It needs a pro-
cess to reach the point where we are at right now. And let me close this post with this powerful quote:
Ada satu poin penting yang bisa saya tambahkan: Jaga kesehatan pernikahan seperti menjaga kesehatan badan.
Apa artinya? Pernikahan, sama seperti badan, tidak selamanya fit. Pasti ada masanya kurang sehat dan jatuh sakit. Namun, ketika kita kurang sehat, apakah berarti kita langsung mati? Tidak kan. Jadi, pandang masalah dalam pernikahan seperti kita memandang masalah kesehatan badan.
Untuk mempermudah, buat saja parameter sesuai indikasinya. Misalnya, Badmood karena hal remeh temeh = pilek. Orang pilek obatnya apa sih?
Cukup istirahat aja kan. Jangan lebai dikasih infus. Nah sama, kalau lagi bete atau badmood, beri ruang untuk masing-masing dulu. Tidak perlu berlebihan langsung minta cerai :).
Konflik karena suatu masalah = DBD. Obatnya?
Harus diopname ya, jangan didiamkan saja. Kalau
“Getting divorce just because you don’t love a man is almost as silly as getting married just because you do.”
—Zsa Zsa Gabor @Marriadvocate
nggak disembuhin bisa mewabah ke anggota keluarga lain bahkan tetangga. Nah sama, kalo lagi ada konflik, harus dibahas tuh. Jangan dicuekin dan berharap hilang sendiri masalahnya. Kalau tidak diselesaikan imbasnya bisa ke anak atau saudara.
Kisruh karena orang ketiga = kanker. Mau tidak
mau, yang namanya kanker kan harus diberantas. Bukan berantas pernikahannya, tetapi berantas hubungan dengan orang ketiganya. Blokir semua akses
komunikasi orang yang mengganggu pernikahan. Sama seperti cancer survivor, Anda pun bisa bertahan dan lulus ujian setelah cobaan. Kankernya harus diangkat dulu baru bisa sembuh. Tanpa diangkat, kanker akan tetap mengendap.
Sama seperti penyakit yang banyak jenisnya, masalah dalam pernikahan juga ada buanyakkk banget jenisnya. Kamu dan pasangan yang paling tahu seberapa skalanya. Tiga di atas itu hanya contoh paling gampang saja. Now this is the tricky part: bagaimana cara membedakan antara hal remeh temeh, konflik, dan masalah besar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, biasanya saya mengajukan pertanyaan ini ke diri sendiri: kalau hal ini tidak dibahas sekarang sama pasangan, kira-kira akan mengganggu nggak di masa mendatang? Pilihan jawabannya ada tiga.
1 Tidak penting. Ya sudah tidak perlu dibahas. Kalau saya pilih jawaban ini, berarti masuk kategori pertama: masalah remeh.
2 Tidak terlalu mengganggu sih, tetapi bisa ganggu juga kalo diulang-ulang terus. Berarti masuk kategori kedua: masalah yang bisa memicu konflik.
3 Ganggu banget! Bahaya jika tidak diselesaikan. Kalau saya pilih jawaban ini, artinya permasalahan yang terjadi harus dibicarakan dengan pasangan dan masuk kategori ketiga: masalah besar.
Konsep yang saya pikirkan sejak sekitar 1,5 tahun lalu ini sangat membantu saya memilah mana masalah yang perlu ditangani dan mana yang tidak perlu diperpanjang. Semoga konsep ini juga berguna bagi pasangan lainnya.
Well, love is definitely not enough to build and maintain a happy marriage. It needs constant teamwork and commitment from both sides. But, love makes it easier for us to tackle obstacles that may come.
—Nuniek Tirta Sari
Pada Februari 2018, saat berada di Malang untuk mengunjungi salah satu perusahaan yang kami invest beberapa waktu lalu, secara spontan saya dan suami diminta untuk sharing tentang #CoupleGoals: An Inspiring Story from Dreamable Couple. Without preparing anything, it turned out to be an intimate sharing sessions that we enjoyed much.
Pada sesi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu, kami bercerita banyak soal perjalanan kami berdua sebagai pasangan, mulai dari nol hingga sekarang, jatuh bangunnya, tips dan saran, juga menjawab pertanyaan dari para peserta.
Salah satu jawaban yang belum pernah saya tulis adalah poin tentang betapa pentingnya peran menjadi istri bagi wanita bersuami. Sebab sering kali, ketika sudah menjadi ibu, wanita kadang lupa perannya sebagai istri. Ayo jujur, siapa yang lebih sering menomorsatukan anak di atas kebutuhan suami?
Padahal ketika hubungan wanita sebagai istri dengan suami baik, hubungannya sebagai ibu de-
ngan anak pun akan baik, dan anak juga pasti senang melihat orangtuanya rukun. Kalau hubungan ke anak baik, tetapi ke suami tidak baik, anak-anak juga bisa ikut merasakan lho.
“Based on how you treated your husband today, what did you teach your son to look for in a wife?”
—Matthew LJacobson.com
Kalau mengikuti nasihat orang tua zaman dulu, istri yang baik itu adalah yang lihai di dapur, ruang tamu, dan tempat tidur. Kedengarannya kuno, ya, tapi ada benarnya juga sih. Meskipun para feminis mungkin tidak setuju dan akan berargumen soal kesetaraan, bagi saya, melayani suami itu bukan tuntutan atau tekanan, tapi kepuasan dan kebanggaan.
Hanya saja, sebagai wanita modern kita tidak selalu bisa atau suka jadi pembantu di ruang tamu, koki di dapur, dan pelacur di tempat tidur, ya.
Tenang, kita tidak perlu kok menerjemahkannya secara harfiah, tetapi kita bisa memodifikasinya sesuai keadaan zaman sekarang. Nah, berikut ini versi saya, dan seperti biasa, saya kasih contoh juga biar ada gambarannya, ya.
Intinya adalah bagaimana caranya buat suami betah begitu dia pulang ke rumah.
Contoh:
Seaktif apa pun anak-anak sampai rumah berantakan seperti kapal pecah, begitu menjelang waktu suami pulang, saya usahakan rumah sudah selesai dibereskan (dengan melibatkan anakanak dan asisten rumah tangga). Jadi, begitu suami tiba di rumah, paling tidak lantai rumah masih enak untuk diinjak dan tidak kesandung mainan di mana-mana.
Setelat apa pun suami pulang, meski itu sampai lewat tengah malam, saya usahakan sayalah yang membukakan pintu untuknya. Sebab, saya punya ritual peluk cium suami ketika dia pulang.
Jadi, begitu suami tiba di rumah, setelah melewati hari yang panjang, dia akan merasa diterima di istananya dengan penuh cinta. Cieee ....
“A maid in the living room, a chef in the kitchen, a whore in the bedroom.”
Intinya adalah bagaimana caranya buat suami doyan makan dan kenyang. “Happy tummy, happy hubby.”
Contoh:
Saya bisa masak, tetapi nggak jago-jago banget, dan tidak begitu hobi juga. Suami pun sepertinya tidak terlalu doyan masakan saya, haha. Sejak punya asisten rumah tangga yang jago dan hobi masak, saya delegasikan pekerjaan masakmemasak kepadanya. Dalam sehari, dia biasa masak pagi dan sore. Masing-masing ada tiga sampai lima jenis makanan. Akan tetapi, tetap sayalah yang melayani suami di meja makan. Menyediakan piring dan alat makannya. Kadang gantian suami yang menyediakan untuk saya.
SOP dari saya ke ART: sebelum kami beraktivitas, sarapan sudah harus tersedia. Bersih-bersih
bisa belakangan, yang penting tidak ada yang
kelaparan. Kalau makan di restoran, perhatikan menu yang dipilih suami dan anak-anak. Google
resepnya, kirim ke WhatsApp ART, minta dia
“A good wife and health is mans best wealth.”
buatkan kapan-kapan. Kadang dia inisiatif sendiri cari resep di YouTube.
Intinya adalah bagaimana caranya buat suami bergairah di ranjang.
Contoh:
Saya tidak punya daster, tetapi lingerie sekoper, hehe. Bagi saya, lingerie itu ibarat kotak/bungkus kado. Semakin menarik, semakin penasaran apa isinya, semakin tidak sabaran bukanya. Baju luaran boleh murah-murah, tetapi khusus pakaian dalam dan lingerie, saya sulit berkompromi.
Sebab, underwear dan lingerie adalah koentjie.
Percuma lingerie seksi kalau isinya tidak terawat. Untuk menjaga kebersihan organ intim, saya suka pakai pembersih kewanitaan. Kalau packaging-nya sudah menarik, “isi”nya juga bersih dan wangi, suami pasti happy. Sebab, faktanya adalah berdasarkan penelitian yang melibatkan 5000 responden, kebutuhan utama pria dalam pernikahan apa coba? Yes: SEX. So, jangan heran kalau suaminya “minta” terus, karena itu memang kebutuhan dasarnya.
Men’s Need:
Sexual fulfilment
Recreational Companionship
An attractive spouse
Domestic support Admiration
Woman’s Need: Affection
Conversation
Honesty and openness
Finnancial commitment
Family commitment
nurturingmarriage.org
Nah, itu versi saya. Versi setiap orang pasti bisa berbeda-beda, sesuai situasi dan kondisinya. Satu tips pamungkas dari saya yaitu: upgrade our service in regular basis. Iya, tingkatkan pelayanan ke suami secara berkala. Contohnya nih, dulu waktu masih sama-sama berjuang dari nol, kami kerjain semuanya bareng. Saya masak, suami cuci piring. Saya menyiapkan roti buat sarapan, dia membuatkan susu/ teh/sereal untuk minuman. Saya mencuci dan menje-
mur, suami menyetrika sambil nonton “Desperate Housewives” bareng.
Sekarang, bersyukur kehidupan sudah lebih mapan. Saya meng-hire asisten rumah tangga dan asisten pribadi untuk membantu urusan administrasi dan segala tetek bengek lainnya. Kalau dulu semuanya serba dikerjakan sendiri, sekarang sudah bisa delegasi. Bahkan, untuk urusan perbankan, kami tidak pernah lagi ke bank karena semua sudah ditangani Personal Banker atau relationship manager yang siap sedia datang ke rumah untuk minta tanda tangan.
Ketika pelayanan di luar sana sudah sampai selevel itu, saya tidak boleh lengah melayani suami dengan standar lama. Saya juga harus meningkatkan pelayanan sesuai dengan levelnya saat ini. Ibaratnya, nasabah prioritas atau solitaire, kalau dilayani dengan standar pelayanan nasabah reguler, ya sudah tidak cocok lagi. Jangan sampai nasabahnya lari ke tempat lain yang menawarkan pelayanan lebih prima.
Chanakya
“
A good wife is one who serves her husband in the morning like a mother does, loves him in the day like a sister does and pleases him like prostitute in the night.” —
Stumbled upon this and triggers me to write this post:
“As they get more mileage on them they become less reliable and attractive. So when one gets old and used you trade up to a newer model, just like a car. Actor Ryan Phillippe shows a prime example. He started dating Reese Witherspoon when she was young and attractive. She popped out a few kids and got older so he traded up to Abbie Cornish, 6 years younger than Reese Witherspoon and a lot hotter. After a few years he traded up again to Alexis Knapp, 7 years younger than Abbie Cornish. Men get more attractive and desirable with age where women become less desirable. That is a good reason why men should never marry”.
Sadly, how debatable it is, I found this partly true. BUT, there’s a but, it mostly applies if women are not willing to upgrade themselves, both inner and outer. And I, as far as I’m concerned, wouldn’t be one of them. At least, not anymore.
At the beginning of our dating days almost a decade ago, I was the one who got that shining star,
thus my friends were questioning why I chose him, from all the men who tried to approach me. Of course there were plenty other men who are more adorable physically, but his beautiful mind and selfquality had invited butterflies in my stomach that no other man can do to me.
I was chic and he was geek, so what? Make him a ‘metrogeseksual’, that’d be a perfect combo, right :). And yes we did it. Soon after, about a year, my friends were asking what did I do to him that he became as shining as I am, as if it’s as magical as a “pimp my ride” TV show! Haha.
Then we were married, and soon had kids. Yes, with s. I gained 24kgs during maternity and only lost 5kg after birth, which of course makes me look less attractive physically. Being a stay-at-home mom, I rarely put on full makeup if I don’t have events to attend. My days were all about juggling between kids and my tiny business. I wasn’t eager to socialize at all especially with new people, be it online and offline.
While my hubby exists either in the cyber or real-world, even became a must-watch rockstar in the digital industry. My shining star was slowly fading away, while he stayed even shinier. But I was so happy with my own little family and felt that I have such a perfect life.
That was the danger of being in a comfort zone: too cozy and comfy that it prevents us from impro-
ving ourselves for a better future. In fact, we never know what kind of bigger happiness we’ll find if we go out of that comfort zone. And please, take my advice for free: “keeping up with your spouse is one of the important keys in maintaining a good marriage”. Seriously.
Early April 2010, I decided to get out of my comfort zone to see the new horizon for several reasons. The easiest way, I started it with this blog and social media. I made a serial blog post, unlocked my Facebook and Twitter accounts, added new friends, got involved in conversations, attended gatherings, and bigger step: built a new community.
In the beginning, people only knew me as “the wife of @nataliardianto”. But now, I got the recognition as much as hubby had, if I can’t say even more (if the number of Twitter followers can be the parameter) hehe.
As I upgrade my appearance to be more stylish, compliments start coming in, and I get used to it. Flattering words like “Every time I see you, you become prettier and prettier. What’s your secret, actually?” or “You have a pleasant personality and a charming beauty, what a perfect combo” or even “Istrinya makin cantik aja Mas, hati-hati direbut orang lho!” A guy from a Silicon Valley company once asked, “Now that you’re in the spotlight, ain’t he jealous or feel insecure?” I can safely say, “One of many things I love about him: he feels secure with
our relationship that he is barely jealous with any other guy that stares at me or gets in touch with me. That’s sexy! If there’s any guy that can make him show his jealousy, that man gotta be seriously outstanding.”
So back to the topic where men compare women like cars, I would say, who said men have to stick with one car? No, I’m not talking about recommending polygamy nor adultery here, as I’m opposing that.
Maksud saya, sudah seharusnya wanita mampu beradaptasi dan siap bertransformasi untuk mengimbangi level pasangannya. Dengan fleksibilitas kita, wanita bisa kok menjadi sedan elegan, sports car mewah, family minibus, spacious van, comfy wagon, SUV, bahkan truk kuat dan bus yang tahan banting jika diperlukan. Dan tetap menjadi diri kita sendiri, bukan orang lain.
Kalau saya boleh mengibaratkan diri dengan satu jenis mobil saja saat ini, saya memilih menjadi Mazda CX-5 SkyAktiv.
It’s a family SUV that drives as a sports car >> they call me hotmom, sexy mommy, mahmud, you name it.
It got stylish and premium interior where comfort and function combined >> tampil stylish itu selain membuat diri saya nyaman, juga membuat orang yang saya temui merasa dihargai.
It got dynamic styling, combining power, and beauty >> I can be powerful and beautiful as well.
And most importantly, it has SkyAktiv Technology where performance and economy combined >>tampil sophisticated bukan berarti harus selalu high maintenance.
That’s what I call efficiency and performance at last, just like Mazda CX-5 :) Aaand, whoever said that women become less desirable with age, must have never seen this AskMen’s No.1 Desired Woman 2012 who is a mother of a 20-year-old son!
I just found out about her after somebody told me on Twitter that I look like her. Though I don’t see the resemblance, I’d just take that as a compliment, with an amen that I’d be as desirable as I am now in her age.
Saat menulis ini pada 2011, saya belum kebayang bisa mendapatkan mobil ini. Namun, tiga tahun kemudian, akhirnya saya berhasil mendapatkan mobil tersebut (exactly the same model) gratis dari car ownership program kantor suami saat itu. That’s the power of Law Attraction.
waktu lalu saya diundang sebagai pembicara untuk acara Penguatan Integritas Istri Pejabat dan Pegawai KPU Bea dan Cukai Tipe
A Tanjung Priok, dengan topik “Istri Bersahaja, Suami Tenang Bekerja”. Tim panitia yang diwakili oleh Mbak Umma mengatakan profil saya cocok untuk membahas topik tersebut, terlebih karena saya dikenal setelah konten viral “Istri Direktur” dengan ciri khas #SuperAffordableStyle :)
Suami penasaran saya bicara apa saja di sana. Setelah saya ceritakan, suami mendorong saya untuk menuangkan materi bicara saya tersebut menjadi tulisan di blog supaya bisa mencerahkan istri-istri lainnya.
Ada delapan tips yang sudah saya praktikkan sendiri, dengan segala jatuh bangunnya. Apa yang saya tulis di bawah ini lebih detail dibanding pada saat saya berbicara karena keterbatasan waktu. Supaya tidak terkesan “ah, cuma teori!”, saya berikan juga beberapa contoh nyata. Berikut ini adalah
delapan tips untuk para istri agar suami tenang bekerja.
1 Suami adalah pemimpin, istri adalah penolong
Ini adalah tips dan prinsip yang utama bagi saya dalam berkeluarga. Suami ditakdirkan untuk memimpin keluarga, dan istri yang baik berperan sebagai penolongnya. Ketika suami mendapat godaan untuk melakukan suatu kesalahan, istri menolongnya dengan cara tak lelah untuk mengingatkannya.
Ketika suami tidak mampu menjalankan perannya, istri menolong dan mendukung untuk menopangnya, sampai suami bisa kembali memenuhi tugas dan kewajibannya.
Contoh nyata:
Pada awal pernikahan, suami pernah bekerja
tanpa digaji selama 9 bulan berturut-turut. Padahal kami baru saja melahirkan anak pertama dan membeli rumah dengan cara kredit di bank. Saya mengambil alih peran sebagai pencari nafkah keluarga, sampai ia mampu mendapatkan pekerjaan lain dengan penghasilan yang layak. Gaji saya setiap bulan sebagai sekretaris di perusahaan minyak habis dalam sekejap untuk membayar cicilan rumah yang jumlahnya lebih dari setengah gaji saya waktu itu, beli susu, popok, bayar gaji pembantu (yang literally
punya lebih banyak uang daripada saya), uang transport, makan, biaya ke dokter ...
Saya pun pernah menangis di depan rumah sakit melihat taksi berbaris karena uang saya habis buat bayar imunisasi dan nggak cukup buat pulang naik taksi. Jadi, saya harus gendong bayi saat siang bolong naik angkot dan jalan kaki sampai rumah. Waktu itu saya nggak cerita apa-apa ke suami karena tahu dia juga pasti tertekan dengan kondisi itu.
Saya cuma kirim pesan singkat ke dia, “Kita nggak bisa begini terus...”
Mama saya juga telah memberikan contoh teladan menjadi istri sebagai penolong suami, begini ceritanya.
Papa saya (alm) juga pernah di-PHK karena restoran Jepang tempat beliau kerja tutup akibat bangkrut. Waktu itu, sekitar 1990-1991, kakak saya baru saja lulus SD dan mau masuk SMP. Tidak ada pesangon yang memadai. Jadi, mama harus putar otak untuk membantu keuangan keluarga. Konon, pernah uang belanja tinggal 60ribu dan harus beli sepatu wajib sekolah kakak warna hitam 40ribu. Mama adalah ibu rumah tangga sejati. Ya, mama tidak pernah kerja kantoran, tapi di rumah tetap menghasilkan.
Mama buka toko kelontong di rumah, jualan apa saja dari permen sampai minyak tanah. Sejak papa di-PHK, mama nambah varian jualan baru: ke-
rupuk gendar yang dititip ke warung-warung yang lebih besar. Saya dan kakak bertugas membawa kerupuk ke warung-warung tersebut dan mengambil uang hasil jualan hari itu. Uang hasil jualan itulah yang menolong perekonomian keluarga kami saat papa masih berusaha mencari pekerjaan kembali.
Kadang ketawa sendiri kalau ingat dulu saya sering malas-malasan melayani pembeli. Habis lagi enak-enak makan disuruh nuangin minyak tanah, padahal tanpa jualan, mungkin saja kakak saya hanya tamatan SD dan saya bahkan tidak lulus SD. Adik saya malah nggak lulus TK? Siapa sangka, sekarang kakak saya sudah menamatkan S2 di Inggris hasil beasiswa. Saya pun tengah menyelesaikan S2 di Jakarta. Begitu juga dengan adik saya yang sarjana dan sudah bekerja di televisi swasta.
Kira-kira setahun setelah di-PHK, papa baru dapat kerja lagi. Papa langsung memeluk mama dan anak-anaknya ketika pulang membawa kabar baik itu. Tanpa disadari papa mama telah memberi contoh nyata, bahwa suami adalah kepala keluarga, istri adalah penolongnya. Thank you so much untuk semua pengorbanan papa mama, kasihmu sungguh tak terhingga. Love.
Singapura, 16 April 2017
Nuniek Tirta
Jika kita ingin hidup lebih tenang dan bahagia, hal paling penting adalah me- manage expectation . Ekspektasi yang tinggi, tetapi realita yang terjadi ternyata rendah, maka gap tersebut adalah rasa kecewa dan frustasi. Akan tetapi, kalau kita men-set ekspektasi kita serendah mungkin, dan ternyata realita ada di atasnya maka gap tersebut adalah rasa bersyukur dan bahagia. Contohnya, kalau tahu suami tidak romantis, ya jangan mengharapkan suami bersikap romantis seperti suami orang :).
Biasanya dalam berpasangan, sang pria ingin wanitanya setelah menikah tidak berubah. Sementara sang wanita ingin prianya setelah menikah berubah.
Nah, ini adalah bentuk ekspektasi yang tinggi. Realitanya, people don’t change and won’t change unless it’s their own willingness. Alhasil yang terjadi
adalah kekecewaan demi kekecewaan. Ingatlah bahwa ketika sudah menikah, WYSIWYG, what you see is what you get.
Hal ini juga berlaku di dunia kerja. Ketika kita kerja, dan tanpa ekspektasi apa-apa dari bos kita, ketika kita kerja untuk kita sendiri, untuk karier kita agar selalu tumbuh, pengalaman agar semakin bertambah, maka kita akan menjadi semakin baik dari hari ke hari tanpa perlu faktor eksternal yang memengaruhi kinerja kita. Jangan biarkan orang lain memengaruhi kualitas diri dan kinerja kita. Apresiasi dari bos, benefit, bonus, itu semua akan menjadi
berkat bagi kita jika ternyata benar-benar terjadi. After all, kita juga tidak memiliki ekspektasi apa-apa pada awalnya.
Sebenarnya, ini berlaku tidak hanya dalam hubungan dengan pasangan atau pekerjaan saja, tetapi juga untuk segala hal dalam kehidupan. Intinya, rumus yang harus diingat adalah: Harapan lebih tinggi dari kenyataan = kekecewaan. Kenyataan lebih tinggi dari harapan = kebahagiaan. Akan tetapi, harap bedakan antara harapan dengan cita-cita, ya. Kalau cita-cita sih harus setinggi langit, coz sky’s the limit. Saya baru mengerti konsep mengelola ekspektasi ini dari Becky Tumewu, saat kami ditanya tentang apa harapan kami terhadap pasangan, oleh Pak
Hermawan Kartajaya.
Contoh nyata:
Dulu saya sering kecewa karena mengharapkan
suami bisa lebih romantis. Masa istri ulang tahun nggak pernah dikasih kado sama sekali. Namun, akhirnya setelah 10 tahun nikah baru ngasih kado!
Terus istri seharian ke mana aja nggak pernah ditanyain, nggak pernah ditelponin. Sampai teman saya yang jalan sama saya seharian, jam 11 malam bilang, “Eh iya loh gak ditanyain suami sama sekali, kok bisa sih?” Belakangan saya belajar, kita nggak bisa mengubah orang lain kalau dia sendiri nggak mau berubah. Jadi daripada kecewa terus, saya menurunkan standar ekspektasi saja. Saya juga belajar memahami kebiasaan suami melalui analisa pohon keluarga.
Sebagai manusia, wajar jika kita sering kali tergoda untuk bereaksi atas suatu aksi. Padahal, bereaksi bukanlah pilihan bijak. Hal terbaik adalah ketika kita merespons, bukan bereaksi. Sebab reaksi hanyalah reflek terhadap suatu aksi, sedangkan dalam kata respons, terdapat suatu responsibility. Artinya, kita bertindak sesuai tanggung jawab. There’s RESPONSIBILITY in the word RESPONSE, while there’s only REPEATING ACTION in REACTION. And it makes a total difference.
Contoh nyata:
Ketika suami mendapat tekanan untuk membatalkan rencana perjalanan kami ke Santorini hanya beberapa hari menjelang waktu keberangkatan (setelah 9 bulan direncanakan dengan matang), saya hanya bilang, “Ya udah kalau memang belum bisa berangkat nggak papa ditunda dulu, nanti Senin aku coba urus ganti tanggal pesawatnya semoga masih bisa.” FYI, berangkatnya Rabu. Nggak sedih? Ya sedihlah pasti. But I chose to respond keep calm and support my husband instead of giving a reaction (nangis/marah/ngambek/etc. yang bikin suami tambah terbebani). Suami waktu itu lebih bete, saya masih bisa puk-puk dia. Saya mengerti bahwa pembatalan itu bukan kehendaknya dan penyebabnya ada di luar kuasanya, jadi ya ikhlaskan saja.
Tuesday, May 09, 2017
Tuhan pasti tau seberapa besar impian saya tentang Santorini. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama sejak melihat foto tempat ikonik itu di belantara dunia maya beberapa tahun lalu; mungkin sekitar satu dekade lalu. Sejak punya akun Tumblr 3 tahun lalu pun, saya rajin sekali follow akun dan reshare postingan tentang Santorini. Tidak cuma di Tumblr, tapi juga merambah ke semua sosial media saya: Instagram, Facebook, Path, Twitter. Saya pernah nulis mimpi menikah lagi di Santorini dan eksplore Yunani sama suami. Kalau sudah meninggal pun, saya pingin abu saya ditebar di sana. Temanteman dan followers saya mungkin sudah tahu deh, saking seringnya saya share impian saya tentang Santorini.
Teman saya Kenny pun mengirimkan kartu pos dari Santorini sewaktu dia berkunjung ke sana. Saya bermimpi suatu hari nanti bisa membangun rumah bergaya Santorini. Saya suka mengoleksi barang bernuansa biru-putih ala Santorini ... dan senang sekali kalau melihat interior maupun eksterior desain dengan nuansa Santorini. Dreaming is not enough; I put a deadline to make my dream become a goal. And it was written on my dream board in front of my bedroom: 2 weeks in Greece, before/on May 20, 2017.
Suami sempat beritikad memberikan kejutan dengan membeli tiket Jakarta-Yunani untuk ulang tahun saya tahun lalu, sayangnya pembelian gagal. Ya untung saja gagal karena harga tiketnya saja mencapat 70juta buat berdua! >.< Makanya waktu Agustus 2016 lalu saya berhasil mendapatkan tiket Qatar ke Yunani dengan harga promo, rasanya senang bukan main. Sudah kebayang bakal eksplor
Yunani dan tentunya Santorini selama 2 minggu bersama suami untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami, 11-25 Mei 2017
Selama 9 bulan terakhir saya asyik merencanakan segala detail liburan kami di Santorini nanti. Tiket sudah di tangan, hotel sudah di-booking, visa sudah didapat, asuransi sudah dibeli, semua sudah beres. Tinggal berangkat! Tapi ... karena berbagai pertimbangan yang dapat memengaruhi nasib dan hajat hidup orang banyak, dengan sangat terpaksa kami memutuskan untuk membatalkan atau setidaknya menunda keberangkatan sampai waktu yang belum bisa ditentukan. *CRY*
Jadi, saya sempat bolak balik ke kedutaan Yunani mengambil visa Schengen yang sudah disetujui (setelah melewati proses panjang yang cukup melelahkan—dan cuma berlaku sampai akhir Mei, hiks); ke service center Garuda Indonesia untuk refund (ini juga sama ribetnya, tetap harus email dan kena potongan biaya pastinya); mengurus refund
Qatar (ini prosesnya lebih mudah, tetapi tetap saja potongan juga besar); mengurus refund asuransi perjalanan (dan ditolak karena refund hanya berlaku kalau visa tidak disetujui); serta membatalkan semua booking hotel. Total kerugian akibat pembatalan keberangkatan ini lumayan besar, cukuplah buat ke Maldives lagi ....
Iya sedih sih, sudah pasti. Tapi, saya nggak mau terlihat terlalu sedih karena suami bisa lebih sedih kalau lihat saya sedih. Apalagi, suami masih punya tugas besar yang harus diembannya. Tugas saya kali ini justru menguatkan dia dan meyakini ini keputusan terbaik buat semua. Rencana Tuhan tak pernah salah, dan ketika sudah tiba saatnya, semua akan menjadi indah. Amin!
Seperti kata Victor Frankl, “Between stimulus and response there is a space. In that space is our power to choose our response. In our response lies our growth and our freedom.”
Always update anda upgrade. Don’t let the gap keeps you apart.
Contoh nyata:
Dulu saya pernah terlena dengan sindrom “keluarga kecil bahagia sejahtera” sampai merasa tidak perlu berinteraksi banyak dengan dunia luar. Tanpa disadari, dalam hal aktualisasi diri, suami sudah berada di level 8, sedangkan saya ketinggalan jauh di level
4. Bahayanya adalah ketika ngobrol mulai nggak nyambung sementara di luar sana banyak orang yang lebih nyambung untuk diajak bicara karena selevel. Saya lalu “bangkit” mengejar ketertinggalan itu dan membangun kembali personal branding yang sempat tenggelam. Jadi, kalau dulu orang tau saya cuma “istri Natali”, sekarang orang-orang tahu kami sama-sama aktif di dunia start up dan membangun komunitas #Startuplokal.
Tambahkan nilai, jangan tambahkan beban. Kalau bisa, dengan kemampuan dan keberadaan kita, itu menambah nilai lebih bagi pasangan. Pernah dengar quote dari Brigham Young, kan? “You educate a man, you educate a man. You educate a woman, you educate a generation.”
Contoh nyata:
Sejak saya kuliah pascasarjana jurusan psikologi konseling, suami jadi ikut belajar juga. Setiap antar
jemput saya ke kampus, dia selalu tanya belajar apa saja hari itu. Saya jadi ada kesempatan mengulang kembali pelajaran yang saya dapatkan, dan suami
jadi ada kesempatan menambah ilmu baru. Pernah saya ajak suami sit in di kelas atas undangan dosen
Skill Konseling karena hari itu kami membahas metode MBTI yang bagus digunakan untuk memahami pasangan. Ternyata suami antusias sekali dan malah catatannya lebih lengkap dari catatan saya dan teman-teman, hehe. Tidak hanya itu, suami juga menyarankan HRD Tiket.com untuk menggunakan metode tersebut guna memahami karakteristik calon karyawan. Jadi, setiap pelamar yang datang untuk interview diminta untuk menjawab MBTI questionnaire.
