
2 minute read
Tentang Pohon Keluarga
by Nuniek Tirta
Waktu masih pacaran, saya pernah datang ke rumah (calon) suami saya. Ibu (calon) mertua menyambut, lalu saya—setengah basa-basi setengah lagi kepo—bertanya, “Bapak di mana, Bu?” Dijawab enteng oleh beliau, “Nggak tahu.”
Saya shock.
Advertisement
Kok bisa sih istri tidak tahu suami pergi ke mana? Kok bisa sih suami tidak bilang dia mau ke mana? Memang tidak minta izin dulu, ya? Kok bisa sih istrinya tidak bertanya? Memang nggak kepengen tahu, ya?
Dalam lingkup keluarga yang saya tahu pada saat itu, setiap anggota keluarga wajib mengabari anggota keluarga yang lain setiap hendak melangkah ke luar rumah. Papa saya ke warung depan aja pasti bilang lho ke mama!
Itulah pokok masalahnya: ketidaksadaran akan perbedaan pohon keluarga. Bertahun-tahun kami menikah tanpa awareness tentang betapa pentingnya memahami perbedaan kebiasaan yang berakar dari pohon keluarga ini. Saya pernah kesal ketika suami menghilang tanpa kabar malam-malam, meninggalkan saya dan anak-anak di rumah dalam tanda tanya: pergi ke mana dia? Ngapain, ya?
Setelah beberapa jam, akhirnya dia pulang.
Rupanya, dia pergi ke rumah ibunya, yang memang hanya berjarak 270 meter dari rumah kami.
Dalam pikiran logis suami, dia tidak mengabari saya karena toh hanya pergi ke rumah ibunya sendiri. Kan dekat, saya juga bisa menyusul.
Namun, dia lupa perasaan saya.
Saya merasa tidak nyaman ditinggal tanpa diberi tahu ke mana dan untuk apa dia pergi. Memang hanya ke rumah ibunya sendiri, tetapi apa susahnya mengabari? Memang dekat, tetapi repot sekali menyusul malam-malam dengan dua batita yang sudah waktunya tidur.
Bagi dia yang sangat logis, sepertinya perasaan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit dimengerti. Jadi, saya harus mencari cara lain untuk mengajarinya menghargai perasaan orang lain, terutama pasangannya tanpa harus berdebat panjang lagi.
Suatu hari pada Desember 2008, setelah menjaga stand bazaar ditemani mama seharian, saya pulang bersama mama saya ke rumah beliau. Sengaja, saya tidak menginfokan ke suami untuk tahu bagaimana reaksinya. Dan ya, dia mengira saya kabur dari rumah. Padahal, yang saya lakukan persis seperti yang dia contohkan: toh hanya ke rumah mama sendiri, dan jarak dari bazaar di Blok M ke rumah mama di Mampang juga dekat, kan dia bisa nyusul sendiri.
Jadi, seperti itu lho rasanya kalau ditinggal tanpa kabar. Meski cuma ke rumah orang tua, dan meski bisa menyusul juga. Dia pun akhirnya mengerti. (PS: Tapi ini TIDAK untuk ditiru ya, karena masih ada cara yang lebih baik: Komunikasi Asertif. Baca di halaman selanjutnya :)).
Saya pernah membuang percuma 15 bungkus mie instan karena sudah kadaluarsa. Sekantong plastik besar kopi ABC dan dua pack besar migelas yang masih utuh juga terpaksa dibuang karena sudah melewati batas tanggal amannya. Dan, ini bukan sekalidua kali terjadi selama satu dekade ini.
Sebelum menikah, kita mungkin belum melihat bagaimana cara hidup dan kebiasaan keluarga lain dalam belanja. Ada keluarga yang terbiasa menimbun bahan makanan dengan alasan kepraktisansupaya kalau butuh selalu ada; ada juga keluarga yang terbiasa membeli eceran dengan alasan penghematan—supaya hanya membeli yang benar-benar dibutuhkan, hanya pada saat betul-betul diperlukan.
Setelah menikah, kebiasaan yang berbeda itu harus melebur menjadi satu, hingga kadang menimbulkan pergesekan. Yang satu menganggap yang lain boros karena terus menimbun barang yang akhirnya tidak pernah dipakai atau terpaksa dibuang karena sudah tak layak konsumsi; yang lain menganggap yang satu pelit ketika kehabisan barang saat dibutuhkan. Sebenarnya, yang diperlukan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi kebiasaan baik atau buruk yang kita bawa dari keluarga asal kita. Setelah itu, diskusi untuk kompromi, kebiasaan mana saja yang mau kita adopsi dan mana yang harus kita buang jauh-jauh. Atau lepas semua kebiasaan bawaan itu lalu ciptakan kebiasaan baru dalam keluarga ini.