
12 minute read
Karakteristik Perkawinan yang Berhasil
by Nuniek Tirta
Masih dari buku yang sama yaitu Intimate Relationship, Marriage and Families karangan Mary Kay DeGenova yang membahas tentang keberhasilan perkawinan, kali ini saya akan berbagi tentang 12 karakteristik pernikahan yang berhasil.
1 Communication (Komunikasi)
Advertisement
Berdasarkan berbagai penelitian, komunikasi yang baik merupakan salah satu kunci penting dalam keberhasilan pernikahan. Komunikasi efektif melibatkan kemampuan bertukar ide, fakta, perasaan, sikap, dan keyakinan sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dan diinterpretasikan secara akurat oleh penerima, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, tidak semua komunikasi bermanfaat bagi hubungan. Komunikasi bisa menjadi produktif maupun destruktif. Mengutarakan kritik dengan cara yang menyakitkan dapat memperburuk suatu hubungan. Dengan demikian, itu perlu keso- panan, kebijaksanaan, dan pertimbangan dalam menciptakan komunikasi yang produktif.
2 Admiration and Respect (Kekaguman dan Rasa Hormat)
Salah satu kebutuhan manusia yang paling penting adalah kebutuhan untuk merasa diterima dan dihargai. Dua orang yang saling menyukai, yang mengagumi dan saling mendukung upaya masingmasing, yang bangga dengan prestasi masing-masing, yang secara terbuka menyampaikan apresiasi satu sama lain, dan yang membangun harga diri masingmasing mampu memenuhi kebutuhan emosional mereka dan membangun hubungan yang memuas- kan. Saling menghormati dalam pernikahan meliputi menghargai perbedaan dan menghormati perbedaan individu sebagai manusia yang penting.
3 Companionship (Kebersamaan)
Salah satu alasan penting untuk menikah adalah kebersamaan. Pasangan yang pernikahannya berhasil, menghabiskan waktu bersama secara cukup dan secara berkualitas. Riset membuktikan bahwa pasangan yang saling berbagi minat, melakukan hal-hal bersama, dan bergaul bersama-sama, dan berada dalam social group yang sama pula, memperoleh kepuasan lebih dalam hubungan mereka. Namun demikian, bukan hanya kuantitas saja, tetapi juga kualitas kebersamaan yang harus diperhatikan. Kepuasan pernikahan meningkat ketika tingkat komunikasi tinggi selama menghabiskan waktu luang bersama. Riset menunjukkan bahwa keterlibatan dalam sebuah hubungan—yaitu memberikan usaha terhadap kelanggengan hubungan itu—sangat penting dalam membina kepuasan.
Wanita cenderung menjaga hubungan dengan cara berpikir dan berbicara, sedangkan pria cenderung menjaga hubungan dengan cara melakukan aktivitas dan menghabiskan waktu bersama.
Banyak pasangan menjauh hanya karena mereka jarang bertemu satu sama lain. “Kurangnya waktu bersama bisa jadi musuh paling pervasive (yang dapat menembus) yang dimiliki oleh keluarga yang sehat.” Interaksi dalam pernikahan dan kebahagiaan berjalan seiringan.
Interaksi dalam jumlah yang pas berkontribusi terhadap pernikahan yang bahagia, dan pernikahan yang bahagia cenderung meningkatkan jumlah interaksi.
Persahabatan, sama seperti kebersamaan, sangat penting dalam perkawinan. John Gottman telah mempelajari lebih dari 2.000 pasangan dengan cara melakukan wawancara ekstensif dan merekam video interaksi pasangan. Dalam salah satu studinya, dari 100 pasangan menikah, ia menemukan bahwa bagi wanita, unsur penting dalam meningkatkan seks, romansa, dan kasih sayang dalam perkawinan adalah dengan cara meningkatkan rasa persahabatan.
Sementara bagi pria, kunci meningkatkan seks, romansa, dan kasih sayang adalah dengan mengurangi konflik, sebab argumen berarti mengaktivasi respons alami pria “fight or flight” dan membuat mereka merasa terancam dan tak bersemangat untuk seks.
4 Spirituality and Values (Spiritual dan Nilai-Nilai)
Faktor lain yang berkontribusi pada kesuksesan perkawinan adalah kesatuan spiritualitas dan nilai-nilai bersama. Pasangan yang berhasil saling berbagi kegiatan spiritualitas; memiliki tingkat orientasi keyakinan yang tinggi, dan nilai-nilai yang termanifestasi dalam perilaku religius.
Pasangan yang taat beragama menunjukkan bahwa agama mereka memberikan kontribusi untuk pernikahan mereka dalam beberapa cara, seperti dukungan sosial, emosional, dan spiritual dari keyakinan mereka. Banyak pasangan menikah beralih ke iman mereka untuk bimbingan moral dalam membuat keputusan dan menangani konflik.
5 Commitment (Komitmen)
Pernikahan yang berhasil membutuhkan motivasi tingkat tinggi: keinginan untuk mempertahankan perkawinan dan kemauan untuk meluangkan waktu dan usaha untuk memastikan semuanya itu berjalan dengan baik. Komitmen, dibandingkan faktor kepuasan atau investasi, merupakan prediktor terkuat sebuah persistensi hubungan. Komitmen dianggap memiliki 3 komponen: niat untuk bertahan, kelekatan psikologis, dan orientasi kognitif untuk berada dalam hubungan dalam jangka panjang. a Komitmen diri sendiri. Ini meliputi keinginan untuk bertumbuh, berubah, dan menjadi partner pernikahan yang baik. b Komitmen satu sama lain. Ketika mengucapkan janji pernikahan, setiap pasangan mengucapkan janji atau sumpah terhadap satu sama lain c Komitmen terhadap hubungan, pernikahan, dan keluarga. Komitmen merupakan kemauan untuk mendukung “pertumbuhan yang sedang berlangsung dalam suatu hubungan”. Ketika anak dilibatkan, komitmen melampaui hubungan pasangan, tetapi juga mencakup seluruh unit keluarga.
Salah satu pertanyaan penting adalah kepada siapa dan untuk apa komitmen itu? Komitmen melibatkan tiga bagian sebagai berikut.
6 Affection (Kasih Sayang)
Satu harapan penting dari hampir semua pasangan menikah adalah memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Kebutuhan ini bervariasi, tergantung dari cara pasangan bersosialisasi. Beberapa orang memiliki kebutuhan lebih tinggi untuk keintiman emosional dibanding yang lain. Akan tetapi, kebanyakan orang berharap kebutuhan akan kasih sayang dapat terpenuhi dari perkawinan.
Kata-kata yang mengekspresikan kehangatan, penghargaan, tindakan yang menunjukkan rasa kasih, persetujuan, membangkitkan semangat, dan me- naikkan kekuatan ego, sama pentingnya dengan kontak fisik dan keintiman seksual. Pasangan yang terlibat dalam kehidupan pernikahan bahagia dalam jangka waktu panjang, sering kali menunjukkan kekaguman terhadap pasangannya, dan menghargai pasangannya tanpa mengambil begitu saja (take for granted).
7 The Ability to Deal with Crises and Stress (Kemampuan Menangani Krisis dan Tekanan)
Masalah adalah bagian dari kehidupan. Semua pasangan, baik yang pernikahannya berhasil maupun gagal, mengalami masalah dan tekanan baik di dalam maupun di luar hubungan mereka. Hal yang membedakan adalah, mereka yang pernikahannya berhasil, mampu menangani masalah dengan cara kreatif.
Pasangan yang berhasil dalam pernikahan juga memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa frustrasi. Mereka belajar menangani amarah dengan cara yang lebih sehat dan konstruktif, daripada menyalahkan anggota keluarga lain.
Stres atau tekanan hadir dalam berbagai macam bentuk dan memainkan peranan kunci dalam kepuasan perkawinan. Riset menunjukkan bahwa semakin stres lingkungan, semakin tinggi tingkat perceraian pasangan, dan paparan kejadian yang penuh tekanan berkaitan dengan meningkatnya agresi perkawinan.
8 Responsibility (Tanggung jawab)
Tanggung jawab melibatkan kemampuan untuk dapat diandalkan dalam konteks keluarga, yang juga berarti memikul tanggung jawab untuk pemeliharaan keluarga. Keberhasilan perkawinan tergantung pada asumsi mutual, berbagi, dan pembagian tanggung jawab dalam keluarga.
9 Unselfishness (Tidak Mementingkan Diri Sendiri)
Terlalu mementingkan diri sendiri dalam pernikahan mengurangi tanggung jawab masing-masing pasangan untuk keberhasilan hubungan. Keberhasilan perkawinan berdasarkan pada semangat saling menolong, dengan cara memenuhi kebutuhan pasangannya sebaik memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
10 Empathy and Sensitivity (Empati dan Kepekaan)
Empati mengacu pada kemampuan untuk mengidentifikasi dengan perasaan, pemikiran, dan sikap orang lain. Orang yang berempati adalah orang yang mendengarkan, memahami, dan peduli. Menurut hasil riset, empati merupakan bahan penting dalam keberhasilan pernikahan.
11 Honesty, Trust, and Fidelity (Kejujuran, Kepercayaan, dan Kesetiaan)
Ketulusan, kebenaran, kesetiaan, dan kepercayaan adalah hal-hal yang mengikat pasangan untuk terus bersama. Sekali saja rasa percaya dirusak, membangunnya kembali akan sangat sulit dan melibatkan kerelaan untuk memaafkan. Ketika salah satu pihak melukai pihak lainnya namun mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf, hubungan itu dapat dibangun kembali hanya jika pihak yang dilukai bersedia memaafkan pasangannya.
12 Adaptability, Flexibility, and Tolerance (Adaptasi, Fleksibilitas, dan Toleransi)
Pasangan yang pernikahannya berhasil mengakui bahwa hidup ini tidak statis, bahwa situasi dan keadaan berubah sebagaimana manusia melewati berbagai tingkatan dalam siklus kehidupan. Mereka mau dan mampu beradaptasi terhadap perubahan keadaan, memahami bahwa perubahan adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Mereka tumbuh sebagaimana pasangannya berevolusi, berubah, dan menyesuaikan harapan terhadap hubungan sebagaimana dibutuhkan. Adaptasi dan fleksibilitas membutuhkan tingkat kedewasaan emosional yang tinggi. Orangorang yang fleksibel tidak merasa terancam oleh perubahan. Mereka menerima tantangan perubahan karena bagi mereka perubahan itu memberikan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang.






Displacement
Dulu
saya tidak mengerti, mengapa saya bisa senang dan tenang seharian bersama anakanak, namun begitu suami pulang saya menjadi uringuringan, lebih mudah tersinggung dan gampang marah pada anak-anak. Padahal suami tidak berbuat apa-apa dan saya juga tidak merasa ada masalah dengan suami. Awalnya saya pikir apakah karena suami sering pulang terlambat. Akan tetapi, begitu dia pulang tepat waktu pun saya tetap merasakan hal yang sama. Atau apakah karena anak-anak lebih sulit diatur ketika ada ayahnya? Tidak juga. Lalu, apa yang terjadi?
Setelah belajar ilmu psikologi melalui kuliah konseling, saya mempelajari apa yang dinamakan displacement sebagai salah satu self defense mechanism.
