2 minute read

Curhat tentang Tekanan Lingkungan

Next Article
#UNITCURHATDARURAT

#UNITCURHATDARURAT

Seorang wanita bercerita melalui DM Instragam saya bahwa dia sudah menikah 11 tahun, tetapi belum punya anak. Banyak sudah biaya terkuras untuk program dan usaha. Dia sering menerima komentar menyakitkan dari orang-orang. Mereka memang tidak pernah tahu rasanya kulit perut jadi biru-ungu karena disuntik (program ivf). Mereka tidak paham rasa kecewa ketika segala usaha belum ada titik terangnya hingga komentar, “Wah, masih berdua aja. Sini gue ajarin cara bikinnya. Istrinya kering ya nggak bisa punya anak,” dan komentar tak kalah “pedas” lainnya.

Ada lagi yang bercerita begini.

Advertisement

Mbak, 7 tahun lalu aku melahirkan anak pertama. Tapi, anakku lahir prematur saat usia kandungan 7 bulan. Dia cuma hidup 6 hari dan itu rasanya aku hancur banget. Tiap hari aku nangis dan menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa baik-baik jaga kehamilan. Sampai akhirnya pada bulan ketiga kepergian anak pertamaku, suami ngajak honeymoon lagi.

Pulang honeymoon, aku hamil lagi! Dokter kaget karena jaraknya terlalu dekat dengan riwayat kehamilan pertama yang prematur. Dan benar, kehamilanku yang kedua ini cukup buatku stres.

Jujur, aku trauma. Aku takut yang kedua ini bakal gagal lagi. Tiap hari kerjaanku hanya coretin kalender sambil berdoa semoga bayi ini sampai 9 bulan dan lahir dengan selamat dan sehat. Tapi apa yang terjadi, Mbak? Baru bulan keempat, ketubanku pecah.

Sampai di rumah sakit, rahimku sudah terbuka. Dokter nggak ada pilihan selain mengeluarkan bayiku. Nyawa kami berdua taruhannya. Aku perdarahan hebat. Dokter bilang bahwa kemungkinan aku selamat 50:50. Dalam kondisi ini aku seperti tidak terima. Aku histeris dan merasa marah sama Allah. Aku merasa Allah nggak adil, lalu tensi darahku melonjak drastis dari 100/80 jadi 180/150.

Akhirnya, aku dikuret sambil ditransfusi, entah berapa kantong darah yang masuk karena aku sudah tidak sadar. Pascapemulihan, dokter bilang, “Ibu, habis ini kita general check up, ya, saya khawatir telah terjadi sesuatu pada Ibu karena lonjakan tensi yang tiba-tiba.”

Hasil lab keluar. Ginjalku kena. Dokter menyatakan aku harus cuci darah. Aku cuma bisa diam tidak tahu harus berbuat apa. Hanya air mata yang mengalir keluar untuk mewakili perasaanku saat itu. Sejak itu, aku rutin melakukan cuci darah seminggu 2x selama hampir lebih 3 tahun.

Aku putus asa. Aku minta suamiku untuk ceraikan aku karena aku merasa tak berguna sebagai istri.

Entah apakah aku bisa memberikan keturunan dalam kondisiku saat itu. Alhamdulillah, Allah kasih suami yang luar biasa sabar. Dia tak peduli dengan omongan orang di luar sana yang bilang aku nggak bisa sembuh, aku nggak bisa ngasih dia anak. Dia yang selalu menguatkan aku. Satu kalimat yang membuatku bangkit, “Aku aja sabar kok, masa kamu nggak sabar.”

Dan jawaban atas doa-doa kami Allah kabulkan. Pada Mei 2017, aku berhasil transplantasi ginjal dengan donor ginjal mamaku. Aku sudah tidak cuci darah lagi dan kami hendak program punya anak.

Tujuan saya sharing ini adalah agar teman-teman paham bahwa semua butuh perjuangan dan itu tidak bisa abrakadraba. Setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda. Butuh waktu, usaha, dan tenaga. Kadangkala orang menyerah di tengah jalan karena tidak tahu seperti apa ujungnya. Reward-nya adalah keindahan dan kebahagiaan yang bisa didapatkan kalau bertahan. Namun sepanjang jalan, akan ditemui hambatan, halangan, dan rintangan. Kadangkala, kita bahkan tidak sadar apa yang kita lontarkan bukan hanya menyakitkan, tetapi mematikan semangat orang lain dalam berusaha. Jangan jadi pembunuh! Ya, pembunuh harapan orang yang sedang berusaha. Bicaralah pakai hati, gunakan empati, sehingga tak perlu ada hati yang tersakiti.

This article is from: