BLACK
Mimbar Opini
UNTAN EDUCATION Oleh: Ireng Maulana
P
endidikan telah menjauhkan para mahasiswa terhadap realitas sosialnya, mahasiswa menjadi belajar untuk hanya memikirkan dirinya sendiri, sebagian kecil berdiri tunggal diatas kemewahan intelektual yang telah dimiliki dan sebagian yang lain sangat menikmati status sebagai pelajar tingkat tinggi – asal keren. Namun Ketidakberdayaan siswa untuk mentransformasikan kemewahan intelektual yang ada pada diri mereka kepada realitas sosialnya adalah sampah. Status tanpa kerja nyata. Apakah menjadi penting untuk terus berharap kepada ratusan bahkan ribuan mahasiswa dengan standarisasi indek prestasi kumulatif dan pintar, padahal mereka berkemampuan total hanya kepada kertas – kertas berisi pertanyaan. Mahasiswa menjadi belajar bahwa tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah angka - angka jadi yang telah dirancang . Tanpa dibekali pemahaman yang menyeluruh terhadap arti sebuah proses belajar maka orientasi terhadap standar nilai tertentu adalah sesuatu yang tidak terbantahkan dan memang pantas untuk diperebutkan karena kegagalan untuk meraihnya adalah aib dan kebodohan. Nilai dijadikan sebagai sebuah bentuk penghargaan tertinggi sehingga diyakini menjadi perwakilan simbolik untuk memisahakan secara tegas antara pintar dan bodoh. Kompetisi untuk standar nilai tertentu cenderung membuat mahasiswa pintar menjadi sombong dan mahasiswa yang kurang beruntung menjadi tidak percaya diri. Kampus bukan tempat merambah ilmu pengetahuan dan kebijaksaan namun hanya menara gading. Mahasiswa berubah menjadi elite baru tanpa kenal realitas sosialnya. Ketidakberpihakan penulis bahwa sistem telah menjadikan nilai berhala dan bukan berdasarkan kepada sebuah proses pembelajaran yang
utuh dan menyeluruh yaitu pemahaman tentang tranforamsi pendidikan ditafsirkan sebagai ruang yang menyenangkan dan mahasiswa tidak takut untuk belajar, sehingga mereka, mahasiswa belajar tentang “Mencari dan Menemukan” dan belajar adalah awal untuk tumbuh dan berkembangnya pola pikir dan kelakukan, sehingga walaubagaimanapun nilai merupakan konsekuensi logis terhadap sebuah kemerdekaan belajar, mahasiswa belajar tentang bagaimana menghargai kegagalan, mereka belajar untuk memperbaiki kesalahan dan nilai bukan pada porsi yang tepat untuk menghakimi sebuah proses . Ketidak setujuan penulis juga mengarah kepada hegemoni nilai yang telah membuat mahasiswa terus menerus tertindas dalam proses belajar nya sendiri sehingga akan memunculkan Ketakutan kepada terindikasi ‘bodoh dan menjadikan semua orang berambisi dan tanpa sadar mereka telah mengekploitasi diri mereka sendiri sebagai bagian dari ambisi tersebut dan sekaligus mengekploitasi pendidikan sebagai sebuah peluang penindasan. Sistem pendidikan nasional cenderung memberikan iming – iming tidak realistis. Semua orang harus masuk universitas. Kalau tidak masuk Universitas merasa gagal. Mereka mencari gelar tetapi tidak memperkaya kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Ilmu tidak berbanding lurus dengan penyelesaian banyak masalah yang dihadapi masyarakat secara luas. Orang – orang desa menjual sawah supaya anaknya bisa masuk Universitas. Setelah sawahnya habis, ternyata pekerjaan tidak ada, berapa anak kita yang bisa menjadi pemecah masalah? (Sofyan A djalil , Kompas/1/4/2006 ) . Mahasiswa sengaja dibawa lari dalam ciptaan putaran ketergantungan bahwa kampus dan belajar akan berhenti kepada pencapaian terhadap status pekerjaaan yang layak dan nilai ekonomis dalam bentuk gaji yang tinggi. Mahasiswa tidak lagi berpikir untuk dan bagi lingkungannya. Mereka tidak lagi peka pada keseharian kehidupan Rakyat. Mahasiswa hampir kehilangan rasa untuk menghadapi ke-
Edisi VII Tahun XXXII/ LPM Untan/ 2014
benaran hidup yang ada disekelilingnya, hampir tidak ada yang bisa diharapakan! Mahasiswa tidak lagi peduli, mereka kehilangan kecerdasan untuk menetukan sikap. Bukankah kampus dan belajar sejatinya untuk mendekatkan orang pada kehidupannya, memahami peranan terkecilnya, mahasiswa tidak belajar secara utuh untuk membangun karakter dirinya, tidak belajar memahami makna sebenarnya tentang menghargai, tidak belajar untuk mengeksperiskan sesuatu dengan tanggungjawab, mereka belum belajar bahwa aktualisasi diri bisa menjadi liar dan tidak berkeadilan apabila tidak didasari kepada pe nghormatan kepada orang lain. Kampus seolah – olah seperti kerangkeng monyet. Monyet didalam kerangkeng setiap hari dikondisikan kepada rutinitas yang sama, monyet diajarkan untuk tampil dan bertingkah cerdas pada saat banyak orang yang datang untuk melihat. Monyet hanya berinitiatif terbatas kepada apa yang di perintahkan tuannya, atau hanya sekedar menjalani rutinitas biologis seperti makan, minum atau buang air. Kampus seharusnya membantu mahasiswa untuk mempelajari dan merambah pengetahuan. Proses belajar yang baik seharusnya mengajarkan apa – apa yang bisa ditransformasikan sebagai kontribusi terkecil pada realitas sosial para mahasiswa, namun kenyataan terasa pahit ketika kita harus menyaksikan pendidikan menjadi rusak karena proses belajar berhenti pada pengetahuan yang elitis berkesenjangan; maka pengetahuan itu hanya menjadi symbol bagi mahasiswanya. Pelurusan salah tafsir ini lebih mendiskusikan sebuah proses pendidikan yang mengedepankan kultur pendidikan pembebasan sehingga mahasiswa tidak diberi janji – janji yang tidak nyata , mahasiswa tidak perlu dibebani dengan cara belajar yang tidak demokratis. ( * pemerhati UNTAN )
7