Listen, not only hear. Kita semua tahu bahwa manusia diberikan 2 telinga dan hanya 1 mulut agar
kita bisa lebih banyak mendengar daripada berbicara. Tapi pada praktiknya memang nggak gampang
buat kita bisa lebih mendengar untuk menyimak daripada sekadar mendengar untuk menimpali pembicaraan. Apalagi terkadang, kita juga harus bisa me-
nyimak apa yang tersirat. Seperti halnya wanita ingin dimengerti, pria pun ingin dipahami.
Contoh nyata:
Saya dan suami punya ritual #pacaranmingguini yang diusahakan rutin setidaknya seminggu sekali.
Biasanya kami makan malam berdua saja, dilanjutkan dengan nonton bareng. Persis orang pacaran deh. Ketika ada hal-hal yang mengganjal, kami menggunakan metode BPS: Bagaimana Perasaan Saya. Dengan metode ini, kalau suami sedang BPS
maka saya wajib mendengarkan dan tidak boleh memotong pembicaraan sampai dia benar-benar selesai, begitupun sebaliknya. Kalimat yang digunakan saat BPS pun dipilih yang asertif dan tidak menyerang.
Contoh kalimat asertif: “Aku tuh sebenernya sedih lho kalau kamu ambil keputusan besar sendiri tanpa tanya pendapatku dulu. Aku merasa kurang dihargai gitu.”
Contoh kalimat negatif atau kurang asertif, “Kamu tuh kenapa sih nggak tanya pendapatku dulu, main ambil keputusan besar sendiri. Nggak menghargai aku banget deh.”
Kalo kalimatnya asertif, biasanya pasangan akan
lebih mudah mendengarkan. Tapi asli, melaksanakan poin ini sejujurnya memang tidak semudah teori. Butuh latihan seumur hidup buat menerapkannya, hehe. Yuk, dicoba yuk.
Terkadang atau bahkan sering kali, istri tidak pernah tahu masalah apa saja yang dihadapi suami di kantor. Suami juga mungkin enggan cerita karena tidak mau menambah beban pikiran istri. So, the least we can do as a wife is to demand less. Minimal, istri WAJIB tahu apa saja job desc suami. Misal, job desc suami adalah tukang jaga server. Dia sendiri juga kan nggak pernah tahu kapan server itu down, mau hari kerja atau hari libur, mau siang bolong atau tengah malam. Kalau sifatnya mendesak, suami harus siap handle kapan pun di manapun. Istri juga harus siap support suami karena toh itu juga bukan kemauan dia untuk bertugas di luar hari dan jam kerja.
Sebagai salah satu pimpinan perusahaan, apalagi memimpin divisi teknologi di perusahaan berbasis teknologi, suami punya tekanan besar dalam menjalankan pekerjaannya. Kalau dulu waktu awal menikah dan dia masih berstatus karyawan, saya sering menuntutnya untuk pulang tepat waktu. Sekarang tidak pernah lagi. Bahkan terkadang saya menemaninya lembur di kantor, terutama masa-masa mulai dibukanya penjualan tiket kereta api mudik. Saat liburan pun, suami harus siap siaga.
Waktu liburan di Maldives, anak pertama kami sempat protes karena Daddynya sibuk dengan HP saat makan siang. Kejadian terakhir, saat suami beli TV OLED terbaru, anak pertama kami yang kritis itu lagi-lagi protes, “Pasti buat main game lagi!” Saya jelaskan, setiap orang harus punya stress release biar tetap waras. Daddy kerja di kantor sudah berat, pulang ke rumah waktunya habis buat keluarga, hampir nggak pernah ada waktu buat diri sendiri. Jadi, kalo Daddy main game nggak apa-apa, itu buat me-time-nya. Kita bersyukur hobi Daddy cuma main game di rumah, aman dan murah. Teman-teman Mommy
Daddy ada yang hobinya main mobil mahal, ada yang hobinya main golf sampai malas pulang ke rumah (padahal habis dinas ke luar negeri berhari-hari), ada yang hobinya dugem. Jadi, kalo
Daddy hobinya cuma main game di rumah, ya bersyukurlah! :)
Jangan lupa bersyukur! Berapa pun jumlah rezeki yang Tuhan beri melalui keringat suami, wajib disyukuri. Bukankah Tuhan akan menambahkan rezeki bagi orang-orang yang bersyukur? Besides, I’ve learned the hard way, that the journey to find peace of mind starts with gratitude, followed by self-awareness and acceptance. Untuk poin be grateful ini saya
nggak perlu kasih contoh nyatalah ya, tapi saya punya ilustrasi yang “dalem banget”.
When was the last time you said thank you to your husband? Yuk, yang sudah dan masih pada punya suami, pulang kerja nanti suaminya dipeluk yaaa .... :)
waktu lalu saya pernah diwawancara untuk sebuah artikel berjudul Nuniek Tirta: Angel investor, Founder of Startup lokal, Mother, and Wife yang diterbitkan oleh ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Kebetulan saya baru saja bergabung di ANGIN sebagai angel investor ke-60 sekaligus investor wanita ke-30.
Pertanyaan pertama, saya diminta untuk bercerita tentang siapa saya. Pertanyaan kedua dan ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sering saya terima: bagaimana cara saya mengatur waktu sebagai seorang entrepreneur, angel investor, ibu, dan istri. Ini adalah prinsip saya dalam membagi waktu, berikut contoh konkretnya.
Ini adalah prinsip utama dalam membagi waktu: pahami prioritasmu.
Di antara peran sehari-hari sebagai entrepreneur, angel investor, ibu dan istri, blogger dan influencer, konsultan dan advisor, plus mahasiswi S2, prioritas utama saya adalah sebagai seorang istri. Mengapa? Sebab itu adalah perintah Tuhan. Setelah menikah, we become one flesh and I become ezer kenegdo (penolong yang sepadan) for him. Karenanya, saya mengutamakan tugas saya sebagai istri dibanding tugas-tugas lainnya.
Misalnya, ketika suami meminta saya menemaninya tugas ke luar kota, saya akan memberi pengertian kepada anak-anak bahwa kami akan pergi selama beberapa hari. Biasanya, saya juga memberi tahu mama atau mertua yang tinggal dekat rumah supaya bisa ikut memantau. Tugas rumah tangga didelegasikan kepada asisten rumah tangga, tugas administrasi didelegasikan kepada personal assistant saya. Prioritas sebagai istri ini menurut saya sangat penting, sebab ketika hubungan saya dengan suami baik, hubungan dengan anak-anak pun baik. Jadi, bagi yang masih punya suami, meskipun sudah menjadi ibu, jangan lupa jadi istri yaa (Baca tentang Jangan Lupa Jadi Istri!)
Fokus pada tujuan yang ingin dicapai. Fokus pada targetmu.
Contoh, hampir setiap hari saya selalu mendapat undangan acara, pertemuan, meeting atau sekadar
ngobrol. Jika tidak fokus pada tujuan yang ingin dicapai, bisa-bisa waktu saya habis hanya untuk memenuhi semua permintaan tersebut. Jadi, sebelum mengiyakan sebuah permintaan, saya selalu bertanya pada diri sendiri: apa yang ingin saya capai dari hal tersebut? Biasanya ketika diundang ke sebuah acara, ada tiga pertimbangan dasar yang saya pakai.
Pertama: apakah topiknya menarik dan relevan untuk saya ketahui? Jika tidak, pertimbangan kedua adalah apakah network-nya menarik? (Entah itu pembicara atau audiensnya). Jika tidak juga, pertimbangan ketiga: (dan ini adalah koentji): siapa yang mengundang? Jika yang mengundang adalah orang yang saya segani/hormati, sebisa mungkin saya usahakan datang. Tujuan saya apa? Untuk menjaga hubungan baik, tentu saja.
Delegasikan kelemahanmu. Alias, limpahtugaskan hal yang saya kurang jago atau tidak suka.
Contoh, saat nggak ada pembantu, tugas rumah tangga yang paling saya nggak suka adalah urusan baju kotor. Karena itu, saya delegasikan saja tugas itu kepada laundry kiloan, hehehe. Jadi, saya bisa alihkan tenaga untuk masak dan beberes rumah.
Sementara untuk urusan pekerjaan, tugas yang paling saya tidak suka adalah yang berkaitan dengan printilan administrasi, akuntansi, dan pajak. Jadi, saya mendelegasikan tugas itu kepada personal assis-
tant saya dan membayar konsultan pajak. Dengan begitu, saya bisa fokus kepada hal yang saya kuasai dengan baik, seperti menyusun rencana strategis dan menulis. Dalam hal mendidik anak, saya paling seneng ngajak mereka ngobrol, tapi sering nggak sabaran kalau ngajarin mereka belajar, apalagi matematika! Saya jadi sering minta tolong partisipasi suami untuk mengajar mereka karena suami lebih sabar dan senang mengajar, hehe, dan membayar guru les bimbingan belajar.
Ini bahasa Indonesianya yang tepat apa ya? Hadir di sini, saat ini? Ya, kurang lebih seperti itu.
Contoh: sebagai konsultan dan advisor, klien membayar saya per jam. Misalnya 12 jam dalam sebulan, yang dibagi dalam 3 jam tatap muka dalam seminggu. Jadi, selama 3 jam itu saya akan fokus hadir di sana saat itu. Artinya, saya tidak akan mengecek handphone selama tatap muka tersebut supaya tidak terdistraksi dan saya bisa fokus pada klien sepenuhnya. Sementara dalam keluarga, ada golden rules ketika sedang berada di meja makan, yaitu no gadgets. Boleh pakai HP hanya untuk foto makanan saja, tetapi tidak boleh di-posting saat itu juga. Jadi, kami bisa fokus ngobrol saat makan sekeluarga. Akan tetapi, untuk saat-saat tertentu, misalnya ketika diundang liburan atau makan di suatu tempat, sudah pasti yang mengundang mengharapkan saya
untuk bisa share di sosial media. Ya kan memang dibayar untuk pamer, hehe. Tapi, itu pun masih bisa dilakukan setelah selesai makan, kok.
Dengarkan alarm tubuhmu.
Contoh: sejak suami melepaskan jabatan di perusahaan yang didirikannya beberapa waktu lalu, bukannya jadi santai kami berdua malah semakin sibuk. Sering kali, sudah akhir bulan tetapi belum sehari pun kami ada istirahat total di rumah. Setiap hari selalu ada 2-5 agenda: mulai dari meeting, acara, sampai urus beberapa bisnis seperti investasi startup dan properti. Bahkan, untuk merawat diri pun yang tadinya bisa seminggu sekali kalau mau, sekarang cuma bisa saat akhir bulan aja saking padatnya.
Kebiasaan buruk kalau aktivitas sedang sangat padat itu saya sering jadi suka lupa minum. Akibatnya, bisa ditebak: panas dalam. Kalau sudah begitu, saya selalu menangkal dengan memperbanyak minum air putih, dibantu minuman antipanas dalam. Saya juga rutin mengonsumsi vitamin dan suplemen sebab kalau mengandalkan dari makanan sehari-hari saja belum tentu terpenuhi kebutuhan gizinya. Kalau tubuh sudah terasa capek, pegal, linu, mulai batuk flu, ya itu alarm sesungguhnya supaya saya slow down dan segera rebahan. Jangan menghukum diri sendiri atas nama produktivitas, sebab
tubuhmu adalah bait Tuhan yang harus dijaga. Beri ia jeda, jiwa dan raga.
Kebanyakan orang hanya terpaku pada pengaturan waktu, tetapi bingung kok bisa sih si A melakukan jauh lebih banyak hal daripada saya? Padahal setiap orang diberi Tuhan waktu sama banyaknya lho: 24
jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Bisa jadi, yang salah bukan soal pengaturan waktunya, tetapi soal pengaturan energinya. Saya selalu percaya
mengatur energi adalah kunci untuk mengoptimalkan waktu.
Contoh: sebagai seorang introvert, level energi saya mudah turun setelah berinteraksi dengan orang lain. Karena itu, in between meetings, biasanya saya meluangkan waktu me-time sejenak sendirian. Entah sekadar mojok di cafe, membaca buku, atau mendengarkan musik, untuk recharge energi sebelum lanjut ke meeting selanjutnya. Saya juga sadar bahwa fisik saya lebih aktif pada siang hari, tapi otak saya jauh lebih kreatif saat malam hari. Jadi, biasanya kegiatan kreatif yang tidak melibatkan fisik, tetapi melibatkan otak dan pikiran, saya lakukan pada malam hari.
Setiap pasangan menikah pasti mendambakan pernikahan yang langgeng hingga akhir hayat, sesuai dengan janji mereka di hadapan Tuhan. Namun dalam perjalanannya, tidak selamanya impian itu berjalan sesuai kenyataan. Ada beragam kenadala yang dapat membuat pasangan menikah kemudian memutuskan untuk bercerai.
Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada
2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus.
Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Semarang
mencatat kenaikan drastis kasus perceraian selama
masa pandemi Virus Corona (Covid-19). Kenaikan
kasus hingga tiga kali lipat itu disinyalir disebabkan
oleh masalah ekonomi dalam rumah tangga. Setiap
hari panitera setidaknya menerima 100 orang yang mendaftarkan gugatan perceraian. Sekitar 80 persen
penggugat datang dari pihak perempuan atau istri.
Namun menurut saya, data tersebut memiliki tingkat deviasi tinggi. Mengapa?
Karena ternyata, dalam hukum pengadilan agama, jika istri mengajukan gugat cerai dan suami selaku tergugat sama sekali tidak pernah datang ke pengadilan, maka dalam 2 kali sidang saja gugatan cerai dapat dikabulkan. Ini disebut putusan verstek berdasarkan Pasal 125 HIR. Jika suami tidak mengajukan upaya banding terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Lain halnya jika suami hadir di pengadilan, prosesnya lebih lama karena harus menjalani mediasi dan sanggahan delik aduan. Tergantung beratnya
kasus, rata-rata prosesnya memakan waktu tiga bulan dengan enam kali persidangan. Sementara jika suami yang menggugat, prosesnya akan lebih lama
lagi, bisa enam bulan lebih.
Celah inilah yang sering “dimanfaatkan” oleh pasangan yang memang sudah memutuskan untuk bercerai. Demi alasan kepraktisan, mereka sepakat untuk mengajukan gugat cerai dari pihak istri, dan suami tidak akan datang ke pengadilan. Dengan demikian, prosesnya tidak bertele-tele, hanya dengan dua kali persidangan dalam tempo kurang lebih sebulan, putusan sudah bisa dijatuhkan.
Saya mendapatkan “pengetahuan” ini dari pengalaman saya mendampingi sekaligus memberikan
konseling kepada seseorang yang selama dua tahun
ini telah berjuang mempertahankan pernikahannya, tetapi kandas juga karena pihak ketiga. Saya pernah seharian di Pengadilan Agama untuk menemani sekaligus menjadi saksi sidang perceraiannya.
“Gue nggak tau deh ini harus seneng apa sedih,” ucapnya sambil nyengir di dalam ruang sidang, sesaat setelah hakim menjatuhkan putusan. Saya pun tak tahu apakah harus mengucapkan selamat atau turut berduka. Yang jelas, ini adalah babak baru dalam
kehidupannya, yang semoga menuju ke arah yang lebih baik lagi. Saya hanya berharap dan berdoa semoga ia diberikan kekuatan untuk menjelaskan
kepada anak-anaknya yang masih kecil, diberikan kesabaran untuk mengumumkan kepada keluarga
dan orang-orang terdekatnya, diberikan keikhlasan
untuk melepaskan apa yang kini bukan lagi miliknya, dan diberikan kemampuan untuk bertahan secara finansial setelah bercerai. Amin.
