
10 minute read
Perempuan dan Kebebasan Memilih
by Nuniek Tirta
Latar
belakang pendidikan saya adalah Master of Arts di bidang Psychology Counseling, setelah sebelumnya Sarjana Ilmu Komunikasi di bidang Public Relations. Pada saat buku ini ditulis, saya juga sedang menyelesaikan tesis untuk gelar Master of Theology. Dari dulu saya memang suka belajar dan upgrade ilmu, sebab menurut saya investasi yang tak pernah merugi adalah investasi pada perkembangan diri. Jadi, semua pendidikan yang saya tempuh itu utamanya untuk bisa membekali diri saya pribadi dulu, kemudian otomatis untuk membekali diri saya sebagai seorang istri, ibu, dan peran-peran lainnya. Seperti kata pepatah, “When you educate a man, you educate a man. When you educate a woman, you educate the nation.”
Advertisement
Mengapa dulu saya memilih jalur psikologi?
Kebutuhan! Hahaha... Pada waktu itu, saya menetapkan tema hidup saya setahun ke depan adalah
“Journey to Find Peace of Mind”. Sebab kala itu, saya belum bisa mendapatkan ketenangan pikiran akibat burn out menjalankan multiperan dengan kondisi “gelas kosong”. Ada masanya ketika saya sakit kepala setiap minggu dan bolak-balik rumah sakit sampai CT Scan tapi nihil. Puncaknya ketika saya harus diopname akibat GERD, dan dokter spesialis internis bilang itu karena dipicu stres. Lalu hasilnya? Ternyata saya psikosomatis.
Malam itu saya sendirian di kamar rawat inap VVIP rumah sakit mahal dengan pemandangan tertinggi di Jakarta. Wajah bengkak-bengkak akibat alergi antibiotik, dalam kondisi perut kosong karena diminta puasa 15 jam sebelum endoskopi, menunggu suami yang belum pulang hingga tengah malam. That was one of the saddest moment in my life, and I promise myself not to be that low again. Saya harus bisa menyembuhkan diri hingga akar masalahnya maka saya harus belajar psikologi. Dan terbukti, belajar ilmu psikologi sangat membantu saya memulihkan diri sendiri. Pada akhir tahun berikutnya, saya sepenuhnya berhasil mendapatkan ketenangan pikiran. Bonusnya, saya jadi bisa membantu orang lain dengan pengalaman dan ilmu yang saya dapatkan. Seperti kata mentor saya, Pak Julianto Simanjuntak, “Luka itu investasi. Tidak ada luka yang sia-sia!”
Buat saya, hal yang paling menyenangkan dalam menjalani profesi saya ini adalah dapat membantu dan menginspirasi banyak orang. Sebagai orang dengan tipe kepribadian INFJ, panggilan saya adalah menjadi inspirator, and to help people finding their life purpose. Saya sering menerima ucapan terima kasih karena telah memberikan inspirasi, mengubah pola pikir, kebiasaan, hingga gaya hidup, dan itu membuat saya makin semangat untuk membantu dan menginspirasi lebih banyak orang lagi. Tak jarang ketika saya pergi ke luar kota, ada saja teman di dunia maya yang minta bertemu dan memberikan sesuatu. Itu selalu membuat saya terharu dan sangat berterima kasih.
Dalam sebuah workshop, ada yang pernah bertanya pada saya, kesulitan apa sih yang pernah saya alami sebagai konselor saat membantu orang lain?
Kesulitannya adalah ketika saya tidak bisa menjawab curhat atau pertanyaan dengan cepat karena ada banyak sekali. Kalau beruntung, bisa saya jawab dalam hitungan hari. Kalau kurang beruntung, baru bisa dijawab dalam hitungan minggu atau bulan, bahkan ada yang tidak sempat terjawab sama sekali. Ada juga yang demanding, minta dijawab cepatcepat, padahal sosial media sama sekali bukanlah prioritas saya. Prioritas utama saya adalah menjalankan peran istri dan ibu dulu, baru mengerjakan hal lain. Karena saya paling tidak tahan dengan orang agresif (dalam hal apa pun itu), biasanya yang agresif begitu malah saya jawab paling belakangan :)).
Kesulitan lain yang saya alami sebagai konselor adalah ya kalau tidak hati-hati bisa burn out. Karena mendengar masalah orang lain terus menerus itu emotionally draining, lho.
Namun begitu, ketika mendengarkan orang lain curhat, saya merasakan empati, rasanya ingin memeluk mereka. Apalagi kebanyakan masalahnya pernah saya alami juga. Biasanya saya selalu sertakan virtual hug di akhir jawaban. Tetapi, seorang konselor yang baik kan tidak boleh counter transference, yaitu memproyeksikan atau menanggapi setara, perasaanperasaan atau sikap klien berdasarkan pada pengalaman masa lalu atau hubungan konselor dengan orang lain. Makanya dalam menjawab curhat, sebisa mungkin saya menahan diri supaya tidak lebih banyak menceritakan ulang pengalaman pribadi, kecuali itu masih betul-betul related dan ada pelajaran yang bisa diambil. Jangan sampai orang lain curhat malah dibalas dengan curhat balik, hehe. Mentor saya selalu bilang, konseling itu bukan memberikan jalan keluar, melainkan memberi jalan masuk. Maksudnya, jalan masuk klien ke dalam dirinya sendiri sehingga nanti dia menemukan sendiri jawaban yang dia cari. Jadi, kita tidak boleh menyuruh klien mengambil keputusan A/Z. Hal yang boleh dilakukan adalah membuka pikiran klien bahwa selain jalan A, masih ada lho jalan B, C, D hingga Z. Terserah klien mau lewat mana. Selama tidak berkaitan dengan narkoba atau membahayakan nyawa, konselor tidak boleh mengintervensi keputusan klien.
KONSELING = JALAN MASUK
Ngomong-ngomong, saya punya hobi traveling dan bermimpi! Hehe... Tapi, bukan mimpi saat siang bolong karena saya biasanya memberikan target pencapaian mimpi saya. Sebab mimpi tanpa deadline ya hanya mimpi, sedangkan mimpi yang diberi deadline adalah goal. Pada awal tahun lalu, saya menargetkan traveling ke-20 kota di 5 negara sepanjang 2018. Ternyata setelah saya hitung pada akhir 2018, saya berhasil traveling ke 30 kota di 10 negara!
DREAM + DEADLINE = GOAL
Menurut saya, perempuan masa kini sangat diuntungkan dengan kebebasan memilih. Kalau zaman dulu perempuan sekolah saja dilarang, sekarang mau sekolah tinggi juga bebas. Mau jadi ibu rumah tangga atau wanita karier, bebas. Mau pakai jasa asisten rumah tangga atau urus rumah sendiri, bebas.
Tinggal bagaimana caranya bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil, itu kembali lagi ke pribadi masing-masing.
Pada masa sekarang, teknologi berperan penting karena memudahkan hidup kita, terutama kaum hawa. Contoh paling simpel saja, saya sudah tidak pernah lagi grocery shopping. Kalau ada barang habis di rumah, tinggal buka handphone dan pesan lewat aplikasi belanja seperti Titipku.com, Happyfresh, Tokopedia, Shopee, dan lain-lain. Ke mal pun sekarang lebih sering untuk meeting, makan, dan nonton saja. Kalau belanja, hampir semua sudah online. Saya sering sekali traveling, tetapi baru sekali pakai jasa tour and travel. Selebihnya semua diurus sendiri, enggak ribet karena dibantu berbagai macam aplikasi. Mulai dari beli tiket, menyusun itinerary, rekomendasi tempat-tempat yang ingin dikunjungi, beli tiket atraksi, semuanya bisa pakai aplikasi seperti Tiket.com, SygicTravel, TripAdvisor, Google Map, dan lain-lain.
Akan tetapi, masih banyak yang tergagap-gagap dengan cepatnya perkembangan teknologi dan belum bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Sesimpel mencatat agenda di kalender digital pun masih banyak yang belum tahu. Masih banyak juga yang tidak tahu bahwa pemakaian gadget anak bisa dibatasi pakai aplikasi. Atau bagaimana cara mentracking keberadaan anggota keluarga tanpa perlu sewa detektif segala, hehe.
Hal yang ingin saya sampaikan untuk para perempuan Indonesia yang ingin sukses berkarier atau menjadi entrepreneur sekaligus menjalani perannya sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga adalah poin-poin berikut.
Acceptance is the key of all
Terima diri sendiri dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Kalau lagi merasa marah, ya akui dulu saja. Jangan jadi marah sama diri sendiri karena marah, ya pastinya akan tambah marah-marah.
Terima dulu, peluk diri sendiri, lalu cari cara bagai- mana supaya marahnya tidak merugikan diri sendiri dan/atau orang lain. Karena kalau menyangkal, tidak akan terjadi perubahan.
Tentukan tujuan
Saya sering banget terima curhat, “Jadi saya harus gimana? Apakah saya harus berpisah atau bertahan?” Tapi, ketika ditanya apa yang dia mau sebenarnya, tujuan akhir yang dia inginkan ke mana, dia nggak tahu. Itu sama saja seperti orang yang bertanya harus lewat mana dan naik moda transportasi apa, tetapi ketika ditanya tujuan ke mana dia nggak tahu.
Tetapkan prioritas
Bagi saya, di antara semua peran yang saya sandang, prioritas saya yang utama saat ini adalah peran sebagai istri. Mengapa? Sebab itu adalah perintah
Tuhan, yang menjadikan wanita sebagai penolong yang sepadan bagi pria. Karena itu, saya mengutamakan tugas saya sebagai istri di atas tugas-tugas lainnya, termasuk tugas sebagai ibu. Gimana caranya? Yuk, baca halaman-halaman berikutnya.
How to Find The Right One?
How do we know that he/she is the one?
First, no one in this world is perfect for you. Even when you think you found one, be prepared to find the fact that he/she is not that perfect. The good news is, there is someone that is just right for you. But bear in mind that you can't find Mr./Ms. Right. You make one.
The first time I met this guy (Mr. Right) for real was in July 2002, at an Indonesian blogger community gathering (Blogbugs). We’ve been knowing each other for several months only via blog. I read his blog and he read mine, give comments, and exchange links, as simple as that. Being smart, firstborn, famous-geek, calm, and shy, he got my attention in the first place as a perfect guy.
Unfortunately, he already got a girlfriend. So I simply forget him and continue my journey in finding Mr. Right. A year later we met again in the first national blogger gathering-Blogbugs Anniversary (May 2003). Under the circumstances that he was being on the lowest point of his life; that he thought there won’t be any girl who would accept him for who he is and who he was.
Given the fact that he’s not as perfect as I wish he is, I work out to make him the right one for me. Not merely because I love him, but also because he’s worth it. Not easy. Most of my friends were questioning why I chose him. His mom was wondering what I see in him. He even thought that I’m out of his league.
The hardest part, was how to convince my parents that he’s the right one. They’ve been opposing my choice since the very beginning. Understandable, since there are some differences between us: from personality, appearance, occupation, to religion. But I took that as an exciting challenge.
Personality
He was extremely an introvert at that time, while I was behaving extremely extroverted. He never mingles and seldomly initiates a conversation with others. When my family or friends started a conversation, he only responded with “yes” or ” no”. I see that as the first thing I need to work out is to make himself acceptable. He needs to be more open, engage with others, and involve in activities around him, thus people will get to know him better.
Practice makes perfect. So I always ask him to accompany me in any community I joined, take him to my house as frequently as possible so he can get more chance to communicate with my family, and involve him in conversations with my friends. I gave him a great book that ever changed me when I was 18: How to Win Friends and Influence People by Dale Carnegie. Soon he learned that it gives him more advantage to be a socialized person rather than a loner. He slowly becomes more welcome to others, be an open person. Later, he even behaves more extroverted than I was before.
On a D-FM radio interview, September 2010, he was asked, “What’s the most important decision you’ve ever made that brought the biggest changes in your life?” He answered, “The most important decision and biggest changes in my life are when I met and married my wife. I learned how to convert from an introvert person to be an extrovert person.”
Sebelum mempelajari MBTI, saya mengira bahwa saya adalah extrovert karena tidak kesulitan bergaul, sedangkan suami introvert karena sulit bergaul. Namun, setelah mendalami MBTI saya belajar bahwa extrovert introvert tidak ditentukan dari mudah atau sulitnya seseorang bergaul, tetapi tentang bagaimana ia mendapatkan energi.
Appearance
Friends said, he looked so geeky and I looked chic. My parents said, he looked childish and I looked stylish. He even admits he was “cupu” at that time with old school “belah tengah” hairstyle. We laugh together when we remember our first date at a café in Kemang, having a candlelight dinner. I was wearing an office outfit with a blazer, short skirt, and high heels; while he was wearing a T-shirt, cargo pants, and slippers! ^.^ Though I think he’s naturally cute, yes I guessed he will be more adorable if I can makeover his look.
So, I took that as another challenge. When I saw a guy with a cool hairstyle, I told him that he can be more handsome than that guy with the same hairstyle. He then becomes a loyal customer of one barbershop for about 7 years. I gave him a moisturizer I was using and see the difference after using it (too bad the product doesn’t exist anymore). I encourage him to try a new style and not just stuck with the old fashion. Now, he becomes a truly metrosexual, sometimes more stylish than I am.
Occupation
At that time, he was still studying at Fasilkom UI to get his bachelor's degree. I was already quite steady with my career as a secretary, while also studying in UMB majoring in PR on weekend. I paid the tuition fee by myself, while he still received it from his parents. Though he also took some freelance projects and sometimes got as much money as I got or even more, my conservative-minded parents just didn’t buy it. What they expect was a man who has a good career with a steady income, to make sure that the man can feed me and nurture my future kids well. Believing that this guy has very big potential to be a successful man, I see that it’s just a matter of time.
After been dating for 1 year 3 months, he started his first job a day after graduation day, right on my birthday. His salary was half than mine. In less than a year it’s upgraded up to 80% of my salary. Then a year later he moved on to another company, and ... didn’t get paid at all for months. We were married and Michelle was just born, I fully support our little family financially. During that period, I never complain nor talk about it to anybody. I only told his mom after the problem was gone. Neither did I ever let him down through such hard times. Things were getting better; he worked for another company and started to get income as much as I got, then hijacked by another company and surpassed my income. Now my parents can rest assured that this guy is a good breadwinner.
Religion
If you are a loyal reader of my blog, you’d probably still remember my blog post titled “Tuhan dan Cinta” on September 2003, which was quite controversial and got hundreds feedback, positive and negative. It explains everything; I wouldn’t say anything more. One thing for sure: we maybe had different religion, but we have one belief. I am thankful that we are now walking on the same path. There, I tackled all the obstacles to get my Mr. Right, against all odds. Not easy, it involved tears of both sadness and happiness. Love is never enough. It needs trust, honesty, compromise, sacrifice, understanding, diplomacy, and communication skill. And of course, teamwork. Between you and your loved one.
You must know when to go on and when to stop. On a critical period of our relationship, I once told him, “If you’re not happy with our relationship, I am OK if you leave. With all potentials you got, I’m sure you can get someone better than I am.” Then he answered, “But no one could ever changed me the way you do. Even my mom.”
Yet, it’s not a happy ending. Why? Because true love has no end. Next step and bigger challenge for me now is: how to maintain the marriage. ***