6 minute read

Tentang Mentor

Next Article
Curhat

Curhat

Punya mentor itu penting banget! Mentor itu ibarat penuntun yang bisa memberi tahu kita jalan mana yang sebaiknya dilewati dan jalan mana yang sebaiknya dihindari karena dia sendiri sudah melaluinya.

Cara memilih mentor, yang paling gampang adalah cari seseorang yang menurutmu sudah meraih apa yang masih ingin kamu raih. Bayangkan 5-10 tahun lagi kamu mau jadi seperti apa/siapa. Nah, mintalah dia menjadi mentormu.

Advertisement

Saya dan suami memiliki beberapa mentor bukan hanya dalam hal bisnis, tapi juga dalam perkawinan. Para mentor membantu kami melihat masalah secara lebih objektif sehingga bisa mengambil keputusan dengan lebih bijaksana.

Siapa sajakah mereka?

Mentor Bisnis

Pak Jonggi Manalu atau kami memanggilnya Opung, usianya 68 tahun. Sosok yang sangat low profile.

Komisaris yang mau turun gunung jadi CEO ad in- terim dan berjasa dalam menyelamatkan arah perusahaan yang didirikan suami beserta rekan-rekannya yaitu Tiket.com sejak tahun kedua hingga sebelum diakuisisi GDP melalui Blibli.com.

Beliau sudah banyak makan asam garam dalam dunia bisnis. Sering kali kebijakannya tidak dapat dimengerti oleh suami dan rekan-rekannya pada saat itu. Biasanya beliau bilang, “Pikiranmu belum nyampe.” Benar saja, kebijakan itu terbukti tepat setelah dijalani tiga tahun kemudian. Dan akhirnya suami pun paham jalan pikirannya.

Beliau juga pernah secara tidak langsung menyelamatkan uang kami hingga ratusan juta. Waktu itu kami terlalu naif dan hendak menyetujui pinjaman dana darurat dari “teman” dengan bunga sangat tinggi. Ketika mengetahui hal itu, beliau geram dan sangat menentang keras, sampai tengah malam membuat hitung-hitungan dengan tulisan tangan. Untung kami mengikuti saran beliau, uang kami pun terselamatkan.

Mentor Pernikahan

Selain memiliki mentor bisnis, kami juga punya mentor pernikahan. Pak Julianto Simanjuntak dan Ibu

Roswita Ndraha adalah pasangan suami istri pendiri

Lembaga Konseling Keluarga Kreatif (LK3) dan

Yayasan PELIKAN. Mereka memberikan pengaruh besar dalam keharmonisan rumah tangga kami, baik melalui komunikasi langsung, seminar yang diada- kan, atau buku-buku yang mereka tulis. Tulisantulisan beliau juga dapat dibaca pada websitenya, www.juliantosimanjuntak.com

Saya bisa mendalami ilmu konseling berkat program kuliah S2 konseling yang Pak Julianto pimpin, dan itu mengubah hidup saya. Banyak sekali perubahan baik yang terjadi setelah saya belajar ilmu konseling melalui kuliah tersebut. Bahkan ketika baru kuliah 3 bulan, putri sulung saya yang pada waktu itu baru berusia 8 tahun, memeluk saya dari belakang sambil bilang, “I’m so happy Mommy now is not grumpy.” Duh, terharuu banget mommynya dibilang udah ngga suka marah-marah lagi.

Pernah ketika pernikahan kami bermasalah, saya berinisiatif mendaftar pada retreat pasutri yang mereka selenggarakan. Pada waktu itu saya bertanya, “Pak, saya ini kalau ada masalah tidak bisa tidur dan maunya dibahas sampai tuntas. Sementara suami kalau ada masalah malah menghindar dan nggak mau bahas saat itu juga. Gimana, ya sebaiknya?”

Beliau menjawab kurang lebih seperti ini, “Inti dari membahas masalah itu tujuan utamanya apa?

Untuk mencapai solusi kan? Nah, kalau dibahas saat itu juga, apakah bisa menjadi solusi? Mungkin ya, buat kamu. Tapi tidak, buat suami. Jadi sebaiknya, buat dulu kesepakatan mau dibahas kapan. Jadi, kamu bisa tidur malam itu, dan suami juga punya jeda. Sehingga ketika masalah itu dibahas, kepala masing-masing sudah “dingin” dan “tidak panas” lagi.”

Jika sudah berusia lanjut, saya ingin menjadi seperti mereka saat seusianya: keliling Indonesia bahkan dunia untuk menebarkan manfaat positif keluarga kreatif sehingga bisa lebih banyak keluarga yang diselamatkan pernikahannya seperti kami.

Mentor Bisnis dan Pernikahan

Michel Birnbaum dan Gina D’Angelo adalah pasangan suami istri favorit kami yang paling fun dan super asik. Awal kenal Michel pada 2010 ketika kami mengundang beliau sebagai narasumber komunitas startup yang kami inisiasi, #StartupLokal. Michel adalah seorang mentor, investor, dan CEO MindSignsHealth.com.

Keduanya rajin mengirimkan ucapan dan artikel tentang bisnis, hubungan, dan pernikahan. Kalau ke Singapura, kami sempatkan untuk catch up, baik di restoran maupun di kediaman mereka. Jika ngobrol dengan mereka, nyambung apa saja dan sampai berjam-jam pun nggak bosan. Dari mereka pula kami tahu tentang Seven Year Itch, suatu kepercayaan umum tentang siklus ketidakpuasan dalam sebuah hubungan. Kebetulan, pada waktu itu kami baru saja “lulus” dari ujian Seven Year Itch tersebut.

Hal yang kami kagumi dari mereka berdua ada- lah keterbukaan satu sama lain, sehingga apa pun yang diobrolin Michel, Gina bisa nyambung, dan sebaliknya. Mereka berdua juga sangat lucu, santai menghadapi hidup, tetapi juga berkomitmen tinggi pada pekerjaan maupun hubungan dengan pasangan.

Salah satu nasihat dari mereka yang selalu saya ingat adalah selalu sediakan waktu untuk ngobrol dengan anak. Mereka punya tradisi makan malam bersama dan mengobrol di meja makan sejak anakanaknya masih kecil. Tradisi itu juga yang hingga saat ini kami jalankan bersama keluarga kecil kami.

Meski kini mereka sudah dalam fase empty nest (semua anaknya sudah tidak tinggal lagi bersama mereka), tetapi mereka selalu menyempatkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka.

Why Do I Feel Fine Without Maid?

Selama 25 tahun saya hidup tanpa pembantu. Sejak kecil, di keluarga saya semua tugas rumah tangga dikerjakan bersama-sama. Saya ingat waktu SD tugas saya tiap sore sebelum mandi adalah ngepel rumah. Upahnya 50 perak, yang biasanya saya pakai buat jajan wafer Superman. Kalau ditabung 2 hari, bisa beli Coklat Ayam :)). Setelah menikah, tetap nggak ada pembantu. Kami sudah kayak main rumah-rumahan di rumah tante yang kebetulan sudah tidak ditinggali. Pagi sebelum berangkat kerja bersama, saya menyiapkan roti dan suami membuat minuman. Sorenya pulang bareng lagi, mampir dulu di warteg buat makan malem. Setiap hari nyobain warteg di sepanjang jalan yang kami lewati :D.

Masih inget sekali excited-nya pulang cepet untuk nobar serial “Desperate Housewives” di TV sambil nyetrika baju di sofabed. Karena tidak ada AC di ruang tamu, jadi pakai kipas angin butut yang bunyinya krek krek kreekk. Pas hamil, berat badan saya nambah 24 kg, saking gerahnya jadi setiap ma- lem ngemil es batu dan bebas mondar mandir pake baju mini (*oh plis jangan dibayangin*). It was the funniest period of our marriage life :)).

Setelah punya anak, barulah saya merasakan punya pembantu. Saya yang seumur-umur terbiasa membereskan kamar sendiri, sempet takjub waktu balik dari kamar mandi tahu kamar tidur sudah rapi. Oh, jadi gini ya rasanya punya pembantu? =)) Belum lagi sebagai ibu baru, si bayi sebentar-sebentar diambil alih oleh ketiga pembantu yang ada di rumah mertua. Lha, saya jadi bingung mau ngapain.

Setelah pindah ke rumah sendiri dan nambah anak jadi dua, saya bukan cuma punya satu pembantu, tetapi sekaligus tiga. Satu untuk urus rumah tangga, dua untuk urus masing-masing bayi. Ditambah satu karyawan toko online yang saat itu saya jalani, plus satu sopir pribadi. Jadi, anggota keluarga inti cuma empat orang, tetapi yang membantu ada lima orang. Gaya pisan euy! :p

Lalu ada masanya ketika saya nggak punya pembantu dan karyawan sama sekali. Jetlag pasti. Lha, dari pertama punya anak sudah dibantuin sama para “dayang”, tiba-tiba harus urus semuanya sendiri! Mulailah saya play victim, mengasihani diri sendiri, merasa orang paling merana sedunia karena harus urus dua balita sambil tetap membantu perekonomian keluarga.

Setelah gonta ganti pembantu dalam beberapa tahun, saya baru menyadari satu hal: saya kembali dihadapkan pada persoalan yang sama karena saya belum benar-benar belajar. Ibarat ujian dapat nilai jelek, saya dikasih kesempatan untuk remedial, berulang-ulang sampai nilainya bagus. Dan, kunci jawaban ini saya dapatkan begitu saja ketika sedang menjemur pakaian sebelum menjemput anak-anak pulang sekolah: ketika ada pembantu, saya menjadi pemalas. Ketika tidak ada pembantu, saya menjadi pemarah.

God doesn’t want me to be that way, so He gave me the same painful experience over and over again until I get it.

Mulailah saya menjalani apa pun keadaan yang Tuhan berikan dengan rasa ikhlas, penuh penerimaan. Dari sana, langkah saya menjadi lebih ringan.

Ada yang bantu syukur, tidak ada yang bantu juga tidak masalah. Justru karena tidak ada yang bantu, anak-anak malah lebih mandiri dan tidak bossy.

Menyiapkan makan, keperluan sekolah, seragam, semua sudah bisa mereka lakukan sendiri. Mereka juga bisa berempati dengan menawarkan bantuan seperti menyikat kamar mandi. Bahkan, sering juga membuatkan masakan dan minuman buat saya kalau sedang “dikejar-kejar” deadline tugas kuliah dan kerja :).

Ada masanya kami dibantu oleh mbak yang kerja maksimal dua jam per harinya. Tugasnya melakukan pekerjaan rumah tangga yang saya kurang suka: cuci piring, nyapu-ngepel, dan menyetrika. Kalau saya harus ke kantor, dia datangnya pagi. Kalau saya nggak pergi, dia datang siang. Minggu libur, dan kalau kami keluar kota dia juga diliburkan. Tugastugas lainnya kami lakukan bersama sekeluarga. Saya sering wanti-wanti si mbak untuk membiarkan anak-anak melakukan tugasnya masing-masing supaya mandiri.

Beneran deh, kalau kita ikhlas apa pun jalannya akan terasa dimudahkan. Tapi, ya untuk menuju ikhlasnya itu memang tidak mudah. Harus melalui proses, and we can’t discount the process. Satu hal: kalau zaman sekarang saja udah susah cari pembantu, apalagi pada zaman anak-anak kita dewasa nanti, mungkin Indonesia udah setara dengan negara maju lain yang biaya jasa pembantunya selangit. Kalau mereka tidak dibiasakan hidup mandiri sejak dini, I’m afraid it would be too late for them to learn. I just don’t want them to become spoiled brats and make others—especially their spouses—become uncomfortable with their recklessness.

This article is from: