6 minute read

Tentang Trauma

Next Article
Curhat

Curhat

Masa Remaja

Salah satu trauma dalam hidup saya adalah ketika usia 13 tahun difitnah oleh guru Bimbingan Konseling (BK) yang mengatakan ke orang tua saya bahwa saya terlibat jaringan bandar narkoba. Iya, kamu nggak salah baca. BANDAR NARKOBA.

Advertisement

Saya tidak tahu dia menyimpulkan dari mana, tetapi kemungkinan gara-gara ada laporan yang melihat saya jalan dengan teman yang memang pernah mencoba narkoba. And yes, I tried nitrazepam once out of curiousity, and detest the effect. But that's all, for God's sake, nothing less nor more.

Hal yang paling menyakitkan buat saya bukan semata tentang tuduhan itu, melainkan ketika saya tidak pernah ditanyakan kebenarannya. Tidak ada hak jawab, bahkan ketika berusaha menjelaskan malah dibentak. Mereka menelan mentah-mentah laporan itu sebagai sebuah kebenaran. Dan saya harus menanggung konsekuensi atas perbuatan yang tidak saya lakukan.

Orang tua saya kemudian mengambil keputusan sepihak untuk memberhentikan semua les di luar sekolah: bahasa Inggris di Santa Lucia, bahasa Prancis di CCF. Padahal saya suka banget les-les itu. Sedih, kecewa, jengkel, dan marah, campur aduk jadi satu. Lamaaa saya hidup tanpa kesadaran bahwa innerchild saya masih terluka di situ. Sampai pada 2014, saya dapat tugas kuliah menulis tentang masalah terbesar dalam hidup, dan masalah itu saya tulis di urutan nomor satu.

Dosen sekaligus mentor saya Pak Julianto selalu bilang, pengakuan adalah gerbang pemulihan.

Bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah, kalau masalahnya itu sendiri bahkan tidak diakui keberadaannya? Pantesan aja sensitive button saya selalu muncul ketika saya merasa tidak didengarkan. Ya, saya bisa over sensitive dan bahkan meledak kalau suami memotong kalimat saya, atau kalau anak saya tidak mendengarkan perkataan saya.

Saya belajar bahwa meskipun orang lain yang melukai, tetapi kitalah yang berkuasa akan hati kita. Kuasa memaafkan pun sepenuhnya ada pada kita, terlepas dari mereka mau minta maaf atau tidak.

Saya pernah dipanggil ke sekolah menghadap wali kelas anak pertama kami yang berusia 13 tahun. Beberapa bulan sebelumnya saya juga pernah menghadap guru BK. Intinya mereka mengingatkan saja agar si anak belajar lebih serius menghadapi ujian. Sebab, nilainya masih banyak yang di bawah standar sekolah. Saya maklum saja karena sekolahnya memang terkenal berstandar tinggi dalam hal nilai akademis. Sebelum masuk sekolah itu pun, ia sudah saya beri tahu, “Hang on there ya, after this I promise you can choose your own desired high school in art.”

Andaikata dulu saya tidak pernah mengalami kejadian pahit saat remaja, sangat mungkin saya akan melakukan hal yang sama: marah kepada anak akibat nilainya jelek, karena saya lebih memikirkan reputasi saya sebagai orangtua, mengesampingkan pendapat dan perasaannya. Akan tetapi, saat saya dipanggil ke sekolah menghadap wali kelas anak sulung kami, saya kalem saja. Sorenya ketika si sulung masuk ke kamar, saya tanyakan bagaimana perasaannya. Apa saja kesulitannya dalam belajar. Kami pelukan, uyel-uyel-an, kelitikan, saya cium-cium rambutnya yang wangi habis keramas.

Setiap luka yang terjadi adalah investasi. Soal investasi itu jadi untung atau rugi, tergantung bagaimana kita mau menyikapi. And I’ve decided long time ago to take some gain by forgiving and making peace with my inner-child.

Prinsip 3 Topi Parenting

Suatu malam saat putri pertama kami berusia 9,5 tahun, ia melakukan ritual bersih-bersih sebelum tidur: mencuci muka dengan sabun pembersih wajah, sikat gigi, mengoleskan body lotion, etc. Melihatnya, suami berkomentar, “Kok, sekarang ritualnya banyak amat sih?”

Putri pertama kami spontan menjawab, “Ya, namanya juga mau remaja.” Sontak suami dengan lebainya merespons, “Huaaaaaaaa! Tidaaaaakkk!”

Daddy pun kemudian melanjutkan, “Pantesan sekarang sudah nggak mau pegangan tangan sama Daddy lagi. Maunya cuma pegang bahu. Sudah nggak mau dicium-cium lagi. Huaaaaaaa!”

Saya tertawa melihat suami yang kelabakan anaknya sudah beranjak remaja dan tingginya sedikiiiitt lagi sudah sama dengan mommynya. Change along your kids changes. Ya, kita sebagai orang tua harus berubah seiring dengan perubahan anak-anak kita. Ketika anak beranjak remaja, ia sudah tidak bisa lagi diperlakukan seperti balita, misalnya.

Menurut Arun Gogna dalam bukunya, Lasting Gifts You Can Give Your Children, sebagai orang tua kita memakai tiga topi yang memainkan peranan berbeda sesuai tahap kehidupan anak.

Inilah prinsip 3 topi dalam parenting menurut Arun Gogna

Controller Hat (Topi Pengontrol)

Pada acara LOJ Conference yang saya ikuti beberapa waktu lalu, Arun Gogna mendemonstrasikan topi pengontrol ini bentuknya seperti safety helm warna kuning/oranye yang sering dipakai tukang bangunan. Topi ini kita pakai saat anak berusia 0–10 tahun.

Dengan menggunakan topi pengontrol ini, peran kita sebagai orang tua adalah mengontrol apa yang harus, boleh, dan tidak boleh dilakukan anak. Periode ini adalah tanggung jawab kita untuk membatasi mereka agar mereka terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Kita juga dituntut untuk memberikan contoh nyata, walk the talk. Kalau menyuruh anak gosok gigi sebelum tidur, ya kita juga gosok gigi sebelum tidur. Kalau menyuruh anak bangun pagi, kitanya juga harus kasih contoh kalau kita sendiri bangun pagi, dan sebagainya.

Coaching Hat (Topi Pelatih)

Topi pelatih ini bentuknya mirip topi pelatih baseball. Topi ini dipakai ketika anak berusia remaja,

13–19 tahun. Ketika memakai topi ini, kita tidak boleh lagi berada dalam “lapangan permainan”, tetapi harus berada di sisi lapangan, memantau mereka, hanya sesekali saja memanggil mereka untuk memberikan arahan. Persis pelatih baseball. Pada masa ini, anak tidak lagi membutuhkan informasi terlalu banyak dari orang tua; yang mereka butuhkan adalah inspirasi. Jadi, kita harus menginspirasi mereka, dan tidak lagi menginstruksi mereka.

Consultant Hat (Topi Konsultan)

Topi konsultan ini dipakai oleh orang tua ketika anak-anak telah dewasa, yakni 20 tahun ke atas. Sebagai konsultan, orang tua diharapkan memberikan masukan hanya ketika diminta. Masalahnya, menurut Arun Gogna, banyak orang tua yang tidak rela melepaskan topi pelatih, dan bahkan topi pengontrolnya, padahal sudah saatnya mereka memakai topi konsultan karena anak mereka telah berusia dewasa.

Hal ini merupakan akar dari problem mertua–menantu pada umumnya, yaitu ketika orang tua ma- sih menyuruh anak/menantu melakukan ini/itu karena mereka masih memakai topi pengontrol tadi. Saran dari Arun Gogna, apabila terjadi konflik seperti itu, yang harus menghadapinya adalah anak kandung dari orang tua tersebut.

Balik lagi ke cerita awal soal “kesedihan” suami menghadapi anaknya yang sebentar lagi beranjak remaja, rasanya kita semua sebagai orang tua juga akan/sedang/pernah mengalaminya. Mungkin kita tidak siap melepaskan peran sebagai controller untuk menjadi pelatih lalu konsultan. Jujur saja, sebagai orang tua kita pasti punya tendensi untuk mengontrol anak sesuai keinginan kita. Di sinilah kita harus belajar, bahwa “To hold on is to let go. Know when to let go.”

Hal-hal yang Saya Lakukan

ketika Anak Memasuki Usia

Pra-remaja

Pada

2016 lalu, saat ke acara playdate, di antara blogger moms dengan anak-anaknya, saya baru merasa ternyata saya sudah tua juga, he. Bukan karena usia dan uban yang mulai bermunculan, tetapi karena anak-anak saya sudah nggak ada lagi yang berusia balita. Si bungsu usianya sudah 8 tahun, si kakak akhir tahun nanti 10 tahun.

Sebenarnya, sudah dua tahun belakangan ini saya berusaha mempersiapkan diri untuk memiliki remaja putri. Apalagi anak saya perempuan dua-duanya, dan jarak usianya juga berdekatan. Apa saja usaha yang saya lakukan?

Kuliah lagi!

Saya mengikuti program kuliah S2 Psikologi

Konseling yang diadakan oleh KeluargaKreatif.com yang bekerjasama dengan STT Jaffray Jakarta. Sama sekali bukan buat kejar nilai atau gelar, tetapi murni buat ambil ilmu dan pengetahuannya. Bagi saya, kuliah itu adalah salah satu investasi terbaik untuk pengembangan diri. Ilmunya bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga, dan semoga buat orang lain juga. Asli, saya dapat banyaakkk banget ilmu parenting yang selama ini tidak saya dapatkan di buku-buku atau majalah-majalah parenting sekalipun. Ada mata kuliah khusus tentang

Psikologi Perkembangan, Konseling Anak, Konseling

Remaja, Konseling Keluarga.

Memperkaya literatur

Saya juga senang membaca buku-buku yang mendukung passion saya pastinya. Beberapa di antaranya: How to Talk So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk - Adele Faber & Elaine Mazlish

How to Say It to Your Kids – Dr. Paul Coleman

Surviving The Terrible Teens – Dr. Sandi Mann, Dr. Paul Seager, and Dr. Jonny Wineberg

80 Uncommon Solutions for Everyday Parenting Problems – Dr. Riley’s Box of Tricks

Selain itu saya juga membekali anak-anak melalui buku-buku terkait, seperti serial Why seri Puberty, juga ada buku khusus tentang persiapan menjadi remaja dan persoalannya. Untungnya, anakanak saya hobi baca, jadi tanpa disuruh pun kadang mereka minta beli dan baca sendiri.

Berbicara tentang pendidikan seks secara terbuka

Sejak mereka balita, saya sudah memberikan mereka buku Who Has What? Isinya membahas perbedaan tubuh anak laki-laki dan perempuan. Memasuki SD, saya berikan buku Why? Seri Puberty. Sengaja saya kenalkan mereka pendidikan seksual sejak dini sebelum mereka terkontaminasi dengan yang lain. Prinsip saya, daripada mereka diam-diam mencari tahu sendiri di luar dari sumber yang belum tentu benar, lebih baik mereka bertanya kepada saya sebagai orang tuanya secara terbuka.

Memberinya ruang untuk berteman

This is important because friends are central to teen. Menurut Gottman & Parker, teman itu penting bagi remaja karena alasan-alasan berikut.

Companionship  to share interets, dreams, fears and hang out with

Stimulation  friends provide entertainment, excitement, and fun

Physical support  to accompany them

Ego support  to boost self-esteem

Social comparison  to behave well

Intimacy/affection  to develop warm, share secrets and feelings

Berteman itu tidak hanya dengan teman sekolah saja. Dengan saudara, teman sekolah minggu, atau kenalan baru. Dengan saudara, hampir setiap akhir pekan mereka kumpul bareng sepupu di rumah eyangnya seusai les piano.

Memberi Ruang untuk Berbicara

Saya dan suami selalu terbuka dan ada untuk mereka ketika mereka hendak sharing apa saja. Biasanya ini kami lakukan saat makan bersama, karena suasana lebih relaks dan terbebas dari situasi HALT: Hungry, Angry, Lonely, Tired. Dengan demikian, mereka bisa menyampaikan cerita apa saja kepada kami tanpa sungkan.

This article is from: