
5 minute read
Mimbar Puisi
SEBUAH PERJALANAN ALAM
Awan hitam sudah mulai serakah mentutupi langit Matahari seakan lemah tak berdaya Mengalah pada sang awan yang mulai berkuasa sebagai raja Tetes-tetes air mulai menyapa
Advertisement
Sebagai petanda kenaikan tahta sang raja Dari negri yang sama, angin turut bergembira
Sebagai prajurit raja yang paling setia Berteman dengan hujan berperang dengan matahari menaklukan bumi Apadaya matahari panasnya kini rapuh dan redup Dibekukan angin dan hujan dari negri awan Sang raja merasa puas dengan kekuasaan yang sesaat Merasa jaya dengan tahta yang sementara
Prajurit-prajurit ditarik mundur dari perperangan Melihat matahari yang tak pernah menyerah melawan Selalu menyusun strategi merebut kembali kekuasaan Dibalik kegelapan ia bersembunyi menaklukan negri awan di pagi hari.

Mimbar Cerpen GUBUK DI PERSAWAHAN
Bias-bias terang tampak terlihat di ufuk timur, sebagai petanda matahari akan memulai memperlihatkan kegagahannya mengawali pagi yang tampak cerah pada hari itu. Masih tidak terdengar riuh piuh suara manusia pada pagi itu, hanya kicauan burung yang sudah terbangun bersenda gurau dengan ceria menyambut pagi yang cerah sambil berlalu lalang mencari makan di sekitar persawahan.
Pagi yang penuh dengan kabut embun, samarsamar terlihat gubuk tua berdindingkan anyaman dari bambu dan beratapkan daun nipah dengan tiang kayu yang sudah miring, tertancap di area persawahan yang luas dikelilingi padi dengan daunnya yang masih terkulai kaku seolah masih enggan menyambut pagi yang cerah . Terlihat sesosok perempuan membuka pintu dari gubuk tua itu dan keluar berjalan pelan, melangkahkan kakinya yang sudah mulai kaku namun masih mampu menahan beban tubuhnya yang sudah sedikit membungkuk . Wajahnya yang sudah keriput dengan pelipis mata yang sudah mengkerut ditambah rambut yang sudah memutih namun ditutupi kain penutup kepala yang sudah mulai usang, menggunakan setelan baju panjang yang tipis ditambah kemban kain batik yang tidak kalah usangnya dengan tutup kepala yang ia gunakan.
Nenek Imah, begitulah panggilan perempuan tua separuh baya ini, yang memiliki nama lengkap Fatimah. Ia telah hidup selama 79 tahun dan tinggal di gubuk tua itu sudah hampir 32 tahun lamanya. Setelah suaminya meninggal dunia karena penyakit kencing manis, sejak 30 tahun yang lalu, nenek imah ini berjuang sendirian membesarkan anak satu-satunya , yang saat itu masih berumur 10 tahun dari hasil perkawinannya dengan suaminya itu. Perjalanan hidup nenek Imah tidak berjalan seindah saat masih bersama suaminya, begitu banyak cobaan yang ia alami setelah kepergian suaminya. Terutama ketika ia di uji oleh Tuhan yang maha kuasa , anaknya terkena penyakit tumor serius, berbagai upaya telah dilakukan nenek Imah demi kesembuahan anak semata wayangnya itu hingga ia harus rela menjual rumah peninggalan suaminya untuk membiayai pengobatan anaknya. Sudah hampir satu tahun penyakit yang diderita anaknya itu tidak kunjung sembuh hingga pada akhirya Tuhan berkehendak lain, anaknya yang bernama Eko yang saat itu sudah berusia 11 tahun dijemput Allah SWT kembali ke pangkuan-Nya.
Isak tangis yang tidak bisa terbendung keluar dari mata nenek Imah mengiringi kepergian Anak tercintanya itu, begitu tidak rela ia menerima kenyataan itu hingga ia jatuh pingsan setelah pemakaman anaknya selesai. Saat kejadian itu nenek Imah tampak selalu murung, tidak dapat menerima ujian dari Allah SWT. Ia menjadi depresi setelah kejadian itu kadang-kadang ia berteriak sendirian di kontrakannya sambil memanggil nama anak dan suaminya sambil menangis. Ia juga sering menyalahkan Tuhan, sambil berkata “tuhan itu tidak adil, ambil saja nyawaku, biarkan aku mati saja daripada hidup seperti ini” kata-kata seperti itulah yang sering keluar dari mulutnya, namun tidak sekalipun niat dalam hatinya untuk melakukan bunuh diri.
Kejadian itu memang sudah berlalu lama sekali namun sisa kesedihan masih tampak tergores di rautan wajahnya yang keriput itu, kini ia tinggal sendiri di gubuk tua sendirian karena sejak kejadian puluhan tahun itu, ia tidak lagi memiliki tempat tinggal,atas inisiatip warga dan tetangganya ia di buatkan gubuk, yang ditempatinya sampai saat ini.
Matahari sudah membuka pagi dengan semangat, sisa embun sudah tidak tampak lagi dan nenek tua itu masih asik dengan kerjanya merumput sawah yang masih tersisa dan tidak ia jual, karena merupakan warisan dari orang tuanya. Tangannya masih tangkas mengais rumput-rumput yang mengalangi padi yang baru tiga bulan ia tanam. Sinar pagi matahari sudah menjadi teman setianya setiap hari ditambah terik matahari pada saat tengah hari sampai sore, tak pernah ia hiraukan.
“Nek, nek imah!”Tampak sayup-sayup suara perempuan terdengar memanggil namanya, ia tidak terkejut atau merasa aneh lagi dengan suara yang baru saja terdengar di telinganya. Oh Ita, sambil menoleh ke arah perempuan yang baru berumur 10 tahun yang ditemani ibunya membawa rantang kecil. Anak kecil itu pun membalas tolehan nenek Imah dengan senyuman polosnya diiringi dengan lambaian tanganya mengajak perempuan tua itu yang masih belum juga beranjak dari persawahan. “Nek imah imah, istirahat dulu nek, sudah tengah hari ni” ucap Nunung ibunya Ita. Tidak terasa sudah setengah hari nenek Imah bergeriliya dengan tenaman padinya memberantas gulma-gulma liar yang menghalangi tanamannya itu. “iya neng”, sahut perempuan tua itu sambil melangkahkan kakinya ke arah dua perempuan yang selalu menemaninya di saat siang. Ibu Nunung dan Ita anaknya, setiap hari menjenguk nenek Imah di sawah, mereka berdua satu-satunya orang yang sangat peduli dengan kehidupan nenek Imah. Setiap tengah hari ia membawakan makan siang untuk nenek imah sambil menemaninya ngobrol melepas lelah, biasanya kedua perempuan itu juga membantu nenek Imah di sawah jika mereka tidak ada kegiatan, dan yang sering menemani perempuan tua itu ialah Ita, ia sering ke sawah untuk bermain, karena rumahnya dengan sawah Imah tidak begitu jauh.
“Sini nek, cepet sini!” panggil ita yang tidak sabar untuk bercanda dengan perempuan itu, maklum nenek Imah sering mengajak bercanda Ita dan bercerita padanya. Ita telah dianggap sebagai cucunya sendiri, ia juga sangat gembira dengan kehadiran ita yang selalu menemaninya meskipun hanya disiang hari. ia juga sering teringat dan sering membayangkan anaknya yang meninggal di usia yang hampir sama dengan anak perempan itu. jika mengenang hal itu nenek imah sering meneteskan air mata apalagi melihat tingkah Ita yang sering mengundang tawa, ia selalu berandai-andai misalnya anaknya masih hidup dan memiliki keturunan pasti ia akan memiliki cucu seperti Ita. Namun ia sadar itu hanyalah masa lalu dan tak mungkin dapat kembali lagi, biarlah ia jalani sisa hidup di ujung senjanya ini.
Setelah mencuci tangannya, ia melangkahkan kakinya menghampiri dua perempuan yang
