19 minute read

Jangan Lupa Jadi Istri

Pada Februari 2018, saat berada di Malang untuk mengunjungi salah satu perusahaan yang kami invest beberapa waktu lalu, secara spontan saya dan suami diminta untuk sharing tentang #CoupleGoals: An Inspiring Story from Dreamable Couple. Without preparing anything, it turned out to be an intimate sharing sessions that we enjoyed much.

Pada sesi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu, kami bercerita banyak soal perjalanan kami berdua sebagai pasangan, mulai dari nol hingga sekarang, jatuh bangunnya, tips dan saran, juga menjawab pertanyaan dari para peserta.

Advertisement

Salah satu jawaban yang belum pernah saya tulis adalah poin tentang betapa pentingnya peran menjadi istri bagi wanita bersuami. Sebab sering kali, ketika sudah menjadi ibu, wanita kadang lupa perannya sebagai istri. Ayo jujur, siapa yang lebih sering menomorsatukan anak di atas kebutuhan suami?

Padahal ketika hubungan wanita sebagai istri dengan suami baik, hubungannya sebagai ibu de- ngan anak pun akan baik, dan anak juga pasti senang melihat orangtuanya rukun. Kalau hubungan ke anak baik, tetapi ke suami tidak baik, anak-anak juga bisa ikut merasakan lho.

“Based on how you treated your husband today, what did you teach your son to look for in a wife?”

—Matthew LJacobson.com

Kalau mengikuti nasihat orang tua zaman dulu, istri yang baik itu adalah yang lihai di dapur, ruang tamu, dan tempat tidur. Kedengarannya kuno, ya, tapi ada benarnya juga sih. Meskipun para feminis mungkin tidak setuju dan akan berargumen soal kesetaraan, bagi saya, melayani suami itu bukan tuntutan atau tekanan, tapi kepuasan dan kebanggaan.

Hanya saja, sebagai wanita modern kita tidak selalu bisa atau suka jadi pembantu di ruang tamu, koki di dapur, dan pelacur di tempat tidur, ya.

Tenang, kita tidak perlu kok menerjemahkannya secara harfiah, tetapi kita bisa memodifikasinya sesuai keadaan zaman sekarang. Nah, berikut ini versi saya, dan seperti biasa, saya kasih contoh juga biar ada gambarannya, ya.

Maid in The Living Room

Intinya adalah bagaimana caranya buat suami betah begitu dia pulang ke rumah.

Contoh:

Seaktif apa pun anak-anak sampai rumah berantakan seperti kapal pecah, begitu menjelang waktu suami pulang, saya usahakan rumah sudah selesai dibereskan (dengan melibatkan anakanak dan asisten rumah tangga). Jadi, begitu suami tiba di rumah, paling tidak lantai rumah masih enak untuk diinjak dan tidak kesandung mainan di mana-mana. 

Setelat apa pun suami pulang, meski itu sampai lewat tengah malam, saya usahakan sayalah yang membukakan pintu untuknya. Sebab, saya punya ritual peluk cium suami ketika dia pulang.

Jadi, begitu suami tiba di rumah, setelah melewati hari yang panjang, dia akan merasa diterima di istananya dengan penuh cinta. Cieee ....

Chef in the Kitchen

Intinya adalah bagaimana caranya buat suami doyan makan dan kenyang. “Happy tummy, happy hubby.”

Contoh:

Saya bisa masak, tetapi nggak jago-jago banget, dan tidak begitu hobi juga. Suami pun sepertinya tidak terlalu doyan masakan saya, haha. Sejak punya asisten rumah tangga yang jago dan hobi masak, saya delegasikan pekerjaan masakmemasak kepadanya. Dalam sehari, dia biasa masak pagi dan sore. Masing-masing ada tiga sampai lima jenis makanan. Akan tetapi, tetap sayalah yang melayani suami di meja makan. Menyediakan piring dan alat makannya. Kadang gantian suami yang menyediakan untuk saya.

SOP dari saya ke ART: sebelum kami beraktivitas, sarapan sudah harus tersedia. Bersih-bersih bisa belakangan, yang penting tidak ada yang kelaparan. Kalau makan di restoran, perhatikan menu yang dipilih suami dan anak-anak. Google resepnya, kirim ke WhatsApp ART, minta dia buatkan kapan-kapan. Kadang dia inisiatif sendiri cari resep di YouTube.

Whore in the Bedroom

Intinya adalah bagaimana caranya buat suami bergairah di ranjang.

Contoh:

Saya tidak punya daster, tetapi lingerie sekoper, hehe. Bagi saya, lingerie itu ibarat kotak/bungkus kado. Semakin menarik, semakin penasaran apa isinya, semakin tidak sabaran bukanya. Baju luaran boleh murah-murah, tetapi khusus pakaian dalam dan lingerie, saya sulit berkompromi.

Sebab, underwear dan lingerie adalah koentjie.

Percuma lingerie seksi kalau isinya tidak terawat. Untuk menjaga kebersihan organ intim, saya suka pakai pembersih kewanitaan. Kalau packaging-nya sudah menarik, “isi”nya juga bersih dan wangi, suami pasti happy. Sebab, faktanya adalah berdasarkan penelitian yang melibatkan 5000 responden, kebutuhan utama pria dalam pernikahan apa coba? Yes: SEX. So, jangan heran kalau suaminya “minta” terus, karena itu memang kebutuhan dasarnya.

His Needs & Her Needs

By: Willard F. Harley. Jr

Men’s Need:

Sexual fulfilment

Recreational Companionship

An attractive spouse

Domestic support Admiration

Woman’s Need: Affection

Conversation

Honesty and openness

Finnancial commitment

Family commitment nurturingmarriage.org

Nah, itu versi saya. Versi setiap orang pasti bisa berbeda-beda, sesuai situasi dan kondisinya. Satu tips pamungkas dari saya yaitu: upgrade our service in regular basis. Iya, tingkatkan pelayanan ke suami secara berkala. Contohnya nih, dulu waktu masih sama-sama berjuang dari nol, kami kerjain semuanya bareng. Saya masak, suami cuci piring. Saya menyiapkan roti buat sarapan, dia membuatkan susu/ teh/sereal untuk minuman. Saya mencuci dan menje- mur, suami menyetrika sambil nonton “Desperate Housewives” bareng.

Sekarang, bersyukur kehidupan sudah lebih mapan. Saya meng-hire asisten rumah tangga dan asisten pribadi untuk membantu urusan administrasi dan segala tetek bengek lainnya. Kalau dulu semuanya serba dikerjakan sendiri, sekarang sudah bisa delegasi. Bahkan, untuk urusan perbankan, kami tidak pernah lagi ke bank karena semua sudah ditangani Personal Banker atau relationship manager yang siap sedia datang ke rumah untuk minta tanda tangan.

Ketika pelayanan di luar sana sudah sampai selevel itu, saya tidak boleh lengah melayani suami dengan standar lama. Saya juga harus meningkatkan pelayanan sesuai dengan levelnya saat ini. Ibaratnya, nasabah prioritas atau solitaire, kalau dilayani dengan standar pelayanan nasabah reguler, ya sudah tidak cocok lagi. Jangan sampai nasabahnya lari ke tempat lain yang menawarkan pelayanan lebih prima.

Chanakya

A Woman is Like a Car?

Stumbled upon this and triggers me to write this post:

“As they get more mileage on them they become less reliable and attractive. So when one gets old and used you trade up to a newer model, just like a car. Actor Ryan Phillippe shows a prime example. He started dating Reese Witherspoon when she was young and attractive. She popped out a few kids and got older so he traded up to Abbie Cornish, 6 years younger than Reese Witherspoon and a lot hotter. After a few years he traded up again to Alexis Knapp, 7 years younger than Abbie Cornish. Men get more attractive and desirable with age where women become less desirable. That is a good reason why men should never marry”.

Sadly, how debatable it is, I found this partly true. BUT, there’s a but, it mostly applies if women are not willing to upgrade themselves, both inner and outer. And I, as far as I’m concerned, wouldn’t be one of them. At least, not anymore.

At the beginning of our dating days almost a decade ago, I was the one who got that shining star, thus my friends were questioning why I chose him, from all the men who tried to approach me. Of course there were plenty other men who are more adorable physically, but his beautiful mind and selfquality had invited butterflies in my stomach that no other man can do to me.

I was chic and he was geek, so what? Make him a ‘metrogeseksual’, that’d be a perfect combo, right :). And yes we did it. Soon after, about a year, my friends were asking what did I do to him that he became as shining as I am, as if it’s as magical as a “pimp my ride” TV show! Haha.

Then we were married, and soon had kids. Yes, with s. I gained 24kgs during maternity and only lost 5kg after birth, which of course makes me look less attractive physically. Being a stay-at-home mom, I rarely put on full makeup if I don’t have events to attend. My days were all about juggling between kids and my tiny business. I wasn’t eager to socialize at all especially with new people, be it online and offline.

While my hubby exists either in the cyber or real-world, even became a must-watch rockstar in the digital industry. My shining star was slowly fading away, while he stayed even shinier. But I was so happy with my own little family and felt that I have such a perfect life.

That was the danger of being in a comfort zone: too cozy and comfy that it prevents us from impro- ving ourselves for a better future. In fact, we never know what kind of bigger happiness we’ll find if we go out of that comfort zone. And please, take my advice for free: “keeping up with your spouse is one of the important keys in maintaining a good marriage”. Seriously.

Early April 2010, I decided to get out of my comfort zone to see the new horizon for several reasons. The easiest way, I started it with this blog and social media. I made a serial blog post, unlocked my Facebook and Twitter accounts, added new friends, got involved in conversations, attended gatherings, and bigger step: built a new community.

In the beginning, people only knew me as “the wife of @nataliardianto”. But now, I got the recognition as much as hubby had, if I can’t say even more (if the number of Twitter followers can be the parameter) hehe.

As I upgrade my appearance to be more stylish, compliments start coming in, and I get used to it. Flattering words like “Every time I see you, you become prettier and prettier. What’s your secret, actually?” or “You have a pleasant personality and a charming beauty, what a perfect combo” or even “Istrinya makin cantik aja Mas, hati-hati direbut orang lho!” A guy from a Silicon Valley company once asked, “Now that you’re in the spotlight, ain’t he jealous or feel insecure?” I can safely say, “One of many things I love about him: he feels secure with our relationship that he is barely jealous with any other guy that stares at me or gets in touch with me. That’s sexy! If there’s any guy that can make him show his jealousy, that man gotta be seriously outstanding.”

So back to the topic where men compare women like cars, I would say, who said men have to stick with one car? No, I’m not talking about recommending polygamy nor adultery here, as I’m opposing that.

Maksud saya, sudah seharusnya wanita mampu beradaptasi dan siap bertransformasi untuk mengimbangi level pasangannya. Dengan fleksibilitas kita, wanita bisa kok menjadi sedan elegan, sports car mewah, family minibus, spacious van, comfy wagon, SUV, bahkan truk kuat dan bus yang tahan banting jika diperlukan. Dan tetap menjadi diri kita sendiri, bukan orang lain.

Kalau saya boleh mengibaratkan diri dengan satu jenis mobil saja saat ini, saya memilih menjadi Mazda CX-5 SkyAktiv.

It’s a family SUV that drives as a sports car >> they call me hotmom, sexy mommy, mahmud, you name it.

It got stylish and premium interior where comfort and function combined >> tampil stylish itu selain membuat diri saya nyaman, juga membuat orang yang saya temui merasa dihargai.

It got dynamic styling, combining power, and beauty >> I can be powerful and beautiful as well.

And most importantly, it has SkyAktiv Technology where performance and economy combined >>tampil sophisticated bukan berarti harus selalu high maintenance.

That’s what I call efficiency and performance at last, just like Mazda CX-5 :) Aaand, whoever said that women become less desirable with age, must have never seen this AskMen’s No.1 Desired Woman 2012 who is a mother of a 20-year-old son!

I just found out about her after somebody told me on Twitter that I look like her. Though I don’t see the resemblance, I’d just take that as a compliment, with an amen that I’d be as desirable as I am now in her age.

Saat menulis ini pada 2011, saya belum kebayang bisa mendapatkan mobil ini. Namun, tiga tahun kemudian, akhirnya saya berhasil mendapatkan mobil tersebut (exactly the same model) gratis dari car ownership program kantor suami saat itu. That’s the power of Law Attraction.

Tips untuk Istri agar Suami Tenang Bekerja

Beberapa

waktu lalu saya diundang sebagai pembicara untuk acara Penguatan Integritas Istri Pejabat dan Pegawai KPU Bea dan Cukai Tipe

A Tanjung Priok, dengan topik “Istri Bersahaja, Suami Tenang Bekerja”. Tim panitia yang diwakili oleh Mbak Umma mengatakan profil saya cocok untuk membahas topik tersebut, terlebih karena saya dikenal setelah konten viral “Istri Direktur” dengan ciri khas #SuperAffordableStyle :)

Suami penasaran saya bicara apa saja di sana. Setelah saya ceritakan, suami mendorong saya untuk menuangkan materi bicara saya tersebut menjadi tulisan di blog supaya bisa mencerahkan istri-istri lainnya.

Ada delapan tips yang sudah saya praktikkan sendiri, dengan segala jatuh bangunnya. Apa yang saya tulis di bawah ini lebih detail dibanding pada saat saya berbicara karena keterbatasan waktu. Supaya tidak terkesan “ah, cuma teori!”, saya berikan juga beberapa contoh nyata. Berikut ini adalah delapan tips untuk para istri agar suami tenang bekerja.

1 Suami adalah pemimpin, istri adalah penolong

Ini adalah tips dan prinsip yang utama bagi saya dalam berkeluarga. Suami ditakdirkan untuk memimpin keluarga, dan istri yang baik berperan sebagai penolongnya. Ketika suami mendapat godaan untuk melakukan suatu kesalahan, istri menolongnya dengan cara tak lelah untuk mengingatkannya.

Ketika suami tidak mampu menjalankan perannya, istri menolong dan mendukung untuk menopangnya, sampai suami bisa kembali memenuhi tugas dan kewajibannya.

Contoh nyata:

Pada awal pernikahan, suami pernah bekerja tanpa digaji selama 9 bulan berturut-turut. Padahal kami baru saja melahirkan anak pertama dan membeli rumah dengan cara kredit di bank. Saya mengambil alih peran sebagai pencari nafkah keluarga, sampai ia mampu mendapatkan pekerjaan lain dengan penghasilan yang layak. Gaji saya setiap bulan sebagai sekretaris di perusahaan minyak habis dalam sekejap untuk membayar cicilan rumah yang jumlahnya lebih dari setengah gaji saya waktu itu, beli susu, popok, bayar gaji pembantu (yang literally punya lebih banyak uang daripada saya), uang transport, makan, biaya ke dokter ...

Saya pun pernah menangis di depan rumah sakit melihat taksi berbaris karena uang saya habis buat bayar imunisasi dan nggak cukup buat pulang naik taksi. Jadi, saya harus gendong bayi saat siang bolong naik angkot dan jalan kaki sampai rumah. Waktu itu saya nggak cerita apa-apa ke suami karena tahu dia juga pasti tertekan dengan kondisi itu.

Saya cuma kirim pesan singkat ke dia, “Kita nggak bisa begini terus...”

Mama saya juga telah memberikan contoh teladan menjadi istri sebagai penolong suami, begini ceritanya.

Papa saya (alm) juga pernah di-PHK karena restoran Jepang tempat beliau kerja tutup akibat bangkrut. Waktu itu, sekitar 1990-1991, kakak saya baru saja lulus SD dan mau masuk SMP. Tidak ada pesangon yang memadai. Jadi, mama harus putar otak untuk membantu keuangan keluarga. Konon, pernah uang belanja tinggal 60ribu dan harus beli sepatu wajib sekolah kakak warna hitam 40ribu. Mama adalah ibu rumah tangga sejati. Ya, mama tidak pernah kerja kantoran, tapi di rumah tetap menghasilkan.

Mama buka toko kelontong di rumah, jualan apa saja dari permen sampai minyak tanah. Sejak papa di-PHK, mama nambah varian jualan baru: ke- rupuk gendar yang dititip ke warung-warung yang lebih besar. Saya dan kakak bertugas membawa kerupuk ke warung-warung tersebut dan mengambil uang hasil jualan hari itu. Uang hasil jualan itulah yang menolong perekonomian keluarga kami saat papa masih berusaha mencari pekerjaan kembali.

Kadang ketawa sendiri kalau ingat dulu saya sering malas-malasan melayani pembeli. Habis lagi enak-enak makan disuruh nuangin minyak tanah, padahal tanpa jualan, mungkin saja kakak saya hanya tamatan SD dan saya bahkan tidak lulus SD. Adik saya malah nggak lulus TK? Siapa sangka, sekarang kakak saya sudah menamatkan S2 di Inggris hasil beasiswa. Saya pun tengah menyelesaikan S2 di Jakarta. Begitu juga dengan adik saya yang sarjana dan sudah bekerja di televisi swasta.

Kira-kira setahun setelah di-PHK, papa baru dapat kerja lagi. Papa langsung memeluk mama dan anak-anaknya ketika pulang membawa kabar baik itu. Tanpa disadari papa mama telah memberi contoh nyata, bahwa suami adalah kepala keluarga, istri adalah penolongnya. Thank you so much untuk semua pengorbanan papa mama, kasihmu sungguh tak terhingga. Love.

Singapura, 16 April 2017

Nuniek Tirta

2 Manage expectation

Jika kita ingin hidup lebih tenang dan bahagia, hal paling penting adalah me- manage expectation . Ekspektasi yang tinggi, tetapi realita yang terjadi ternyata rendah, maka gap tersebut adalah rasa kecewa dan frustasi. Akan tetapi, kalau kita men-set ekspektasi kita serendah mungkin, dan ternyata realita ada di atasnya maka gap tersebut adalah rasa bersyukur dan bahagia. Contohnya, kalau tahu suami tidak romantis, ya jangan mengharapkan suami bersikap romantis seperti suami orang :).

Biasanya dalam berpasangan, sang pria ingin wanitanya setelah menikah tidak berubah. Sementara sang wanita ingin prianya setelah menikah berubah.

Nah, ini adalah bentuk ekspektasi yang tinggi. Realitanya, people don’t change and won’t change unless it’s their own willingness. Alhasil yang terjadi adalah kekecewaan demi kekecewaan. Ingatlah bahwa ketika sudah menikah, WYSIWYG, what you see is what you get.

Hal ini juga berlaku di dunia kerja. Ketika kita kerja, dan tanpa ekspektasi apa-apa dari bos kita, ketika kita kerja untuk kita sendiri, untuk karier kita agar selalu tumbuh, pengalaman agar semakin bertambah, maka kita akan menjadi semakin baik dari hari ke hari tanpa perlu faktor eksternal yang memengaruhi kinerja kita. Jangan biarkan orang lain memengaruhi kualitas diri dan kinerja kita. Apresiasi dari bos, benefit, bonus, itu semua akan menjadi berkat bagi kita jika ternyata benar-benar terjadi. After all, kita juga tidak memiliki ekspektasi apa-apa pada awalnya.

Sebenarnya, ini berlaku tidak hanya dalam hubungan dengan pasangan atau pekerjaan saja, tetapi juga untuk segala hal dalam kehidupan. Intinya, rumus yang harus diingat adalah: Harapan lebih tinggi dari kenyataan = kekecewaan. Kenyataan lebih tinggi dari harapan = kebahagiaan. Akan tetapi, harap bedakan antara harapan dengan cita-cita, ya. Kalau cita-cita sih harus setinggi langit, coz sky’s the limit. Saya baru mengerti konsep mengelola ekspektasi ini dari Becky Tumewu, saat kami ditanya tentang apa harapan kami terhadap pasangan, oleh Pak

Hermawan Kartajaya.

Contoh nyata:

Dulu saya sering kecewa karena mengharapkan suami bisa lebih romantis. Masa istri ulang tahun nggak pernah dikasih kado sama sekali. Namun, akhirnya setelah 10 tahun nikah baru ngasih kado!

Terus istri seharian ke mana aja nggak pernah ditanyain, nggak pernah ditelponin. Sampai teman saya yang jalan sama saya seharian, jam 11 malam bilang, “Eh iya loh gak ditanyain suami sama sekali, kok bisa sih?” Belakangan saya belajar, kita nggak bisa mengubah orang lain kalau dia sendiri nggak mau berubah. Jadi daripada kecewa terus, saya menurunkan standar ekspektasi saja. Saya juga belajar memahami kebiasaan suami melalui analisa pohon keluarga.

3 Choose Your Response

Sebagai manusia, wajar jika kita sering kali tergoda untuk bereaksi atas suatu aksi. Padahal, bereaksi bukanlah pilihan bijak. Hal terbaik adalah ketika kita merespons, bukan bereaksi. Sebab reaksi hanyalah reflek terhadap suatu aksi, sedangkan dalam kata respons, terdapat suatu responsibility. Artinya, kita bertindak sesuai tanggung jawab. There’s RESPONSIBILITY in the word RESPONSE, while there’s only REPEATING ACTION in REACTION. And it makes a total difference.

Contoh nyata:

Ketika suami mendapat tekanan untuk membatalkan rencana perjalanan kami ke Santorini hanya beberapa hari menjelang waktu keberangkatan (setelah 9 bulan direncanakan dengan matang), saya hanya bilang, “Ya udah kalau memang belum bisa berangkat nggak papa ditunda dulu, nanti Senin aku coba urus ganti tanggal pesawatnya semoga masih bisa.” FYI, berangkatnya Rabu. Nggak sedih? Ya sedihlah pasti. But I chose to respond keep calm and support my husband instead of giving a reaction (nangis/marah/ngambek/etc. yang bikin suami tambah terbebani). Suami waktu itu lebih bete, saya masih bisa puk-puk dia. Saya mengerti bahwa pembatalan itu bukan kehendaknya dan penyebabnya ada di luar kuasanya, jadi ya ikhlaskan saja.

Santorini Dream

Tuesday, May 09, 2017

Tuhan pasti tau seberapa besar impian saya tentang Santorini. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama sejak melihat foto tempat ikonik itu di belantara dunia maya beberapa tahun lalu; mungkin sekitar satu dekade lalu. Sejak punya akun Tumblr 3 tahun lalu pun, saya rajin sekali follow akun dan reshare postingan tentang Santorini. Tidak cuma di Tumblr, tapi juga merambah ke semua sosial media saya: Instagram, Facebook, Path, Twitter. Saya pernah nulis mimpi menikah lagi di Santorini dan eksplore Yunani sama suami. Kalau sudah meninggal pun, saya pingin abu saya ditebar di sana. Temanteman dan followers saya mungkin sudah tahu deh, saking seringnya saya share impian saya tentang Santorini.

Teman saya Kenny pun mengirimkan kartu pos dari Santorini sewaktu dia berkunjung ke sana. Saya bermimpi suatu hari nanti bisa membangun rumah bergaya Santorini. Saya suka mengoleksi barang bernuansa biru-putih ala Santorini ... dan senang sekali kalau melihat interior maupun eksterior desain dengan nuansa Santorini. Dreaming is not enough; I put a deadline to make my dream become a goal. And it was written on my dream board in front of my bedroom: 2 weeks in Greece, before/on May 20, 2017.

Suami sempat beritikad memberikan kejutan dengan membeli tiket Jakarta-Yunani untuk ulang tahun saya tahun lalu, sayangnya pembelian gagal. Ya untung saja gagal karena harga tiketnya saja mencapat 70juta buat berdua! >.< Makanya waktu Agustus 2016 lalu saya berhasil mendapatkan tiket Qatar ke Yunani dengan harga promo, rasanya senang bukan main. Sudah kebayang bakal eksplor

Yunani dan tentunya Santorini selama 2 minggu bersama suami untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami, 11-25 Mei 2017 

Selama 9 bulan terakhir saya asyik merencanakan segala detail liburan kami di Santorini nanti. Tiket sudah di tangan, hotel sudah di-booking, visa sudah didapat, asuransi sudah dibeli, semua sudah beres. Tinggal berangkat! Tapi ... karena berbagai pertimbangan yang dapat memengaruhi nasib dan hajat hidup orang banyak, dengan sangat terpaksa kami memutuskan untuk membatalkan atau setidaknya menunda keberangkatan sampai waktu yang belum bisa ditentukan. *CRY*

Jadi, saya sempat bolak balik ke kedutaan Yunani mengambil visa Schengen yang sudah disetujui (setelah melewati proses panjang yang cukup melelahkan—dan cuma berlaku sampai akhir Mei, hiks); ke service center Garuda Indonesia untuk refund (ini juga sama ribetnya, tetap harus email dan kena potongan biaya pastinya); mengurus refund

Qatar (ini prosesnya lebih mudah, tetapi tetap saja potongan juga besar); mengurus refund asuransi perjalanan (dan ditolak karena refund hanya berlaku kalau visa tidak disetujui); serta membatalkan semua booking hotel. Total kerugian akibat pembatalan keberangkatan ini lumayan besar, cukuplah buat ke Maldives lagi ....

Iya sedih sih, sudah pasti. Tapi, saya nggak mau terlihat terlalu sedih karena suami bisa lebih sedih kalau lihat saya sedih. Apalagi, suami masih punya tugas besar yang harus diembannya. Tugas saya kali ini justru menguatkan dia dan meyakini ini keputusan terbaik buat semua. Rencana Tuhan tak pernah salah, dan ketika sudah tiba saatnya, semua akan menjadi indah. Amin!

Seperti kata Victor Frankl, “Between stimulus and response there is a space. In that space is our power to choose our response. In our response lies our growth and our freedom.”

4 Keep up!

Always update anda upgrade. Don’t let the gap keeps you apart.

Contoh nyata:

Dulu saya pernah terlena dengan sindrom “keluarga kecil bahagia sejahtera” sampai merasa tidak perlu berinteraksi banyak dengan dunia luar. Tanpa disadari, dalam hal aktualisasi diri, suami sudah berada di level 8, sedangkan saya ketinggalan jauh di level

4. Bahayanya adalah ketika ngobrol mulai nggak nyambung sementara di luar sana banyak orang yang lebih nyambung untuk diajak bicara karena selevel. Saya lalu “bangkit” mengejar ketertinggalan itu dan membangun kembali personal branding yang sempat tenggelam. Jadi, kalau dulu orang tau saya cuma “istri Natali”, sekarang orang-orang tahu kami sama-sama aktif di dunia start up dan membangun komunitas #Startuplokal.

5 Add Value

Tambahkan nilai, jangan tambahkan beban. Kalau bisa, dengan kemampuan dan keberadaan kita, itu menambah nilai lebih bagi pasangan. Pernah dengar quote dari Brigham Young, kan? “You educate a man, you educate a man. You educate a woman, you educate a generation.”

Contoh nyata:

Sejak saya kuliah pascasarjana jurusan psikologi konseling, suami jadi ikut belajar juga. Setiap antar jemput saya ke kampus, dia selalu tanya belajar apa saja hari itu. Saya jadi ada kesempatan mengulang kembali pelajaran yang saya dapatkan, dan suami jadi ada kesempatan menambah ilmu baru. Pernah saya ajak suami sit in di kelas atas undangan dosen

Skill Konseling karena hari itu kami membahas metode MBTI yang bagus digunakan untuk memahami pasangan. Ternyata suami antusias sekali dan malah catatannya lebih lengkap dari catatan saya dan teman-teman, hehe. Tidak hanya itu, suami juga menyarankan HRD Tiket.com untuk menggunakan metode tersebut guna memahami karakteristik calon karyawan. Jadi, setiap pelamar yang datang untuk interview diminta untuk menjawab MBTI questionnaire.

6 Listen More

Listen, not only hear. Kita semua tahu bahwa manusia diberikan 2 telinga dan hanya 1 mulut agar kita bisa lebih banyak mendengar daripada berbicara. Tapi pada praktiknya memang nggak gampang buat kita bisa lebih mendengar untuk menyimak daripada sekadar mendengar untuk menimpali pembicaraan. Apalagi terkadang, kita juga harus bisa me- nyimak apa yang tersirat. Seperti halnya wanita ingin dimengerti, pria pun ingin dipahami.

Contoh nyata:

Saya dan suami punya ritual #pacaranmingguini yang diusahakan rutin setidaknya seminggu sekali.

Biasanya kami makan malam berdua saja, dilanjutkan dengan nonton bareng. Persis orang pacaran deh. Ketika ada hal-hal yang mengganjal, kami menggunakan metode BPS: Bagaimana Perasaan Saya. Dengan metode ini, kalau suami sedang BPS maka saya wajib mendengarkan dan tidak boleh memotong pembicaraan sampai dia benar-benar selesai, begitupun sebaliknya. Kalimat yang digunakan saat BPS pun dipilih yang asertif dan tidak menyerang.

Contoh kalimat asertif: “Aku tuh sebenernya sedih lho kalau kamu ambil keputusan besar sendiri tanpa tanya pendapatku dulu. Aku merasa kurang dihargai gitu.”

Contoh kalimat negatif atau kurang asertif, “Kamu tuh kenapa sih nggak tanya pendapatku dulu, main ambil keputusan besar sendiri. Nggak menghargai aku banget deh.”

Kalo kalimatnya asertif, biasanya pasangan akan lebih mudah mendengarkan. Tapi asli, melaksanakan poin ini sejujurnya memang tidak semudah teori. Butuh latihan seumur hidup buat menerapkannya, hehe. Yuk, dicoba yuk.

7 Demand Less

Terkadang atau bahkan sering kali, istri tidak pernah tahu masalah apa saja yang dihadapi suami di kantor. Suami juga mungkin enggan cerita karena tidak mau menambah beban pikiran istri. So, the least we can do as a wife is to demand less. Minimal, istri WAJIB tahu apa saja job desc suami. Misal, job desc suami adalah tukang jaga server. Dia sendiri juga kan nggak pernah tahu kapan server itu down, mau hari kerja atau hari libur, mau siang bolong atau tengah malam. Kalau sifatnya mendesak, suami harus siap handle kapan pun di manapun. Istri juga harus siap support suami karena toh itu juga bukan kemauan dia untuk bertugas di luar hari dan jam kerja.

Contoh nyata:

Sebagai salah satu pimpinan perusahaan, apalagi memimpin divisi teknologi di perusahaan berbasis teknologi, suami punya tekanan besar dalam menjalankan pekerjaannya. Kalau dulu waktu awal menikah dan dia masih berstatus karyawan, saya sering menuntutnya untuk pulang tepat waktu. Sekarang tidak pernah lagi. Bahkan terkadang saya menemaninya lembur di kantor, terutama masa-masa mulai dibukanya penjualan tiket kereta api mudik. Saat liburan pun, suami harus siap siaga.

Waktu liburan di Maldives, anak pertama kami sempat protes karena Daddynya sibuk dengan HP saat makan siang. Kejadian terakhir, saat suami beli TV OLED terbaru, anak pertama kami yang kritis itu lagi-lagi protes, “Pasti buat main game lagi!” Saya jelaskan, setiap orang harus punya stress release biar tetap waras. Daddy kerja di kantor sudah berat, pulang ke rumah waktunya habis buat keluarga, hampir nggak pernah ada waktu buat diri sendiri. Jadi, kalo Daddy main game nggak apa-apa, itu buat me-time-nya. Kita bersyukur hobi Daddy cuma main game di rumah, aman dan murah. Teman-teman Mommy

Daddy ada yang hobinya main mobil mahal, ada yang hobinya main golf sampai malas pulang ke rumah (padahal habis dinas ke luar negeri berhari-hari), ada yang hobinya dugem. Jadi, kalo

Daddy hobinya cuma main game di rumah, ya bersyukurlah! :)

8 Be Grateful

Jangan lupa bersyukur! Berapa pun jumlah rezeki yang Tuhan beri melalui keringat suami, wajib disyukuri. Bukankah Tuhan akan menambahkan rezeki bagi orang-orang yang bersyukur? Besides, I’ve learned the hard way, that the journey to find peace of mind starts with gratitude, followed by self-awareness and acceptance. Untuk poin be grateful ini saya nggak perlu kasih contoh nyatalah ya, tapi saya punya ilustrasi yang “dalem banget”.

When was the last time you said thank you to your husband? Yuk, yang sudah dan masih pada punya suami, pulang kerja nanti suaminya dipeluk yaaa .... :)

This article is from: