
32 minute read
Curhat
by Nuniek Tirta
tentang Pasangan yang Berubah
Suatu hari, sebuah pesan masuk ke Instagram saya.
Advertisement
Selamat siang Mba, salam kenal. Mba mungkin kejadian ini pernah Mba alami sebelumnya namun beda cerita dengan kasusku.
Aku dan suami sudah kenal lama. Kami berpacaran dari SMP dan menikah hampir 5 tahun. Sejak pacaran sampai menikah, aku tidak pernah menuntut banyak hal darinya. Kami sama-sama bekerja.
Gajinya untuk beli susu anak dan bayar listrik, sedangkan gajiku untuk bayar ART, untuk makan sehari-hari, dan lain-lain.
Awalnya, semua baik-baik saja. Namun, lambat laun, sifat aslinya muncul. Semua berubah. Dia menjadi sangat egois, sering berkata kasar, tidak mau mengerti perasaan dan acuh tak acuh. Aku sering mengajaknya sharing tentang masalah rumah tangga kami, tapi dia cuma diam. Kadang hal sepele menjadi besar, seperti aku tanya beberapa hal dengan baik-baik semalam. Dia ketus dan menjawab kasar, ketika saya bertanya, “Kenapa kamu begitu?
Kenapa aku kamu kasarin?” Dia malah jawab, “Ya udah, silakan kamu cari orang lain yang bisa ngertiin kamu ....” Padahal, Mba, aku selalu berkorban banyak buat dia, tapi hancur hatiku saat dia bilang begitu.
Aku selalu nrimo, tapi dia seperti lepas tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Berkomunikasi dengan dia rasanya buntu, seperti ngomong sama batu. Aku seperti tidak dianggap dan tidak dihargai sebagai istri. Semua aku tutupin dan berusaha kuat juga sabar. Tapi, lagi-lagi buntu. Aku ajak dia introspeksi diri masing-masing, dia menanggapi cuek. Hancur hatiku, Mba. Apa yang harus aku lakukan?
Mohon petunjuk karena aku takut jika hubungan kami berpengaruh terhadap perkembangan anak kami. Terima kasih banyak, Mba.
Tentu tidak nyaman ya, ketika kita merasa pasangan berubah menjadi sangat egois, sering berkata kasar, tidak mau mengerti perasaan dan acuh tak acuh. Sering diajak sharing, tetapi hanya diam, ketus, dan menjawab kasar. Bahkan, menyuruh kita mencari orang lain yang bisa mengerti. Padahal, kamu merasa sudah berkorban banyak, sudah nrimo, tetapi dia seperti lepas tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Setiap berkomunikasi rasanya buntu dan seperti ngomong dengan batu, merasa tidak dianggap dan dihargai sebagai istri. Ketika berusaha kuat dan sabar, namun semua seperti buntu. Ketika diajak introspeksi diri hanya cuek dan acuh tak acuh sehingga hati terasa hancur.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, izinkan saya menceritakan pengalaman pribadi yang masih relate dengan keluh kesah di atas, ya. Duluuu, saya pun sering uring-uringan karena merasa pasangan sangat cuek, diajak ngobrol jawabnya cuma seperlunya saja. Nikah bertahun-tahun nggak pernah dikasih kado, bunga, apalagi surat cinta. Waktu diprotes tidak romantis, jawabannya, “Kalau mau yang romantis, jangan nikah sama akulah!” Padahal ya udah kadung nikah dan punya anak dua! Dan, sama sepertimu, saya pun tidak pernah menuntut banyak hal darinya soal keuangan. Saya telah merasa berkorban banyak, tetapi dia kok tidak seperti yang saya harapkan, ya. Alhasil, saya jadi sering merasa kecewa.
Keadaan mulai berubah menjadi lebih baik ketika saya mengetahui konsep mengelola harapan demi menghindari kekecewaan. Jika kita mengharapkan pasangan berubah sesuai harapan kita, kita akan merasa kecewa. Selamanya. Karena itu, saya berhenti berharap pasangan saya berubah. Yang saya lakukan adalah mengubah cara saya merasa, cara saya berpikir, cara saya bereaksi, dan cara saya memperlakukannya. Saya sadar bahwa saya tidak mungkin mengontrol orang lain untuk bersikap dan berperilaku sesuai harapan saya. Akan tetapi, saya bisa mengontrol diri sendiri: pikiran saya, reaksi saya, dan pilihan yang saya buat terhadap situasi yang saya hadapi.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Daripada bertanya, “kenapa kamu begitu?”, coba ganti dengan
“aku sedih lho kalau kamu begitu.” Jangan lupa, sebutkan secara spesifik tindakan apa yang membuat kamu sedih. Daripada bilang, “kenapa aku kamu kasarin terus?” yang tentunya bikin dia tambah kesal karena sudah diberi label kasar dan kamu tidak akan mendapat manfaat apa pun dari perkataan itu, coba deh ganti dengan “sebenarnya, aku kecewa waktu kamu ...” sebutkan secara spesifik tindakannya yang membuatmu merasa kecewa.
Ingat prinsip ini: Be soft on the person, hard on the problem. Lembut pada orangnya, tegas pada masalahnya. Pisahkan antara orang dan masalahnya.
Jangan buru-buru melabelinya egois, kasar, acuh tak acuh. Kata adalah doa. Mungkin kamu akan mengerutkan dahi dan berdalih, lho kok jadi saya yang harus berubah, kan dia yang salah? Tunggu, salah menurut kacamata siapa dulu? Mungkin saja justru di mata pasangan cara kitalah yang salah sehingga bukannya berubah malah membuat dia tambah marah.
Percayalah, ketika dulu saya memosisikan diri sebagai “korban dari suami yang kurang perhatian”, saya tidak mendapat apa-apa dan sama sekali tidak ada perubahan. Namun, ketika saya inisiatif melakukan perubahan diri dan mengubah cara saya bereaksi, dia pun ikut berubah lebih baik lagi. Dari yang dulu sangat cuek dan tidak romantis sama sekali, sekarang rajin memberi bunga setiap kali saya ulang tahun, valentine, dan ulang tahun pernikahan, TANPA PERNAH DIMINTA. So, there’s a hope.
Curhat tentang Suami Baru dan Anak Kandung
Halo Mbak, aku X usia 24 tahun. Aku menikah saat usia 22 tahun. Sebelum menikah, aku sudah punya anak di luar nikah saat aku masih SMA. Anakku ini aku rawat, aku biayai sendiri, dan tinggal bareng aku dan orangtuaku. Seiring berjalannya waktu, aku menikah dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku.
Sejak awal kenal, aku tidak pernah menutupi statusku bahwa aku sudah punya anak. Saat itu, suamiku mau menerima, bahkan saat pacaran pun dia mau menjemput/mengantar anakku sekolah praTK. Namun, setelah menikah, keadaan berubah. Suami mendadak benci dengan anakku. Sampai pada awal pernikahan, aku harus tega melihat anakku tidur di kamar pembantu. Sementara aku dan suami berada di kamar pribadi dengan pintu dikunci dari dalam agar anakku tidak bisa masuk. Betapa hancur hatiku, Mbak. Tapi, aku tetap bertahan karena aku juga sedang mengandung anak dari pernikahanku saat ini. Aku bertahan sampai sekarang karena aku selalu ketakutan akan masa depan. Aku lahir dari keluarga sederhana. Papa sudah tidak bekerja dan sudah tidak bisa membantu ekonomi kami. Aku juga tidak bekerja karena tidak punya ijazah SMA. Jika aku pi- sah dengan suami, aku tidak bisa menghidupi anakku. Tahun lalu, aku putuskan pindah ke Jakarta dengan meninggalkan anakku di Malang. Sekarang, dia tinggal dengan kakeknya (papa saya) dan sudah 1 tahun setengah aku tidak pernah pulang kampung.
Suami selalu marah ketika aku berhubungan dengan mereka.
Suami tidak mau kalau anak keduaku sampai bertemu dengan keluargaku di Malang, Mbak, terutama anak pertamaku. Aku sering diperlakukan kasar (ditampar). Suamiku tipe yang sangat emosional. Selama ini biaya anakku masih ditanggung suami. Tapi, sejak saat ini dia tidak mau lagi kirim uang ke Malang. Dia bilang kalau kebutuhan kami di Jakarta sangat besar dan tidak cukup jika harus kirim uang. Padahal dia masih sering belanja online, makan di luar, tapi dia tidak mau lagi menyisihkan uang untuk anak pertamaku.
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku ingin sekali bekerja, tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan karena aku tak punya siapa-siapa di Jakarta, baik teman atau saudara yang bisa membantu.
Apakah aku harus tetap bertahan dan bersabar? Tapi sampai kapan? Dan aku tidak tahu dengan apa anakku di Malang bisa hidup kalau kami tidak memberinya uang.
Terima kasih atas perhatiannya, Mbak. Semoga saya bisa mendapat jawaban.
Saya mengerti, tidak nyaman sekali, ya ketika merasa tidak berdaya. Saya punya kabar buruk dan kabar baik untuk pertanyaan ini. Mau yang mana dulu?
Baiklah, kabar buruknya adalah kamu tidak akan mengubah keadaan jika kamu masih memiliki mindset yang sama: merasa tidak berdaya karena keadaan. Kamu akan selalu merasa ketakutan akan masa depan, merana karena lahir dari keluarga sederhana, tidak bekerja karena tidak punya ijazah SMA, tidak tahu harus bagaimana, dan tidak punya siapa-siapa yang bisa membantu.
Kabar baiknya adalah KAMU BISA mengubah keadaan itu. KAMU BISA berdaya, berkarya, dan bahagia. Bagaimanapun keadaannya. Caranya bagaimana? Berhentilah memosisikan diri sebagai korban keadaan. Mulailah bertanggung jawab terhadap dirimu. Berhentilah mengasihani diri dan mengandalkan orang lain untuk kebahagiaanmu. Jadilah orang yang memegang kendali akan hidupmu. Kamu yang memegang kontrol penuh terhadap masa depanmu. So, take charge, be in charge!
Langkah konkret pertama: ubah cara berpikir menjadi lebih positif. Kamu mengira kalau suami mendadak benci dengan anak tiri setelah menikah.
Kamu harus tega melihat anak tidur di kamar pembantu. Mungkin saja yang terjadi adalah suami ingin privasi intim dengan istri, dan itu tidak bisa terjadi selama masih ada anak di dalam kamar. Hal positif- nya: suami menginginkanmu di tempat tidurnya, bukan orang lain.
Langkah konkret kedua: ubah cara merespons keadaan, ubah hambatan menjadi tantangan. Kamu merasa bahwa ketakutan akan masa depan, takut tidak bisa menghidupi anak jika pisah dari suami karena lahir dari keluarga sederhana, papa sudah tidak bekerja, dan kamu pun sudah tidak bekerja karena tidak punya ijazah SMA. Pertanyaannya, apakah semua pekerjaan butuh ijazah SMA? Halo, bagaimana dengan Ibu Susi Pudjiastuti mantan
Menteri Kelautan kita? Lalu almarhum Eka Tjipta
Widjaja, pendiri Sinar Mas Group yang hanya mengantongi ijazah SD, tetapi bisa menjadi orang terkaya nomor 3 di Indonesia pada 2011 versi Majalah
Forbes?
Langkah konkret ketiga, tentukan apa yang sebenarnya kamu inginkan. Kamu bingung, harus bagaimana? Apakah harus bertahan dan bersabar?
Sampai kapan? Bayangkan ini: ada orang tak dikenal menanyakan padamu arah jalan.
“Mbak, saya harus lewat mana, ya?
“Memang Masnya mau ke mana?”
“Saya nggak tahu mau ke mana, Mbak.”
“Lha, kalau Masnya aja nggak tahu mau ke mana, ya mana saya tahu Mas harus lewat mana?
Kepriben ...”

Curhat tentang Rasa Percaya
yang Terluka Kak, aku ingin curhat. Aku baru menikah Juli 2018 setelah pacaran hampir 7 tahun. Akhir 2017, calon suamiku waktu itu dapat pekerjaan di luar kota jadi kami mulai menjalani LDR. Waktu awal kerja, calon suamiku dikenalin sama seorang perempuan, sebut saja A, oleh teman kantornya. Aku pikir nggak akan ada apa-apa karena calon suamiku pun cerita soal itu sama aku.
Singkat cerita, aku dan calonku pun menikah. Kami menjalani LDM karena aku bekerja di kotaku dan suami belum mau mengajakku ke kota tempat dia bekerja. Alasannya, dia sangat sibuk karena baru masuk kerja, juga kasihan jika aku ditinggal sendirian di rumah. Suatu hari, Januari lalu aku iseng ngecek HP suami karena feeling sudah nggak enak, dia selalu main HP hampir setiap saat bahkan sampai nggak peduli dengan keadaan sekitar. Aku sering dicuekin kalau lagi ngomong.
Pada Februari, aku iseng ngecek HP suami lagi dan menemukan fakta bahwa mereka pernah jalanjalan ke luar kota selama dua hari pada awal Januari kemarin. Hancur hatiku, Kak. Tega banget. Aku kecewa ternyata setelah ketahuan yang pertama, dia masih menyembunyikan fakta lain. Aku sudah berusaha maklum, tapi dia bilang sibuk. Aku berusaha nggak ganggu pekerjaan dia. Kami bertemu ketika weekend saja, itu pun biasanya dia pakai untuk tidur karena capek. Tapi, ternyata dia masih ada waktu untuk ketemu dengan si A ke luar kota selama dua hari dan nyetir sendiri sekitar 6-7 jam perjalanan pergi.
Masalah ini ada memang karena aku diam-diam ngecek HPnya, padahal itu bagian dari privasi dia. Tapi, apa yang akan terjadi kalau nggak ketahuan?
Akan sejauh apa hubungan mereka? Itu yang ada di otakku. Aku dilema, Kak antara menyesal diamdiam sudah mengecek HPnya, tapi juga nggak percaya lagi akan privasi.
Sekarang masalahnya sudah lewat. Namun, belum ada obrolan serius di antara kami berdua karena aku selalu emosional ketika membahas hal itu. Suami juga lebih ingin move on dan nggak membahasnya lagi. Dia bilang, yang penting dia sudah sadar dan nggak akan mengulang kembali. Sekarang suami sedang dalam masa probation untuk naik tingkat dan beneran sibuk banget. Tapi masalahnya, sampai sekarang aku masih trauma dan over thinking. Kepercayaanku kepadanya perlahan terkikis dan menipis.
Tremor. Aku terkadang bisa mengalami itu kalau aku tak tahu suami ada di mana dan nggak membalas chatku. Suami pun kadang ngambek kalau aku nanya-nanya terus. Dia mulai nggak suka lagi kalau aku ngecek HPnya, dan malah jadi aku yang merasa nggak enak. Aku bener-bener jadi bingung, Kak dan merasa insecure kalau nggak boleh lihat HP suami. Aku merasa mentalku saat ini tertekan, tapi aku juga nggak bisa bicara sama siapa-siapa soal masalah rumah tangga kami karena sering diberi nasihat kalau masalah rumah tangga lebih baik diselesaikan berdua saja.
Mohon saran, ya Kak apa yang harus aku dan suami lakukan. Terutama untukku yang bingung menghadapi suami yang bersikap tidak pengertian dan tidak peduli dengan kondisi mentalku saat ini. Terima kasih sekali kalau Kakak mau merespons dan menanggapi masalahku ini.
Ketika rasa percaya sudah cedera, memang tidak mudah usaha untuk mengembalikannya. Akan tetapi, sulit bukan berarti tidak bisa, apalagi jika kedua belah pihak punya kesadaran untuk memperbaikinya. Teruntuk kamu yang sedang dalam kondisi demikian, dari sisimu, saya melihatmu cukup bijak karena tidak sekalipun kamu sebutkan kata “selingkuh” atau “perselingkuhan”. Kamu bisa mengartikulasi tindakan suami yang kurang berkenan dan tidak menghakiminya dengan label negatif. Kamu bisa memisahkan antara tindakan/kesalahan dengan kepribadian. Itu sesuatu yang harus diapresiasi oleh suamimu.
Di sisi suami, dia sudah bilang, “yang penting sudah sadar dan nggak akan melakukan hal itu lagi.” Itu bisa jadi modal besar untuk mengembalikan rasa percaya yang terluka. Dan, itu adalah sesuatu yang perlu dihargai. Meski demikian, dia juga harus sadar setiap kesalahan ada retribusinya. Dalam hal ini, retribusinya adalah kerelaannya untuk membiarkanmu mengecek HPnya, setidaknya sampai kamu tidak tremor karena insecure lagi dan kepercayaanmu padanya bisa pulih lagi. It takes time and effort to fully heal. Pesan saya untukmu, ingat satu hal yang sangat membantu untuk memaafkan: kesalahan itu terjadi bukan karena ia berniat menyakiti, tetapi karena sebagai manusia dia juga punya kelemahan dan pasti pernah melakukan kesalahan.
Pesan saya untuk suamimu, ingatlah bahwa tidak ada orang yang berniat jatuh dalam pencobaan, jadi jangan marah kalau istrimu menolongmu agar kamu tidak terjatuh dalam dosa, tetapi justru berterima kasihlah pada istrimu karena sudah membantumu mencegah kesalahan yang sama terulang lagi.

Curhat Random
Belajar dari contoh kasus, ini adalah berbagai pertanyaan yang sering saya terima, baik ketika saya diundang menjadi pembicara ketika workshop, atau pelatihan di berbagai kota di Indonesia. Semoga banyak hal baik yang bisa kita petik dari perjalanan hidup orang lain, ya.
Bagaimana cara menjaga keharmonisan rumah tangga saat kedua pihak tidak mau mengalah? Saat di rumah pun suami selalu sibuk main game di HP, padahal sudah diminta bantu jaga anak, tapi cuek.
[W, 39 tahun, Jakarta]
Kalau saya pakai prinsip: begin with the end in mind. Maksudnya bagaimana? Begini, coba ingatingat ketika menikah, kamu ingin pernikahanmu seperti apa? Kalau saya, ingin pernikahan saya harmonis. Nah, dari titik harmonis itu tarik satu titik mundur ke belakang, bagaimana caranya supaya harmonis? Arti harmonis ini buat saya bukan berarti tidak pernah ada konflik ya, tetapi punya kemampuan menghadapi konflik, bahkan bertumbuh menjadi lebih baik. Jadi, boleh berkonflik, tetapi cara menangani konfliknya harus dipelajari dengan baik.
Lantas, bagaimana tuh cara menangani konflik dengan baik?
Jawabannya adalah belajarlah cara komunikasi asertif. Apa itu komunikasi asertif? Kemampuan untuk mengomunikasikan kepada orang lain apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Caranya? Silakan baca di pembahasan
Komunikasi Asertif, ya.
Selain itu, ada satu lagi prinsip penting yang saya pegang dalam berumah tangga: bahwa pernikahan itu bukan hubungan transaksional, bukan layaknya ikatan penjual dan pembeli, lo bayar gue beri. Bagi saya, dalam hubungan saya dan suami tidak perlu ada yang namanya hitung-hitungan menang-kalah, untung-rugi, take-give. Tidak perlu dihitung-hitung, tidak perlu merasa ‘saya sudah mengalah’, tidak perlu merasa ‘enak di dia nggak enak di gue dong’. Karena percayalah, kalau masih hitung-hitungan soal kebaikan, masih merasa paling sering mengalah dan berkorban, kita tidak akan pernah puas dan bahagia. Akan tetapi, ketika kita sudah menghilangkan sifat hubungan transaksional maka kita akan memberikan lebih dari 100% usaha kita tanpa mengharapkan imbal balik, efeknya pasti akan dirasakan oleh pasangan dan anak-anak kita, and eventually kebaikan itu kembali lagi kepada kita :). Yuk, semangat yuk.
How to manage my disappointment to him? And it changes our sex life so badly.
[T, 31 tahun, Jakarta]
For Men : Sex = No (More) Problem
For Women : Problem = No (More) Sex
Yes, sialnya anekdot ini benar banget ya. Maksudnya begini, bagi pria, ketika ia berhubungan seks maka masalah yang tadinya ada seolah jadi hilang. Sementara bagi wanita, ketika ada masalah maka berarti tidak akan terjadi hubungan seksual. Hal ini menjadi seperti lingkaran setan. :)
Jadi, gimana tuh kalau ada masalah? Mau tidak mau, masalah harus dibicarakan. Caranya?
Pertama, cari waktu yang tepat. Jangan membicarakan masalah ketika kita atau pasangan sedang dalam kondisi HALT: Hungry (lapar), Angry (marah), Lonely (kesepian), and Tired (letih). Kalau saya, biasanya saat paling tepat membahas masalah yang terjadi adalah ketika #pacaranmingguini atau saat makan berdua pasangan. Karena ketika makan, keempat kondisi HALT itu tidak ada. Kalau perlu, buat kesepakatan kapan akan hal yang mengganjal itu dibicarakan.
Kedua, bicarakan dengan kepala dingin dan hati yang hangat. Jangan kebalik ya :)). Bicaralah dengan nada rendah (untuk mengindikasikan ketenangan), dan dalam (untuk mengindikasikan ketegasan).
Ketiga, bedakan antara masalah dan kepribadian. Maksudnya, silakan mengkritik hal atau tindakannya yang membuat kamu kecewa (contoh: berbohong), tetapi sebisa mungkin hindarilah mengkritik atau melabeli kepribadiannya (contoh: pembohong).
Setelah itu, gimana caranya mengolah kekecewaan terhadap pasangan? Silakan simak Marriage Tips versi saya dalam buku ini. Masalah ini ada pada poin ke-5: Pahami dan maafkan. Ketika pasangan melakukan kesalahan besar, tetapi ia mau mengakui dan meminta maaf, ingat satu hal yang bisa mempercepat proses memaafkan: kesalahan itu terjadi bukan dengan niat untuk menyakiti, tetapi karena sebagai manusia ia juga punya kelemahan.
The big problem is he never say sorry. Kalau dia sudah adem dia akan ngobrol seperti tidak terjadi apa-apa, sementara di hati saya banyak sekali unekunek yang mau saya utarakan. Coba ngomong baik?
Everytime I try dan NOL besar, endingnya pertengkaran lagi. What should I do then? Can you be my mentor privately, please?
Hal ini kaitannya dengan manage expectations. Coba tolong perhatikan Prinsip Manage Expectation berikut.
Ekspektasi Tinggi, Realita Rendah = Kecewa
Ekspektasi Rendah, Realita Tinggi = Bersyukur
Kalau kita sudah tahu suami nggak pernah minta maaf, maka jangan berharap dia minta maaf. Karena pasti akan kecewa terus :(. Suami saya pun jaraaaangggg banget minta maaf, untuk masalah besar sekalipun. Dalam kamus pernikahan kami: when he says “I love you” it means “I’m sorry” :)) And I get it.
Apakah permintaan maaf itu begitu penting? Maaf itu tidak selalu harus dalam bentuk kata. Perbuatan yang mencerminkan dia menyesal dan berusaha memperbaiki kesalahannya itu justru lebih berarti dibanding kata maaf yang terucap, tetapi tidak ada perubahan. Because the best kind of an apology is a changed behavior.
Lalu bagaimana supaya dia tahu banyak unekunek yang mau diutarakan? Kalau setiap kali kamu coba berbicara baik-baik, tetapi nol besar dan berakhir bertengkar, setidaknya kamu sudah tahu cara yang gagal, maka janganlah gunakan cara yang sama. Remember, insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results. Go explore, try different ways, be creative. Good luck!
Alhamdulillah, pernikahan saya memasuki usia 8 tahun dan sudah dikaruniai dua jagoan. Pernikahan kami terasa semakin mateng. Semakin lama tambah harmonis, padahal kami bekerja semua. Anak-anak juga lagi aktif-aktifnya. Berusaha saling mengerti dan memahami kedua belah pihak. Pertanyaannya, bagaimana agar kami sebagai suami istri dan sebagai orang tua bisa menerapkan rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah? Terima kasih.
[AH, 34 tahun, Semarang]
Bagaimana menerapkan rumah tangga sakinah mawadah warohmah? Mari kita ulas dulu artinya.
Sakinah = tenang atau tenteram
Mawaddah = cinta
Rahmah = kasih sayang
Ketiga kata tersebut diambil dari al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21. Jadi, bisa disimpulkan secara sederhana, rumah tangga sakinah mawaddah warohmah adalah yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang demi tercapainya rumah tangga yang memberikan ketenangan dan ketenteraman.
Hal tersebut senada dengan yang tertulis dalam alkitab 1 Korintus 13 tentang kasih. Bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, dan tidak sombong. Kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Kasih itu tidak pemarah dan tidak menyim- pan kesalahan orang lain. Di antara iman, pengharapan, dan kasih, yang terbesar di antaranya adalah kasih.
Bagaimana contoh penerapannya dalam kehidupan rumah tangga? Salah satunya, kalau punya anak lelaki, tanya ke diri sendiri: mau anak lelakinya dapat istri yang seperti apa? Nah, jadilah istri yang seperti itu. Sebaliknya, kalau punya anak perempuan, tanya ke diri sendiri: mau anak perempuannya dapat suami yang seperti apa? Nah, jadilah suami yang seperti itu :).
How to escalate our performance: penampilan atau kecantikan. Sementara kita sendiri nggak tahu gimana caranya mbak, hehe.. Lelah dengan banyak urusan kerjaan dan household.
[D, 35 tahun, Surabaya]
Sebenarnya, nggak perlu dandan-dandan yang
‘wah’ banget. Hal terpenting ketika suami pulang istri tidak kucel dan butek-butek banget, itu juga sudah cukup sih menurut saya. Begini, suka tidak suka, pada dasarnya lelaki itu makhluk visual. Laki-laki mudah dimanjakan lewat pandangan, berbeda dengan wanita yang lebih mudah dimanjakan lewat kata-kata dan pujian. Jadi, salah satu cara memanjakannya adalah dengan berpenampilan yang cukup indah dipandang, meski hanya di rumah saja. Kalau nggak tahu caranya berdandan, banyak video tutorial dandan di YouTube kok. Tidak harus dandan menor, sekali lagi, yang penting lumayan nyaman dipandang mata. Anak saya pernah bertanya, “Mommy mau ke mana?”
“Mau menyambut Daddy pulang”
“Kok rapi amat?”
“Daddy di luar sana kan ketemu banyak orang, pasti penampilannya pada rapi, wangi. Kalo Daddy pulang ke rumah liat Mommy berantakan, nggak enak dilihat, jadinya njomplang. Kan lebih enak kalo
Daddy pulang dipeluk istri yang ngga kalah rapi dan wangi, pasti jadi lebih happy.”
Akan tetapi, yang paling utama bagi saya, mengurus diri itu adalah salah satu cara saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah menganugerahkan raga ini. Menjaga penampilan adalah cara saya untuk menghargai diri sendiri, dan menjadi bagian dari me-time yang saya nikmati setiap hari. Kalau suami senang melihatnya, itu bonus combo.
My best friend once wrote in my diary: Doing good begins with feeling good. Feeling good begins with looking good!
Hubunganku dan suami masih bisa dibilang anget-anget tahi ayam karena besarnya ego yang dimiliki suami. Aku pun punya sifat baperan. Tapi, semua itu bisa kami hadapi bersama dengan saling pengertian.
Kendalanya, ada di orang tua kami masingmasing yang sering merecoki rumah tangga hingga rasanya jengah. Bagaimana, ya Mam Nuniek memperkuat hubungan pasutri yang kadang pengen pisah karena tekanan dari orang tua?
Kalau orang tua masih merecoki rumah tangga anaknya, itu berarti mereka masih memakai topi controller ke anak mereka, padahal harusnya topi itu sudah pensiun sejak anak berusia 13 tahun. Silakan baca tentang Prinsip 3 Topi dalam Parenting, ya. Jadi, bagaimana seharusnya?
Begini, dalam kitab suci kami tertulis, anak memang wajib menghormati orang tuanya. Namun, ada tertulis juga bahwa ketika laki-laki dan perempuan menikah, mereka meninggalkan ayah dan ibunya, dan menjadi satu tubuh. Artinya, suami dan istri satu kesatuan. Bagi saya dan suami, ketika sudah menikah maka yang perlu diprioritaskan adalah pasangan, baru orang lain termasuk orang tua dan anak. Jadi, suami dan istri harus sepakat dulu bagaimana menghadapi orang tua atau mertua. Ketika menyampaikan hal-hal yang kurang mengenakkan, harus anak kandung dari orang tua tersebutlah yang mengutarakan, bukan menantunya. Karena jelas ya, tidak ada yang mantan anak, tetapi ada mantan menantu.
Intinya, orang tua cenderung lebih bisa memahami anak kandung ketimbang menantu. Begitu pula sebaliknya, anak kandung lebih tahu bagaimana menghadapi orang tua kandungnya, ketimbang mertuanya. Jadi, sebelum menghadapi gempuran dari luar (dalam hal ini orang tua dan mertua), perkuat dulu fondasi dan benteng di dalam, alias kasih dan hubunganmu dengan suami. Ibarat sebuah istana, ketika fondasi kuat dan benteng kukuh, maka akan sulit goyah atau roboh. Mentor saya pernah bilang, suami istri jangan seperti rel kereta, kelihatannya berdampingan tapi selalu ada jarak dan tak pernah menyatu.
Mau nanya, biasanya kalau displacement itu kan muncul karena kita juga punya “sampah” yang pengen kita keluarkan pas suami pulang kantor.
Nah, supaya sampah itu nggak melulu suami yang nanggung, sebaiknya gimana ya caranya? Apakah kita harus punya temen untuk jadi “tong sampah” kita? Atau bagaimana?
[C, 33 Tahun, Jakarta]
Salah satu cara saya mengatasi displacement adalah dengan memahami inner child dan personal healing. Silakan baca pembahasan-pembahasan sebelumnya. Kalau saya pribadi, jaraaaannnggg banget curhat, bahkan ke para sahabat. Saya baru akan curhat kalau saya yakin orang yang dicurhatin itu bisa meringankan permasalahannya. Mungkin karena saya introvert, jadi kurang merasa perlu stimulus dari luar. Biasanya, yang saya lakukan agar suami tidak kena imbas displacement dan inner child adalah dengan punya me-time yang cukup. Kegiatan favorit saya adalah membaca buku atau berkebun sambil mendengarkan musik. Kalau saya sudah anteng gitu, biasanya lebih bisa menata kata untuk disampaikan ke suami dengan lebih baik.
Hal lain yang bisa sangat membantu adalah dengan journaling, yaitu mengartikulasi semua yang ada dalam pikiran kita ke dalam tulisan. Tulis aja dulu semuanya, tidak perlu pakai mikir lama, tidak usah diedit-edit. Setelah selesai semua, baru baca lagi, lalu pikirkan: “kira-kira bagian mana yang perlu disampaikan ke pasangan? Bagaimana cara menyampaikannya?”
Setelah saya melakukan itu, saya jadi kaget sendiri. Reaksi saya antara lain seperti ini.
“Aduh, nggak penting banget sih.”
“Ini mah ntar aja kalau udah selesai diobrolinnya sambil bercanda.”
“Wah, ini penting banget sih buat diomongin karena kalau nggak pasti bakal berulang kayak gini terus.”
Kira-kira samalah seperti prinsip membuang sampah: harus pada tempatnya (waktu dan lokasi yang tepat), dipilih mana yang organik mana nonorganik, mana yang bisa di-reduce, reuse, recycle.
Halo Mbak Nuniek, mau tanya. Bagaimana menjadikan/mengubah seseorang untuk berpikir lebih dewasa dan bijak?
Pertanyaan ini sering diajukan followers saya di DM Instagram, bagaimanakah caranya mengubah pasangan/anak/orang tua?
Jawaban saya: jangan pernah mengharapkan orang lain berubah karena kita, sebab orang bisa benar-benar berubah itu hanya kalau dia mau berubah. Kalau berubahnya terpaksa demi orang lain itu namanya bukan berubah, hanya masking atau palsu.
Nggak mau kan kita hidup dengan orang yang penuh kepalsuan? If you can’t change the situation, change your reaction. Kita tidak selalu bisa mengubah situasi, yang bisa kita ubah adalah reaksi kita.
Ketika kita sendiri yang berubah duluan, perlahan tapi pasti orang itu juga jadi berubah, tanpa diminta ataupun dipaksa.
Ini contoh nyatanya, ya. Ibunya tidak berusaha mengubah anaknya, tetapi ia melakukan pendekatan yang berbeda (mengubah reaksinya). Tanpa diminta, anaknya mau berubah sendiri.

Bagaimana caranya mengatur kebutuhan komunikasi antara aku yang Ekstrovert dan dia yang Introvert banget? Selain itu, prioritas no.1 nya dia kerjaan, bukan kami.
[S, 30 Tahun, Jakarta]
Menarik, perbedaan kepribadian, yang satu
Introvert dan satu lagi Extrovert, bagaimana mengatasinya? At least, modalnya sudah ada, ya: aware bahwa kamu dan pasangan berbeda. Kamu yang
Ekstrovert, punya kebutuhan recharge energi dengan cara berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
Sementara dia yang Introvert, juga punya kebutuhan recharge energi, tetapi dengan cara menyendiri, kontemplasi, dan apa pun itu yang tidak perlu interaksi dengan orang lain.
Introvert itu bisa dibilang selective extroverted.

Artinya, dia bisa lho jadi Extrovert dengan orang yang benar-benar bisa buat dia nyaman. Nah, sekarang PR nya adalah cari tahu dulu, apa sih yang biasanya buat suami nyaman? Kalau saya, sudah tahu hobi suami adalah nonton film. Ya sudah saya temenin dia nonton film berdua setiap minggu. Sebelum nonton, kita makan dulu, dan di situlah saya bisa mengeluarkan uneg-uneg melalui sesi Bagaimana Perasaan Saya (BPS).
Terkait prioritas, suka tidak suka, diakui atau tidak, memang mayoritas lelaki prioritasnya adalah pekerjaan karena itu bagian dari identitas diri dan kekuatan dia. Sementara bagi kebanyakan wanita, prioritas utamanya adalah keluarga dibanding pekerjaan. Lalu bagaimana menjembataninya?
Jadwalkan waktu berkualitas bersama keluarga. Mentor saya selalu bilang, waktu berkualitas bersama keluarga itu harus dijadwalkan, bukan disisakan. Mau meeting sama orang lain saja kita bisa dijadwal, masa waktu bareng keluarga harus cari-cari waktu sisa? Makan sambil ngobrol bareng meski hanya 15-30 menit sehari juga cukup.
Sejak punya anak, aku merasa suami sering lupa bahwa aku juga manusia, punya perasaan dan kebutuhan. Yang dia pikirkan hanya anak dan anak. Aku pun merasa enggan untuk bilang secara langsung (misal), “Pa, coba tolong perhatian ke aku jangan dikurangi...” Apa aku bisa pakai metode MBTI untuk hal ini ya? [I, 32 Tahun, Jakarta]
MBTI bisa digunakan untuk segala aspek hubungan. Sangat powerful. MBTI mengubah cara pandang dan pendekatan kita terhadap diri sendiri dan orang lain. Saya sangat sarankan siapa pun yang ingin memahami diri sendiri dan pasangan untuk belajar MBTI. Baca tentang MBTI pada bab
Memahami Perbedaan Kepribadian, ya.
Kalimat “Pa, coba tolong perhatian ke aku jangan dikurangi” itu masih bisa diganti ke yang lebih asertif dengan “Pa, Mama seneng deh kalo papa ... (isi dengan spesifik satu tindakan suami yang membuat kamu bisa merasa senang). Waktu papa melakukan itu, aku merasa senang dan diperhatikan.”
Titik-titik yang diisi sendiri itu sebaiknya utarakan dengan pengalaman real yang sudah-sudah ya, jangan yang belum pernah terjadi.
Pada umumnya, laki-laki tidak suka diperintah.
Meminta tolong itu, meskipun halus namun masih dalam kategori perintah. Laki-laki senang jika merasa dibutuhkan, dikagumi. Mereka sangat senang jika merasa menjadi pahlawan bagi pasangannya. Jadi, buatlah mereka seperti itu. Buatlah suami merasa berguna, berdaya, dibutuhkan, dikagumi, dan menjadi pahlawan bagi kita. Dengan menyebutkan secara spesifik apa saja tindakannya yang membuat kita merasa senang dan diperhatikan, dia akan tahu, oh kalau aku begitu, istriku senang toh, merasa diperhatikan toh. Kadang kita berpikir, ih, suamiku nggak perhatian banget sih! Padahal, tahu nggak, mereka bukannya nggak perhatian, cuma nggak tahu saja bentuk perhatian untuk kita dan mereka bisa sangat berbeda. Bisa jadi bagi suami, memikirkan anak adalah salah satu bentuk kasih sayang terhadap istri.
Nah, kalau kita tidak bilang secara spesifik tindakan apa yang membuat kita senang dan diperhatikan, tetapi terus mengharapkan suami bisa nyenengin dan perhatian sesuai keinginan kita, apakah kita menikahi cenayang?
1. Saya menjalani long distance marriage. Untuk beberapa hal suamiku masih nge-keep sendiri, nggak mau share ke aku. Aku kan jadi suka kepo gitu, ya. Gimana caranya supaya suami mau share? Suamiku tipe introvert.
2. Untuk urusan anak, suami saya lebih banyak ngasih tanggung jawab pengasuhan ke saya. Gimana caranya mengajak suami untuk turut aktif dalam pengasuhan mengingat pentingnya peran ayah dalam pola asuh anak.
P, 28 Tahun, Bandung
Jawaban pertama. Biasanya, ketika suami enggan berbagi karena dia tidak mau membebani kita, atau menurut dia hal tersebut kurang penting untuk dibahas. Bisa juga karena hal tersebut kurang nyaman dibicarakan. Nah, bagaimana caranya supaya suami mau share?
Kuncinya adalah buat dia merasa nyaman dulu bicara dengan kita. Untuk seseorang dengan kepribadian Introvert memang cenderung tidak mudah terbuka, tetapi bukan berarti tidak bisa. Introvert is a selective extrovert. Artinya, dia bisa sangat terbuka kepada orang yang membuat dia merasa nyaman.
Ketika suami pulang, kita mungkin bisa mencoba menemani suami melakukan hal yang disukainya, disuguhi makanan atau minuman kesukaannya, disayang-sayang dulu. Setelah dia merasa nyaman, baru pelan-pelan ajak ngobrol, santai aja nggak usah terlalu serius. Kalau suami mulai agak ngegas atau menarik diri, kendorin dulu, jangan ikutan ngegas, nanti malah nabrak.
Satu hal yang penting untuk dimengerti adalah orang Introvert itu mendapatkan sumber energinya dari dalam diri sendiri. Jadi, untuk bisa curhat ke orang lain dia butuh usaha ekstra, maka hargailah usahanya, ya.
Jawaban kedua.
Untuk persoalan suami yang kurang aktif dalam pengasuhan anak, perlu ditilik dari pohon keluarganya. Bapak dari suami kamu dulu gimana cara mengasuh anaknya? Apakah aktif terlibat pengasuhan, atau pasif dan menyerahkan ke ibunya saja?
Karena sangat tidak adil jika mengharapkan suami menjadi seperti ayah kita, padahal dia dididik oleh ayahnya. Kalau sudah paham kebiasaan dari keluar- ga asalnya, kemudian kita kelola ekspektasi kita, dan coba bicarakan dengan suami. Bagaimana caranya? Contoh konkret yang saya lakukan waktu itu adalah katakan padanya, “Let’s break the chain.”
Maksudnya, setelah melihat pohon keluarganya, saya jadi paham mengapa dia tidak aktif dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, karena bapaknya dulu ternyata juga begitu. Lebih senang dilayani, ditambah lagi ibu dari mama mertua saya juga mengajarkannya layani suami. Jadi, papanya tidak mendidik anak lelakinya (suami saya) untuk terlibat aktif dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga. Nah, dengan “Break the chain” itu kita mengubah akar pohon keluarga yang kurang baik, menjadi suatu kebiasaan baru yang lebih baik lagi.
Saya cerita ke suami, kalau papa saya dulu bagaimana. Papa saya sehari-harinya bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dan aktif terlibat dalam pengasuhan anak. Salah satu kenangan yang paling melekat tentang masa kecil saya adalah ketika papa saya hampir setiap minggu mengajak kami sekeluarga rekreasi ke Monas atau Ragunan. Ketika papa saya meninggal, itu adalah hal pertama yang saya tulis tentangnya di blog. Sementara bagi anak pertama kami, yang paling dikenang tentang
Mbahnya (ayah saya), adalah ketika Mbahnya membuatkan nasi goreng untuknya. Bahkan ketika di makam, dengan polosnya dia yang saat itu berusia 8 tahun bertanya: Mbah di surga bisa bikin nasi goreng ngga, ya?
Kenangan-kenangan indah seperti itulah yang saya ingin anak-anak saya ingat tentang suami saya sebagai ayah mereka. Boleh bilang begini (dan biasanya ampuh), “Sayang, kamu ingin anak kita nanti dapat pasangan yang seperti apa? Yuk kita jadi pasangan yang seperti itu.” Semoga jawaban ini membantu, ya.
Bagaimana cara menghilangkan gengsi saat menerapkan “I language”? Kadang aku merasa lemah kalau menerapkan “I language” kepada suami setiap mau mengungkapkan sesuatu. Tetapi, aku pernah coba dan berhasil itu juga setelah udah mepet baru aku mau lakukan.
D, 24 Tahun, Jakarta
Hai D, terima kasih pertanyaannya. Wah iya bicara soal gengsi memang berat ya apalagi kalau belum biasa. Kuncinya fokus di “why”, then we can bear all the “hows”. Maksudnya adalah, paham dulu kenapa kita melakukan itu. Kalau kita udah tahu targetnya mau ungkapin sesuatu supaya lega, tapi kalo cara ungkapinnya salah kan malah jadi ribut ya. Nah, kita kan nggak mau ribut, jadi rasa gengsi itu udah nggak jadi masalah lagi karena su- dah paham, nanti begini lhoo hasil yang didapatkan. Apalagi kalau kamu sudah pernah melakukan dan merasakan hasilnya, nanti lama-lama akan bisa karena terbiasa kok. Btw ini formulasi komunikasi asertif yang kamu bisa pakai ya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Formula Komunikasi Asertif
Aku ... (isi dengan perasaanmu)
Waktu kamu ... (isi dengan tindakannya yang spesifik)
Semoga ... (isi dengan harapan yang realistis)
Contoh komunikasi asertif:
Aku seneng banget deh waktu Daddy ngajarin si Adek matematika tadi, semoga bisa ngajarin rutin yah, mungkin jadwalin tiap Rabu?
Aku tuh sebenernya sedih lho tadi waktu Si Kakak lagi ngomong sama Daddy tapi Daddy dengerinnya sambil main hape. Semoga nanti kalo Si Kakak curhat lagi, Daddy bisa dengerin tanpa pegang hape yaa, biar dia merasa dihargai dan diperhatiin sama Daddynya.
Aku bahagia banget bisa pacaran, nonton, dan makan berduaan sama Daddy hari ini. Semoga kita bisa pacaran lebih sering yah, tiap Kamis atau Jumat malem yaaa enaknya?
Aku tipe yang perfeksionis dan paling riweh soal kerapian. Aku sering ngomel untuk hal-hal kecil yang luput dari perhatian suami dan karena aku selalu merasa suami selalu berantakin apa yang sudah capek-capek aku rapiin. Suami sih terima-terima aja semua omelanku karena tetap aku juga yang ngerapiin semuanya lagi. Tapi sering kali aku capek, capek hati sih lebih tepatnya, ujung-ujungnya moodku jadi berantakan.
Gimana, ya Mbak caranya biar aku bisa mengelola emosiku, biar nggak capek hati lagi cuma garagara hal-hal kecil, biar suami juga bisa lebih rapi sedikit. Karena sejujurnya saat aku ngomel dan suami diam aja aku mikirnya dia nggak bener-bener dengerin aku, lho. Pura-pura aja budeg, nggak menjawab biar aku cepat diamnya. Udah sampe berbusa nih mulut ngomel-ngomel ya tetap aja suami masih begitu, nggak bisa rapian dikit.
E, 31 Tahun, Pematang Siantar
Hai E, toss dulu kita. Saya aslinya juga tipe gila kerapian sebenarnya, secara tipe kepribadian MBTI saya J plus bintang Virgo pula yang terkenal organized, haha. Dulu sebelum nikah, saya nggak bisa tuh mulai kerja kalau meja masih berantakan, dan nggak bisa pulang kerja juga kalau belum diberesin sampai rapi.
Begitu menikah dengan suami yang kalau meletakkan barang sesukanya, ditambah lagi punya dua anak sekaligus dalam jarak dekat, stres sekali rasanya lihat rumah berantakan terus. So, I feel you.
Nah, tapi ada satu turning point yang mengubah saya, kalau dalam NLP namanya teknik reframing.
Caranya, dengan mengubah perspektif dan persepsi diri kita dengan sudut pandang yang lain. Ini ada artikel bagus yang pernah saya dapatkan dari
WhatsApp group untuk menggambarkan seperti apa reframing itu bagi seorang ibu.
Mengubah Sudut Pandang
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki empat anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan dan kerapihan rumah ditanganinya sendiri.
Suami serta anak-anaknya menghargai pengabdiannya itu. Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian.
Padahal, dengan empat anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarga, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum dan berkata kepada sang ibu, “Ibu harap tutup mata dan bayangkan apa yang akan saya katakan.”
Ibu itu kemudian menutup matanya.
“Bayangkan rumah Ibu yang rapi dan karpet Ibu yang bersih, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan Ibu?”
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan, “Itu artinya tidak ada seorang pun di rumah Ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah Ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang Ibu kasihi.”
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
“Sekarang lihat kembali karpet itu, Ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak Ibu ada di rumah, orang-orang yang Ibu cintai ada bersama Ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati Ibu.”
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
“Sekarang bukalah mata Ibu.”
Ibu itu membuka matanya. “Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi kekhawatiran buat Ibu?”
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu maksud Anda,” ujar sang ibu, “jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif.”
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor karena setiap melihat jejak sepatu di sana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah tersebut adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami
Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Teknik yang dipakainya disebut Reframing, yaitu bagaimana kita
‘membingkai ulang’ sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Ini beberapa contoh pengubahan sudut pandang.
Saya BERSYUKUR
1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.
4. Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, itu berarti syukur Tuhan memberikan rezeki untuk kita berpenghasilan.
5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.
6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.
7. Untuk rasa lelah, capai dan penat saat penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.
8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.
9. Untuk bunyi alarm keras pukul 4.30 pagi yang membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.
10. Untuk yang mem-posting broadcast panjang dan ‘mengganggu’ ini, artinya masih ada orang baik yang mau berbagi nasihat dan cinta kepada kita.
Setelah reframing, saya jadi paham bahwa nggak penting seisi rumah rapi jali kalau anggota rumah malah jadi nggak nyaman mendengar kita ngomelngomel melulu. Atau ya yang lebih ekstrem, rumah bisa saja rapi tanpa cela, tapi tanpa kehadiran keluarga karena mereka sudah tiada. Nah lho.
Pernahkah terpikir, sangat mungkin sesungguhnya suamimu juga berharap kamu akan berubah?
Tidak lagi ngomel untuk hal-hal kecil yang luput dari perhatian suami? Mungkin juga dia sebenarnya sedih saat kamu ngomel, makanya diam saja daripada kalau dijawab malah jadi ribut? Atau dia juga bingung karena menurutnya kerapian itu hal yang tidak penting? Sebab, ukuran kerapian dan tingkat kepentingan setiap orang itu sangat berbeda.
Hal ini persis seperti Michelle Obama yang bingung kenapa Barack Obama bisa memimpin negara, padahal ngerapiin tempat tidur saja malas. Apakah itu berarti Barack Obama pemalas? Ya kali pemalas bisa jadi presiden negara adidaya :)). Jelas, ini hanya soal perbedaan prioritas. Bagi Michelle, penting beresin tempat tidur karena begitulah didikan dan kebiasaan yang diajarkan orang tuanya sejak dia kecil. Sementara bagi Barack, hal itu tidak penting karena baginya ada banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang urusan tempat tidur rapi. Toh nanti juga ditidurin lagi :)).
Kamu mungkin akan bertanya-tanya, lho kenapa harus saya yang berubah? Kenapa bukan dia saja yang berubah, jadi lebih rapi dan peduli? Ingat sekali lagi, bahwa orang tidak akan berubah kalau dia tidak mau berubah. Ini sudah dibahas dalam jawaban pertanyaan sebelumnya, ya. Sebagaimana ditulis oleh teman saya Daniel Arsenault dalam bukunya “Habis Nikah Ngapain?” kalimat ini sangat benar adanya: “Ingatlah, jika ingin melihat perubahan dalam hidup, Anda perlu menjadi perubahan itu sendiri. Jika ingin pasangan berubah, maka Anda tidak bisa menyuruhnya berubah. Anda perlu memberinya contoh melalui perubahan pada diri Anda sendiri.”
Aku dan suamiku trauma karena pernikahan orang tua kami masing-masing. Saat kami ada masalah, dia tidak bisa menyelesaikannya dengan baik. Lebih sering kabur menenangkan diri dan tidak mau membicarakan apa pun setelahnya. Seolah tidak ada masalah. Aku tipe yang blak-blakan kalau marah, sedangkan dia tipe yang memilih diam dan meninggalkan masalahnya seolah tidak ada.
Aku harus bagaimana ya Mbak agar suami mau mengeluarkan unek-unek-nya? Dalam keseharian dia orang yang ceria dan humoris, tapi saat dihadapkan masalah rumah tangga dia berubah jadi diam.
C, 29 Tahun, Malang
Ketika ada masalah, respons manusia umumnya terbagi tiga.
1. Fight Mengadapi masalah. Tidak ragu melakukan konfrontasi, melawan jika dirasa tidak benar.
2. Freeze Mendiamkan masalah. Berharap masalah berlalu begitu saja. Seolah masalah bisa disembunyikan di balik karpet.
3. Flight Meninggalkan masalah. Tidak mau menghadapi situasi yang tidak mengenakkan, lebih senang kabur dari konflik.
Sementara dalam MBTI, ada istilahnya “on the grip”. Seseorang bisa berubah banget, dari yang biasanya ceria jadi diam seribu bahasa ketika merasa stres atau tertekan. Kita pahami dulu, ya bahwa sebagai bagian dari self-defense, hal itu adalah normal. Jadi, sebaiknya tidak ditanggapi berlebihan. Nah, sekarang bagaimana caranya supaya suami mau mengeluarkan unek-unek-nya?
Kalau saya selalu kembali ke prinsip: “Suami adalah pemimpin, istri adalah penolong yang sepadan”. Sebagai penolong, apa yang harus saya lakukan untuk membantu meringankan beban suami? Orang yang bisa menjawab itu adalah suaminya. Bisa tanyakan langsung, dan ini yang pernah saya lakukan. “Daddy, kelihatannya lagi bete, Daddy mau sharing ke aku? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalau dia bilang “nggak apa-apa”, jangan dipaksa-paksa, bilang saja, “Ya udah, kalau nggak mau share sekarang nggak apa-apa. Nanti kalau udah mau cerita, aku siap kapan aja, yaa.”
Nah, kalau kita juga bete gimana? Apalagi kalau masalahnya besar?
Saya pernah tanya ke mentor saya, “Pak, gimana ini, saya nggak bisa tidur kalau masih ada masalah yang mengganjal, sedangkan suami saya nggak mau ngebahas saat itu juga, pasti ditunda-tunda atau pura-pura lupa.”
Mentor saya jawab kira-kira begini, “Tujuan dari pembahasan masalah itu sebenarnya apa?
Menyelesaikan masalah kan? Kalau salah satu memaksa untuk dibahas saat itu juga, sedangkan pihak yang lain tidak siap, masalahnya selesai nggak?
Mungkin selesai buat salah satu pihak, tapi pihak yang satunya lagi gimana? Jadi, ya sebaiknya ketika ada masalah, jangan buru-buru berharap diselesaikan saat itu juga kalau belum siap. Tapi, utarakan dan tanyakan, ‘Aku sebenarnya gelisah kalau kita belum bahas masalah ini, boleh ya aku minta waktu dan kesiapanmu untuk bahas ini besok malam?
Supaya aku tenang, kamu juga tenang.’”
And it works all the time for us.
Bagaimana cara berkomunikasi dengan suami yang sedikit sekali bicara, sementara itu aku cerewet. Apa pun yang aku jelaskan ke dia mental dan ujungujungnya aku dibilang pinter keblinger. Sakit hati, Mom. Kebetulan kami memiliki latar pendidikan yang berbeda. Selain itu, suamiku ini nggak aktif dalam pengasuhan anak. Ayahnya seperti itu. Ibunya memanjakan anak-anaknya dan seolah semua adalah tugas ibu. Apa boleh aku menjadikan ayahku sebagai sindiran semisal “dulu kalo ibu cape, bapak begini lho”. Tapi, lucunya pas waktu itu ada adiknya yang nginep bilang “ayah nggak begitu”, seketika suami saya ngerasa menang karena ayahnya bukan seperti tipikal bapakku yang membantu ibu.
L, 31 Tahun, Mataram
Waktu awal pacaran dulu, suami saya nggak bisa ngobrol sama orang. Kalau diajak ngobrol jawabannya cuma dua, antara iya dan nggak. Udah gitu doang. Tapi, saya tidak putus asa. Saya ajak dia ngobrol terus dan bergaul dengan komunitas-komunitas yang saya ikuti. Pelan-pelan, dia mulai terbiasa dan sudah bisa memulai percakapan. Bahkan sekarang, ibunya malah bingung, “Wong dulu waktu kecil nggak bisa ngomong, kok sekarang bisa jadi pembicara keliling dunia.” Ternyata, setelah saya tilik, suami dulu tidak bisa ngobrol banyak sama orang cuma karena tidak mengerti bagaimana caranya memulai dan menanggapi percakapan. Lha, buat kita wanita kan mikirnya, “Ah masa sih gitu aja mesti diajarin”. Ternyata ya memang mesti diajarin. Tidak semua orang (apalagi pria) bisa luwes dalam memulai dan menanggapi pembicaraan. Soal sakit hati dibilang pinter keblinger, mungkin masih ada rasa insecurity dari pasangan ketika merasa pasangannya lebih pintar karena latar pendidikan yang berbeda. Menurut saya itu cukup wajar. Maklumi saja, jangan menyerah, ya.
Soal keterlibatan suami pada pengasuhan anak, sudah saya jawab pada Q&A sebelumnya ya. Boleh kok menceritakan apa yang bapakmu lakukan, asal luruskan niat bukan untuk menyindir, tetapi untuk mengedukasi suami yang mungkin memang belum paham saja.
1. Waktu masih muda, suamiku jadi tulang punggung keluarganya karena dia anak pertama. Dua tahun sudah kini dia menjadi suamiku. Setiap bulan, dia memberikan uang bulanan kepada orang tuanya, tapi orang tuanya masih saja ingin dibantu. Sementara aku dan suami punya banyak pengeluaran. Mertuaku itu padahal punya pendapatan. Karena masalah keuangan ini, suami jadi mulai tidak share masalah apa pun. Kalau orang tuanya menelepon, dia selalu bermuka sedih.
Tapi, setiap ditanya, dia bilang tidak ada apa-apa. Aku terus coba tanya dan pahami. Orang tua dia sangat mengandalkan suami karena kami berdua bekerja jadi dapat penghasilan tiap bulan. Gimana, ya Mba caranya biar tidak ada selingkuh keuangan dan mencoba memberi tahu kepada mertua kalau kami juga butuh privasi masalah keuangan. Toh, setiap bulan sudah dapat jatah bulanan.
2. Aku LDM dengan suami, ketemu cuma seminggu sekali. Kadang aku juga butuh kasih sayang. Kalau pulang dia hanya fokus ke anak, tapi saya tidak pernah "disentuh”.
Bagaimana ya caranya supaya tidak ada selingkuh keuangan? Caranya ya harus diusahakan adanya transparansi dan keterbukaan. Masalah transpa- ransi dan keterbukaan soal uang bisa dibaca pada pembahasan tentang uang, ya. Ada juga di Instagram story saya @nuniektirta yang #TRML The Real Marriage Life.
Akar permasalahan konflik mertua dan menantu, juga sudah ada pada pembahasan Prinsip 3 Topi Parenting. Dalam hal ini, suami dan istri perlu kompak dalam menghadapi gempuran dari luar, termasuk tuntutan dari orang tua atau mertua. Soal sentuhan kasih sayang juga permasalahan yang cukup umum dicurhatin ibu-ibu ke saya, dan ini yang biasanya saya lakukan ke suami: peluk suami dari belakang, bawain minuman kesukaannya, sambil bisikin lembut, “Istrinya pengen diajak ngobrol dan disayang lhoo...” Ini sudah saya praktekkan berulangulang dan masih ampuh. Dicoba dulu ya, semoga berhasil!