Takada pasangan suami-istri yang menginginkan perceraian. Namun jika itu terjadi, siapapun harus siap menghadapinya. Bukan hanya mempersiapkan mental, melainkan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan uang. Lalu, bagaimana cara bertahan secara finansial ketika menghadapi perceraian? Berikut ini tips dari mereka yang telah melaluinya.
Inventori aset ini terutama untuk harta benda yang dihasilkan bersama setelah menikah. Daftar aset kamu sebaiknya meliputi:
properti
kendaraan bermotor
perhiasan
rekening tabungan
reksa dana
saham
deposito
Di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35 menyebutkan dua kekayaan yang bukan termasuk harta bersama. Pertama, harta bawaan yang sudah dimiliki suami atau istri sebelum menikah. Kedua, harta perolehan, yaitu harta milik suami atau istri setelah menikah dari hibah, wasiat, atau warisan. Ally, seorang wirausaha muda yang bercerai sekitar tiga tahun lalu mengatakan, “Saya ‘beruntung’
belum terlalu lama menikah, jadi masih cukup jelas aset yang harus dibagi. Waktu itu juga ada pembicaraan verbal tentang apa yang akan kita bagi, dalam hal ini rumah dan mobil,” jelas wanita berusia awal 30an tersebut.
Apa saja utang yang terkumpul selama menikah?
KPR, KPA, KPM, asuransi jiwa, asuransi pendidikan anak, hingga asuransi harta berharga perlu kamu tinjau kembali keberadaannya. Segera tutup rekening tabungan atas nama bersama setelah pembagian harta tuntas. Selain itu, tutup kartu kredit tambahan yang diberikan atau beratas nama pasangan sehingga kamu tidak perlu bertanggung jawab terhadap utang mantan suami. Hal yang tak kalah penting, revisi nama tertanggung atau penerima manfaat pada polis asuransi.
“Sejak bercerai, aku langsung menutup dua kartu kredit “gold”-ku. Aku tidak ingin terlibat utang
dan hidup tidak tenang. Aku juga langsung membuat asuransi untukku dan anakku, meskipun ia dapat juga tunjangan pendidikan dari papanya,” kata Pritha, 31, seorang ibu satu putri yang bercerai tujuh tahun lalu.
Selesaikan Segala Legalitas dan Copy Semua Dokumen Penting
Ini termasuk mengurus paspor anak, fotokopi akta kelahiran, mengubah Kartu Keluarga (KK), hingga menyesuaikan segala urusan legalitas bisnis bersama.
“Jika berbisnis bersama pasangan, pastikan ada hitam di atas putih yang menyebutkan jumlah saham masing-masing di bisnis tersebut. Jangan sampai kehilangan bagian ketika harus berpisah, hanya karena membangun bisnis berdasarkan saling percaya tanpa ada kekuatan legalitas,” saran Ally.
Pelajari Keterampilan Baru, Perluas Network, dan Tambah Saluran
Pemasukan
Menurut Ally, dirinya mengalami perubahan sejak bercerai. “Secara pribadi, saya jadi lebih berani keluar dari zona nyaman dan mau mencoba berbagai hal baru. Saya juga siap naik ke jenjang yang lebih tinggi, baik itu dalam hal karier, bisnis, jejaring, kontribusi kepada komunitas, dan sebagainya. Itu
semua berdampak baik langsung maupun tidak
langsung kepada sumber pendapatan dan kesempatan yang datang kepada saya,” jelasnya. Dengan melakukan sedikit «riset», kamu akan menemukan berbagai komunitas dan situs yang bisa menyemangatimu. Salah satu komunitas yang baik untuk diikuti adalah Single Moms Indonesia, tempat berkumpulnya para ibu tunggal untuk saling support satu sama lain.
“Yang paling penting, seharusnya ada atau nggak ada suami, wanita terus berkarya dan (punya) kegiatan, sehingga tetap update dengan ‘dunia luar’ dan punya pegangan dan jalan keluar saat ada kejadian yang tidak diinginkan,” tambahnya. Sementara itu, waktu yang akan pelan-pelan menyembuhkan luka hati, keputusan keuangan yang kamu buat pada saat-saat sensitif ini akan meninggalkan efek yang berkepanjangan. Pastikan kamu memiliki kepala dingin dan membuat keputusan yang benar.
Saya pernah mengikuti seminar “Caring for the Depressed” oleh dr. Fred Toke. Lagi-lagi saya selalu tertawa terbahak-bahak menyimak materi yang sejatinya cukup berat, tetapi dibawakan dengan gaya stand up comedy.
How you live depends on how you are thinking
Stinking thinking leads to stinking living. Positive thinking leads to positive living.
“Mean” in English has 2 meaning; mean = arti or mean = nasty.
If we lose the meaning of life, we can be mean (to our self, to others). So always try to find—positive—meaning of your experiences in life.
Contoh, coba kamu bayangkan jeruk nipis, jadi nelen air liur. Orang yang depresi kehilangan kontak
dengan dunia nyata. Kenyataan hidup yang sebenarnya berperang dengan imajinasi pikiran. Kalau kita izinkan pikiran memerintah hidup kita, maka terjadilah. It doesn’t have to be true as long as you believe, it can be true (to you).
We can reprogram our brains with our thoughts!
“Maybe I’m not good in everything but that DOESN’T MEAN I’m a FAILURE!” Sometimes our brain got hang because of virus but we can always FIGHT BACK. Your brain can be rewired so it can be TRANSFORMED.
Most people depressed because of ego depletion. They live for other people’s applause on them. So, kindly ask yourself, “How much weigh of me that I give to others?”
The way to help depressed people is by giving comfort
Comfort comes from Greece word para-klesis. Para=paralel, klesis = strength. We don’t do it TO them, but we do it WITH them. Because once you MOVE their problem to your shoulder, than they become dependant on you.
Most of our mistake is we teach them first. No empathy. Empathize: “I am sorry that you are going through such a tough time. It must be challenging to say the least. I am here for you.”
To show that you care to the depressed, say, “I am concerned.” Jangan dikuliahin, jangan dinasihati, jangan kasih saran tanpa izin atau kalau dia tidak minta. Just let them know that you’ll be there for them, is enough.
Kalau orang lagi marah, jangan bilang nggak usah marah, ya malah makin marahlah. The trick is always: validate their feeling. Bilang saja, nggak papa kok marah, itu wajar.
1 Despaired (kehilangan orang/barang yang disayang)
2 Defeated (kalah dari kompetitor)
3 Defensive (berharap dihargai, tapi tidak dihargai)
4 Depleted (merasa hopeless, dan yang ini gawat)
Kalau kita aware dengan kesedihan apa yang sedang dialami maka akan lebih mudah ditangani.
But the way you praise/look at the problem, is the problem! The way you define the problem IS THE REAL PROBLEM. Setelah tentukan pernyataan pertama misalnya, “Aku ditinggal pasangan” (fakta). Hal terpenting itu justru pernyataan selanjutnya, “karena aku jelek” (negative) atau “karena Tuhan punya rencana yang lebih baik untukku” (positive). When a problem struck you, open your mind to possibilities. There’s always possibility to overcome it, you only have to keep on looking for it.
When you have a problem, don’t stop. Keep moving forward and upward!
If you don’t like something, change it. If you can’t change it, change the way you think about it.—Unknown
#UnitCurhatDarurat adalah ruang yang saya gunakan untuk mendengarkan cerita teman-teman di media sosial terkait permasalahan dalam relationship. Hampir setiap hari saya menerima curhat melalui Direct Message (DM) ke akun Instagram saya, @nuniektirta. Tidak semua langsung saya balas, sesempatnya saya saja. Kadang saya balas melalui instagram juga, kadang saya bahas bareng suami dan dijawab melalui podcast yang bisa didengarkan di https://anchor.fm/nuniek-tirta-sari.
“Dari kecil dibesarkan oleh orang tua yang selalu mengecilkan anaknya sendiri sampai sudah kawin dan punya anak pun selalu berucap bahwa anak-anaknya ini tidak mampu berdiri sendiri. Aku termasuk orang yang percaya “perkataan ibu sama dengan doa”. Aku harus gimana, ya Mbak melanjutkan hidup untuk bisa “tebal telinga” bahkan
EGP sama apa pun perkataan orang tua yang selalu mengecilkan hati. I do still useless and very small meskipun sudah berusaha maksimal mengurus rumah tangga sendiri selama 10 tahun ini. Maaf ya Mbak jadinya curhat kepanjangan.”
Orang bilang kita harus menghormati orang tua karena mereka yang melahirkan kita ke dunia ini. Meski demikian, mereka belum tentu bisa menjadi mentor yang baik buat kita. Jadi, jangan berkecil hati... sebab belum tentu semua perkataan orang tua itu benar. Tidak. Tidak selalu benar. Apalagi yang
curhat sudah cukup dewasa, tentu sudah punya tingkat pemikiran yang bisa memfilter, mana yang baik dan mana yang tidak. Unfortunately, memang kalau
masih anak kecil apalagi di bawah usia 13 tahun, orang tua sedang memakai controlling hat. Kenapa?
Karena pada usia itu prefrontal cortex anak belum siap. Jadi, anak-anak memang belum sepenuhnya paham mana yang baik dan mana yang jahat.
Dengan demikian, kontrol dari orang tua memang diperlukan pada usia-usia tertentu. Silakan baca tentang Prinsip 3 Topi Parenting, ya.
Who’s in control of your life? Perkataan orang tua tidak berada di bawah kendali kita. Yang ada di bawah kontrol dan kendali kita adalah bagaimana kita bereaksi, menangkap, dan menerimanya. Tetap hargai dan hormati mereka, tetapi tidak harus menelan mentah-mentah apa yang mereka katakan. Mungkin saja, orang tua kamu juga diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya. Jadi, orang tua kamu tidak break the chain, tetapi malah menurunkannya ke kamu. Nah, hati-hati jangan sampai kamu menurunkannya lagi ke anak. Kalau sudah paham ini tidak baik, tidak bagus, dan tidak positif, ya tidak
perlu dituruti. Perhatikan beberapa poin yang akan saya sampaikan ini.
Pertama, bagaimana cara orang tua mendidik kita, bagaimana cara orang tua membesarkan kita itu adalah sesuatu di luar kontrol kita. Kita tidak mungkin memilih ingin dilahirkan oleh siapa, tetapi kita selalu bisa memilih bagaimana kita merespons tindakan dan perkataan mereka. Ketika orang melemparkan batu ke kita, kita bisa memilih apakah
kita mau menjadikan batu itu sebagai batu sandungan atau batu lompatan? Jadi, batunya mau membuat kita tersandung atau mau menjadikannya sebagai pijakan agar kita mampu melompat lebih tinggi lagi, itu yang ada di dalam kontrol kita. Nah, kenapa tidak itu saja yang benar-benar kita perhatikan ketimbang kita yang lelah sendiri karena perilaku orang
lain yang tidak sesuai dengan harapan kita?
Kedua, saya percaya semua orang itu pada dasarnya baik. Apa pun yang dilakukannya, menurut dia baik. Kalau menurut orang lain jahat, mungkin memang pemahamannya yang berbeda. Jadi, coba ditelisik lagi, dipahami mengapa orang tua memperlakukan kamu seperti itu. Apakah kalau dilihat lagi di pohon keluarganya, dia juga diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya? Kemungkinan besar sih begitu, ya. Kalau sudah bisa mengerti dan memaafkan, rasanya bukan lagi kesal, tetapi justru malah kasihan. Kalau sudah kasihan, jadinya kita tidak ada rasa benci atau dendam lagi. Kalau sudah tahu itu, then
break the chain! Cukup akar buruknya berhenti di kamu saja, jangan sampai diturunkan ke anak, ya. Karena biasanya pola akan berulang kalau tidak disadari. Paling tidak, kalau sudah tahu diperlakukan seperti itu tidak enak, jangan memperlakukan hal yang sama kepada anak.
Ketiga, akui bahwa kamu terluka. Jangan disangkal, jangan ditutup-tutupi. Akui saja memang perlakuan itu melukai hatimu. Setelah mengakui
bahwa kamu terluka, olah dan regulasilah perasaanmu itu. Mau dibawa ke mana rasa itu? Oke, kamu sedih sekarang, lalu mau diapakan rasa sedihnya?
Mau dibuat satu landasan bahwa ‘oke anakku nggak boleh merasakan sedih yang sama seperti aku’, atau justru mau cari tau ‘oke, aku mau mempelajari, kenapa sih orang tuaku bisa seperti itu?’ Jadi, semua yang positif diambil dan yang negatif dijadikan pelajaran.
Dalam banyak hal di kehidupan ini, ada satu kunci yang kalau kita jadikan pegangan bisa membantu kita memandang segala sesuatu dengan perspektif yang jauh lebih positif: selalu temukan makna di setiap kejadian yang pernah kita alami.
Jadi, misalnya kalau kamu pernah merasakan tidak enak dikucilkan sama orang tua, maknanya apa nih? Apa sih kira-kira yang Tuhan ingin sampaikan melalui kejadian-kejadian ini? Mungkin Tuhan sedang mengajarkan kita bagaimana berbesar hati.
Mungkin Tuhan sedang menguji kita, bagaimana te-
tap menghormati dan mencintai orang tua tanpa kita harus patuh oleh semua kata-katanya yang tidak membangun. Kita tidak bisa mengubah orang tua kita, tetapi kita bisa kok mengarahkan bagaimana mereka memperlakukan kita, apalagi kalau kita sudah dewasa. Dan yang terpenting, sebagai manusia dewasa kita bisa mengolah emosi, mengatur reaksi, dan mengambil keputusan sendiri.
Kalau sudah memaafkan dan memahami, yang terakhir adalah rekonsiliasi. Kalau hal itu bisa dilakukan, bagus sekali. Akan tetapi, kalau dirasa kurang bermanfaat, tidak perlu dilakukan pun tidak apa-apa. Maksudnya, memaafkan itu untuk kedamaian diri sendiri, bukan untuk orang yang membuatmu marah itu meminta maaf. Sementara rekonsiliasi itu untuk perdamaian kedua belah pihak. Kalau salah satunya malah jadi tidak damai, ya tidak perlu.
You deserve a peace of mind, you deserve a happy life. So forgive your parents, understand them, and use the bittersweet experience as an investment to grow.
Seorang wanita bercerita melalui DM Instragam saya bahwa dia sudah menikah 11 tahun, tetapi belum punya anak. Banyak sudah biaya terkuras untuk program dan usaha. Dia sering menerima komentar menyakitkan dari orang-orang. Mereka memang tidak pernah tahu rasanya kulit perut jadi biru-ungu karena disuntik (program ivf). Mereka tidak paham rasa kecewa ketika segala usaha belum ada titik terangnya hingga komentar, “Wah, masih berdua aja. Sini gue ajarin cara bikinnya. Istrinya kering ya nggak bisa punya anak,” dan komentar tak kalah “pedas” lainnya.
Ada lagi yang bercerita begini.
Mbak, 7 tahun lalu aku melahirkan anak pertama. Tapi, anakku lahir prematur saat usia kandungan 7 bulan. Dia cuma hidup 6 hari dan itu rasanya aku hancur banget. Tiap hari aku nangis dan menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa baik-baik jaga kehamilan. Sampai akhirnya pada bulan ketiga kepergian anak pertamaku, suami ngajak honeymoon lagi.
Pulang honeymoon, aku hamil lagi! Dokter kaget karena jaraknya terlalu dekat dengan riwayat kehamilan pertama yang prematur. Dan benar, kehamilanku yang kedua ini cukup buatku stres.
Jujur, aku trauma. Aku takut yang kedua ini bakal gagal lagi. Tiap hari kerjaanku hanya coretin kalender sambil berdoa semoga bayi ini sampai 9 bulan dan lahir dengan selamat dan sehat. Tapi apa yang terjadi, Mbak? Baru bulan keempat, ketubanku pecah.
Sampai di rumah sakit, rahimku sudah terbuka. Dokter nggak ada pilihan selain mengeluarkan bayiku. Nyawa kami berdua taruhannya. Aku perdarahan hebat. Dokter bilang bahwa kemungkinan aku selamat 50:50. Dalam kondisi ini aku seperti tidak terima. Aku histeris dan merasa marah sama Allah. Aku merasa Allah nggak adil, lalu tensi darahku melonjak drastis dari 100/80 jadi 180/150.
Akhirnya, aku dikuret sambil ditransfusi, entah berapa kantong darah yang masuk karena aku sudah tidak sadar. Pascapemulihan, dokter bilang, “Ibu, habis ini kita general check up, ya, saya khawatir telah terjadi sesuatu pada Ibu karena lonjakan tensi yang tiba-tiba.”
Hasil lab keluar. Ginjalku kena. Dokter menyatakan aku harus cuci darah. Aku cuma bisa diam tidak tahu harus berbuat apa. Hanya air mata yang mengalir keluar untuk mewakili perasaanku saat itu. Sejak itu, aku rutin melakukan cuci darah seminggu 2x selama hampir lebih 3 tahun.
Aku putus asa. Aku minta suamiku untuk ceraikan aku karena aku merasa tak berguna sebagai istri.
Entah apakah aku bisa memberikan keturunan dalam kondisiku saat itu. Alhamdulillah, Allah kasih suami yang luar biasa sabar. Dia tak peduli dengan omongan orang di luar sana yang bilang aku nggak bisa sembuh, aku nggak bisa ngasih dia anak. Dia yang selalu menguatkan aku. Satu kalimat yang membuatku bangkit, “Aku aja sabar kok, masa kamu nggak sabar.”
Dan jawaban atas doa-doa kami Allah kabulkan. Pada Mei 2017, aku berhasil transplantasi ginjal dengan donor ginjal mamaku. Aku sudah tidak cuci darah lagi dan kami hendak program punya anak.
Tujuan saya sharing ini adalah agar teman-teman paham bahwa semua butuh perjuangan dan itu tidak bisa abrakadraba. Setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda. Butuh waktu, usaha, dan tenaga. Kadangkala orang menyerah di tengah jalan karena tidak tahu seperti apa ujungnya. Reward-nya adalah keindahan dan kebahagiaan yang bisa didapatkan kalau bertahan. Namun sepanjang jalan, akan ditemui hambatan, halangan, dan rintangan. Kadangkala, kita bahkan tidak sadar apa yang kita lontarkan bukan hanya menyakitkan, tetapi mematikan semangat orang lain dalam berusaha. Jangan jadi pembunuh! Ya, pembunuh harapan orang yang sedang berusaha. Bicaralah pakai hati, gunakan empati, sehingga tak perlu ada hati yang tersakiti.
Suatu hari, sebuah pesan masuk ke Instagram saya.
Selamat siang Mba, salam kenal. Mba mungkin kejadian ini pernah Mba alami sebelumnya namun beda cerita dengan kasusku.
Aku dan suami sudah kenal lama. Kami berpacaran dari SMP dan menikah hampir 5 tahun. Sejak pacaran sampai menikah, aku tidak pernah menuntut banyak hal darinya. Kami sama-sama bekerja.
Gajinya untuk beli susu anak dan bayar listrik, sedangkan gajiku untuk bayar ART, untuk makan sehari-hari, dan lain-lain.
Awalnya, semua baik-baik saja. Namun, lambat laun, sifat aslinya muncul. Semua berubah. Dia menjadi sangat egois, sering berkata kasar, tidak mau mengerti perasaan dan acuh tak acuh. Aku sering mengajaknya sharing tentang masalah rumah tangga kami, tapi dia cuma diam. Kadang hal sepele menjadi besar, seperti aku tanya beberapa hal dengan baik-baik semalam. Dia ketus dan menjawab kasar, ketika saya bertanya, “Kenapa kamu begitu?
Kenapa aku kamu kasarin?” Dia malah jawab, “Ya udah, silakan kamu cari orang lain yang bisa ngertiin kamu ....” Padahal, Mba, aku selalu berkorban
banyak buat dia, tapi hancur hatiku saat dia bilang begitu.
Aku selalu nrimo, tapi dia seperti lepas tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Berkomunikasi dengan dia rasanya buntu, seperti ngomong sama batu. Aku seperti tidak dianggap dan tidak dihargai sebagai istri. Semua aku tutupin dan berusaha kuat juga sabar. Tapi, lagi-lagi buntu. Aku ajak dia introspeksi diri masing-masing, dia menanggapi cuek. Hancur hatiku, Mba. Apa yang harus aku lakukan?
Mohon petunjuk karena aku takut jika hubungan kami berpengaruh terhadap perkembangan anak kami. Terima kasih banyak, Mba.
Tentu tidak nyaman ya, ketika kita merasa pasangan berubah menjadi sangat egois, sering berkata kasar, tidak mau mengerti perasaan dan acuh tak acuh. Sering diajak sharing, tetapi hanya diam, ketus, dan menjawab kasar. Bahkan, menyuruh kita mencari orang lain yang bisa mengerti. Padahal, kamu merasa sudah berkorban banyak, sudah nrimo, tetapi dia seperti lepas tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Setiap berkomunikasi rasanya buntu dan seperti ngomong dengan batu, merasa tidak dianggap dan dihargai sebagai istri. Ketika berusaha kuat dan sabar, namun semua seperti buntu. Ketika diajak introspeksi diri hanya cuek dan acuh tak acuh sehingga hati terasa hancur.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, izinkan saya menceritakan pengalaman pribadi yang masih relate dengan keluh kesah di atas, ya. Duluuu, saya pun sering uring-uringan karena merasa pasangan sangat cuek, diajak ngobrol jawabnya cuma seperlunya saja. Nikah bertahun-tahun nggak pernah dikasih kado, bunga, apalagi surat cinta. Waktu diprotes tidak romantis, jawabannya, “Kalau mau yang romantis, jangan nikah sama akulah!” Padahal ya udah kadung nikah dan punya anak dua! Dan, sama sepertimu, saya pun tidak pernah menuntut banyak hal darinya soal keuangan. Saya telah merasa berkorban banyak, tetapi dia kok tidak seperti yang saya harapkan, ya. Alhasil, saya jadi sering merasa kecewa.
Keadaan mulai berubah menjadi lebih baik ketika saya mengetahui konsep mengelola harapan demi menghindari kekecewaan. Jika kita mengharapkan pasangan berubah sesuai harapan kita, kita akan merasa kecewa. Selamanya. Karena itu, saya berhenti berharap pasangan saya berubah. Yang saya lakukan adalah mengubah cara saya merasa, cara saya berpikir, cara saya bereaksi, dan cara saya memperlakukannya. Saya sadar bahwa saya tidak mungkin mengontrol orang lain untuk bersikap dan berperilaku sesuai harapan saya. Akan tetapi, saya bisa mengontrol diri sendiri: pikiran saya, reaksi saya, dan pilihan yang saya buat terhadap situasi yang saya hadapi.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Daripada bertanya, “kenapa kamu begitu?”, coba ganti dengan
“aku sedih lho kalau kamu begitu.” Jangan lupa, sebutkan secara spesifik tindakan apa yang membuat kamu sedih. Daripada bilang, “kenapa aku kamu kasarin terus?” yang tentunya bikin dia tambah kesal karena sudah diberi label kasar dan kamu tidak akan mendapat manfaat apa pun dari perkataan itu, coba deh ganti dengan “sebenarnya, aku kecewa waktu kamu ...” sebutkan secara spesifik tindakannya yang membuatmu merasa kecewa.
Ingat prinsip ini: Be soft on the person, hard on the problem. Lembut pada orangnya, tegas pada masalahnya. Pisahkan antara orang dan masalahnya.
Jangan buru-buru melabelinya egois, kasar, acuh tak acuh. Kata adalah doa. Mungkin kamu akan mengerutkan dahi dan berdalih, lho kok jadi saya yang harus berubah, kan dia yang salah? Tunggu, salah menurut kacamata siapa dulu? Mungkin saja justru di mata pasangan cara kitalah yang salah sehingga bukannya berubah malah membuat dia tambah marah.
Percayalah, ketika dulu saya memosisikan diri sebagai “korban dari suami yang kurang perhatian”, saya tidak mendapat apa-apa dan sama sekali tidak
ada perubahan. Namun, ketika saya inisiatif melakukan perubahan diri dan mengubah cara saya bereaksi, dia pun ikut berubah lebih baik lagi. Dari yang
dulu sangat cuek dan tidak romantis sama sekali, sekarang rajin memberi bunga setiap kali saya ulang
tahun, valentine, dan ulang tahun pernikahan, TANPA PERNAH DIMINTA. So, there’s a hope.
“The only thing we have control over is our thoughts and attitudes. If you make a bad decision, it’s how you deal with it that is important and that means you bring it back into your control.”
(Rita Harney, author of Its Time for Woman to Take Control)
Halo Mbak, aku X usia 24 tahun. Aku menikah saat usia 22 tahun. Sebelum menikah, aku sudah punya anak di luar nikah saat aku masih SMA. Anakku ini aku rawat, aku biayai sendiri, dan tinggal bareng aku dan orangtuaku. Seiring berjalannya waktu, aku menikah dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku.
Sejak awal kenal, aku tidak pernah menutupi statusku bahwa aku sudah punya anak. Saat itu, suamiku mau menerima, bahkan saat pacaran pun dia mau menjemput/mengantar anakku sekolah praTK. Namun, setelah menikah, keadaan berubah. Suami mendadak benci dengan anakku. Sampai pada awal pernikahan, aku harus tega melihat anakku tidur di kamar pembantu. Sementara aku dan suami berada di kamar pribadi dengan pintu dikunci dari dalam agar anakku tidak bisa masuk. Betapa hancur hatiku, Mbak. Tapi, aku tetap bertahan karena aku juga sedang mengandung anak dari pernikahanku saat ini. Aku bertahan sampai sekarang karena aku selalu ketakutan akan masa depan. Aku lahir dari keluarga sederhana. Papa sudah tidak bekerja dan sudah tidak bisa membantu ekonomi kami. Aku juga tidak bekerja karena tidak punya ijazah SMA. Jika aku pi-
sah dengan suami, aku tidak bisa menghidupi anakku. Tahun lalu, aku putuskan pindah ke Jakarta dengan meninggalkan anakku di Malang. Sekarang, dia tinggal dengan kakeknya (papa saya) dan sudah 1 tahun setengah aku tidak pernah pulang kampung.
Suami selalu marah ketika aku berhubungan dengan mereka.
Suami tidak mau kalau anak keduaku sampai bertemu dengan keluargaku di Malang, Mbak, terutama anak pertamaku. Aku sering diperlakukan kasar (ditampar). Suamiku tipe yang sangat emosional. Selama ini biaya anakku masih ditanggung suami. Tapi, sejak saat ini dia tidak mau lagi kirim uang ke Malang. Dia bilang kalau kebutuhan kami di Jakarta sangat besar dan tidak cukup jika harus kirim uang. Padahal dia masih sering belanja online, makan di luar, tapi dia tidak mau lagi menyisihkan uang untuk anak pertamaku.
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku ingin sekali bekerja, tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan karena aku tak punya siapa-siapa di Jakarta, baik teman atau saudara yang bisa membantu.
Apakah aku harus tetap bertahan dan bersabar? Tapi
sampai kapan? Dan aku tidak tahu dengan apa anakku di Malang bisa hidup kalau kami tidak memberinya uang.
Terima kasih atas perhatiannya, Mbak. Semoga saya bisa mendapat jawaban.
Saya mengerti, tidak nyaman sekali, ya ketika merasa tidak berdaya. Saya punya kabar buruk dan kabar baik untuk pertanyaan ini. Mau yang mana dulu?
Baiklah, kabar buruknya adalah kamu tidak akan mengubah keadaan jika kamu masih memiliki mindset yang sama: merasa tidak berdaya karena keadaan. Kamu akan selalu merasa ketakutan akan masa depan, merana karena lahir dari keluarga sederhana, tidak bekerja karena tidak punya ijazah SMA, tidak tahu harus bagaimana, dan tidak punya siapa-siapa yang bisa membantu.
Kabar baiknya adalah KAMU BISA mengubah keadaan itu. KAMU BISA berdaya, berkarya, dan bahagia. Bagaimanapun keadaannya. Caranya bagaimana? Berhentilah memosisikan diri sebagai korban keadaan. Mulailah bertanggung jawab terhadap dirimu. Berhentilah mengasihani diri dan mengandalkan orang lain untuk kebahagiaanmu. Jadilah orang yang memegang kendali akan hidupmu. Kamu yang memegang kontrol penuh terhadap masa depanmu. So, take charge, be in charge!
Langkah konkret pertama: ubah cara berpikir menjadi lebih positif. Kamu mengira kalau suami mendadak benci dengan anak tiri setelah menikah.
Kamu harus tega melihat anak tidur di kamar pembantu. Mungkin saja yang terjadi adalah suami ingin privasi intim dengan istri, dan itu tidak bisa terjadi selama masih ada anak di dalam kamar. Hal positif-
nya: suami menginginkanmu di tempat tidurnya, bukan orang lain.
Langkah konkret kedua: ubah cara merespons keadaan, ubah hambatan menjadi tantangan. Kamu merasa bahwa ketakutan akan masa depan, takut tidak bisa menghidupi anak jika pisah dari suami karena lahir dari keluarga sederhana, papa sudah tidak bekerja, dan kamu pun sudah tidak bekerja
karena tidak punya ijazah SMA. Pertanyaannya, apakah semua pekerjaan butuh ijazah SMA? Halo, bagaimana dengan Ibu Susi Pudjiastuti mantan
Menteri Kelautan kita? Lalu almarhum Eka Tjipta
Widjaja, pendiri Sinar Mas Group yang hanya mengantongi ijazah SD, tetapi bisa menjadi orang terkaya nomor 3 di Indonesia pada 2011 versi Majalah
Forbes?
Langkah konkret ketiga, tentukan apa yang sebenarnya kamu inginkan. Kamu bingung, harus bagaimana? Apakah harus bertahan dan bersabar?
Sampai kapan? Bayangkan ini: ada orang tak dikenal menanyakan padamu arah jalan.
“Mbak, saya harus lewat mana, ya?
“Memang Masnya mau ke mana?”
“Saya nggak tahu mau ke mana, Mbak.”
“Lha, kalau Masnya aja nggak tahu mau ke mana, ya mana saya tahu Mas harus lewat mana?
Kepriben ...”
Your life is a result of the choice you make. If you don’t like your life, start making better choices.
yang Terluka Kak, aku ingin curhat. Aku baru menikah Juli 2018 setelah pacaran hampir 7 tahun. Akhir 2017, calon suamiku waktu itu dapat pekerjaan di luar kota jadi kami mulai menjalani LDR. Waktu awal kerja, calon suamiku dikenalin sama seorang perempuan, sebut saja A, oleh teman kantornya. Aku pikir nggak akan ada apa-apa karena calon suamiku pun cerita soal itu sama aku.
Singkat cerita, aku dan calonku pun menikah. Kami menjalani LDM karena aku bekerja di kotaku dan suami belum mau mengajakku ke kota tempat dia bekerja. Alasannya, dia sangat sibuk karena baru masuk kerja, juga kasihan jika aku ditinggal sendirian di rumah. Suatu hari, Januari lalu aku iseng ngecek HP suami karena feeling sudah nggak enak, dia selalu main HP hampir setiap saat bahkan sampai nggak peduli dengan keadaan sekitar. Aku sering dicuekin kalau lagi ngomong.
Pada Februari, aku iseng ngecek HP suami lagi dan menemukan fakta bahwa mereka pernah jalanjalan ke luar kota selama dua hari pada awal Januari kemarin. Hancur hatiku, Kak. Tega banget. Aku kecewa ternyata setelah ketahuan yang pertama, dia masih menyembunyikan fakta lain. Aku sudah berusaha maklum, tapi dia bilang sibuk. Aku berusaha nggak ganggu pekerjaan dia. Kami bertemu ketika
weekend saja, itu pun biasanya dia pakai untuk tidur karena capek. Tapi, ternyata dia masih ada waktu untuk ketemu dengan si A ke luar kota selama dua hari dan nyetir sendiri sekitar 6-7 jam perjalanan pergi.
Masalah ini ada memang karena aku diam-diam ngecek HPnya, padahal itu bagian dari privasi dia. Tapi, apa yang akan terjadi kalau nggak ketahuan?
Akan sejauh apa hubungan mereka? Itu yang ada di otakku. Aku dilema, Kak antara menyesal diamdiam sudah mengecek HPnya, tapi juga nggak percaya lagi akan privasi.
Sekarang masalahnya sudah lewat. Namun, belum ada obrolan serius di antara kami berdua karena aku selalu emosional ketika membahas hal itu. Suami juga lebih ingin move on dan nggak membahasnya lagi. Dia bilang, yang penting dia sudah sadar dan nggak akan mengulang kembali. Sekarang suami sedang dalam masa probation untuk naik tingkat dan beneran sibuk banget. Tapi masalahnya, sampai sekarang aku masih trauma dan over thinking. Kepercayaanku kepadanya perlahan terkikis dan menipis.
Tremor. Aku terkadang bisa mengalami itu kalau aku tak tahu suami ada di mana dan nggak membalas chatku. Suami pun kadang ngambek kalau aku nanya-nanya terus. Dia mulai nggak suka lagi kalau aku ngecek HPnya, dan malah jadi aku
yang merasa nggak enak. Aku bener-bener jadi bingung, Kak dan merasa insecure kalau nggak boleh
lihat HP suami. Aku merasa mentalku saat ini tertekan, tapi aku juga nggak bisa bicara sama siapa-siapa soal masalah rumah tangga kami karena sering diberi nasihat kalau masalah rumah tangga lebih baik diselesaikan berdua saja.
Mohon saran, ya Kak apa yang harus aku dan suami lakukan. Terutama untukku yang bingung menghadapi suami yang bersikap tidak pengertian dan tidak peduli dengan kondisi mentalku saat ini. Terima kasih sekali kalau Kakak mau merespons dan menanggapi masalahku ini.
Ketika rasa percaya sudah cedera, memang tidak mudah usaha untuk mengembalikannya. Akan tetapi, sulit bukan berarti tidak bisa, apalagi jika kedua belah pihak punya kesadaran untuk memperbaikinya. Teruntuk kamu yang sedang dalam kondisi demikian, dari sisimu, saya melihatmu cukup bijak karena tidak sekalipun kamu sebutkan kata “selingkuh” atau “perselingkuhan”. Kamu bisa mengartikulasi tindakan suami yang kurang berkenan dan tidak menghakiminya dengan label negatif. Kamu bisa memisahkan antara tindakan/kesalahan dengan kepribadian. Itu sesuatu yang harus diapresiasi oleh suamimu.
Di sisi suami, dia sudah bilang, “yang penting sudah sadar dan nggak akan melakukan hal itu lagi.” Itu bisa jadi modal besar untuk mengembalikan rasa percaya yang terluka. Dan, itu adalah sesuatu yang perlu dihargai. Meski demikian, dia juga harus sadar setiap kesalahan ada retribusinya. Dalam hal ini, retribusinya adalah kerelaannya untuk membiarkanmu mengecek HPnya, setidaknya sampai kamu tidak tremor karena insecure lagi dan kepercayaanmu padanya bisa pulih lagi. It takes time and effort to fully heal. Pesan saya untukmu, ingat satu hal yang sangat membantu untuk memaafkan: kesalahan itu terjadi bukan karena ia berniat menyakiti, tetapi karena sebagai manusia dia juga punya kelemahan dan pasti pernah melakukan kesalahan.
Pesan saya untuk suamimu, ingatlah bahwa tidak ada orang yang berniat jatuh dalam pencobaan, jadi jangan marah kalau istrimu menolongmu agar kamu tidak terjatuh dalam dosa, tetapi justru berterima kasihlah pada istrimu karena sudah membantumu mencegah kesalahan yang sama terulang lagi.
When you are writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen.
Belajar dari contoh kasus, ini adalah berbagai pertanyaan yang sering saya terima, baik ketika saya diundang menjadi pembicara ketika workshop, atau pelatihan di berbagai kota di Indonesia. Semoga banyak hal baik yang bisa kita petik dari perjalanan hidup orang lain, ya.
Bagaimana cara menjaga keharmonisan rumah tangga saat kedua pihak tidak mau mengalah? Saat di rumah pun suami selalu sibuk main game di HP, padahal sudah diminta bantu jaga anak, tapi cuek.
[W, 39 tahun, Jakarta]
Kalau saya pakai prinsip: begin with the end in mind. Maksudnya bagaimana? Begini, coba ingatingat ketika menikah, kamu ingin pernikahanmu seperti apa? Kalau saya, ingin pernikahan saya harmonis. Nah, dari titik harmonis itu tarik satu titik mundur ke belakang, bagaimana caranya supaya harmonis? Arti harmonis ini buat saya bukan berarti tidak pernah ada konflik ya, tetapi punya kemampuan menghadapi konflik, bahkan bertumbuh menjadi lebih baik. Jadi, boleh berkonflik, tetapi cara menangani konfliknya harus dipelajari dengan baik.
Lantas, bagaimana tuh cara menangani konflik dengan baik?
Jawabannya adalah belajarlah cara komunikasi asertif. Apa itu komunikasi asertif? Kemampuan untuk mengomunikasikan kepada orang lain apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Caranya? Silakan baca di pembahasan
Komunikasi Asertif, ya.
Selain itu, ada satu lagi prinsip penting yang saya pegang dalam berumah tangga: bahwa pernikahan itu bukan hubungan transaksional, bukan layaknya ikatan penjual dan pembeli, lo bayar gue beri. Bagi saya, dalam hubungan saya dan suami tidak perlu ada yang namanya hitung-hitungan menang-kalah, untung-rugi, take-give. Tidak perlu dihitung-hitung, tidak perlu merasa ‘saya sudah mengalah’, tidak perlu merasa ‘enak di dia nggak enak di gue dong’. Karena percayalah, kalau masih hitung-hitungan soal kebaikan, masih merasa paling sering mengalah dan berkorban, kita tidak akan pernah puas dan bahagia. Akan tetapi, ketika kita sudah menghilangkan sifat hubungan transaksional
maka kita akan memberikan lebih dari 100% usaha
kita tanpa mengharapkan imbal balik, efeknya pasti akan dirasakan oleh pasangan dan anak-anak kita, and eventually kebaikan itu kembali lagi kepada kita :). Yuk, semangat yuk.
How to manage my disappointment to him? And it changes our sex life so badly.
[T, 31 tahun, Jakarta]
For Men : Sex = No (More) Problem
For Women : Problem = No (More) Sex
Yes, sialnya anekdot ini benar banget ya. Maksudnya begini, bagi pria, ketika ia berhubungan seks maka masalah yang tadinya ada seolah jadi hilang. Sementara bagi wanita, ketika ada masalah maka berarti tidak akan terjadi hubungan seksual. Hal ini menjadi seperti lingkaran setan. :)
Jadi, gimana tuh kalau ada masalah? Mau tidak mau, masalah harus dibicarakan. Caranya?
Pertama, cari waktu yang tepat. Jangan membicarakan masalah ketika kita atau pasangan sedang dalam kondisi HALT: Hungry (lapar), Angry (marah), Lonely (kesepian), and Tired (letih). Kalau saya, biasanya saat paling tepat membahas masalah yang terjadi adalah ketika #pacaranmingguini atau saat makan berdua pasangan. Karena ketika makan, keempat kondisi HALT itu tidak ada. Kalau perlu, buat kesepakatan kapan akan hal yang mengganjal itu dibicarakan.
Kedua, bicarakan dengan kepala dingin dan hati yang hangat. Jangan kebalik ya :)). Bicaralah dengan
nada rendah (untuk mengindikasikan ketenangan), dan dalam (untuk mengindikasikan ketegasan).
Ketiga, bedakan antara masalah dan kepribadian. Maksudnya, silakan mengkritik hal atau tindakannya yang membuat kamu kecewa (contoh: berbohong), tetapi sebisa mungkin hindarilah mengkritik
atau melabeli kepribadiannya (contoh: pembohong).
Setelah itu, gimana caranya mengolah kekecewaan terhadap pasangan? Silakan simak Marriage Tips
versi saya dalam buku ini. Masalah ini ada pada
poin ke-5: Pahami dan maafkan. Ketika pasangan
melakukan kesalahan besar, tetapi ia mau mengakui dan meminta maaf, ingat satu hal yang bisa mempercepat proses memaafkan: kesalahan itu terjadi bukan
dengan niat untuk menyakiti, tetapi karena sebagai manusia ia juga punya kelemahan.
The big problem is he never say sorry. Kalau dia sudah adem dia akan ngobrol seperti tidak terjadi apa-apa, sementara di hati saya banyak sekali unekunek yang mau saya utarakan. Coba ngomong baik?
Everytime I try dan NOL besar, endingnya pertengkaran lagi. What should I do then? Can you be my mentor privately, please?
[L, 31 Tahun, Jakarta]
Hal ini kaitannya dengan manage expectations. Coba tolong perhatikan Prinsip Manage Expectation berikut.
Ekspektasi Tinggi, Realita Rendah = Kecewa
Ekspektasi Rendah, Realita Tinggi = Bersyukur
Kalau kita sudah tahu suami nggak pernah minta maaf, maka jangan berharap dia minta maaf. Karena pasti akan kecewa terus :(. Suami saya pun jaraaaangggg banget minta maaf, untuk masalah besar sekalipun. Dalam kamus pernikahan kami: when he says “I love you” it means “I’m sorry” :)) And I get it.
Apakah permintaan maaf itu begitu penting? Maaf itu tidak selalu harus dalam bentuk kata. Perbuatan yang mencerminkan dia menyesal dan berusaha memperbaiki kesalahannya itu justru lebih berarti dibanding kata maaf yang terucap, tetapi tidak ada perubahan. Because the best kind of an apology is a changed behavior.
Lalu bagaimana supaya dia tahu banyak unekunek yang mau diutarakan? Kalau setiap kali kamu coba berbicara baik-baik, tetapi nol besar dan berakhir bertengkar, setidaknya kamu sudah tahu cara yang gagal, maka janganlah gunakan cara yang sama. Remember, insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results. Go explore, try different ways, be creative. Good luck!
Alhamdulillah, pernikahan saya memasuki usia 8 tahun dan sudah dikaruniai dua jagoan. Pernikahan
kami terasa semakin mateng. Semakin lama tambah harmonis, padahal kami bekerja semua. Anak-anak juga lagi aktif-aktifnya. Berusaha saling mengerti dan memahami kedua belah pihak. Pertanyaannya, bagaimana agar kami sebagai suami istri dan sebagai orang tua bisa menerapkan rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah? Terima kasih.
[AH, 34 tahun, Semarang]
Bagaimana menerapkan rumah tangga sakinah
mawadah warohmah? Mari kita ulas dulu artinya.
Sakinah = tenang atau tenteram
Mawaddah = cinta
Rahmah = kasih sayang
Ketiga kata tersebut diambil dari al-Qur’an surat
ar-Rum ayat 21. Jadi, bisa disimpulkan secara sederhana, rumah tangga sakinah mawaddah warohmah
adalah yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang demi tercapainya rumah tangga yang memberikan ketenangan dan ketenteraman.
Hal tersebut senada dengan yang tertulis dalam
alkitab 1 Korintus 13 tentang kasih. Bahwa kasih itu
sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, dan tidak sombong. Kasih tidak melakukan
yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri
sendiri. Kasih itu tidak pemarah dan tidak menyim-
pan kesalahan orang lain. Di antara iman, pengharapan, dan kasih, yang terbesar di antaranya adalah kasih.
Bagaimana contoh penerapannya dalam kehidupan rumah tangga? Salah satunya, kalau punya anak lelaki, tanya ke diri sendiri: mau anak lelakinya dapat istri yang seperti apa? Nah, jadilah istri yang seperti itu. Sebaliknya, kalau punya anak perempuan, tanya ke diri sendiri: mau anak perempuannya dapat suami yang seperti apa? Nah, jadilah suami yang seperti itu :).
How to escalate our performance: penampilan atau kecantikan. Sementara kita sendiri nggak tahu gimana caranya mbak, hehe.. Lelah dengan banyak urusan kerjaan dan household.
[D, 35 tahun, Surabaya]
Sebenarnya, nggak perlu dandan-dandan yang
‘wah’ banget. Hal terpenting ketika suami pulang istri tidak kucel dan butek-butek banget, itu juga sudah cukup sih menurut saya. Begini, suka tidak suka, pada dasarnya lelaki itu makhluk visual. Laki-laki mudah dimanjakan lewat pandangan, berbeda dengan wanita yang lebih mudah dimanjakan lewat kata-kata dan pujian. Jadi, salah satu cara memanjakannya adalah dengan berpenampilan yang cukup indah dipandang, meski hanya di rumah saja. Kalau
nggak tahu caranya berdandan, banyak video tutorial dandan di YouTube kok. Tidak harus dandan menor, sekali lagi, yang penting lumayan nyaman dipandang mata. Anak saya pernah bertanya, “Mommy mau ke mana?”
“Mau menyambut Daddy pulang”
“Kok rapi amat?”
“Daddy di luar sana kan ketemu banyak orang, pasti penampilannya pada rapi, wangi. Kalo Daddy pulang ke rumah liat Mommy berantakan, nggak enak dilihat, jadinya njomplang. Kan lebih enak kalo
Daddy pulang dipeluk istri yang ngga kalah rapi dan wangi, pasti jadi lebih happy.”
Akan tetapi, yang paling utama bagi saya, mengurus diri itu adalah salah satu cara saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah menganugerahkan raga ini. Menjaga penampilan adalah cara saya untuk menghargai diri sendiri, dan menjadi bagian dari me-time yang saya nikmati setiap hari. Kalau suami senang melihatnya, itu bonus combo.
My best friend once wrote in my diary: Doing good begins with feeling good. Feeling good begins with looking good!
Treat yourself well because s/he’s the only one who stays with you for the rest of your life.
Hubunganku dan suami masih bisa dibilang anget-anget tahi ayam karena besarnya ego yang dimiliki suami. Aku pun punya sifat baperan. Tapi, semua itu bisa kami hadapi bersama dengan saling pengertian.
Kendalanya, ada di orang tua kami masingmasing yang sering merecoki rumah tangga hingga rasanya jengah. Bagaimana, ya Mam Nuniek memperkuat hubungan pasutri yang kadang pengen pisah karena tekanan dari orang tua?
Kalau orang tua masih merecoki rumah tangga anaknya, itu berarti mereka masih memakai topi controller ke anak mereka, padahal harusnya topi itu sudah pensiun sejak anak berusia 13 tahun. Silakan baca tentang Prinsip 3 Topi dalam Parenting, ya. Jadi, bagaimana seharusnya?
Begini, dalam kitab suci kami tertulis, anak memang wajib menghormati orang tuanya. Namun, ada tertulis juga bahwa ketika laki-laki dan perempuan menikah, mereka meninggalkan ayah dan ibunya, dan menjadi satu tubuh. Artinya, suami dan istri satu kesatuan. Bagi saya dan suami, ketika sudah menikah maka yang perlu diprioritaskan adalah pasangan, baru orang lain termasuk orang tua dan anak. Jadi, suami dan istri harus sepakat dulu bagaimana menghadapi orang tua atau mertua. Ketika
[M, 26 Tahun, Bekasi]
menyampaikan hal-hal yang kurang mengenakkan, harus anak kandung dari orang tua tersebutlah yang mengutarakan, bukan menantunya. Karena jelas ya, tidak ada yang mantan anak, tetapi ada mantan menantu.
Intinya, orang tua cenderung lebih bisa memahami anak kandung ketimbang menantu. Begitu pula sebaliknya, anak kandung lebih tahu bagaimana menghadapi orang tua kandungnya, ketimbang mertuanya. Jadi, sebelum menghadapi gempuran dari luar (dalam hal ini orang tua dan mertua), perkuat dulu fondasi dan benteng di dalam, alias kasih dan hubunganmu dengan suami. Ibarat sebuah istana, ketika fondasi kuat dan benteng kukuh, maka akan sulit goyah atau roboh. Mentor saya pernah bilang, suami istri jangan seperti rel kereta, kelihatannya berdampingan tapi selalu ada jarak dan tak pernah menyatu.
Mau nanya, biasanya kalau displacement itu kan muncul karena kita juga punya “sampah” yang
pengen kita keluarkan pas suami pulang kantor.
Nah, supaya sampah itu nggak melulu suami yang nanggung, sebaiknya gimana ya caranya? Apakah
kita harus punya temen untuk jadi “tong sampah”
kita? Atau bagaimana?
[C, 33 Tahun, Jakarta]
Salah satu cara saya mengatasi displacement adalah dengan memahami inner child dan personal healing. Silakan baca pembahasan-pembahasan sebelumnya. Kalau saya pribadi, jaraaaannnggg banget curhat, bahkan ke para sahabat. Saya baru akan curhat kalau saya yakin orang yang dicurhatin itu bisa meringankan permasalahannya. Mungkin karena saya introvert, jadi kurang merasa perlu stimulus dari luar. Biasanya, yang saya lakukan agar suami tidak kena imbas displacement dan inner child adalah dengan punya me-time yang cukup. Kegiatan favorit saya adalah membaca buku atau berkebun sambil mendengarkan musik. Kalau saya sudah anteng gitu, biasanya lebih bisa menata kata untuk disampaikan ke suami dengan lebih baik.
Hal lain yang bisa sangat membantu adalah dengan journaling, yaitu mengartikulasi semua yang ada dalam pikiran kita ke dalam tulisan. Tulis aja dulu semuanya, tidak perlu pakai mikir lama, tidak usah diedit-edit. Setelah selesai semua, baru baca lagi, lalu pikirkan: “kira-kira bagian mana yang perlu disampaikan ke pasangan? Bagaimana cara menyampaikannya?”
Setelah saya melakukan itu, saya jadi kaget sendiri. Reaksi saya antara lain seperti ini.
“Aduh, nggak penting banget sih.”
“Ini mah ntar aja kalau udah selesai diobrolinnya sambil bercanda.”
“Wah, ini penting banget sih buat diomongin karena kalau nggak pasti bakal berulang kayak gini terus.”
Kira-kira samalah seperti prinsip membuang sampah:
harus pada tempatnya (waktu dan lokasi yang tepat), dipilih mana yang organik mana nonorganik, mana yang bisa di-reduce, reuse, recycle.
Halo Mbak Nuniek, mau tanya. Bagaimana menjadikan/mengubah seseorang untuk berpikir lebih dewasa dan bijak?
Pertanyaan ini sering diajukan followers saya di DM Instagram, bagaimanakah caranya mengubah pasangan/anak/orang tua?
Jawaban saya: jangan pernah mengharapkan orang lain berubah karena kita, sebab orang bisa benar-benar berubah itu hanya kalau dia mau berubah. Kalau berubahnya terpaksa demi orang lain itu namanya bukan berubah, hanya masking atau palsu.
Nggak mau kan kita hidup dengan orang yang penuh kepalsuan? If you can’t change the situation, change your reaction. Kita tidak selalu bisa mengubah situasi, yang bisa kita ubah adalah reaksi kita.
[L, 30 Tahun, Surabaya]
Ketika kita sendiri yang berubah duluan, perlahan tapi pasti orang itu juga jadi berubah, tanpa diminta ataupun dipaksa.
Ini contoh nyatanya, ya. Ibunya tidak berusaha mengubah anaknya, tetapi ia melakukan pendekatan yang berbeda (mengubah reaksinya). Tanpa diminta, anaknya mau berubah sendiri.
Bagaimana caranya mengatur kebutuhan komunikasi antara aku yang Ekstrovert dan dia yang Introvert banget? Selain itu, prioritas no.1 nya dia kerjaan, bukan kami.
[S, 30 Tahun, Jakarta]
Menarik, perbedaan kepribadian, yang satu
Introvert dan satu lagi Extrovert, bagaimana mengatasinya? At least, modalnya sudah ada, ya: aware bahwa kamu dan pasangan berbeda. Kamu yang
Ekstrovert, punya kebutuhan recharge energi dengan cara berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
Sementara dia yang Introvert, juga punya kebutuhan recharge energi, tetapi dengan cara menyendiri, kontemplasi, dan apa pun itu yang tidak perlu interaksi dengan orang lain.
Introvert itu bisa dibilang selective extroverted.
Artinya, dia bisa lho jadi Extrovert dengan orang yang benar-benar bisa buat dia nyaman. Nah, sekarang PR nya adalah cari tahu dulu, apa sih yang
biasanya buat suami nyaman? Kalau saya, sudah
tahu hobi suami adalah nonton film. Ya sudah saya temenin dia nonton film berdua setiap minggu. Sebelum nonton, kita makan dulu, dan di situlah saya bisa mengeluarkan uneg-uneg melalui sesi Bagaimana Perasaan Saya (BPS).
Terkait prioritas, suka tidak suka, diakui atau tidak, memang mayoritas lelaki prioritasnya adalah pekerjaan karena itu bagian dari identitas diri dan kekuatan dia. Sementara bagi kebanyakan wanita, prioritas utamanya adalah keluarga dibanding pekerjaan. Lalu bagaimana menjembataninya?
Jadwalkan waktu berkualitas bersama keluarga. Mentor saya selalu bilang, waktu berkualitas bersama keluarga itu harus dijadwalkan, bukan disisakan. Mau meeting sama orang lain saja kita bisa dijadwal, masa waktu bareng keluarga harus cari-cari waktu sisa? Makan sambil ngobrol bareng meski hanya 15-30 menit sehari juga cukup.
Sejak punya anak, aku merasa suami sering lupa bahwa aku juga manusia, punya perasaan dan kebutuhan. Yang dia pikirkan hanya anak dan anak. Aku pun merasa enggan untuk bilang secara langsung (misal), “Pa, coba tolong perhatian ke aku jangan dikurangi...” Apa aku bisa pakai metode MBTI untuk hal ini ya? [I, 32 Tahun, Jakarta]
MBTI bisa digunakan untuk segala aspek hubungan. Sangat powerful. MBTI mengubah cara pandang dan pendekatan kita terhadap diri sendiri dan orang lain. Saya sangat sarankan siapa pun yang ingin memahami diri sendiri dan pasangan untuk belajar MBTI. Baca tentang MBTI pada bab
Memahami Perbedaan Kepribadian, ya.
Kalimat “Pa, coba tolong perhatian ke aku jangan dikurangi” itu masih bisa diganti ke yang lebih asertif dengan “Pa, Mama seneng deh kalo papa ... (isi dengan spesifik satu tindakan suami yang membuat kamu bisa merasa senang). Waktu papa melakukan itu, aku merasa senang dan diperhatikan.”
Titik-titik yang diisi sendiri itu sebaiknya utarakan dengan pengalaman real yang sudah-sudah ya, jangan yang belum pernah terjadi.
Pada umumnya, laki-laki tidak suka diperintah.
Meminta tolong itu, meskipun halus namun masih dalam kategori perintah. Laki-laki senang jika merasa dibutuhkan, dikagumi. Mereka sangat senang jika
merasa menjadi pahlawan bagi pasangannya. Jadi, buatlah mereka seperti itu. Buatlah suami merasa berguna, berdaya, dibutuhkan, dikagumi, dan menjadi pahlawan bagi kita. Dengan menyebutkan secara spesifik apa saja tindakannya yang membuat kita
merasa senang dan diperhatikan, dia akan tahu, oh kalau aku begitu, istriku senang toh, merasa diperhatikan toh. Kadang kita berpikir, ih, suamiku nggak perhatian banget sih! Padahal, tahu nggak, mereka bukannya nggak perhatian, cuma nggak tahu saja
bentuk perhatian untuk kita dan mereka bisa sangat berbeda. Bisa jadi bagi suami, memikirkan anak adalah salah satu bentuk kasih sayang terhadap istri.
Nah, kalau kita tidak bilang secara spesifik tindakan apa yang membuat kita senang dan diperhatikan, tetapi terus mengharapkan suami bisa nyenengin dan perhatian sesuai keinginan kita, apakah kita menikahi cenayang?
1. Saya menjalani long distance marriage. Untuk beberapa hal suamiku masih nge-keep sendiri, nggak mau share ke aku. Aku kan jadi suka kepo gitu, ya. Gimana caranya supaya suami mau share? Suamiku tipe introvert.
2. Untuk urusan anak, suami saya lebih banyak ngasih tanggung jawab pengasuhan ke saya. Gimana caranya mengajak suami untuk turut aktif dalam pengasuhan mengingat pentingnya peran ayah dalam pola asuh anak.
P, 28 Tahun, Bandung
Jawaban pertama. Biasanya, ketika suami enggan berbagi karena dia tidak mau membebani kita, atau menurut dia hal tersebut kurang penting untuk dibahas. Bisa juga karena hal tersebut kurang nyaman dibicarakan. Nah, bagaimana caranya supaya suami mau share?
Kuncinya adalah buat dia merasa nyaman dulu bicara dengan kita. Untuk seseorang dengan kepribadian Introvert memang cenderung tidak mudah
terbuka, tetapi bukan berarti tidak bisa. Introvert is a selective extrovert. Artinya, dia bisa sangat terbuka kepada orang yang membuat dia merasa nyaman.
Ketika suami pulang, kita mungkin bisa mencoba menemani suami melakukan hal yang disukainya, disuguhi makanan atau minuman kesukaannya, disayang-sayang dulu. Setelah dia merasa nyaman, baru pelan-pelan ajak ngobrol, santai aja nggak usah terlalu serius. Kalau suami mulai agak ngegas atau menarik diri, kendorin dulu, jangan ikutan ngegas, nanti malah nabrak.
Satu hal yang penting untuk dimengerti adalah orang Introvert itu mendapatkan sumber energinya dari dalam diri sendiri. Jadi, untuk bisa curhat ke orang lain dia butuh usaha ekstra, maka hargailah usahanya, ya.
Jawaban kedua.
Untuk persoalan suami yang kurang aktif dalam pengasuhan anak, perlu ditilik dari pohon keluarganya. Bapak dari suami kamu dulu gimana cara
mengasuh anaknya? Apakah aktif terlibat pengasuhan, atau pasif dan menyerahkan ke ibunya saja?
Karena sangat tidak adil jika mengharapkan suami menjadi seperti ayah kita, padahal dia dididik oleh ayahnya. Kalau sudah paham kebiasaan dari keluar-
ga asalnya, kemudian kita kelola ekspektasi kita, dan coba bicarakan dengan suami. Bagaimana caranya? Contoh konkret yang saya lakukan waktu itu
adalah katakan padanya, “Let’s break the chain.”
Maksudnya, setelah melihat pohon keluarganya, saya jadi paham mengapa dia tidak aktif dalam
pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, karena bapaknya dulu ternyata juga begitu. Lebih senang dilayani, ditambah lagi ibu dari mama mertua
saya juga mengajarkannya layani suami. Jadi, papanya tidak mendidik anak lelakinya (suami saya) untuk
terlibat aktif dalam pengasuhan anak dan pekerjaan
rumah tangga. Nah, dengan “Break the chain” itu kita mengubah akar pohon keluarga yang kurang baik, menjadi suatu kebiasaan baru yang lebih baik lagi.
Saya cerita ke suami, kalau papa saya dulu bagaimana. Papa saya sehari-harinya bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dan aktif terlibat dalam pengasuhan anak. Salah satu kenangan yang
paling melekat tentang masa kecil saya adalah ketika
papa saya hampir setiap minggu mengajak kami sekeluarga rekreasi ke Monas atau Ragunan. Ketika
papa saya meninggal, itu adalah hal pertama yang saya tulis tentangnya di blog. Sementara bagi anak pertama kami, yang paling dikenang tentang
Mbahnya (ayah saya), adalah ketika Mbahnya membuatkan nasi goreng untuknya. Bahkan ketika di makam, dengan polosnya dia yang saat itu berusia 8
tahun bertanya: Mbah di surga bisa bikin nasi goreng ngga, ya?
Kenangan-kenangan indah seperti itulah yang saya ingin anak-anak saya ingat tentang suami saya sebagai ayah mereka. Boleh bilang begini (dan biasanya ampuh), “Sayang, kamu ingin anak kita nanti dapat pasangan yang seperti apa? Yuk kita jadi pasangan yang seperti itu.” Semoga jawaban ini membantu, ya.
Bagaimana cara menghilangkan gengsi saat menerapkan “I language”? Kadang aku merasa lemah kalau menerapkan “I language” kepada suami setiap mau mengungkapkan sesuatu. Tetapi, aku pernah coba dan berhasil itu juga setelah udah mepet baru aku mau lakukan.
Hai D, terima kasih pertanyaannya. Wah iya bicara soal gengsi memang berat ya apalagi kalau belum biasa. Kuncinya fokus di “why”, then we can bear all the “hows”. Maksudnya adalah, paham dulu kenapa kita melakukan itu. Kalau kita udah
tahu targetnya mau ungkapin sesuatu supaya lega, tapi kalo cara ungkapinnya salah kan malah jadi ribut ya. Nah, kita kan nggak mau ribut, jadi rasa
gengsi itu udah nggak jadi masalah lagi karena su-
dah paham, nanti begini lhoo hasil yang didapatkan. Apalagi kalau kamu sudah pernah melakukan dan merasakan hasilnya, nanti lama-lama akan bisa karena terbiasa kok. Btw ini formulasi komunikasi asertif yang kamu bisa pakai ya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Formula Komunikasi Asertif
Aku ... (isi dengan perasaanmu)
Waktu kamu ... (isi dengan tindakannya yang spesifik)
Semoga ... (isi dengan harapan yang realistis)
Contoh komunikasi asertif:
Aku seneng banget deh waktu Daddy ngajarin si Adek matematika tadi, semoga bisa ngajarin rutin yah, mungkin jadwalin tiap Rabu?
Aku tuh sebenernya sedih lho tadi waktu Si Kakak lagi ngomong sama Daddy tapi Daddy dengerinnya sambil main hape. Semoga nanti
kalo Si Kakak curhat lagi, Daddy bisa dengerin
tanpa pegang hape yaa, biar dia merasa dihargai dan diperhatiin sama Daddynya.
Aku bahagia banget bisa pacaran, nonton, dan makan berduaan sama Daddy hari ini. Semoga
kita bisa pacaran lebih sering yah, tiap Kamis
atau Jumat malem yaaa enaknya?
Aku tipe yang perfeksionis dan paling riweh soal kerapian. Aku sering ngomel untuk hal-hal kecil yang luput dari perhatian suami dan karena aku selalu merasa suami selalu berantakin apa yang sudah capek-capek aku rapiin. Suami sih terima-terima aja semua omelanku karena tetap aku juga yang ngerapiin semuanya lagi. Tapi sering kali aku capek, capek hati sih lebih tepatnya, ujung-ujungnya moodku jadi berantakan.
Gimana, ya Mbak caranya biar aku bisa mengelola emosiku, biar nggak capek hati lagi cuma garagara hal-hal kecil, biar suami juga bisa lebih rapi sedikit. Karena sejujurnya saat aku ngomel dan suami diam aja aku mikirnya dia nggak bener-bener dengerin aku, lho. Pura-pura aja budeg, nggak menjawab biar aku cepat diamnya. Udah sampe berbusa nih mulut ngomel-ngomel ya tetap aja suami masih begitu, nggak bisa rapian dikit.
E, 31 Tahun, Pematang Siantar
Hai E, toss dulu kita. Saya aslinya juga tipe gila
kerapian sebenarnya, secara tipe kepribadian MBTI saya J plus bintang Virgo pula yang terkenal organized, haha. Dulu sebelum nikah, saya nggak bisa tuh
mulai kerja kalau meja masih berantakan, dan nggak
bisa pulang kerja juga kalau belum diberesin sampai rapi.
Begitu menikah dengan suami yang kalau
meletakkan barang sesukanya, ditambah lagi punya dua anak sekaligus dalam jarak dekat, stres sekali
rasanya lihat rumah berantakan terus. So, I feel you.
Nah, tapi ada satu turning point yang mengubah saya, kalau dalam NLP namanya teknik reframing.
Caranya, dengan mengubah perspektif dan persepsi diri kita dengan sudut pandang yang lain. Ini ada artikel bagus yang pernah saya dapatkan dari
WhatsApp group untuk menggambarkan seperti apa reframing itu bagi seorang ibu.
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki empat anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan dan kerapihan rumah ditanganinya sendiri.
Suami serta anak-anaknya menghargai pengabdiannya itu. Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian.
Padahal, dengan empat anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarga, ia pergi menemui seorang
psikolog bernama Virginia Satir dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu
dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum
dan berkata kepada sang ibu, “Ibu harap tutup mata dan bayangkan apa yang akan saya katakan.”
Ibu itu kemudian menutup matanya.
“Bayangkan rumah Ibu yang rapi dan karpet Ibu yang bersih, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan Ibu?”
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan, “Itu artinya tidak ada seorang pun di rumah Ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah Ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang Ibu kasihi.”
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung
cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
“Sekarang lihat kembali karpet itu, Ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak Ibu ada di rumah, orang-orang yang Ibu cintai ada bersama Ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati Ibu.”
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
“Sekarang bukalah mata Ibu.”
Ibu itu membuka matanya. “Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi kekhawatiran buat Ibu?”
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu maksud Anda,” ujar sang ibu, “jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif.”
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor karena setiap melihat jejak sepatu di sana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah tersebut adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami
Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Teknik yang dipakainya disebut Reframing, yaitu bagaimana kita
‘membingkai ulang’ sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Ini beberapa contoh pengubahan sudut pandang.
1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV karena itu artinya ia berada di
rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.
4. Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, itu berarti syukur Tuhan memberikan rezeki untuk kita berpenghasilan.
5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.
6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.
7. Untuk rasa lelah, capai dan penat saat penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.
8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.
9. Untuk bunyi alarm keras pukul 4.30 pagi yang membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.
10. Untuk yang mem-posting broadcast panjang dan ‘mengganggu’ ini, artinya masih ada orang baik yang mau berbagi nasihat dan cinta kepada kita.
Setelah reframing, saya jadi paham bahwa nggak
penting seisi rumah rapi jali kalau anggota rumah
malah jadi nggak nyaman mendengar kita ngomelngomel melulu. Atau ya yang lebih ekstrem, rumah
bisa saja rapi tanpa cela, tapi tanpa kehadiran keluarga karena mereka sudah tiada. Nah lho.
Pernahkah terpikir, sangat mungkin sesungguhnya suamimu juga berharap kamu akan berubah?
Tidak lagi ngomel untuk hal-hal kecil yang luput dari perhatian suami? Mungkin juga dia sebenarnya
sedih saat kamu ngomel, makanya diam saja daripada kalau dijawab malah jadi ribut? Atau dia juga bingung karena menurutnya kerapian itu hal yang
tidak penting? Sebab, ukuran kerapian dan tingkat kepentingan setiap orang itu sangat berbeda.
Hal ini persis seperti Michelle Obama yang bingung kenapa Barack Obama bisa memimpin negara, padahal ngerapiin tempat tidur saja malas. Apakah itu berarti Barack Obama pemalas? Ya kali pemalas bisa jadi presiden negara adidaya :)). Jelas, ini hanya soal perbedaan prioritas. Bagi Michelle, penting beresin tempat tidur karena begitulah didikan dan kebiasaan yang diajarkan orang tuanya sejak dia kecil. Sementara bagi Barack, hal itu tidak penting karena baginya ada banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang urusan tempat tidur rapi. Toh nanti juga ditidurin lagi :)).
Kamu mungkin akan bertanya-tanya, lho kenapa harus saya yang berubah? Kenapa bukan dia saja yang berubah, jadi lebih rapi dan peduli? Ingat sekali lagi, bahwa orang tidak akan berubah kalau dia tidak mau berubah. Ini sudah dibahas dalam jawaban pertanyaan sebelumnya, ya. Sebagaimana ditulis oleh
teman saya Daniel Arsenault dalam bukunya “Habis Nikah Ngapain?” kalimat ini sangat benar adanya: “Ingatlah, jika ingin melihat perubahan dalam hidup, Anda perlu menjadi perubahan itu sendiri. Jika ingin pasangan berubah, maka Anda tidak bisa menyuruhnya berubah. Anda perlu memberinya contoh melalui perubahan pada diri Anda sendiri.”
Aku dan suamiku trauma karena pernikahan orang tua kami masing-masing. Saat kami ada masalah, dia tidak bisa menyelesaikannya dengan baik. Lebih sering kabur menenangkan diri dan tidak mau membicarakan apa pun setelahnya. Seolah tidak ada masalah. Aku tipe yang blak-blakan kalau marah, sedangkan dia tipe yang memilih diam dan meninggalkan masalahnya seolah tidak ada.
Aku harus bagaimana ya Mbak agar suami mau mengeluarkan unek-unek-nya? Dalam keseharian dia orang yang ceria dan humoris, tapi saat dihadapkan masalah rumah tangga dia berubah jadi diam.
C, 29 Tahun, Malang
Ketika ada masalah, respons manusia umumnya terbagi tiga.
1. Fight Mengadapi masalah. Tidak ragu melakukan konfrontasi, melawan jika dirasa tidak benar.
2. Freeze Mendiamkan masalah. Berharap masalah berlalu begitu saja. Seolah masalah bisa disembunyikan di balik karpet.
3. Flight Meninggalkan masalah. Tidak mau menghadapi situasi yang tidak mengenakkan, lebih senang kabur dari konflik.
Sementara dalam MBTI, ada istilahnya “on the grip”. Seseorang bisa berubah banget, dari yang biasanya ceria jadi diam seribu bahasa ketika merasa stres atau tertekan. Kita pahami dulu, ya bahwa sebagai bagian dari self-defense, hal itu adalah normal. Jadi, sebaiknya tidak ditanggapi berlebihan. Nah, sekarang bagaimana caranya supaya suami mau mengeluarkan unek-unek-nya?
Kalau saya selalu kembali ke prinsip: “Suami adalah pemimpin, istri adalah penolong yang sepadan”. Sebagai penolong, apa yang harus saya lakukan untuk membantu meringankan beban suami? Orang yang bisa menjawab itu adalah suaminya. Bisa tanyakan langsung, dan ini yang pernah saya lakukan. “Daddy, kelihatannya lagi bete, Daddy mau sharing ke aku? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalau dia bilang “nggak apa-apa”, jangan dipaksa-paksa, bilang saja, “Ya udah, kalau nggak mau share sekarang nggak apa-apa. Nanti kalau udah mau cerita, aku siap kapan aja, yaa.”
Nah, kalau kita juga bete gimana? Apalagi kalau masalahnya besar?
Saya pernah tanya ke mentor saya, “Pak, gimana ini, saya nggak bisa tidur kalau masih ada masalah yang mengganjal, sedangkan suami saya nggak mau
ngebahas saat itu juga, pasti ditunda-tunda atau pura-pura lupa.”
Mentor saya jawab kira-kira begini, “Tujuan
dari pembahasan masalah itu sebenarnya apa?
Menyelesaikan masalah kan? Kalau salah satu memaksa untuk dibahas saat itu juga, sedangkan pihak
yang lain tidak siap, masalahnya selesai nggak?
Mungkin selesai buat salah satu pihak, tapi pihak yang satunya lagi gimana? Jadi, ya sebaiknya ketika
ada masalah, jangan buru-buru berharap diselesaikan saat itu juga kalau belum siap. Tapi, utarakan
dan tanyakan, ‘Aku sebenarnya gelisah kalau kita
belum bahas masalah ini, boleh ya aku minta waktu dan kesiapanmu untuk bahas ini besok malam?
Supaya aku tenang, kamu juga tenang.’”
And it works all the time for us.
Bagaimana cara berkomunikasi dengan suami yang sedikit sekali bicara, sementara itu aku cerewet. Apa pun yang aku jelaskan ke dia mental dan ujungujungnya aku dibilang pinter keblinger. Sakit hati, Mom. Kebetulan kami memiliki latar pendidikan yang berbeda. Selain itu, suamiku ini nggak aktif dalam pengasuhan anak. Ayahnya seperti itu. Ibunya memanjakan anak-anaknya dan seolah semua adalah tugas ibu. Apa boleh aku menjadikan ayahku sebagai sindiran semisal “dulu kalo ibu cape, bapak begini lho”. Tapi, lucunya pas waktu itu ada adiknya yang nginep bilang “ayah nggak begitu”, seketika suami saya ngerasa menang karena ayahnya bukan seperti tipikal bapakku yang membantu ibu.
L, 31 Tahun, Mataram
Waktu awal pacaran dulu, suami saya nggak bisa ngobrol sama orang. Kalau diajak ngobrol jawabannya cuma dua, antara iya dan nggak. Udah gitu doang. Tapi, saya tidak putus asa. Saya ajak dia ngobrol terus dan bergaul dengan komunitas-komunitas yang saya ikuti. Pelan-pelan, dia mulai terbiasa dan sudah bisa memulai percakapan. Bahkan sekarang, ibunya malah bingung, “Wong dulu waktu kecil nggak bisa ngomong, kok sekarang bisa jadi pembicara keliling dunia.” Ternyata, setelah saya tilik,
suami dulu tidak bisa ngobrol banyak sama orang
cuma karena tidak mengerti bagaimana caranya memulai dan menanggapi percakapan. Lha, buat kita wanita kan mikirnya, “Ah masa sih gitu aja mesti diajarin”. Ternyata ya memang mesti diajarin. Tidak semua orang (apalagi pria) bisa luwes dalam memulai dan menanggapi pembicaraan. Soal sakit hati dibilang pinter keblinger, mungkin masih ada rasa insecurity dari pasangan ketika merasa pasangannya
lebih pintar karena latar pendidikan yang berbeda. Menurut saya itu cukup wajar. Maklumi saja, jangan menyerah, ya.
Soal keterlibatan suami pada pengasuhan anak, sudah saya jawab pada Q&A sebelumnya ya. Boleh kok menceritakan apa yang bapakmu lakukan, asal luruskan niat bukan untuk menyindir, tetapi untuk mengedukasi suami yang mungkin memang belum paham saja.
1. Waktu masih muda, suamiku jadi tulang punggung keluarganya karena dia anak pertama. Dua tahun sudah kini dia menjadi suamiku. Setiap bulan, dia memberikan uang bulanan kepada orang tuanya, tapi orang tuanya masih saja ingin dibantu. Sementara aku dan suami punya banyak pengeluaran. Mertuaku itu padahal punya pendapatan. Karena masalah keuangan ini, suami jadi mulai tidak share masalah apa pun. Kalau orang tuanya menelepon, dia selalu bermuka sedih.
Tapi, setiap ditanya, dia bilang tidak ada apa-apa. Aku terus coba tanya dan pahami. Orang tua dia sangat mengandalkan suami karena kami berdua bekerja jadi dapat penghasilan tiap bulan. Gimana, ya Mba caranya biar tidak ada selingkuh keuangan dan mencoba memberi tahu kepada mertua kalau kami juga butuh privasi masalah keuangan. Toh, setiap bulan sudah dapat jatah bulanan.
2. Aku LDM dengan suami, ketemu cuma seminggu sekali. Kadang aku juga butuh kasih sayang. Kalau pulang dia hanya fokus ke anak, tapi saya tidak pernah "disentuh”.
Bagaimana ya caranya supaya tidak ada selingkuh keuangan? Caranya ya harus diusahakan adanya transparansi dan keterbukaan. Masalah transpa-
ransi dan keterbukaan soal uang bisa dibaca pada pembahasan tentang uang, ya. Ada juga di Instagram story saya @nuniektirta yang #TRML The Real Marriage Life.
Akar permasalahan konflik mertua dan menantu, juga sudah ada pada pembahasan Prinsip 3 Topi Parenting. Dalam hal ini, suami dan istri perlu kompak dalam menghadapi gempuran dari luar, termasuk tuntutan dari orang tua atau mertua. Soal sentuhan kasih sayang juga permasalahan yang cukup umum dicurhatin ibu-ibu ke saya, dan ini yang biasanya saya lakukan ke suami: peluk suami dari belakang, bawain minuman kesukaannya, sambil bisikin lembut, “Istrinya pengen diajak ngobrol dan disayang lhoo...” Ini sudah saya praktekkan berulangulang dan masih ampuh. Dicoba dulu ya, semoga berhasil!
Perkenalkan nama saya Nuniek Tirta, ibu dari dua remaja putri dan istri dari Natali Ardianto. Saya aktif
sharing tentang keseharian dan dunia pernikahan di Instagram
@nuniektirta. Saya juga blogger
sejak Januari 2002, tulisantulisan saya bisa dibaca di www.nuniek.com.
Keseharian saya sangat dinamis karena saya punya
banyak peran: baik itu sebagai ibu, istri, speaker, MBTI trainer, community builder, angel investor, ibu kost, juga founder startup tentang tanaman, PlantStory.com. So I like to call myself as multirole woman :) Let's keep in touch!
Instagram: @nuniektirta
Twitter: @nuniek
Email: nuniek@nuniek.com
Website: nuniek.com