“Displacement is the redirecting of thoughts feelings and impulses directed at one person or object, but taken out upon another person or object. People often use displacement when they cannot express their feelings in a safe manner to the person they are directed at. The classic example is the man who gets angry at his boss, but can’t express his anger to his boss for fear of being fired. He instead comes home and kicks the dog or starts an argument with his wife. The man is redirecting his anger from his boss to his dog or wife. Naturally, this is a pretty ineffective defense mechanism, because while the anger finds a route for expression, it’s misapplication to other harmless people or objects will cause additional problems for most people.”1

Intinya adalah kemarahan atau kekecewaan yang salah sasaran. Jadi sebenarnya secara sadar ataupun tidak, begitu suami pulang, otomatis timbul harapan saya untuk mendapatkan perhatian. Namun, saya kecewa dengan perilaku suami saat itu yang pulang hanya untuk makan, nonton tv, lalu tidur. Akan tetapi, saya tidak bisa mengidentifikasi kekecewaan saya sendiri karena logika saya berpikir bahwa suami sudah capek. Sementara kebutuhan emosi utama saya sebagai wanita yaitu afeksi, tidak terpenuhi sama sekali. Afeksi yang saya butuhkan berupa perhatian, entah sekadar ditanya, “How was your day?”, atau syukur-syukur dibawakan makanan kesukaan, itu belum terpenuhi. Ingat, afeksi ya, bukan sexual fulfillment (which is the first emotional need of men based on His Needs Her Needs book by William Harley). Sebab, affection dan sexual fulfillment adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Bagaimana saya bisa mengutarakan kekecewaan saya kalau saya cepat-cepat merasionalisasi pikiran dengan berkata pada diri sendiri, “Ah saya saja yang terlalu penuntut!” Di lain pihak, suami pun juga pastinya tidak nyaman ketika pulang melihat saya uringuringan. Saya tidak tahu apa yang terjadi, dia pun juga tidak tahu apa yang terjadi. Ditambah lagi apa-
1 Source: http://psychcentral.com/lib/15-common-defense-mechanisms/2/ bila ia juga sedang menghadapi masalah dalam pekerjaan, bagaimana mau berbagi dengan istri kalau istrinya terlihat marah-marah terus? Sedangkan saya juga bagaimana bisa ngomong kalau melihat suami saja sudah jengkel karena cuek bebek. Kalau sudah begitu, tingkat toleransi kami terhadap kesalahan anak-anak jadi menurun jauh. Bahkan kadang yang tidak salah pun jadi salah. Terjadilah yang dinamakan displacement. Duh, semua jadi tak nyaman kan.
Meskipun saya sudah memahami konsep mengelola harapan alias managing expectation, nyatanya saat itu saya belum mastering skill how to convey my expectations. Untunglah ketika saya dan suami mengikuti retreat pasutri beberapa tahun lalu, kami bisa saling mengomunikasikan secara terbuka sepenuhnya apa yang menjadi harapan dan kekecewaan kami selama ini. Satu hal yang terus digarisbawahi selama mengikuti retreat pasutri: jangan pernah mengharapkan pasangan berubah! Jangan.
Lho, kenapa?
Pertama, manusia hanya mau berubah ketika keinginan datang dari dalam dirinya sendiri. Kalau tidak, itu namanya bukan berubah, tapi berpurapura. Kedua, karena poin pertama tadi maka kita akan selalu kecewa ketika harapan kita tidak terpenuhi. Ketiga, yang bisa kita lakukan adalah: ubah diri sendiri!
Lho, kok, dia yang salah, kitanya yang harus berubah? Hmm, salah dari kacamata siapa dulu?
Kalau dari kacamata saya, tentu suami yang salah, wong nggak bisa ngerti keinginan istri. Akan tetapi, dari kacamata suami, tentu saya yang salah, wong bisanya cuma marah-marah. Suami mana tahu apa keinginan saya kalau saya nggak pernah bilang kan? Kalaupun pernah, saya bilangnya sebel kalau dia pulang terlambat. Padahal bukan pulang terlambatnya, tetapi nggak ada perhatiannya itu yang bikin saya sebel. Dan itu tidak saya ungkapkan karena takut dibilang terlalu menuntut. Ujung-ujungnya ya itu tadi, saya jadi uring-uringan karena kebutuhan akan afeksi tidak terpenuhi.
Jadi, solusinya apa? Pertama, akui dulu pada diri sendiri kalau kalau kita memang punya kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam kasus saya, kebutuhan afeksi yang belum terpenuhi. Lalu, ini yg penting: ngomong aja! Ya, ngomong, tanpa takut dihakimi (bahkan oleh diri sendiri) kalau saya jadi seperti terlalu menuntut. Ngomong, tanpa takut kecewa jika harapan yang saya utarakan nantinya tidak bisa terpenuhi. Ngomong, supaya sinkron.
TAPI, ada tapinya nih, ngomong-nya baik-baik, ya, nggak perlu ngegas. Kalau saya sih biasanya dengan nada manja, dan ini yang terpenting: gunakan kalimat asertif. Apa itu? Kalimat yang tidak menyerang, tetapi mengedepankan bagaimana perasaan dan apa harapan saya.
Contoh, daripada bilang, “Kamu tuh pulang telat mulu sih, aku kan capek urusin anak-anak seha- rian”, mendingan bilang, “Daddy, aku sebenarnya sedih lhoo kalo Daddy pulang telat terus. Aku pengen deh Daddy pulang on time, biar kita punya waktu santai bareng sama anak-anak di rumah.”
Ternyata memang, dengan mengungkapkan apa harapan saya sebenarnya, itu sudah membuat saya lega. Persoalan dipenuhi atau tidak, sebenarnya tidak terlalu berarti. Istilahnya, keluarkan dulu kotoran yang mengendap di tangki hati agar bisa diisi dengan air bersih yang baru. Dan biasanya sih, ketika kita mampu mengomunikasikan dengan cara yang tepat, pasangan bisa mengerti dan mau menyesuaikan kok. Kita kan manusia, diberi keistimewaan oleh Tuhan dengan kemampuan pikiran dan perasaan supaya bisa berkomunikasi dengan cara yang manusiawi pula. Kalau dipikirpikir, saya dulu seperti kelinci peliharaan saya saja deh, yang kalau tidak melihat saya tampak antenganteng saja, tapi begitu melihat saya langsung rusuh untuk mendapatkan perhatian supaya diberi makan =)).
Marriage Tips; How to Maintain a Marriage
Our wedding anniversary is on May 20 and I feel like sharing my tips about how to maintain a marriage, as I promised a few years ago :).
Insecurity is the root of jealousy
When you feel insecure, you easily get jealous. And jealousy leads to dispute. Daripada terus-terusan menuntut dan berpikiran negatif yang bisa menghabiskan energi, kenapa tidak diputarbalikkan menjadi motivasi untuk memperbaiki kualitas diri dan mencari kesibukan dengan kegiatan positif?
Always keep up with your spouse
Keeping up with spouse and shifting to the same level will help you stay away from insecurity. Banyak yang mengeluh ketika pasangan berubah, padahal perubahan adalah satu-satunya hal yang abadi di du- nia ini. Perubahan tak bisa dilawan, tetapi bisa diarahkan. Jangan curhat sembarangan
Jika sedang menghadapi masalah, ceritalah hanya dengan orang yang benar-benar kita percaya bisa bantu mengatasi masalah yang sedang kita hadapi. Kalau hanya sekadar berbagi perasaan, tunggu saja sampai masalahnya selesai.
Control your anger
Saat benar-benar sedih/marah/kecewa, saya memilih diam seribu bahasa, daripada berkata-kata yang bisa menyakiti hatinya lalu saya sesali kemudian. Jadi, biasanya saya menunggu hingga emosi saya stabil dan berpikir jernih, lalu menyusun kata sebaik mungkin melalui tulisan. Setelah itu, saya kirimkan melalui email atau tulisan tangan.
Pahami dan maafkan
Ketika pasangan melakukan kesalahan besar, tetapi dia mau mengakui dan meminta maaf, ingat satu hal yang bisa mempercepat proses memaafkan bahwa kesalahan itu terjadi bukan dengan niat untuk menyakiti, tetapi karena sebagai manusia dia juga punya kelemahan, kecuali kalau dia benar-benar mela- kukannya dengan niat untuk menyakiti, itu lain cerita ya. Jangan ceritakan keburukan pasangan kepada orang tua, terutama ibu
Ketika kita disakiti, ibu yang paling merasa tersakiti. Kita mungkin bisa memaafkan pasangan yang telah menyakiti kita, tetapi belum tentu ibu bisa berlaku demikian.
Sehebat-hebatnya istri di luar rumah, tetap biarkan suami yang memimpin rumah tangga
Ini bukan soal anti feminisme, nonemansipasi, dan sebagainya. Akan tetapi, soal bagaimana membuat pria merasa berharga dan dihargai. Lagi pula, pria yang pandai memimpin itu lebih seksi, bukan? ;)
Manage your expectations
Kalau dia pada dasarnya kurang romantis, ya jangan menuntut dia untuk jadi romantis. Kalau dia tidak pernah menyuguhkan kejutan, ya jangan mengharap dia memberikan kejutan. Karena jika kamu berharap lebih dan harapanmu itu tidak bisa terwujud, kecewa yang kamu dapat.
Biarkan pasangan menikmati hobinya
Coding tiap malam sampai subuh, ya nggak masalah. Brainstorm tiap malam sampai pukul 2 pagi, ya nggak apa-apa juga. Yang penting sama-sama senang dan tidak merugikan satu sama lain.
Make it fair and square
Perbuatlah apa yang kamu ingin orang lain perbuat terhadapmu, begitupun sebaliknya. Kalau kita tidak mau pasangan sibuk dengan gawainya saat makan malam, ya kita jangan mulai duluan :)). Sama juga halnya ketika kamu dan pasangan sedang sibuksibuknya, tetapi kamu sedang ingin diperhatikan, jangan ragu untuk memulai duluan. Sempatkan waktu untuk sekadar mengirim pesan romantis singkat untuk pasangan, supaya dia tidak terlalu stres. Simpel tapi tetap bermakna, kan?
Keep the sense of humour!
What I love the most from our marriage is this high sense of humour. Dagelan srimulatan. Kita bahkan bisa ledek-ledekan soal mantan atau gebetan, hehe. Thank God, through the years, our love strengthens and grows abundantly. Yes, there were the lowest points in our marriage that pushed us to the limit and made us feel like giving up. But then again, our love and commitment saved us. It needs a pro- cess to reach the point where we are at right now. And let me close this post with this powerful quote:
Ada satu poin penting yang bisa saya tambahkan: Jaga kesehatan pernikahan seperti menjaga kesehatan badan.
Apa artinya? Pernikahan, sama seperti badan, tidak selamanya fit. Pasti ada masanya kurang sehat dan jatuh sakit. Namun, ketika kita kurang sehat, apakah berarti kita langsung mati? Tidak kan. Jadi, pandang masalah dalam pernikahan seperti kita memandang masalah kesehatan badan.
Untuk mempermudah, buat saja parameter sesuai indikasinya. Misalnya, Badmood karena hal remeh temeh = pilek. Orang pilek obatnya apa sih?
Cukup istirahat aja kan. Jangan lebai dikasih infus. Nah sama, kalau lagi bete atau badmood, beri ruang untuk masing-masing dulu. Tidak perlu berlebihan langsung minta cerai :).
Konflik karena suatu masalah = DBD. Obatnya?
Harus diopname ya, jangan didiamkan saja. Kalau nggak disembuhin bisa mewabah ke anggota keluarga lain bahkan tetangga. Nah sama, kalo lagi ada konflik, harus dibahas tuh. Jangan dicuekin dan berharap hilang sendiri masalahnya. Kalau tidak diselesaikan imbasnya bisa ke anak atau saudara.
Kisruh karena orang ketiga = kanker. Mau tidak mau, yang namanya kanker kan harus diberantas. Bukan berantas pernikahannya, tetapi berantas hubungan dengan orang ketiganya. Blokir semua akses komunikasi orang yang mengganggu pernikahan. Sama seperti cancer survivor, Anda pun bisa bertahan dan lulus ujian setelah cobaan. Kankernya harus diangkat dulu baru bisa sembuh. Tanpa diangkat, kanker akan tetap mengendap.
Sama seperti penyakit yang banyak jenisnya, masalah dalam pernikahan juga ada buanyakkk banget jenisnya. Kamu dan pasangan yang paling tahu seberapa skalanya. Tiga di atas itu hanya contoh paling gampang saja. Now this is the tricky part: bagaimana cara membedakan antara hal remeh temeh, konflik, dan masalah besar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, biasanya saya mengajukan pertanyaan ini ke diri sendiri: kalau hal ini tidak dibahas sekarang sama pasangan, kira-kira akan mengganggu nggak di masa mendatang? Pilihan jawabannya ada tiga.
1 Tidak penting. Ya sudah tidak perlu dibahas. Kalau saya pilih jawaban ini, berarti masuk kategori pertama: masalah remeh.
2 Tidak terlalu mengganggu sih, tetapi bisa ganggu juga kalo diulang-ulang terus. Berarti masuk kategori kedua: masalah yang bisa memicu konflik.
3 Ganggu banget! Bahaya jika tidak diselesaikan. Kalau saya pilih jawaban ini, artinya permasalahan yang terjadi harus dibicarakan dengan pasangan dan masuk kategori ketiga: masalah besar.
Konsep yang saya pikirkan sejak sekitar 1,5 tahun lalu ini sangat membantu saya memilah mana masalah yang perlu ditangani dan mana yang tidak perlu diperpanjang. Semoga konsep ini juga berguna bagi pasangan lainnya.
