3 minute read

Inner Child and Personal Healing

Next Article
Curhat

Curhat

Pada

Maret 2016, saya pernah bertanya kepada dosen saya Bu Riani Josaphine Suhardja dalam kelas personal healing, “Bagaimana mengatasi rasa marah pada diri sendiri akibat marah pada anak?”

Advertisement

Sering kali saya merasa marah pada diri sendiri karena tidak dapat menguasai emosi saat marah pada anak, padahal tahu itu tidak benar. Beliau menjawab dengan pengalaman pribadinya ketika mengalami hal tersebut dan apa yang dilakukannya.

Kuncinya adalah kemampuan kita untuk bisa memahami dan memaafkan. Selain ilmu personal healing, kami dapat bonus ilmu parenting.

Oke, secara teori saya sudah dapat bekal lagi nih. Eh, siapa sangka ternyata pagi ini Tuhan langsung memberikan ujian praktik ....

Pagi hari dimulai dengan drama. Si kakak yang biasanya bangun sendiri pukul 5 pagi, sampai pukul

6:30 sangat susah bangun akibat tidur kemalaman, padahal upacara dimulai pukul 7 pagi. Dengan lembut saya membangunkannya, dan dengan penuh ke- sabaran membujuknya untuk segera siap-siap sekolah, tetapi luar biasa susah.

Bukannya mendengarkan perkataan saya untuk masuk kamar mandi di kamarnya, dia malah ngeloyor ke ruang wardrobe di atas. Padahal saya sudah bilang bajunya sudah siap di depan kamar mandi kamarnya, tapi dia tidak mendengarkan. Saat saya suruh turun ke bawah, dia mendengus dan bersungut-sungut. Di situlah saya merasa marah, and awaken the monster within. Dengan emosi dan nada suara tinggi saya katakan supaya dengarkan dan hormati saya sebagai orang tuanya. Dan, dia baru benar-benar sadar setelah itu.

Dengan dada sesak, jantung berpacu keras dan ubun-ubun “mendidih”, saya tinggalkan dia di bawah lalu menenangkan diri di zen place saya: kursi goyang di balkon atas. Saya pun memandangi tanaman hijau, mendengarkan worship songs melalui earphone, berbaring pada bantal hijau besar, dan mengayun-ayunkan diri di greenie benzie. Setelah berdoa, saya mulai mencoba menelisik apa yang terjadi pada saya. Saya mengonseling diri sendiri dan mempraktikkan teori personal healing yang saya dapatkan kemarin.

Apa perasaan saya? Marah.

Marah pada siapa? Diri sendiri.

Mengapa marah pada diri sendiri? Karena telah marah pada anak dengan cara yang tidak baik, meskipun tahu bahwa itu tidak benar.

Apa yang saya rasakan ketika marah pada diri sendiri? Sangat tidak nyaman.

Apakah ada pengalaman masa kecil yang membuat saya merasa tidak nyaman seperti itu? Ada.

Saat apakah itu? Ketika orang tua atau kakek dari mama memarahi saya jika tidak mendengarkan mereka.

Selain perasaan tidak nyaman, apa lagi yang saya rasakan saat itu? Marah. Marah karena apa? Karena mereka sendiri tidak mendengarkan saya dan tidak memberikan saya kesempatan untuk didengarkan.

Apakah itu membuat saya merasa diabaikan dan tidak dihargai? Sangat!

Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipi dan saya mulai terisak-isak. Inilah arti kemarahan saya yang sesungguhnya: saya marah karena merasa diabaikan dan tidak dihargai. Saya benci ketika saya tidak didengarkan. Itulah inner child saya yang terluka, yang dipicu kembali oleh tindakan anak saya yang tidak mendengarkan perkataan saya (padahal dia hanya sedang sangat mengantuk!!).

Saya kemudian berdoa, supaya saya benar-benar mengampuni tindakan mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Saya tidak membenci orang tua atau kakek dari mama saya, tidak sama sekali. Saya sungguh menyayangi dan menghormati mereka. Saya hanya merasa terluka atas amarah mereka ketika itu, yang mungkin mereka sendiri bah- kan sudah lupa telah melakukannya. Saya mengerti bahwa mereka melakukan itu tanpa niat menyakiti saya, tetapi demi kebaikan saya. Meskipun caranya mungkin kurang berkenan, karena jaman dulu seberapa banyak sih yang belajar ilmu parenting? Saya yang sudah belajar pun kadang masih sering sulit menerapkannya, apalagi mereka yang tidak belajar, bukan?

Saya berdoa sambil menangis hingga tertidur. Bahkan, ketika saya menuangkan tulisan ini pun air mata masih merembes. Tapi, bukan lagi air mata kesedihan yang saya rasakan, melainkan air mata kelegaan. Lega ketika saya mampu mengidentifikasi inner child saya yang terluka, dan membuat saya mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya. Selain mengampuni tindakan orang tua dan kakek saya, saya juga harus meminta maaf pada anak saya agar ia juga tidak terluka seperti saya. Biarlah akar buruk pohon keluarga dicabut sampai di sini saja. Saya mempertimbangkan cukup lama apakah tulisan ini hendak saya simpan sendiri sebagai catatan pribadi, atau saya bagikan kepada teman-teman. Saya berpikir jika disimpan untuk diri sendiri, okelah hanya saya yang mendapat pemulihan. Namun, jika saya publish secara terbuka, bukan tidak mungkin ada di antara kalian yang juga mendapatkan pemulihan atau setidaknya tercerahkan. Sebab saya yakin, bukan hanya saya ibu yang merasa marah pada diri sendiri ketika marah pada anaknya, dan bukan hanya saya anak yang wajib mendengarkan kata orang tua tanpa diberi kesempatan untuk didengarkan sebelumnya.

This article is from: