Tabloid Mimbar Untan Edisi XXV

Page 1

Mimbar Untan

DAPUR REDAKSI

DAPUR REDAKSI

Salam Pers Mahasiswa!

Kalimat yang selalu memenuhi ruang redak si tersebut sedari awal telah berhasil menjadi pemicu semangat bagi tim keredaksian ini. Kalimat yang menjadi saksi historis tentang banyaknya cerita suka maupun duka dalam peliputan yang telah kami lewati. Berhadapan dengan narasumber yang sulit ditemui, anali sis data yang menguras pikiran, serta kesibu kan perkuliahan menjadi warna tersendiri yang dapat kami kenang. Komitmen untuk mengulik berbagai keresahan mahasiswa, akhirnya dapat kami tuang dalam sebuah tulisan pada Tabloid Mimbar Untan Edisi XXV, yang harapannya dapat menjadi sumber informasi dan memper tajam kepekaan akan isu di sekitar mahasiswa.

Tabloid edisi kali ini mengangkat tema be sar seputar pendidikan, satu diantaranya ialah “Carut Marut Pendidikan Karakter Untan” yang selalu menjadi perbincangan hangat dikalangan mahasiswa baru, juga para dosen. Pasalnya, Pendikar yang mengadaptasi konsep keagamaan ini menuai berbagai keluhan akibat pelaporan ibadah yang dirasa telah merenggut kebebasan privasi dalam beragama.

Tulisan lainnya dikemas pada setiap kolom dengan tema yang tak kalah menarik, aktual, dan informatif. Relawan pendidikan, Yoga Il hamsyah yang dimuat dalam Kolom Profil. Isu tentang keberadaan Lembaga Bimbingan Kon seling di Untan dimuat pada Kolom Kampus. Serta kolom lainnya seperti Liputan Khusus, Lingkungan, Ilmiah, Religi, Seremonial, Edi torial, Opini, Resensi, Sastra, dan Jepretan juga menawarkan tulisan dan karya yang semakin membuka wawasan pembaca

Kami mencoba menyajikan informasi dengan sebaik mungkin agar menjadi suguhan yang menarik dihadapan para pembaca. Tak lupa ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya ke pada semua pihak yang telah membantu pros es penggarapan tabloid ini. Kami juga terbuka dengan segala kritik dan saran untuk penyem purnaan tabloid edisi selanjutnya.

Selamat membaca!

SURAT PEMBACA

Ibnu Najaib Mahasiswa FKIP Untan

Saya percaya, bahwa maksud dan tujuan dari adanya Pendikar ini sangatlah bagus, yaitu untuk memban gun dan mendidik karakter. Saya juga yakin, bah wa Pendikar akan memberi banyak manfaat bagi para mahasiswa. Tapi perlu dipertimbangkan juga program-program di dalamnya, agar tidak terla lu memberatkan mahasiswa, terutama para maha siswa baru yang masih beradaptasi dengan dunia kampus. Setelah beberapa lama menjalani program Pendikar, saya baru sadar bahwa surat yang sudah saya tandatangani dahulu adalah sebuah kontrak yang mengikat. There’s no turning back. Sekali anda masuk dalam dunia Pendikar, tidak ada jalan keluar. Karena mau protes pun, anda sudah membubuhkan tanda tangan diatas materai. Artinya, anda sudah di anggap setuju dan bersedia dengan segala bentuk ke giatan yang ada dalam Pendikar. Maka tidak banyak yang bisa diperbuat. Mau tidak mau, siap tidak siap, rela tidak rela, Pendikar tetap harus dijalani.

Anisa Mahasiswa FISIP Untan

Bagi mahasiswa semester akhir, “bolak-balik” ruang akademik akan menjadi makanan sehari-hari, hal it ulah yang sedang saya rasakan akhir-akhir ini. Pa dahal jika saya boleh memberikan saran, alangkah baiknya pemberkasan ini bisa lebih dipermudah. Saya sering mendapatkan pelayanan dari para staf dengan ketidakramahannya, kemudian staf-staf yang datang “molor” membuat kami harus menunggu ber jam-jam di depan ruang akademik demi sebuah tan da tangan, atau sekadar meminta lembar syarat, itu hanya membuang-buang waktu. Saya berpikir bah wa harusnya para staf bisa menerapkan pelayanan akademik dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama.

Yunita Sari Mahasiswa FISIP Untan

Saya pernah mendengar sebuah pendapat yang men gatakan bahwa Kampus Merdeka yang sedang di gaung-gaungkan oleh kampus tercinta kita ini hanya sebatas “konsep yang ideal, namun menjadi beban bagi beberapa mahasiswa”. Saya tau bahwa banyak hal yang positif dengan hadirnya program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM) ini, terkhusus bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan ilmu leb ih luas dari luar kampus. Namun saya rasa masih banyak prodi yang tidak siap dengan sistem ini, atau bahkan secara teknis sangat semrawut. Kami dih adapi dengan beberapa program MBKM yang sebe narnya membuat kami kaget karena kampus dengan mendadak sangat gencar mencari mahasiswa untuk mengikuti program ini, namun sosialisasinya sangat minim. Apakah kegencaran ini hanya sebagai alasan beberapa prodi meningkatkan akreditas?

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen
02
Pimpinan Redaksi : Monica Ediesca. Sekben Redaksi : Ersa Dwiyana. Layouter : Dewi Ratna Juwita. Ilustrasi dan Infografik : Dewi Ratna Juwita, Fathana Nuranti. Fotografer : Tri Pandito Wibowo, Ibnu Najaib, Putri Arum Widyasari, Muhammad Ifdal. Reporter : All Crew. Kontributor : Mira Loviana, Friskila Suyanti, Ibnu Najaib, Anisa, Yunita Sari SUSUNAN TABLOID MIMBAR UNTAN EDISI XXV Alamat Redaksi : Jalan Daya Nasional, Kom. MKU Untan Pontianak 78124, HP: 0896416991, Web: mimbaruntan.com, Email: mimbaruntan@gmailcom. Redaksi menerima tulisan berupa opi ni, essay, laporan kegiatan kampus, puisi, cerpen, hasil investigasi beserta foto dan caption. Tulisan diketik minimal 2 lembar A4. Redaksi berhak mengedit isi tulisan tanpa merubah makna.
Tabloid Mahasiswa Pelindung : Tuhan Yang Maha Esa Penasehat : Rektor Universitas Tanjungpura Pembina : Wakil Rektor III DPL : Alumni Mimbar Untan Pengurus LPM Mimbar Untan 2021/2022 Ketua Umum : Maratushsholihah Sekretaris Umum : Stephanie Ngadiman Bendahara Umum : Marlina Marlin Divisi PSDM : Syifa Meidiana, Rizky Arif Gunawan, Vania Holika Sitanggang, Fathana Nuranti, Yosi Rima Riana Divisi Penerbitan : Monica Ediesca, Daniel Simanjuntak, Antonia Sentia, Lulu Van Salimah Divisi Penyiaran : Ludovika Krisa M, Dedy Aryuwanda, Putri Arum Widyasari, Peggy Dania Divisi Litbang : Hafidh Ravy Pramanda, Abang Hendy Fuady, Tri PanditoWibowo, Ester Dwilyana Sari Divisi Perusahaan : Nur Azmi Husnul K, Yoga Indrawan, Dewi Ratna Juwita, Ersa Dwiyana Anggota Tetap : Dita, Abil, Dedek, Wynona, Fahrul, Ayu, Hilda, Putri, Samuel Anggota Biasa : Mira, Vanessa, Diva, Angga, Nurul, Ibnu, Ifdal, Joko, Zulfikar, Aziz, Futri, Marissa, Ilham ~
Tabloid Mimbar
Untan
Di
Terbitkan
Oleh Lembaga
Pers
Mahasiswa Universitas Tanjungpura
~

Mimbar Untan

Pincang Sistem

Pendikar Untan, Renggut Privasi Mahasiswa Baru

Setiap tahunnya ketika calon mahasiswa baru dinyatakan lulus di Universitas Tanjungpura (Untan), akan muncul rentetan berkas ad

ministrasi yang harus diisi oleh mereka. Tak terkecuali selembar kertas yang bertuliskan “Surat Pernyataan Berjanji Akan Mengikuti Program Pen dikar”. Surat tersebut berisi tentang kewajiban calon mahasiswa baru untuk mengikuti Pendikar Untan, yang mana program tersebut menjadi salah satu syarat pengajuan seminar proposal dikemudian hari. Menimbang hal terse but, tidak ada alasan bagi mahasiswa baru untuk menolak hadirnya program yang sedari awal tidak mereka ketahui akan berjalan seperti apa nantinya.

Di penghujung surat tersebut, terselip lah sebuah tanda tangan diatas materai yang menjadi perjanjian terikat antara mahasiswa dan Koordinator Pendikar untuk mengikuti rangkaian programnya, hingga pada akhirnya menjadi bu merang kebebasan privasi dalam beragama bagi mahasiswa baru.

Selama satu semester, mahasiswa merasa mengikuti berbagai perintah dan arahan yang sia-sia. Melaporkan jumlah ibadah setiap minggunya di sosial media, memposting ayat kitab suci setiap harinya, hingga rentetan tugas yang tiada hentinya diberikan kepada mahasiswa, sehingga membuat jalan perkuliahan mereka terganggu. Tak sedikit mahasiswa baru yang merasa terjebak, merasa tidak sanggup, dan memilih untuk memberikan laporan palsu agar mendapatkan nilai yang tinggi. Sehingga tujuan mulia “Pendidi kan Karakter” ini pun gagal untuk mencetak moralitas mahasiswa.

Padahal jika kita mengutip dari pengertian privasi sendiri adalah hak asa si manusia yang menciptakan penghalang dan mengelola batasan untuk melindungi diri seseorang. Jika kita kaitkan lagi dengan program Pendikar Untan, terdapat kepincangan sistem sedari awal tidak memberikan informa si terbuka kepada mahasiswa tentang apa yang akan mereka jalani selama mengikuti program itu.

Pun dapat dilihat pula dalam UUD 1945 Pasal 28 G Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Menimbang hal tersebut, ben tuk laporan peribadatan yang menjadi salah satu rangkaian program Pendikar Untan itu pun telah mengusik keprivasian mahasiswa. Sangat disayangkan apabila Untan tidak mampu mengelola sebuah program sesuai dengan mis inya, yaitu mencetak mahasiswa yang berkualitas dan bermoral Pancasila. Padahal, bisa saja Pendikar Untan ini mengadaptasi berbagai berbagai pro gram tanpa mengusik atau bahkan memaksa seseorang untuk memberikan informasi pribadinya untuk dijadikan sebagai sumber rujukan penilaian.

Seperti yang dijelaskan dalam sebuah jurnal FKIP Unila yang berjudul “Implementasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi”, dikatakan bahwa terdapat beberapa unsur yang wajib dilakukan dalam pengimplementasian pendidikan karakter di perguruan tinggi, yaitu:

1) Pembentukan karakter yang terpadu dengan pembelajaran pada mata kuliah

2) Pembentukan karakter yang terpadu dengan manajemen perguruan tinggi (jurusan/prodi)

3) Pembentukan karakter yang terpadu dengan kegiatan mahasiswa

Melalui konsep yang seperti ini, tentu pendidikan karakter di perguruan tinggi berhasil meningkatkan mutu penyelenggaraan dengan hasil pembe lajaran yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan kom petensi lulusan.

Belum terlambat apabila kekeliruan pengadaptasian konsep pendidikan karakter ini diubah menjadi suatu program yang lebih bermanfaat tanpa ha rus menyangkut ranah privasi seseorang, terlebih seperti laporan peribada tan. Namun apabila konsep yang telah berjalan hampir 10 tahun tersebut masih seperti ini, tak heran apabila Pendikar Untan akan selalu dipandang sebagai sebuah sistem yang pincang oleh mahasiswa.[]

EDITORIAL
Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 03 EDITORIAL Tabloid Mahasiswa
Ilustrasi : Atna

CARUT MARUT PENDIDIKAN KARAKTER UNTAN

Pendikar (Pendidikan Karakter) Universitas Tanjungpura (Untan) merupakan sebuah program pembentukan karakter yang telah berdiri sejak Thamrin Usman menjabat sebagai Rektor Untan pada tahun 2012. Kala itu, Pendikar Untan hadir untuk merespon tingginya rasa egoisme mahasiswa yang kerap kali menimbulkan berbagai konflik horizontal antar fakultas. Seiring perkembangannya, tujuan mulia pendikar sebagai pencetak moralitas ini justru menuai berbagai keluhan dari para mahasiswa. Pendikar dianggap mengalami kegagalan sistem yang telah merenggut kebebasan privasi dalam beragama, hingga mengganggu jalannya perkuliahan karena dibebani tugas-tugas yang banyak.

Terbentuknya Pendikar memerlukan proses yang cukup panjang. Dimulai pada tahun 2012 pendikar mengadopsi konsep Studi ka Untan yakni program monitoring mahasiswa berbasis keagamaan di setiap fakultas. Kemudian di tahun 2015 berubah menjadi bagian dari mata

kuliah pendidikan agama, hingga pada tahun 2020 pendikar mulai memasukkan nilai-nilai pancasila di dalam kegiatannya. Tentu, semua konsep terse but beriringan dengan harapan untuk dapat men jadi ruang inklusif bagi setiap mahasiswa baru di Untan.

Mulai dari Laporan Ibadah, Hingga Beban Tu gas yang Memberatkan

Menjelang tahun pertama perkuliahan, Ikhsan (bukan nama sebenarnya) bersama seluruh maha siswa Untan lainnya diminta untuk menandatan gani sebuah surat pernyataan yang berisi tentang kesediaannya mengikuti rangkaian program Pen dikar Untan.

Layaknya mahasiswa baru pada umumnya, Ikhsan masih belum mengetahui dengan jelas terkait tugas-tugas yang akan ia lakukan. Setelah mendapat arahan untuk membaca SOP Pendikar Untan, Ikhsan cukup terkejut dengan lampiran yang ia rasa kurang relevan dengan sistem pen didikan karakter yang selama ini ia ketahui.

Kehadiran Pendikar menjadi keuntungan tersendiri bagi Untan. Program yang telah diakui di tingkat nasional ini sukses menjadi program unggulan bidang kemahasiswaan dan diapresiasi langsung oleh Kementerian Pendidikan, Kebu dayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indone sia (Kemendikbud Ristek RI). Sebagai program pendidikan karakter yang lahir dan diprakarsai langsung oleh Untan, Pendikar sukses meningkat kan akreditasi Untan menjadi A pada tahun 2019.

Pendikar yang dibawahi langsung oleh Lemba ga Pengembangan, Pembelajaran, dan Penjaminan Mutu (LP3M) Untan menyusun kerangka pelaksa naan Pendikar dalam sebuah Standar Operasional Prosedur (SOP). Mahasiswa baru diwajibkan satu

mengikuti rangkaian kegiatan pendikar selama satu semester dengan tujuan agar kedepannya para mahasiswa dapat menjunjung tinggi nilai-nilai baik seperti agama, etika, budi pekerti, kesopanan, kedisiplinan, kejujuran, kerukunan, dan toleransi.

Walau sudah berjalan 10 tahun lamanya, pro gram yang sejak awal sudah terbentuk dengan mengadopsi nilai keagamaan ini tetap tak habis menuai berbagai komentar dari para mahasis wa. Pasalnya, terdapat banyak tugas yang dirasa kurang relevan dengan sebuah sistem pendidikan karakter, satu diantaranya ialah laporan ibadah yang wajib dipublikasikan di sosial media setiap satu minggu sekali, tanpa mengetahui indikator hadirnya tugas tersebut seperti apa.

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen

04
Sumber: Hasil wawancara bersama Riadi Budiman, Koordinator Utama Pendikar Untan (4/12/2021).
Tabloid Mahasiswa

Mimbar Untan MIMBAR UTAMA

Terlebih, program tersebut wajib diikuti oleh setiap mahasiswa baru, menimbang keluarn ya Surat Keputusan Rektor Nomor 2810/UN22/ PP/2020 yang menyatakan bahwa Pendikar Un tan dimasukkan ke dalam Kurikulum Strata I dan Diploma sebagai salah satu persyaratan seminar usulan penelitian, dengan minimal nilai adalah B (Baik).

Saya bingung, kenapa men didik karakter bisa dilakukan melalui laporan ibadah yang dipublikasikan di Fanpage Facebook Pendikar Untan. Pa dahal ini urusan agama yang sangat privasi, dan harusnya kami punya hak untuk me nolak mempublikasikan hal tersebut. Tetapi ini malah diwajibkan, jika tidak melapor kan maka tidak dapat nilai Mahasiswa Untan Ikhsan (Samaran)

Mahasiswa muslim angkatan 2021 ini men jelaskan, selama enam bulan lamanya ia diwajib kan untuk melakukan beberapa aktivitas yang di antaranya ialah laporan ibadah, membuat desain kutipan ayat di kitab suci, diskusi keluarga pen dikar, resume diskusi antar agama, dan resume kuliah umum. Diakui oleh Ikhsan, padatnya tugas yang ia dapatkan setiap minggunya membuatnya merasa terbebani hingga mengganggu rutinitas perkuliahan.

“Padahal tujuan utama Pendikar Untan ada lah mendidik karakter mahasiswa yang jujur dan berintegritas. Tetapi tugas yang saya rasa kurang masuk akal, tidak ingat waktu, dan sangat membe bani mahasiswa ini membuat beberapa mahasiswa mengambil jalan pintas, yaitu berbohong agar lu lus dengan nilai tinggi,” ceritanya.

Adapun rangkaian tugas berasal dari SOP Pen dikar Untan, yang dihitung secara manual oleh Reporter Mimbar Untan sejak 16 Agustus 2021 hingga 27 Februari 2022 (28 minggu, 164 hari) adalah sebagai berikut :

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 05
Infografik : Atna
Illustrasi : Atna

Tak berhenti di sana, terdapat sengkarut lainnya yang Ikhsan rasakan ketika Koordinator Pendikar Untan memberikan sebuah arahan untuk mem berikan sebuah komentar pada sebuah kegiatan yang disiarkan secara langsung di YouTube. Ikh san menceritakan bahwa seluruh mahasiswa diwa jibkan untuk berkomentar dan menyertakan nama Pendikar Untan.

“Kami dipaksa untuk berkomentar dalam sebuah event di YouTube dengan menyertakan nama Pendikar Untan dan itu banyak sekali. Kare na demi laporan, pada akhirnya kami hanya seke dar formalitas, ikut dan absen saja tanpa mengerti ini pembahasannya apa. Bertele-tele, memakan waktu yang banyak, dan kami belum menemukan inti dari pendidikan karakter di sana,” jelasnya.

Selain beban tugas yang memberatkan, Ikh san mengatakan bahwa kualitas mentor pun perlu dibenahi. Pasalnya, tak jarang ditemukan banyak sekali mentor keluarga Pendikar Untan yang tidak membimbing dan asal dalam memberikan penila ian dikarenakan tidak adanya indikator keberhasi lan yang terkonsep dengan jelas.

“Sebenarnya sebuah program pasti ada tujuan. Kalau ini bingung dan sedikit kontradiktif gitu untuk mendidik karakter, indikatornya pun men jadi pertanyaan kembali. Bagaimana si pembuat SOP ini (read - Koordinator Pendikar Untan) dap at mengetahui karakter mahasiswa apakah sudah terdidik atau belum hanya dengan laporan saja,” tegasnya.

Senada dengan apa yang Ikhsan katakan, Arya (bukan nama sebenarnya) turut memberikan ko mentar. Mahasiswa beragama Buddha tersebut juga mempertanyakan esensi dari tugas-tugas pen dikar yang banyak memasuki ranah pribadi, dalam hal ini adalah urusan keagamaan.

Menurutnya, jumlah laporan ibadah dan rent etan tugas lainnya tidaklah bisa dijadikan sebagai sebuah indikator penilaian untuk melihat apakah seorang mahasiswa telah terbentuk karakternya atau tidak.

“Apakah seseorang dikatakan beriman dan ter didik karakternya hanya dari sebuah laporan iba dah yang sebenarnya sangat memungkinkan un tuk dimanipulasi? Saya rasa sangat disayangkan apabila ibadah pun harus diberikan batasan mini mal yang diberikan oleh orang lain kepada kita,” jelasnya.

Bagi Arya, banyak yang harus dievaluasi dari sistem Pendikar Untan. Di akhir percakapan, Arya mengharapkan agar aspirasi dan keluhan mahasis wa baru terhadap program Pendikar Untan dapat dipertimbangkan

. “Saya tidak mengatakan bahwa Pendikar Un tan harus dihapuskan, yang saya garis bawahi ada lah tugas yang diberikan selama ini berjalan sangat tidak efektif. Menurut saya keluhan dan aspirasi mahasiswa bisa dipertimbangkan agar program ini dapat dievaluasi menjadi lebih baik kedepannya,” harapnya.

Mimbar Untan

Koordinator Pendikar Untan: Program Ini Tidak Mencampuri Urusan Pribadi

Berbagai keluhan tentunya sampai di telinga Riadi Budiman, penggagas utama berdirinya Pen dikar Untan. Merespon hal tersebut, Riadi men gatakan bahwa pada hakikatnya program tersebut tidak hanya memberikan teori pengembangan kar akter, namun bertujuan untuk memotivasi dan me nanamkan kejujuran, yang fokus utamanya agar mahasiswa dapat membiasakan diri untuk mel akukan kewajibannya (read - beribadah).

Berlandaskan dengan tujuan tersebut, Riadi menegaskan bahwa Pendikar Untan merupakan proses pendidikan yang penilaiannya tidak lagi subjektif atau mengarah kepada aktivitas pribadi.

“Kebetulan Pendikar Untan bersifat ibadah agar dapat memotivasi dan menanamkan kejujuran atas apa yang dilaksanakan oleh mahasiswa. Proses pendidikan itu tidak lagi subjektif atau mengarah kepada keprivasian seseorang. Penilaian Pendikar Untan bukan mengambil rata-rata atau mengambil kualitas jumlah laporannya, tetapi kepada pening katan yang dicapai sehingga tidak bersifat kaku,” tegasnya melalui ruang virtual Zoom Meeting (4/12/2021).

Saat ditanya mengenai sistem penilaian Pen dikar Untan Riadi memaparkan bahwa hal tersebut dapat dilihat dari rekam jejak aktivitas mahasiswa yang telah terlapor di Facebook Arsip Pendikar Untan, yang kemudian akan direkapitulasi oleh Sekretaris Keluarga melalui DPNA (Daftar Peser ta dan Nilai Akhir).

“Penilaian dan rekam jejak yang diposting juga bisa diverifikasi oleh setiap orang, karena penila iannya dengan sistem cross check. Saya minta ma hasiswa untuk membuat pertemanan dengan orang tua atau kerabat, jadi dalam status Facebook itu transparan. Bisa dilihat apakah sesuai kenyataan atau tidak, ” tambahnya.

Riadi menceritakan, pernah suatu waktu ia di laporkan oleh seorang mahasiswa berkenaan den gan tugas yang diasumsikan telah memasuki ran ah privasi dan menyayangkan tindakan tersebut.

“Tugas Pendikar itu lebih banyak pada aktiv itas ibadah, padahal itu sebuah kewajiban. Kalau mahasiswa tidak mau melapor, ya jangan kuliah saja. Kuliah kan masing-masing dosen memberi kan tugas, masa ini mahasiswanya protes karena tidak mau melakukannya,” ungkapnya.

Namun hingga akhir perbincangan, Riadi tidak menjawab terkait indikator keberhasilan seorang mahasiswa dapat dikategorikan sebagai karakter terdidik atau tidak, yang masih dirasa abstrak oleh sebagian mahasiswa.

Pendidikan Karakter Tak Harus Dinilai den gan Angka

Tak hanya menjadi perbincangan hangat antar mahasiswa, Pendikar Untan pun menuai banyak tanggapan dari para dosen. Salah satunya ialah Urai Salam, Dosen pengajar di Fakultas Kegu ruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Untan. Ia

memaparkan, konsep pendidikan karakter berbasis keagamaan dan nilai-nilai Pancasila belum cukup relevan untuk diimplementasikan kepada ribuan mahasiswa Untan.

“Sekarang Pendikar Untan bukan menjadi ke giatan membina, tetapi hanya melaporkan rutinitas keseharian. Harusnya disentuhkan langsung den gan proyek sosial secara berkala, konsisten, dan terkonsep dengan baik. Tentu itu akan membangun karakter mahasiswa, kepercayaan diri, dan berko munikasi dengan masyarakat,” ujarnya (2/6/2022).

Ia menambahkan, pada hakikatnya pendidikan karakter yang tidaklah bisa dinilai menggunakan angka seperti mata kuliah pada umumnya. Urai menjelaskan, ada baiknya jika problematika men genai Pendikar Untan ini segera segera diperbaiki.

“Pendidikan karakter seharusnya tidak per lu menggunakan penilaian seperti mata kuliah. Ditekankan saja bahwa program ini merupakan sebuah kewajiban dalam struktur kurikulum, setelahnya dibuatkan saja seperti program sosial, atau inovasi lainnya. Setelahnya, baru diberikan semacam sertifikat partisipasi,” imbuhnya.

Di akhir wawancara, Urai menjelaskan bahwa membangun karakter memerlukan proses yang panjang, tidak hanya berhenti pada sebuah diskusi saja. Ia berharap, jalannya program Pendikar Un tan dan segala masukannya dapat diupayakan agar dapat diimplementasikan kepada mahasiswa.

“Kita berilmu belum tentu berkarakter, sedan gkan karakter itu dapat dilatih. Tidak bisa maha siswa disuruh mendengarkan ceramah dan diberi kan tugas seperti itu (read - laporan ibadah), lalu karakternya terdidik. Membangun karakter harus berproses, berproses harus mengalami, dan men galami tidak hanya bisa berhenti di diskusi saja. Sekarang yang diperlukan adalah mengupayakan agar semua ini berhasil,” tutupnya.[]

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen06 MIMBAR UTAMA
MIMBAR UTAMA Tabloid Mahasiswa
Foto : Facebook

Mimbar Untan MIMBAR KAMPUS

sAMAR-sAMAR PlbK UNTAN

Dalam dunia perkuliahan, terdapat berbagai upaya yang diberikan oleh pihak kampus untuk meningkatkan kualitas ma hasiswanya. Upaya-upaya tersebut pun diimplementasikan dengan berbagai program, salah satunya ialah menghadirkan layanan bimbingan konseling yang berguna untuk membantu mahasiswa mengembangkan potensi diri, mengatasi masa lah akademik, masalah sosial, dan masalah pribadi yang dirasa dapat berpengaruh terhadap perkembangan akademik mahasiswa. Layanan tersebut pun diterapkan pula oleh Universitas Tanjungpura (Untan), yang resmi menjadi program di bawah naungan Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Untan sejak tahun 2016. Namun sayangnya, layanan ini tidak berjalan dengan maksimal dikarenakan berbagai faktor, seperti kurangnya anggota yang menjadi konselor, dukungan kampus yang kurang, hingga minimnya sosialisasi bimbingan konseling membuat PLBK Un tan ini samar-samar diketahui oleh mahasiswa.

Pusat Layanan dan Bimbingan Konseling (PLBK) Untan merupakan lembaga yang ditugasi melaksanakan proses pemberian bantuan secara sistematis dan intensif kepada ma hasiswa dan/atau seluruh civitas akademika Untan dalam rangka pengembangan pribadi, studi dan karirnya yang dilakukan oleh konselor atau dosen pembimbing akademik.

Lembaran awal sejarah PLBK Untan bermu la sekitar pada tahun 1980-an yang diketuai oleh Suhardi Fatah. Seiring berkembangnya, layanan ini sempat ditiadakan sementara karena pihak kampus dikarenakan memandang saat itu PLBK Untan dirasa belum begitu diperlukan. Namun di tahun 2016, layanan tersebut diberlakukan kem bali di bawah naungan LP3M Untan, menimbang

harus terpenuhinya keperluan akreditasi dan untuk terpenuhinya pelayanan terhadap mahasiswa ber sifat non-akademis.

PLBK Untan diisi oleh 8 anggota yang berkec impung dalam ilmu sosiologi, psikologi, dan ahli bimbingan tersebut, dengan mengusung beberapa program, diantaranya adalah sebagai berikut:

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 07
MIMBAR KAMPUS
infografik : Atna

Mimbar Untan MIMBAR KAMPUS

Tidak Maksimalnya Pelayanan PLBK Untan

Program bimbingan konseling ini tak selaman ya berjalan mulus. Seperti yang disampaikan oleh Luhur Wicaksono selaku Ketua PLBK Untan, awalnya ia ingin menerapkan konselor di setiap fakultas agar layanan ini dapat sampai ke seluruh mahasiswa. Namun niat baik tersebut pun tak disambut indah oleh Untan. Luhur menjelaskan bahwa dukungan dan pendanaan merupakan fak tor penghambat paling yang membuat pelayanan PLBK Untan terlaksana kurang maksimal.

“Kendala membentuk konselor di setiap fakul tas ini karena pihak Untan tidak bisa mendukung atau mendanai. Statuta Untan tidak memperboleh kan kita membentuk unit layanan bimbingan kon seling di setiap fakultas, dan menganggap akredi tasi itu sudah diwakili dari bimbingan konseling universitas,” ungkapnya (18/8/2022).

Tak hanya itu, Luhur juga mengatakan bahwa kurangnya keanggotaan dalam memberikan kon selor terhadap mahasiswa juga membuat kelelua saan gerak PLBK Untan menjadi terbatas. Dengan berisikan 9 anggota, PLBK Untan cukup kewala han untuk menangani 30 orang mahasiswa dalam sebulan.

Melihat hal tersebut, Reporter Mimbar Untan mencoba menemui Radian selaku Wakil Rek tor Bidang Akademik di Gedung Rektorat Untan (24/8/2022) untuk dimintai keterangannya tentang jalannya layanan PLBK Untan selama ini. Namun Radian menolak untuk diwawancarai dengan dalih bahwa layanan tersebut bukanlah dibawah naun gannya.

Padahal jika merujuk kepada lembar identifika si BK Nomor 01/PT/2020 tentang SOP PLBK Un tan, hadirnya layanan ini secara resmi telah disetu jui oleh Radian. Ketidakterbukaan informasi ini pun menyulitkan reporter untuk mengulik lebih dalam tentang sengkarut yang ada dalam layanan ini.

Pentingnya Layanan Bimbingan Konseling

Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia mencoba un tuk mendokumentasikan keresahan mental remaja di periode transisi 16-24 tahun dari seluruh Indo nesia termasuk mahasiswa melalui survey online.

Kesehatan jiwa atau mental menurut Un dang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang kese hatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu mem berikan kontribusi untuk komunitasnya.

Dalam dokumentasi tersebut, sebanyak 95,4% menyatakan bahwa mereka pernah mengalami ge jala kecemasan (anxiety), dan 88% pernah men galami gejala depresi dalam menghadapi permasa lahan selama di usia ini.

Selain itu, dari seluruh responden, sebanyak 96,4% menyatakan kurang memahami cara men gatasi stres akibat perubahan-perubahan yang mereka alami ketika memasuki masa peralihan dari masa anak ke remaja dan juga remaja ke de

wasa sehingga memunculkan berbagai konflik dari beragamnya perubahan di masa transisi.

Dari hal itu, (LK) seorang pasien konseling PLBK Untan yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa keberadaan layanan bimbin gan konseling di kampus sangat penting dan seha rusnya dapat mengakomodasi seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. Namun sangat disayangkan, min imnya informasi mengenai kehadiran PLBK Un tan juga membuat banyak mahasiswa yang tidak mengetahui adanya layanan bimbingan konseling.

“Selama ini banyak mahasiswa yang menge luh karena merasa tidak ada layanan bimbingan konseling. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sebenarnya ada layanan yang menaungi itu, tapi karena sosialisasinya kurang, jadi mahasiswa dari fakultas lain banyak yang tidak tau,” ujarnya saat diwawancarai melalui pesan WhatsApp.

Melihat hal tersebut, Luhur berharap agar Un tan dapat membantu PLBK Untan untuk menduku ng program-program yang telah mereka canang kan, menimbang keterbukaan informasi mengenai adanya layanan bimbingan konseling ini harus ter us diupayakan.

“Harapannya harus ada unit bimbingan kon seling tingkat fakultas. Misalnya pun tidak ada, saya mau dari setiap fakultas ada satu orang me wakili di dalam kepengurusan PLBK Untan untuk menjadi tangan-tangan kita dalam menjalankan program,” tutupnya.

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen
08
Illustrasi : Freepik.com

Mimbar Untan

Pendidikan Toleransi

Menjadi Fondasi,

Menuju Pontianak Tanpa Pengucilan

Oleh: Tri Pandito Wibowo, Ersa Dwiyana, Lulu Van Salimah Kebijakan Publik Pemerintahan di Kota Pontianak dengan Perspektif Pluralisme Kewarganegaraan”.

Pontianak, sebuah kota yang menjadi ibukota Kalimantan Barat. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil (Disdukcapil) Kota Pontianak pada Februari 2022, kota ini memiliki 672,727 jumlah penduduk yang terdiri dari beragam etnis, suku, dan agama yang tersebar di enam kecamatan.

Pontianak sebagai kota yang berdekatan den gan beberapa pusat perdagangan regional, mem posisikannya sebagai daerah yang didatangi oleh penduduk dari beberapa wilayah. Tak hanya itu, sejarah peristiwa konflik antar-kelompok etnis juga menjadi alasan kota ini menjadi kawasan mi grasi penduduk.

Tercatat, sejak tahun 1963 telah terjadi seban yak dua belas kali konflik, terutama konflik antar etnis dan suku. Dengan memiliki sejarah konflik yang telah terjadi, Pontianak mempunyai pek erjaan rumah yang kompleks untuk menjadikan kota ini sebagai rumah bersama, tempat bernaung bagi masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda.

Ningsih Lumbantoruan, seorang penggiat dari Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) menjelaskan bah wa Pontianak mempunyai sejarah konflik yang saat ini masih membekas bagi banyak orang. Ia juga berpendapat bahwa penyelesaian konflik ser ingkali hanya dilakukan di tingkat elitis, sehingga tidak terselesaikan ke akar permasalahannya.

“Contoh kasus, kita melihat Pontianak memi liki konflik yang berulang saat menjelang pemi lu. Polanya selalu sama, masyarakat jadi mudah terpantik dalam isu etnis dan agama,” ujarnya (21/6/2022).

Berkaca dari upaya penyelesaian konflik yang cenderung elitis dan hanya melalui antar tokoh masyarakat, ia merasa perlunya regulasi yang mengatur penyelenggaraan toleransi dalam ke hidupan bermasyarakat. Berangkat dari hal itu, SAKA melakukan sebuah riset berjudul “Analisis

Riset tersebut dilakukan melalui proses pemba hasan 930 dokumen Peraturan Daerah dan Pera turan Walikota. Kemudian dilakukan pula anali sis menggunakan ukuran pluralisme kewargaan, dimana suatu kebijakan dikatakan toleran jika mencakup aspek Redistribusi, Rekognisi dan Rep resentasi (3 Re).

Pendidikan, Salah Satu Tiang Utama dalam Pe numbuhan Toleransi

Subandri Simbolon, seorang akademisi pen didikan dari Sekolah Tinggi Agama Katolik Neg eri (STAKatN) Pontianak, yang turut bergabung dalam penyusunan Ranperda Penyelenggaraan Toleransi di Kota Pontianak menjelaskan bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat pent ing dalam menguatkan nilai-nilai kebhinekaan. Hal ini dikarenakan pendidikan yang dibalut den gan nilai-nilai toleransi sejak dini dapat memutus sumbu yang dapat menimbulkan kejadian intoler an di masa yang akan datang.

“Kalau hilirnya kan Pontianak toleran, tapi bagaimana dengan hulunya itu. Pendidikan men jadi salah satu hulu membentuk masyarakat ini, di sini kita sasar pendidikannya itu misalnya dika takan mengintegrasikan toleransi dalam semua pembelajaran dan praktik pembelajaran di seluruh jenjang pendidikan di bawah kota Pontianak,” un gkapnya (8/7/2022).

Dalam naskah Ranperda pada Bab III tentang Pencegahan Intoleransi, salah satu tindakan untuk mencegah terjadinya intoleransi di masyarakat dapat dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan. Pencegahan ini pun dilakukan dengan berkoordi nasi dengan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Oleh karena itu, dalam konteks cakupan wilayah, pengintegrasian nilai-nilai toleransi da

lam pendidikan di Pontianak dapat dilakukan mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah atas, tetapi tidak dengan pendidikan tinggi karena tidak berada di bawah naungan dinas pendidikan kabupaten/kota. Na mun, terlepas dari pendidikan formal, penanaman nilai-nilai toleransi dalam Ranperda ini juga dapat dilakukan dalam pendidikan nonformal. Hal ini guna mengupayakan meratanya penanaman nilai toleransi di masyarakat.

“Jangan nanti kita tuntut kota Pontianak men gurus perguruan tinggi, perguruan tinggi kan dari pusat kan. Jadi yang kita sasarkan di sini adalah bagaimana kemudian pencegahan itu dimulai dari Pendidikan. Nah pendidikan ini tidak kita batasi dengan sekolah, tapi formal dengan informal,” im buhnya.

Membahas pendidikan informal, Pendiri Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM) Kalimantan Barat, Subro menjelaskan, bahwa penanaman nilai-nilai toleransi dalam pendidikan informal dapat dilaku kan melalui kegiatan-kegiatan yang berbasis mul tikultural. Ia menganggap kegiatan-kegiatan terse but dapat membentuk perspektif baru bagi banyak orang dan dapat memutus stereotip yang saat ini masih melekat di masyarakat.

“Toleransi yang kita maksud kan yaitu kita ingin yang sub stantif tidak yang sekadar formalitas karena ingin anakanak diajari toleransi yang tidak lagi berpikir mayoritas minoritas, tetapi berpikir bah wa kita dalam konteks warga negara yang setara,”

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 09
MIMBAR KHUSUS
MIMBAR KHUSUS Tabloid Mahasiswa
Foto : Tri Pandito

Tabloid Mahasiswa

Mimbar Untan MIMBAR KHUSUS

Menilik Konsep Pelaksanaan Ranperda di Dunia Pendidikan

Raperda yang telah disahkan untuk men jadi Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Kota Pontianak Tahun 2022 pada November 2021 lalu ini tentunya menjadi sebuah pemacu untuk memberikan kebaruan dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat di Pon tianak, khususnya dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu Subandri menganggap bahwa Ranperda ini harus dijalankan secara bersama-sama dan sal ing berintegrasi dengan pihak pemerintah selaku pemangku kebijakan.

“Kalau bisa peraturan ini kita arahkan betapa penting toleransi ini, jangan hanya omongan be laka. Harus ada keberpihakan pemerintah, paling tidak satu peraturan itu menjadi ruang gerak kita, alasan kita untuk bergerak,” jelasnya.

Membahas terkait konsep pelaksanaan, Pasal 25, 26 dan 27 dalam Ranperda ini menjelaskan bahwa pengintegrasian nilai-nilai toleransi da lam bidang pendidikan dapat dilakukan dengan mengembangkan materi muatan lokal maupun materi pelajaran lain tentang toleransi bagi sekolah formal maupun nonformal. Selain itu, kurikulum tersebut wajib diterapkan bagi setiap lembaga pen didikan yang berada di bawah naungan perangkat daerah.

“Misalnya dari sistem kurikulum, toleransi itu memang sudah menjadi dasar, tapi operasionalnya kan tidak. Untuk pendidikan dasar ya tergantung pemerintah daerah, kota Pontianak yang menurut kami sangat perlu untuk memikirkan itu,” tambah nya.

Subandri juga berpendapat bahwa konsep pelaksanaan tersebut dapat dilakukan dengan membuat sebuah metode pembelajaran tematik, di mana beberapa pelajaran dapat digabungkan un

tuk membahas suatu tema dan kemudian dihubu ngkan dengan nilai-nilai toleransi.

“Misalnya bagaimana pendidikan kewargane garaan yang mendidik anak-anak menjadi nasion alis begitu ya, digabungkan dengan pendidikan agama, supaya pendidikan agama ini tidak terko tak-kotak. Melainkan, melihat pendidikan agama itu dengan konteks keIndonesiaan, kan ini yang sangat jarang,” jelasnya.

Terlepas dari konsep pembelajaran yang di usung, tenaga pendidik merupakan suatu hal pent ing dan tidak dapat dilupakan dalam proses ini. Subandri menjelaskan bahwa nantinya harus ada wadah untuk pelatihan bagi tenaga pendidik yang dapat meningkatkan partisipasi para pengajar. Hal ini senada dengan pasal 29 dan 30 dari Ranperda Penyelenggaraan Toleransi di Kota Pontianak, di mana pasal tersebut membahas tentang pemban gunan kapasitas tenaga pendidik yang akan men jadi pengajar di sekolah yang menerapkan kuriku lum toleransi tersebut.

Untuk konsep pelaksanaan dalam pendidikan nonformal, Subro menjelaskan bahwa metode pembelajaran dapat dilakukan dengan melakukan pertemuan-pertemuan antar komunitas yang ber beda kultur ataupun etnis dan melakukan kegiatan pembelajaran bersama agar dapat merasakan dan menerapkan nilai toleransi secara langsung. Ia juga menceritakan pengalamannya dalam membuat sebuah kegiatan pengajaran nilai toleransi yang dapat diadaptasi untuk konsep pelaksanaan pen didikan toleransi dalam pendidikan informal ini.

“Kami punya pengalaman dimana sejak tahun 2010 itu bersama teman- teman yang terdiri dari berbagai lembaga aliansi untuk perdamaian dan toleransi membuat project pengajaran muatan lokal pendidikan multikultural di sekolah-sekolah yang merupakan sekolah homogen, dalam artian di situ mayoritas suku tertentu atau agama terten

tu. Jadi kami masuk di situ, mengajarkan toleransi, mengajarkan keragaman dan mengajarkan multi kulturalisme,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga merasa bahwa kegiatan-ke giatan yang menyisipkan nilai toleransi di dalam nya juga dapat menjadi pemacu untuk menarik minat masyarakat, khususnya anak muda untuk belajar tentang toleransi. Ia menegaskan, hadirnya Raperda ini berlandaskan kebutuhan masyarakat di Pontianak, bukan sekadar tren atau kepentingan sesaat.

Subro beranggapan bahwa dengan adanya Ranperda ini mampu memperkuat pembangu nan karakter di bidang pendidikan, baik itu di sekolah formal maupun informal dan dapat me lengkapi kekurangan peraturan daerah sebelum nya yang masih kurang dalam menanamkan nilai toleransi di masyarakat. Selain itu ia juga merasa bahwa anak-anak muda harus mampu membuat forum-forum perjumpaan antar masyarakat dan membuat kajian-kajian dalam pertemuan tersebut sebagai salah satu bentuk proses pembelajaran.

Terakhir, ia berharap agar Ranperda ini dapat segera disahkan oleh DPRD Kota Pontianak agar dapat menjadi segera diaplikasikan dalam kehidu pan sosial bermasyarakat di Kota Pontianak untuk menjadikan Pontianak sebagai rumah bersama.

“Saya berharap segera mendapat pengesahan sehingga pemerintah bersama masyarakat dapat bergandengan tangan bagaimana mensosialisasi kan ini kepada masyarakat, bagaimana masyar akat tercerahkan, dan bagaimana anak didik kita mendapatkan pendidikan toleransi yang baik di masyarakat. Anak-anak pun terus menularkan itu ke lingkungan sekitarnya,” tutupnya.

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen
10
MIMBAR KHUSUS

Lika-Liku Kaku Birokrasi Kampus

Universitas Tanjungpura (Untan) sudah mulai dikenal pada taraf nasional meski pun masih banyak pihak yang meremeh kan performa Untan ini. Namun jika ditilik kem bali, persaingan masuk ke Untan dari berbagai jalur tergolong sulit dan tidak bisa diremehkan. Pada masa saya mendaftar di Untan, banyak teman SMA seangkatan saya yang mengikuti seleksi na mun gagal dan berujung di universitas swasta. Ya memang, merupakan sebuah kebanggaan bagi saya menjadi salah satu mahasiswi di universitas negeri terbaik di Kalimantan Barat. Walaupun predikat universitas terbaik pun masih agak ber lebihan menurut saya. Tidak ada yang sempurna, begitu kata pepatah.

Saya rasa apa yang akan saya sampaikan be berapa paragraf ke depan bukan menjadi keresa han yang muncul dari hati saya sendiri, anggap saja ini rahasia umum yang diterjemahkan men jadi serangkaian kata. Saya sendiri pun sebenarn ya bingung harus memulainya dari mana. Namun sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Teknik Untan yang hemat dan hidup sederhana, sebagian besar kami diresahkan dengan permasalah biaya perkuliahan. Beberapa waktu lalu, prodi kami sempat kedatangan tamu dari universitas negeri di Maluku. Kami pun sedikit berbagi tentang biaya perkuliahan masing-masing, dimana ternyata den gan jurusan yang sama dan sama-sama merupakan prodi baru di universitas masing-masing, biaya perkuliahan kami berbanding 1:5.

Iri? Tentu. Namun ya bagaimana lagi. Kami masih berusaha berfikir positif, sebagai orang awam kami hanya mengira-ngira bahwa itu mer upakan salah satu program pemerintah dalam mendukung pendidikan di Indonesia Timur. Tapi, agak riskan tentunya, bahwa pada kenyataannya pendidikan di Kalimantan ini juga cukup miris keadaannya. Pemerataan yang pemerintah upaya kan masih jauh dari kata sempurna. Di saat ber samaan, dengan biaya perkuliahan yang fantastis itu, beasiswa yang ditawarkan dari pemerintah maupun lembaga lain pun tak cukup melegakan. Bagaimana tidak? Sepengetahuan saya, beasis wa yang menjamur di luar sana sebagian besar diperuntukkan untuk anak dari pegawai swasta. Sementara kami anak pegawai negeri dinilai dan dikategorikan sebagai orang kaya dan berkecuku pan. Apalagi program keringanan UKT yang ter dengar sebagai kalimat penghibur di telinga saya, karena pada kenyataannya proses pengajuannya begitu rumit dan peluang bagi kami anak PNS be gitu kecil dan nyaris mustahil.

Padahal kalau dipikir-pikir, gaji bapak saya sebagai PNS hanya berkisar 5 juta rupiah untuk tanggungan 5 orang dalam keluarga. Ini tentunya mengalami kesenjangan dengan para mahasiswa yang orang tuanya merupakan wiraswasta den gan pendapatan yang mudah dimanipulasi untuk memperoleh keringanan dan lain sebagainya. Saya tidak mengatakan bahwa semua anak wiraswasta melakukan manipulasi data, masih banyak yang jujur dan melampirkan jumlah gaji orang tuanya sebagaimana adanya. Namun tentu ada pula ok num mahasiswa yang melakukan hal tersebut, sebut saja seorang kenalan saya si A yang memper oleh UKT II padahal sepengetahuan kami teman sepermainannya, orang tuanya punya usaha yang cukup sukses sebagai wiraswasta. Tapi ya sudahl ah. Tidak ada juga gunanya menaruh iri pada ok num yang melakukan kecurangan. Hanya sangat disayangkan bahwa keringanan UKT yang susah payah disediakan pihak universitas jadi tidak tepat sasaran.

Masih soal biaya perkuliahan. Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, selama feedback yang kami terima juga sepadan. Namun pada prakteknya, itu tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Kalau mau band ing membanding, secara fisik tentunya mahasis wa dan awam dapat mengkategorikan beberapa fakultas yang terawat, fasilitas memadai dan enak dipandang mata. Padahal kalau dipikir-pikir, kami juga membayar biaya kuliah yang bahkan jauh lebih besar dari fakultas-fakultas keren itu. Kami tidak sepenuhnya menyalahkan pihak kampus, tapi mungkin memang perlu dilakukan pemer ataan dalam manajemen masing-masing fakultas supaya tidak terjadi kesenjangan antar fakultas da lam Untan ini.

Kesenjangan antar fakultas ini tidak hanya kami rasakan dalam hal biaya perkuliahan, na mun juga pelayanan dalam administrasi maupun akademik fakultas. Bukan rahasia umum lagi, di salah satu fakultas di untan, sebut saja fakultas A, saya mendengar keluhan para mahasiswanya mengenai betapa sulitnya mereka untuk menemui pihak pelayanan akademik maupun administrasi di fakultasnya. Kadang mereka harus menunggu berjam-jam, sementara pegawai yang ada sedang asyik nonton YouTube di balik ruangan. Hanya untuk menyerahkan satu berkas saja, kami harus menunggu dari pagi-pagi sekali sampai terik mata hari menyengat tubuh, dan bahkan belum tentu pegawai yang dituju langsung melayani kami ke tika tiba di fakultas. Apalagi ketika mengurus ke

ringanan UKT atau cuti kuliah, dibutuhkan 2 hari bahkan lebih, hanya karena menunggu para pega wai yang tidak mengapresiasi waktu saja. Hal ini sangat jauh berbeda dengan cerita yang saya dap at dari teman di fakultas B, yang dapat mengurus cuti kuliah hanya dalam waktu satu atau dua jam saja dengan pelayanan yang begitu memuaskan, dimana mahasiswa diarahkan secara jelas menge nai langkah-langkah dalam mengurus administrasi tersebut hingga selesai.

Sekali lagi, kami mahasiswa merasa perlu dilakukannya pemerataan pelayanan dan fasilitas antar fakultas di Untan karena kesenjangan yang kami rasakan sangat meresahkan.

Jika feedback yang kami terima sebanding den gan biaya yang kami keluarkan, tentunya kami tidak akan mempermasalahkan isu ikan-ikan di taman yang menurut sebagian besar orang dinilai tidak perlu dan membuang anggaran saja. Saya rasa itu hanya merupakan ungkapan keresahan mahasiswa yang merasa uang kuliahnya di pe runtukkan untuk hal-hal non akademik yang tidak urgent. Saya pribadi malah senang-senang saja dengan tampilan Untan yang tambah estetik dan rapi, ya selama pembangunan yang dilakukan da lam kampus merata dan memprioritaskan hal yang penting.

Terlepas dari semua ketidaksempurnaan kam pus tercinta kita, saya bangga menjadi bagian dari Untan. Saya menyayangkan oknum mahasiswa yang hanya bisa mengeluh dan menuntut pihak kampus tanpa kesadaran untuk mengupgrade diri sendiri. Misalnya oknum mahasiswa yang menge luh mengenai akreditasi jurusan maupun fakul tasnya yang tidak naik, padahal tidak upaya priba di untuk berprestasi dan mempermudah kenaikan akreditasi jurusan maupun fakultasnya.

Untan bisa menjadi jauh lebih baik dari seka rang jika semua pihak bahu membahu memper baiki aspek-aspek yang masih memiliki kecacatan. Semoga Untan bisa berpartisipasi besar dalam menaikkan standar pendidikan di Kalimantan khususnya Kalimantan Barat. Harapan terbesar adalah semoga saran dan kritik yang disampaikan tidak hanya berlalu sia-sia dapat bermanfaat bagi semua pihak.[]

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 11 MIMBAR OPINI Mimbar Untan MIMBAR OPINI Tabloid Mahasiswa

Berdayakan Potensi Lokal Sejak Dini Melalui

Kurikulum Gambut

Oleh: Ersa Dwiyana, Abang Hendy Fuady, Tri Pandito Wibowo

Muatan lokal merupakan sebuah bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal, hal ini dimaksudkan agar pemaha man peserta didik tentang keunggulan dan kearifan di tempat tinggalnya dapat terbentuk sejak dini. Muatan lokal menjadi sebuah instrumen edukatif yang dirasa tepat guna membangun pola pikir peserta didik, seperti pemaha man terhadap pentingnya perlindungan lingkungan sejak dini melalui kuri kulum muatan lokal.

Sesuai dengan perwujudan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 38 Ayat 1 yang berbunyi “pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan dengan keadaan serta kebutuhan dan ciri khas satuan pendidik”. Meninjau hal tersebut, terbit pula sebuah Pera turan Bupati Kubu Raya Nomor 6 Tahun 2015 tentang muatan lokal yang berisikan materi-materi keagamaan di luar dari materi mata pelajaran formal yang ada. Namun, sangat disayangkan bahwa saat ini kurikulum muatan lokal tersebut belum memasukkan pendidikan lingkungan, khususnya berk enaan dengan perlindungan/pengelolaan gambut dan mangrove yang men jadi potensi lokal di Kubu Raya.

Oleh karena itu, terbentuklah sebuah rencana pembuatan kurikulum muatan lokal yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ada. Hal ini diharapkan dapat menjadi ruang edukasi untuk mengenal, mengelola, ser ta menjaga lahan gambut dan mangrove sehingga dapat meningkatkan

ekonomi masyarakat.

Hadirnya Kurikulum Muatan Lokal di Kubu Raya

Kurikulum muatan lokal ini telah dirancang melalui proses yang panjang, yakni sejak November 2021 melalui proyek Peat-IMPACTS oleh Lembaga Penelitian World Agroforestry (ICRAF) Indonesia. Dengan menggandeng Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kubu Raya, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Indonesia, Blue Forests, serta World Wild life Fund (WWF) Indonesia, proyek ini bertujuan untuk mendukung perwu judan pengelolaan gambut berkelanjutan dan memperkuat kapasitas teknis.

Sebagai penggagas utama, ICRAF Indonesia menjelaskan bahwa hadirnya kurikulum gambut tersebut selaras dengan misi yang sedang mereka gaung kan, yaitu “menghasilkan pengetahuan tentang berbagai peran pohon di la han-lahan pertanian pada skala bentang lahan dan pemanfaatannya dalam keputusan serta penerapan di lapangan, sehingga bermanfaat bagi masyar akat miskin dan lingkungan”.

Disampaikan oleh Nurhayatun Nafsiah sebagai salah satu fasilitator ICRAF Indonesia, kurikulum muatan lokal berbasis gambut dan mangrove ini mer upakan ilmu pengetahuan yang dalam implementasinya nanti akan diinte grasikan dengan mata pelajaran umum, khususnya untuk siswa tingkat SD dan SMP di Kubu Raya.

Hadirnya kurikulum gambut menciptakan feel impact, yakni pengenalan potensi lokal sejak dini kepada anak melalui bangku sekolah agar dapat menumbuhkan pengetahuan mengenai pengelolaan dan manfaat dari lahan gambut dan man grove kepada masyarakat di masa depan,” jelasnya saat diwawancarai di ruang virtual (17/5/2022).

Fasilitator ICRAF Indonesia Nurhayatun Nafsiah

Dari kacamatanya, Nafsiah mengatakan bahwa pengetahuan tentang pengelolaan gambut dan mangrove selama ini belum tersosialisasikan den gan baik. Oleh karena itu, ICRAF Indonesia mencoba menginisiasikan pembangunan kurikulum muatan lokal tersebut dengan membentuk 13 tim penyusun, yang melibatkan beberapa sekolah yang secara geografis bersen

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen

tuhan langsung dengan kondisi gambut dan mangrove, stakeholder, juga pe mangku kepentingan.

Tim penyusun tersebut kemudian mencoba mengimplementasikan kuri kulum muatan tersebut terhadap beberapa sekolah yang ada di Kubu Raya, diantaranya:

12
MIMBAR
LINGKUNGAN Mimbar Untan MIMBAR LINGKUNGAN Tabloid Mahasiswa
Foto : Tri Pandito

Mimbar Untan

Nafsiah melanjutkan, sekolah-sekolah yang akan menjadi uji coba kuri kulum muatan lokal tersebut akan mendelegasikan beberapa guru, yang kemudian akan diberikan Bimbingan Teknis (Bimtek)

“ICRAF Indonesia sendiri sudah menyediakan materi untuk tim peny usun, pengayaan materi ini bertujuan untuk mempermudah penyusunan ba han ajar yang diperlukan kurikulum. Nanti sebelum uji coba ke sekolah, kita juga mengadakan Bimtek terhadap guru-gurunya,” ungkapnya.

Tahapan dan Tantangan Pembuatan Silabus

Gambut merupakan ekosistem yang unik dan membutuhkan praktek pengelolaan yang baik agar fungsinya bisa tetap lestari. Walau begitu, gam but kerap kali mengalami “Cinderella Syndrome” yang membuat ia tidak dikenal karena tidak disayangi. Berangkat dari sanalah, banyak sekali kepu tusan yang kurang tepat diambil karena ketidaktahuannya tentang gambut dan keunikannya. Melihat hal tersebut, Muhammad Ayub selaku Kepala Di nas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kubu Raya mengatakan bahwa perlu adanya sebuah dukungan khusus terhadap potensi lokal, salah satunya ialah melalui peran pendidikan.

Perumusan kurikulum muatan lokal ini diawali dengan merumuskan sebuah regulasi baru dan silabus. Adapun model silabus yang akan ditawar kan oleh tim penyusun ialah dengan mengintegrasikan tiga mata pelajaran, yaitu IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia.

“Kita tidak menyiapkan indikator khusus, jadi indikator keberhasilannya ini masuk ke dalam muatan materi ajar yang kita ganti menjadi gambut dan mangrove selama itu selaras. Kalau indikator teknis mengenai keberhasilan kurikulum ini mampu dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran, itu akan kita buatkan rumusan tentang langkah-langkah pembelajaran,” jelasn ya.

Ayub memaparkan, masuknya kurikulum muatan lokal tersebut akan di integrasikan pada beberapa sub bab materi pelajaran, yaitu:

Dalam masa pengembangannya, Ayub menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok sekolah yang akan menjadi sekolah uji coba berdasarkan kategori kawasan. Pertama kawasan yang bersentuhan langsung dengan mangrove, kedua sekolah-sekolah yang terletak di kawasan gambut, dan yang ketiga adalah sekolah yang tidak mempunyai potensi lokal gambut dan mangrove.

“Targetnya tidak hanya masyarakat yang berada di wilayah potensi lokal saja yang tau gambut dan mangrove, tapi seluruh masyarakat di Kubu Raya. Kemudian dari tiga kategori wilayah tersebut kita evaluasi ada perbedaan tidak, baik dari segi guru dalam menyampaikan materi, maupun siswa yang menerima ilmu,” jelasnya.

Sebagai salah satu sekolah uji coba, Sukasman selalu Kepala Sekolah SMP 3 Sungai Kakap memaparkan bahwa kurikulum muatan lokal ini san gatlah penting untuk melestarikan gambut dan mangrove. Sembari memba has kurikulum tersebut, Sukasman menceritakan beberapa kejadian kurang mengenakkan yang pernah terjadi di lahan mangrove, seperti penebangan liar yang terjadi di Batu Ampar, dan pembakaran lahan di area gambut. Bag inya, kurikulum muatan lokal ini dapat menjadi tonggak harapan baru untuk keberlangsungan kelestarian alam apabila dapat diimplementasikan dengan baik.

“Nanti kurikulum ini mungkin akan mengajarkan juga bahwa mening katkan ekonomi harus diimbangi juga dengan kelestarian alam. Jika sedari awal sudah dipupuk dengan pemahaman tentang gambut dan mangrove, anak-anak akan memberikan rasa memiliki terhadap lingkungannya,” tut upnya.[]

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 13
MIMBAR
LINGKUNGAN
MIMBAR LINGKUNGAN Tabloid Mahasiswa
Infografik
: Atna Foto : ICRAF

Mimbar Untan

Punya Mental Illness Tak Seindah Itu: Romantisasi Gangguan Mental

Oleh: Yoga Indrawan dan Fathana Nuranti

Apa yang kamu pikirkan ketika melihat sebuah konten di media sosial yang beri si tentang masalah kesehatan mental dan

ciri-cirinya? Apakah setelah itu kamu merasa memiliki masalah mental dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang keren? Jika kamu mera sa seperti itu maka kamu merupakan orang yang meromantisasi masalah kesehatan mental. Ta hukah kamu bahwa kebiasaan meromantiskan gangguan mental yang menjadi tren itu memiliki dampak yang buruk dan hal tersebut tidak dapat disepelekan karena dampak yang ditimbulkannya? Sadari dan hentikan sekarang juga.

Jika melihat perkembangan tren mengenai masa lah kesehatan mental di media sosial dapat menye babkan timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Timbulnya kesadaran kolektif menjadi hal yang sangat perlu diapresiasi, tapi sayangnya

Hal tersebut bisa diapresiasi karena timbulnya kesadaran kolektif, tapi sayangnya tren tersebut menjadi kesempatan pada beberapa orang untuk melakukan self-diagnosis. Padahal, dibutuhkan diagnosis dari profesional seperti psikiater agar seseorang dapat dinyatakan mengalami masalah kesehatan mental yang berat, seperti Bipolar.

Edukasi yang berkaitan dengan dunia psikologi disebut pula sebagai Psikoedukasi, dikutip dari Jurnal Carrade, menyatakan bahwa psikoedukasi dapat didefinisikan sebagai suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, mem bantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keteram pilan coping untuk menghadapi tantangan terse but. Psikoedukasi adalah treatment yang diberikan secara profesional mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFar lane, 2004). Harapannya, akan muncul kesadaran tentang pentingnya memperhatikan dan menjaga kesehatan mental. Namun, psikoedukasi ini ser ing disalahartikan oleh beberapa untuk melakukan self-diagnosis tanpa berkonsultasi dengan profe sional.

Berdasarkan data yang telah penulis kumpulkan sebanyak 43,9% responden mengatakan memi liki masalah kesehatan mental dengan 55,6% re sponden mengatakan bahwa mereka mendiagnosis memiliki masalah kesehatan mental melalui me dia sosial sedangkan yang mendapatkan diagnosis langsung dari profesional hanya 5,6%. Berdasar kan data tersebut, sangatlah mengkhawatirkan karena sebagian besar koresponden melakukan self-diagnosis. Jika fenomena ini tidak segera di

hentikan maka efek yang ditimbulkan sangatlah besar.

Self-Diagnosis tidaklah seharusnya dilakukan, karena untuk mendiagnosis seseorang memiliki masalah kesehatan mental haruslah dilakukan oleh seorang Psikiater atau Dokter Spesialis Kejiwaan yang memang memiliki kewenangan untuk men diagnosis seseorang apakah memilih gangguan mental atau tidak. Lantas seberapa burukkah mer omantisasikan sebuah gangguan mental?

Pergeseran Makna Kesehatan Mental

Sebelum teknologi berkembang seperti seka rang, pemahaman masyarakat tentang masalah kesehatan mental masih sangat awam sehingga membicarakan tentang kesehatan mental tidak jarang mendapatkan anggapan bahwa “jika men gunjungi psikolog, seseorang akan dikatakan gila” sehingga memunculkan stigma dan membuat ses eorang enggan untuk mencari bantuan profesional.

Tak hanya itu, banyak alasan yang menjadikan seseorang melakukan self-Diagnosis terkait masa lah kesehatan mental, salah satunya dikarenakan lingkungan sekitar yang tidak mendukung untuk menjadi pendengar yang baik dan mengurai “be nang kusut” yang ada di kepala. Terkadang, ada pula yang menjadikan keluhan kesehatan mental sebagai ajang adu nasib.

Viva, seorang Psikolog Klinis yang saat ini juga menjadi Dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak pada Program Studi Psikologi Islam menjelaskan bahwa kesehatan mental mer upakan kondisi dimana seseorang dalam kondisi ‘sejahtera’ dan sifatnya subjektif. Jika terdapat seseorang yang mengatakan kesehatan mentalnya terganggu, hal itu dapat disebut sebagai ganggu an kesehatan mental. Penggunaan kata kesehatan mental dalam makna ilmiah artinya mereka masih

mampu untuk menemukan penyelesaian masalah dalam hidupnya sendiri.

Pergeseran makna yang terjadi saat ini karena banyaknya konten edukasi tentang Ilmu Psikolo gi Mental yang membuat seseorang mendiagnosa dirinya sendiri tanpa adanya penanganan dari pro fesional.

“Tujuan dari para psikolog memberikan eduka si, apabila remaja merasa adanya gejala yang mirip atau bahkan sama dengan apa yang disam paikan di konten edukasi itu. Maka artinya itu se bagai sinyal atau tanda bagi tubuh bahwa diri kita sedang tidak baik-baik saja dan kita perlu mendap atkan ‘diagnosa’ dari profesionalnya dengan pergi ke psikolog,” jelasnya.

Bahaya Romantisasi Gangguan Mental

Kini, teknologi yang sudah berkembang pe sat membuat orang-orang bisa dengan bebas dan mudah untuk mengakses informasi apapun, tetapi hal ini juga dapat menjadi “dua sisi mata uang”. Pada sisi positifnya, kemudahan untuk mengak ses informasi membuat seseorang itu lebih peduli akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Akan tetapi di lain sisi, mudahnya mengakses informasi itu juga dapat berpotensi membuat seseorang den gan mudahnya melabeli dirinya sendiri. Beberapa menganggap itu sebagai suatu hal yang keren, ses uatu yang tren, atau sesuatu yang bisa membuatn ya menjadi lebih menarik, serta mencari perhatian.

Desni Yuniarni, yang merupakan Psikolog den gan spesialisasi Perkembangan Anak dan Rema ja, berpendapat bahwa ini menjadi tantangan bagi para profesional dalam mengedukasi kepada mas yarakat bahwa kesehatan mental bukanlah suatu hal yang tabu atau aib, tetapi bukan berarti dengan gampangnya memberikan label, klaim, atau men ganggap itu sebagai suatu tren.

“Jika telah merasa ada gangguan kesehatan mental, jangan dianggap sebagai hal yang tabu melainkan sesuatu yang harus diluruskan dan dis embuhkan,” tegasnya.

Desni juga berpendapat bahwa kita sebaiknya peduli terhadap keadaan di sekitar jika ada sese orang yang memiliki tanda-tanda masalah kese hatan mental sebaiknya kita menyarankan orang tersebut untuk melakukan pemeriksaan ke pihak profesional. Dukungan dari orang terdekat juga dapat mendorong seseorang untuk pergi menemui psikolog agar tidak tenggelam dalam pikiran sub jektifnya sendiri.

“Jika ada kasus seperti itu, yuk ditemani, didukung, dan dimotivasi. Kita pastikan dulu Bersambung di Halaman

Kritis,
Ilmiah, Religius, Independen
14
MIMBAR
ILMIAH
MIMBAR ILMIAH Tabloid Mahasiswa
14
Illustrasi
: Fathana

Mimbar Untan

The Firm: Uang Tidak Tumbuh di Pohon

Buku : The Firm

John Grisham

Bahasa : Hidayat Saleh Tebal Buku : 712 Halaman

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Ke-3, Agustus 1997

Nomor Edisi Terbit : ISBN 979-511-840-4

Berawal saat mendengar pembicaraan Naj wa Shihab dengan hakim kondang Artidjo Alkostar di kanal Youtube, saya mendapati sebuah nama penulis yang berujung pada resensi buku ini. Artidjo sempat menyarankan beberapa bacaan ringan yang cocok untuk “anak hukum” guna mempertajam rasa keadilan dan mengasah kepekaan batin yang berujung pada nama John Grisham. Tak ayal, saya langsung mencari tahu tentang penulis novel yang seringkali memasuk kan unsur hukum kedalam ceritanya ini dan ber muara pada pengalaman saya saat membaca buku “The Firm” yang diterbitkan pada tahun 1992 (edisi buku saku).

Dilihat dari judul novel karya John Grisham ini, mengisahkan tentang Biro Hukum kecil di Amer ika bernama Memphis. Biro Hukum yang delapan puluh persen pekerjaannya berkaitan dengan per pajakan. Dimulai dengan cerita seorang pemuda lulusan terbaik di Harvard Law School, berna ma Mitchel Y McDeere, dan ditawari oleh birobiro hukum terbaik di Amerika. Namun akhirnya Mitch memilih Biro Hukum Bendini, Lambert & Locke. Tawaran yang tak biasa dan menggiurkan berhasil membuat Mitch luluh. Bagaimana tidak, saat baru menyetujui untuk bekerja di biro hukum itu saja Mitch dihujani berbagai godaan seperti di belikan mobil BMW, dilunasi seluruh pinjaman, dan bahkan dibantu untuk membeli rumah yang sangat mewah sekaligus dekorasinya. Tapi kalau dipikir-pikir di dunia ini tidak ada yang gratis, di balik berbagai tawaran tersebut menyimpan berb agai misteri dan menjadi bencana bagi Mitch.

Didukung oleh istrinya bernama Abby, yang merupakan seorang guru. Semakin membuat Biro Hukum Bendini tertarik kepada Mitch. Karena Biro Hukum Bendini ini tidak pernah merekrut seorang pengacara lajang dan sangat membenci perceraian serta mendukung kehadiran anak da lam keluarga pegawainya, memiliki aturan-aturan yang cukup positif, seperti tidak mabuk saat jam kerja, dan setiap pegawai dilarang untuk main per empuan, lantas hal apa yang aneh dari Biro Hu kum ini?

Dihari sebelum bekerja, Mitch menghadiri peringatan kematian dua pegawai Bendini yaitu Kozinski dan Hodge, yang mana kematian kedu anya adalah karena terjadi ledakan di kapal saat mereka ada di Grand Cayman untuk ber-scuba diving. Namun hal tersebut cukup mencurigakan

bagi beberapa orang termasuk Mitch tapi kecuri gaan itu langsung ditepis oleh petinggi Biro Hu kum Bendini.

Biro Hukum Bendini memiliki empat puluh pengacara yang hanya mengambil klien-klien kaya, badan hukum, bank-bank dan perorangan yang kaya, tak heran pendapatan per pengacara lebih besar daripada biro manapun. Para Partner aktif dalam Biro Hukum Bendini adalah dua pu luh orang yang memerlukan sepuluh tahun laman ya untuk menjadi seorang Partner dalam artian Para Partner adalah pengacara senior yang sudah mempunyai klien sendiri dan kebanyakan pensiun sebelum umur lima puluh tahun.

Menghabiskan waktu berjam-jam sehari di kan tor kecilnya dan berkutat dengan lembaran-lem baran kertas adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan Mitch setelah memutuskan bekerja den gan Biro Hukum Bendini. Hingga pada suatu hari Mitch dihubungi oleh agen khusus FBI bernama Wayne Terrance. Terrance meminta Mitch berg abung dengan FBI untuk mengungkap kedok dari Biro Hukum Bendini. Tapi Terrance tidak men jelaskan lebih jauh tentang biro hukum ini, dia hanya memberi pesan jangan percaya pada siapa pun, setiap kata yang diucapkan Mitch dimanapun seperti di rumah, di kantor, di mobil ada kemung kinan direkam dan terakhir uang tidak tumbuh di pohon. Tiga pesan itu membuat Mitch bimbang, antara FBI atau Biro Hukum Bendini yang cukup menjanjikan untuk masa depan? Tapi keraguan itu membawanya kepada pengacara senior Bend ini yaitu Lamar, Avery, Royce McKnight, Oli ver Lambert, Harold O’Kane dan Nathan Locke. Mitch menceritakan semua apa yang terjadi antara agen khusus FBI yang menghampirinya, namun ada beberapa hal yang tidak diberitahukan kare na dia juga curiga dengan Biro Hukum ini, setelah Mitch menjelaskan, Locke menyatakan bahwa Terrance hanya mencari nama karena hal itu sudah biasa dan jangan dipikirkan

Tidak lama kemudian Tarrance menghubungi Mitch lagi dan Ketua FBI bernama Voyles men jelaskan bahwa Biro Hukum ini adalah kedok dari keluarga Morolto yaitu mafia yang dikejar-kejar oleh FBI sejak lama, dan di Biro Hukum Bendini sendiri banyak kegiatan kriminal yang dilakukan seperti penggelapan pajak, pencucian uang dan semua itu atas perintah keluarga Morolto. Bah kan main perempuan dan minuman keras adalah

hal biasa bagi Biro Hukum Bendini, hal ini ten tu tidak sesuai dengan peraturan yang ada sebel umnya. Setelah berpikir panjang, Mitch akhirnya memilih berpihak kepada FBI dengan syarat uang 2 juta dollar dan membebaskan kakak Mitch yai tu Ray yang di penjara. Mitch dibantu istrinya dalam mengurus berbagai hal tersebut dan tanpa sadar ada orang dalam FBI membocorkan ten tang Mitch yang membantu FBI kepada keluarga Morolto, Mitch kesal karena tidak ada yang bisa dipercaya bahkan FBI sendiri, untungnya kakak Mitch dibebaskan cukup cepat sehingga mereka bisa lari dan bersembunyi di pulau Cayman. Da lam masa pengejaran FBI dan Keluarga Morolto, Mitch membuat Video pernyataan selama enam belas jam sebagai saksi dan kaset itu kelak dap at membantu Tarrance untuk menunjukan kepada hakim federal dan mendapatkan surat izin pengge ledahan terhadap Biro Hukum Bendini.

Di akhir cerita Abby dan Mitch hidup dari ke jauhan hiruk pikuk kota, sebuah kata yang mung kin sangat mempesona dari Abby untuk Mitch ada lah “Aku akan baik-baik saja, Mitch. Asalkan kita bersama-sama. Aku akan mengatasi segalanya”. Hal ini membuktikan betapa besarnya kekuatan cinta dan kepercayaan dari Abby untuk Mitch.

Tak lama setelah menyelesaikan novel ini, saya menonton Film pendek berjudul The Firm yang diadaptasi dari novel ini, tidak banyak per bedaan namun untuk kepuasan endingnya jujur saya sangat puas dengan versi Filmnya, tapi dari jalan ceritanya saya lebih menyukai versi dari novel ini, karena seakan-akan pembaca dibawa untuk berimajinasi di setiap adegan-adegan yang cukup menegangkan. Namun memang untuk 712 halaman cukup sulit untuk menyelesaikannya da lam waktu yang singkat, apalagi di awal ceritanya cukup membosankan membuat saya maju mundur untuk membacanya. Tapi kejutan demi kejutan dari setiap lembar novel ini cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi saya untuk melanjutkan mem bacanya.

Novel ini sangat direkomendasikan bagi ma hasiswa hukum baik untuk yang ingin menjadi pengacara atau yang lainnya, karena di novel ini banyak yang bisa dipelajari seperti bagaimana me mecahkan kasus-kasus yang tergolong sulit dipec ahkan. dan hal tersebut cukup bisa membantu ma hasiswa hukum mempertajam rasa keadilan dan mengasah kepekaan batin. []

Judul
Penulis :
Alih
Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 15 MIMBAR RESENSI
MIMBAR RESENSI Tabloid Mahasiswa

Mimbar Untan MIMBAR

sANg P PENDi PEDA

Penuh warna. Itulah karakter yang menya la-nyala dalam diri seorang Yoga Ilham syah lewat visualisasi karya dan keberani an langkahnya. Pria yang dikenal dengan tato dan rambut gimbalnya ini merupakan salah satu peluk is sekaligus relawan pendidikan di berbagai daerah Indonesia. Lukisannya menawarkan representasi dari segala sesuatu yang ingin disampaikan Yoga kepada penikmat karyanya dan menjadi media yang seringkali digunakannya untuk memasukkan nilai-nilai pendidikan di setiap perjalanan kerela wanannya dalam mewarnai Indonesia.

Pria yang lahir di Sanggau pada 13 November 1996 sudah terbiasa melakukan perjalanan sejak remaja. Semenjak sepeninggal orang tuanya, ia mengaku beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal dari rumah ke rumah.

“Saat kelas 12 SMA udah mulai nomaden hidupku, jadi berpindah ke satu tempat ke tempat lain. Ke tempat kakak, ke tempat orangtua ang kat, nanti pindah lagi ke Mempawah, nanti pindah lagi ke Sintang gitu,” ujarnya ketika diwawancarai dengan fitur panggilan video yang menghubung kan Pontianak-Nias pada Rabu, 20 April 2022.

Yoga dan Dunia Punk

Perjalanan Yoga dalam dunia kerelawanan tidak secara tiba-tiba terjadi begitu saja. Ia memang su dah terbiasa hidup dengan perjalanan panjang sep erti kegiatan pengabdian yang ia lakoni sekarang. Tetapi tiap-tiap perjalanan yang dilakukannya dulu bukanlah untuk kerelawanan melainkan se kedar menonton konser punk.

“Awalnya nonton-nonton konser sampai kenal kehidupan punk. Jadi aku lumayan tertarik dengan culture punk pada saat itu. Sekitar 2013 atau 2014 gitu aku sudah mulai nonton-nonton konser musik metal gitu,” jelasnya sembari mengingat momenmomen masa lalu yang telah dilaluinya.

Perjalanan menyusur kota demi kota untuk me nonton konser punk ini juga membuatnya sering bolos sekolah dan tidak naik kelas ketika kelas 2 SMA. Ia pun berhenti sekolah pada saat itu dan memutuskan untuk lebih mendalami gaya hidup punk. Pada tahun 2016, ia mengaku pernah berke liling Kalimantan dan hidup di jalanan selama satu bulan karena sangat tertarik dengan kultur punk

yang diikutinya.

“Terus memulai hidup di jalanan aku semakin tertarik bagaimana hidup di jalan, bagaimana ke hidupan punk, jadi aku nomaden pada saat itu,” ujarnya.

Yoga dan teman-temannya juga sering dirazia oleh Satpol PP dan keluar masuk Pusat Layanan Anak Terpadu (PLAT) karena kehidupan di jala nannya. Sampai di suatu saat ia dipertemukan den gan komunitas Pejuang Lintas Batas Khatulistiwa (PELITA) yang merupakan titik pertemuan Yoga dengan dunia kerelawanan.

“Di situ ada Bang Jack, Bang Bayu, Kak Eka, Kak Tika, dan Kak Betri. Jadi orang-orang inilah yang ngasih pandangan baru ke aku karena sam pai sekarang aku masih interesting dengan punk,” tutur Yoga.

Komunitas PELITA ini menjadi bagian dari konseling di PLAT. Yoga memaparkan bahwa ko munitas inilah yang dengan senang hati mendeng ar keluh kesah dan juga memancing mereka untuk melakukan hobi yang mereka senangi ketika se dang dibina di tempat tersebut.

Hubungan yang terbangun ini lah yang mem buat Yoga mulai tertarik dengan kerelawanan. Tal enta melukis yang dimilikinya digunakan untuk mencari uang. Ia mulai mendapat proyek melukis mural yang membuatnya semakin terkoneksi den gan banyak orang dan juga beberapa komunitas. Salah satunya Komunitas Mari Melihat yang se dang mencari relawan untuk kegiatan “Backpack er to Share” pada Agustus 2018 dimana kegiatan tersebut berfokus kepada pendidikan di daer ah-daerah pelosok di Kalimantan Barat.

Kritis,
16
MIMBAR PROFIL
PROFIL
Tabloid
Mahasiswa
Oleh: Daniel Simanjuntak & Syifa Meidiana Salah satu mural yang dibuat oleh Yoga selama melakukan ekspedisi pendidikan Foto : Dokumen Pribadi Foto : Dokumen Pribadi

Mimbar Untan MIMBAR PROFIL

MIMBAR PROFIL

Kerelawanan yang Membuka Pandangan

“Ternyata anak-anak bahagia ketika melihat warna biru dicampur warna kuning jadi hijau, hal itu seperti sangat spesial untuk mereka. Terus ba tang pensil sangat berharga bagi mereka, selembar buku sangat berharga untuk mereka”

Pada awalnya, pengalaman berhenti sekolah membuatnya merasa bahwa tanpa bersekolah, orang akan tetap bisa melanjutkan kehidupan. Yoga bercerita bahwa ia sangat individualis pada saat itu. Sampai ketika ia melihat langsung anakanak di pedalaman Kalimantan Barat yang mem perjuangkan mimpi-mimpi mereka.

“Aku melihat orang-orang harus menapaki jalan tapak kecil berduri bersemak hanya untuk pendidi kan gitu dan pengalaman pada waktu itu lumayan mengubah pola pikirku tentang betapa pentingnya pendidikan,” ujar Yoga sembari mengingat kem bali kejadian empat tahun lalu yang menjadi pe mantik semangat baginya untuk meneruskan per jalanan kerelawanannya hingga saat ini.

Semenjak saat itu lah Yoga semakin tertarik dan sering mengikuti kegiatan kerelawanan. Dengan mengikuti kegiatan kerelawanan, ia bisa terjun se cara langsung untuk melihat sesuatu yang selama ini belum pernah terekspos secara umum menjadi lebih dekat. Ia juga merasa mendapat kepercayaan diri lebih untuk membagikan talenta yang ia miliki untuk kepentingan orang banyak.

Yoga merasa bahwa kebahagiaan itu bukan ha nya berasal dari material. Ketika ia dapat melihat senyuman anak-anak yang terkesan dengan luk isan ataupun keceriaan anak-anak ketika menyam butnya itu sudah cukup membuat ia bahagia. Hal ini lah yang membuat Yoga betah menjadi relawan walaupun tidak menerima bayaran dari tempat ia mengabdi.

Namun, stigma yang melekat pada anak punk tentu saja tetap menjadi makanan sehari-hari da lam perjalanan Yoga. Ia sempat diusir dalam per jalanannya saat menjadi relawan di Tapanuli Ten gah karena penampilannya. Tetapi ia memaklumi hal tersebut karena informasi yang diterima mas yarakat terhadap penampilannya yang cenderung “urakan” dan bertato adalah hal yang negatif.

“Ternyata ya kita gak bisa memaksakan ke hendak orang lain untuk berpikir sama dengan kita dan aku jadi menormalkan itu sih. Jadi kayak yaudah memang kayak gitu, ya itu resikonya ke tika kita melakukan sesuatu di hidup,” tukasnya.

Momen Haru di Rokan Hulu

Pernah di suatu saat, ketika Yoga sedang mel akukan pengabdian ke Riau untuk mengajar, ia bertemu dengan sebuah keluarga yang memiliki seorang anak yang cenderung dianggap nakal ka rena keagresifannya dalam bermain dengan teman sebayanya. Setelah beberapa hari bersama dengan Yoga dan lainnya, anak ini menunjukkan peruba han sikap yang signifikan dan tidak mengganggu teman-temannya yang lain.

Setelah kegiatan pengabdian ini usai dan

Yoga beserta teman-temannya telah pulang, Yoga mendapat kabar bahwa anak ini jatuh sakit dan menunjukkan sifat yang berubah drastis. Ia men jadi pendiam dan pemurung semenjak kepergian Yoga dari tempat itu. Mendengar kabar ini, Yoga memilih untuk kembali lagi ke tempat keluarga tersebut di Rokan Hulu karena jalinan emosi yang sudah tercipta antara Yoga dan sang anak.

“Jadi kesalahan fatalku juga sih sebenarnya, ternyata menjalin emosional dengan anak-anak khususnya itu gak terlalu bagus buat trauma heal ing mereka nanti. Aku harus kembali untuk men jelaskan ke anak itu, namanya Deni, aku ngasih pandangan bahwa ya aku harus jalan lagi,” ujar Yoga.

Berbekal uang yang pas-pasan, Yoga mencoba untuk mencari cara untuk menyenangkan keluarga tersebut, terutama Deni.

“Aku berusaha sok kuat, sok keren ke mereka dengan bawain mereka oleh-oleh padahal uangku gak ada lagi, uangku sisa 10 ribu. 10 ribu aku kasih lagi ke anaknya buat jajan,” kenang Yoga sembari mencoba menahan rasa haru dengan tertawanya.

Saat itu Yoga sudah bingung bagaimana ia bisa makan tanpa uang sepeser pun di dompetnya. Na

mun, ketika ia bangun tidur keesokan harinya, ia sudah melihat makanan, kopi, dan rokok di atas meja makan yang ditinggalkan keluarga itu un tuknya. Di saat itu lah ia merasakan perwujudan cinta tanpa adanya kata-kata. Di saat meninggal kan keluarga itu untuk yang kedua kalinya, justru Yoga lah yang paling merasa kehilangan pada saat itu.

“Mereka tidak pernah menanyakan latar be lakang keluargaku dari mana, agamaku apa, aku dari mana, aku kerja apa, aku ngapain ke sana, mereka gak pernah nanya. Mereka menunjukkan cintanya bukan dengan ucapan, tapi dengan per lakuan mereka ke aku,” ujar Yoga yang kala itu nampak berkaca-kaca ketika mengingat momen tersebut.

Perlu Berbenahnya Sistem Pendidikan di Indonesia

Hingga saat ini, total sudah 14 provinsi di Indo nesia yang sudah dilewati Yoga untuk melakukan kegiatan kerelawanan. Tentu saja sudah banyak ia melihat aktualisasi sistem pendidikan di pelosok negeri dengan segala kekurangannya. Yoga me lihat sistem pendidikan Indonesia masih belum melihat keberdayaan ekonomi masyarakat dalam prosesnya.

Mereka menuntut siswa untuk berseragam bersih, pakai seragam merah putih, biru putih, abu abu, tapi tidak meli hat bagaimana keberdayaan seseorang untuk membeli se ragam dan kau tidak mau membelikan seragam. Itu sistem yang sangat kaku dan diadopsi dari sistem militerisme”

Selain itu, mengambil dari dari pengalaman pribadinya, ia merasa seringkali anak yang hiper aktif dianggap nakal dan diberi cap negatif baik itu oleh sekolah maupun masyarakat. Ia berpendapat bahwa setiap anak memiliki metode yang berbeda dalam belajar dan metode itu tidak bisa disamara takan untuk setiap anak.

“Sebenarnya itu bukan kita menuntut mereka untuk menjadi sama seperti anak lainnya tetapi bagaimana kita memberi alternatif atau metode yg berbeda dengan mereka,” jelasnya.

Seringkali fasilitas pendidikan di daerah pe losok Indonesia masih belum memadai. Keadaan ini sudah menjadi hal umum di masyarakat, dima na akan terlihat kontras jika dibandingkan dengan fasilitas pendidikan di kota. Namun, Yoga men ganggap bahwa fasilitas pendidikan dapat diban gun dan diperbaiki seiring berjalannya waktu teta pi birokrasi yang merumitkan proses pembelajaran terutama bagi pelajar lah yang saat ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diperbaiki. Jalur utama dalam mendapatkan pendidikan yang layak adalah birokrasi yang transparan, jelas, dan tidak mempersulit setiap orang yang ingin mem peroleh pendidikan.

ujarnya yang menjadi penutup pada wawan cara saat itu dan harapan untuk disampaikan kepa da khalayak umum terkait pentingnya pembena han sistem pendidikan saat ini.

Yoga membangun rumahnya dalam setiap per jalanan yang ia tempuh. Ia menciptakan atmosfir

belajar yang penuh semangat dan keceriaan bagi anak-anak yang tinggal di pedalaman. Yoga men jadi inspirasi bagi generasi muda lainnya untuk dapat berkontribusi kepada masyarakat dengan caranya sendiri.

benar atau tidak apa yang kamu rasakan. Nanti ka lau dia sudah datang ke ahlinya, setelah itu baru akan tahu yang sebenarnya gimana,” sambungnya.

Sementara itu, Viva juga menegaskan bahwa semakin cepat menyadari bahwa kita tidak merasa baik-baik saja, maka semakin cepat untuk mendap atkan pertolongan dari masalah yang dialami. Hal ini dapat mengurangi tingkat stres yang menum puk dan dapat menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak.

“Mendatangi psikolog merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi gangguan yang lebih parah daripada itu,” jelasnya.

Viva juga menyarankan jika kita memiliki masalah kesehatan mental dapat mendatangi be berapa Rumah sakit di Pontianak yang sudah memiliki fasilitas untuk itu, antara lain RSUD Sul tan Syarif Abdurrahman, RSJ Sungai Bangkong, serta dapat mengunjungi Psikolog mandiri.

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 17
Punya Mental Illness Tak Seindah Itu: Romantisasi Gangguan Mental
Sambungan Halaman 11

Mimbar Untan MIMBAR

Pura Giri Kertha Bhuwana, Buah Perjuangan Umat Hindu Kalimas

Oleh: Putri Arum Widyasari, Ester Dwilyana, Dewi Ratna Juwita, Daniel Simanjuntak Berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dari tahun 1953-1968, jumlah transmigran yang berasal dari Bali mencapai 10.4% dari jumlah transmigran yang dipindahkan oleh pemerintah, teruta ma setelah adanya peristiwa Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Mereka tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya Kalimantan Barat. Semenjak itu, umat Hindu di Kalimantan Barat meningkat, terutama di Kota Pontianak dan sekitarnya. Tentu dengan kedatangan mereka, bertambah juga tempat ibadah umat Hindu, salah satunya Pura yang ada di Kalimas. Lantas, dibalik pembangunan Pura tersebut, tersimpan kisah perjuangan dari para transmigran umat Hindu Kalimas hingga akhirnya Pura terbangun kokoh hingga saat ini.

Giri Kertha Bhuwana, nama yang dapat di artikan sebagai sebuah tempat untuk mel akukan hubungan dengan Tuhan, sang pencipta alam dalam keadaan damai. Nama ini disematkan pada sebuah Pura di Desa Kalimas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Tak dapat dipungkiri, suasana yang terdapat di tempat suci umat Hindu ini tera sa menenangkan dengan pemandangan pepohonan kelapa, persawahan, rerumputan liar, dan air parit yang mengalir deras menjadikan tempat ibadah ini sesuai dengan artinya. Selain itu, letaknya yang terpencil, memasuki jalan yang hanya bisa dilewa ti satu buah sepeda motor membuat suasana pura itu masih terasa sunyi. Namun, justru mendukung akan kekhusyukan saat umat Hindu melakukan peribadatan.

Pura yang dibangun pada tahun 1989 ini mer upakan pura yang dibangun secara bergotong-roy ong melalui swadaya masyarakat Hindu di Desa Kalimas saat itu. Pura yang sudah berusia 33 itu menjadi saksi historis perjalanan masyarakat Hin du Bali di Kalimantan Barat. Wayan Sujana, se orang Ketua Umat di Desa Kalimas menjelaskan bahwa masyarakat Hindu pertama kali datang ke Kalimantan Barat secara masif terjadi di sekitar tahun 1960-an karena adanya program transmi grasi dari pemerintah yang disebabkan meletusnya gunung Agung di Bali kala itu.

Pasca kejadian tersebut, banyak masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dibawa ke Pontianak melalui jalur laut. Wayan menjelaskan bahwa masyarakat yang dipindahkan ke Pontianak saat itu ditampung di pengungsian sementara yang berada di Siantan. Namun dikarenakan kurangn ya perhatian dari pemerintah seperti logistik dan makanan, masyarakat Bali yang sudah berada di Pontianak harus mencari lahan sendiri untuk ke berlangsungan hidup mereka.

“Tahun 65 itu masyarakat transmigran dita mpung di Transito, tetapi mereka tidak teratasi dengan baik. Jadi mereka tidak punya lahan dan akhirnya mereka mencari lahan sendiri. Pertama mereka tinggal di Pal 10 Sungai Raya, kemudian bergeser ke Kalimas, kemudian ada yang ke Rasau Jaya,” jelasnya (17/4/2022).

Asal Mula Pembangunan Pura

Menurut penuturan Ida Shri RSI Dukuh Putra Bandem Kepakisan, seorang Pandita atau Pem impin Agama yang menjadi penggagas pura terse but menjelaskan bahwa pada awalnya masyar akat Hindu di Desa Kalimas melakukan kegiatan peribadatan di Pura Giripati Mulawarman, sebuah pura pertama di Kalimantan Barat yang terletak di Jalan Adi Sucipto, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Tetapi dikarenakan jarak yang cukup jauh dan jumlah umat Hindu di Kali mas tergolong banyak, maka dibangunlah pura agar masyarakat Hindu di Kalimas tidak perlu me makan waktu lama untuk perjalanan beribadah.

“Yang pertama harus ada umat disana karena mereka disana berkelompok. Jadi pembangunan pura ini didasarkan atas populasi umat yang ada,” jelas Pandita yang akrab disapa Putu Dupa Ban dem (28/7/2022).

I Made Suparwaten, selaku pemangku umat Hindu di sana juga, menceritakan bagaimana su litnya perekonomian umat Hindu yang bertrans migrasi karena sulitnya mencari pekerjaan yang layak, mulai dari kerja di perusahaan kayu yang masuk hutan keluar hutan, pindah ke hutan yg lain, sehingga keluarga ikut terus sampailah di Punggur.

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen

Sebelum didirikan pada tahun 1989, masyar akat Hindu di Desa Kalimas membuat “penyawan gan” atau sebuah tempat sembahyang yang lebih kecil dari pura. Namun setelah beberapa tahun berlalu dan ditambah banyaknya perkawinan antar etnis bersama masyarakat lokal, membuat semak in bertambahnya populasi dan masyarakat yang menganut agama Hindu ini. Hal tersebut juga lah yang menjadi latar belakang umat Hindu di Desa Kalimas berinisiatif untuk membuat sebuah Pura di lingkungan tempat tinggalnya.

“Proses pembangunannya cuma setahun, setelah itu sudah bisa dimanfaatkan. Tetapi sam pai sekarang pura ini diperbaiki secara bertahap,” ujarnya.

Adapun Wayan Sujana menambahkan bahwa pembangunan pura tersebut dilakukan secara ber

18
MIMBAR RELIGI
RELIGI
Foto : Putri Arum Foto : Rizky Arif Foto : M. Ikfanto

gotong-royong, baik pada saat pemilihan lahan, pengukuran tanah, pembuatan konsep bangunan, tahap pembangunan pura, maupun dalam pencar ian dana.

“Jadi berkoordinasi lah kepada orang-orang yang berada di Pontianak, yang ada di Sungai Raya. Jadi disitulah masyarakat yang ada di Kali mantan Barat membantu kami untuk mendirikan pura ini,” tambahnya.

Selain itu, dalam proses pembangunan Pura juga tidak berjalan dengan mulus. Hal ini diutara kan oleh Made, betapa sulitnya proses pembangu nan kala itu, dimana jalur transportasi yang masih minim membuat proses pengangkutan bahan-ba han untuk membangun pura untuk membangun pura menjadi sulit.

“Jadi kalau dulu bahannya itu datang dari arah simpang punggur, lalu kami mengambilnya lagi menggunakan sampan, sepeda, jadi itulah kesuli tannya, jalan itu belum bisa dilalui kendaraan, ha nya bisa melewati jalur air, yaitu sungai yang ada di depan,” kenangnya.

Pura Sebagai Wadah Belajar Anak Muda

Setelah melewati tiga dekade lebih, pembangu nan pura yang direspons dengan baik oleh masyar akat sekitar ini selalu melakukan perbaikan bangu nannya dari waktu ke waktu. Tak hanya bangunan, pembangunan karakter juga dilakukan di pura ini, terutama bagi muda-mudi Hindu di Desa Kalimas.

Wayan menjelaskan bahwa sejak dibangun, pura ini sudah menjalankan kegiatan sekolah min ggu bagi anak-anak sekolah yang berada di sekitar pura tersebut. Kegiatan ini menjadi wadah bagi anak anak muda untuk menguatkan keyakinannya dalam bidang agama.

“Dari berdirinya pura ini memang sudah ada (read - sekolah minggu). Cuma disaat itu belum ada gedungnya, tetapi kalau sekarang sudah ada.

Mimbar Untan

Sejak tahun 2000-an mereka sudah belajar di sini,” terang Wayan.

Yovartika, seorang guru sekolah minggu di Pura Giri Kertha Bhuwana ini menjelaskan bahwa kegiatan sekolah minggu ini dikhususkan untuk anak sekolah, baik itu tingkat SD, SMP, hingga SMA. Hal ini didasari minimnya tenaga pendidik sekitar Desa Kalimas yang mengajar Pendidikan Agama Hindu di sekolah.

“Jadi kami ada dua guru, saya adalah salah satu pengajar di sini untuk yang tingkat SD. Kalau yang tingkat SMP dan SMA itu ada guru dari luar,” tutur Yovartika (17/4/2022)

Pendidikan Agama Hindu yang diajarkan se kolah minggu di pura ini juga berasal dari kuriku lum yang berasal dari Dinas Pendidikan. Bahkan, pura mengirimkan nilai dari hasil sekolah minggu kepada sekolah tempat siswa-siswi Hindu berse kolah sebagai nilai pengganti mata pelajaran Pen didikan Agama Hindu mereka. Oleh karena itu, pura ini seolah menjadi sekolah kedua bagi anakanak Hindu di sekitar Desa Kalimas.

Selain menjadi sekolah kedua bagi para sis wa-siswi Hindu di sekitar Desa Kalimas, kegiatan ini juga dianggap Yovartika sebagai wadah para muda-mudi untuk belajar berorganisasi dan me numbuhkan keyakinan terhadap nilai-nilai agama.

“Di sini bagaimana kita menjaga dan mendidik organisasi pemudanya, baik dari sisi agama, yang dalam agama Hindu disebut dengan Sradha (read - berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya yak in atau percaya) agar keyakinannya lebih kuat,” jelasnya.

Eksistensi Pura di Tengah Masyarakat Multikultural

Keberadaan pura di tengah-tengah masyarakat Kalimas yang plural menjadi bukti indahnya rasa toleransi yang dibangun oleh masyarakat. Hal ini

juga diakui oleh Sujono, Ketua RT 32 yang menja di tempat berdirinya pura ini. Ia menganggap bah wa hubungan antar masyarakat di Desa Kalimas masih terjalin dengan sangat baik.

“Toleransi agama di sini cukup baik, tidak ada ancaman yang bagaimana, biasa saja. Walaupun rumah saya dekat Pura, tidak ada permasalahan apa-apa. Masyarakat yang lain juga merasakan hal yang sama,” pungkasnya (17/4/2022).

Walaupun berada di masyarakat yang multikul tural, tidak pernah terjadi konflik antar etnis dan agama. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat sekitar juga sering berkunjung untuk bersilaturah mi jika ada kegiatan keagamaan lainnya.

“Kita saling menjaga saja. Kita hidup di dunia ini kan bermacam-macam suku dan agama. Jika kita mau dihargai, berarti harus menghargai orang lain. Hidup berdampingan sesuai dengan nilai Pancasila,” ucapnya.

Senada dengan penuturan Sujono, Made men gatakan bahwa masyarakat yang ada di Kalimas memiliki agama dan suku yang berbeda-beda, tidak seluruhnya beragama Hindu, sehingga den gan adanya keberadaan Pura tidak ada penolakan sama sekali oleh masyarakat sekitar, apalagi terja di konflik horizontal antar masyarakat.

Begitupun dengan Putu Dupa Bandem yang menjelaskan bahwa sikap toleransi harus tetap di pupuk di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Terlebih lagi Ia berharap agar pemerintah harus memperhatikan setiap umat beragama di wilayah administratifnya masing-masing, baik itu dari segi fasilitas keagamaan dan lainnya.

“Semua agama itu mulia, kita sebagai umat be ragama jangan sampai menafsirkan hal-hal yang keliru. Kita berbeda cara beribadah, tetapi hubun gan sosial harus tetap kita jaga untuk membentuk suatu kerukunan,” tutupnya. []

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 19 MIMBAR RELIGI
MIMBAR RELIGI
Mahasiswa
Arif G

Mimbar Untan

Semenajung Harapan

PDesir angin laut menghantarkan Surai hitam legam menampar lembut pipinya. Ia terpaku menatap tanah kelahiran yang dua puluh tahun lalu nyaris tak dijamah keadilan. Mentari bersinar terang tepat pukul dua belas siang di mana manusia dapat menginjakkan kaki di bayangannya sendiri.

“Mari masuk,” ujar suaminya. Ia tetap mematung meski lamunannya buyar sudah.

“Damai…” lirihnya.

Kembali kenangan yang telah tersusun apik beterbangan memenuhi bilik kepala. Rekaman pilu dari permukiman hilang yang tidak masuk dalam sensus geografis kependudukan ini, beser ta elegi penyandang disabilitas yang tak terpan dang kala itu. Dianak tirikan oleh bangsa sendiri, di eksploitasi sumber daya alam oleh konglomer at-konglomerat di kiani.

Keduanya menyusuri pesisir pantai sejak dua jam berlalu hingga sekarang tiba di depan gapura desa. Anak-anak yang berlarian di jalanan memu tar balik arahnya menuju rumah masing-masing para kepala keluarga menutup jendela dan pintu dengan keras perasaan waspada dan murka ter gambar jelas dalam air muka mereka.

Kejadian dua puluh tahun silam memang tak luput dari ingatan pengucilan dan penyiksaan se cara psikis yang dialami oleh masyarakat setem pat. Di mana transportasi umum bahkan pribadi tidak terdapat di tempat ini, pengobatan tidak dilayani, bahkan untuk sarana pendidikan tentu saja tidak ada. Minimnya pembelajaran bahasa isyarat membuat pribumi dan pengunjung sulit melakukan interaksi sehingga terjadilah kesala hpaham. Hal tersebut berhasil membuat pribu mi merasa terus terancam saat pengunjung tiba menawarkan bantuan.

“Selamat siang Tuan dan Nona Philip,” sapa pemerintah desa setempat. Dirinya pribumi di tempat ini dan satu-satunya orang yang tidak menyandang disabilitas dan mengerti bahasa is yarat, sehingga diberikan tanggung jawab penuh untuk memimpin permukiman yang kerap di panggil Semenanjung Pilu.

“Masih seperti itu?” seru wanita itu penasaran dengan tingkah penduduk setempat yang masih menutup diri dari pengunjung yang tiba di tem pat ini.

“Saat itu Nona Beltra Philip masih sangat muda begitu datang ke sini, umur dua puluh satu tahun bukan?” tanya Pak Harto. Wanita itu men gangguk, “mungkin itu sebabnya sudah sangat lama Nona tidak berkunjung dan kini membawa teman hidup” ia sedikit terkekeh.

“Benar sayang, kau sudah lebih tua dari saat itu tentu saja bentuk fisik juga turut berubah. Mungkin saja mereka masih agak trauma dengan kejadian kala itu,” tambah suaminya.

“Bagaimana kondisi Bu Margharet?” ujar Beltra penasarannya.

“Selamat siang Nona Beltra,” Ia menyapa dengan bahasa isyarat beserta beberapa anak muda mengekor di belakangnya.

Wanita paruh baya ini tersungging saat tiba di pusat desa terpencil Semenanjung Harapan. Meski disambut dengan ketakutan di dekat gapu ra Ia bangga pada anak-anak di sini yang memili ki niat untuk tetap melanjutkan pendidikan meski berkebutuhan khusus.

Ia memandangi bangunan sekolah satu atap dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah ke atas.

“Ibu, ayah. Seandainya kalian menyaksikan ini semua. Aku kembali dengan kesuksesan ber sama mereka, anak yang dulu ayah dan ibu sem bunyikan dari pekerjaan sebagai budak di laut”.

Pemberontakan berdarah yang ayah dan ibun ya lakukan dianggap ancaman bagi konglomerat sehingga siapapun yang melawan kala itu akan dicambuk. Untungnya, Beltra beserta anak-anak lainnya berhasil dilarikan ke kota di mana Ia ber temu dengan suaminya sekarang yang orang tu anya juga merupakan aktivis disabilitas di tahun 90-an.

Waktu terus berputar, rekaman saat dirinya menempuh pendidikan di akhir bangku sekolah menengah atas. Ibunya dan ayahnya merupakan seorang yang memiliki ekonomi di atas rata-rata, namun saat itu ibunya jatuh sakit tak ada yang mengerti bahasa isyarat bagi penyandang disabil itas. Sehingga ibunya harus minum obat herbal terus menerus tidak ada perubahan sedikitpun untuk memulihkan tenaganya.

Namun Ibunya memilih untuk tetap membiar kan wanita itu melanjutkan kuliah dan memper tahankan agar sekolah di permukiman kecil ini tidak ditutup. Beberapa tenaga pengajar yang datang dibunuh oleh konglomerat-konglomerat yang hendak mengeksploitasi kekayaan laut di Semenanjung Harapan. Ibu dan ayahnya yang merupakan tenaga pendidik yang datang dari luar semenanjung itu dianggap ancaman bagi konglomerat setempat sehingga dimusnahkan melalui hukum cambuk.

Sorak Sorai tak bersuara, namun tampak amat bahagia dari seorang gadis muda yang juga pen yandang disabilitas. Ia membawa surat putih en tah apa pertanyaan di dalamnya?

“Ada apa Sania?” Tanya Margharet dengan tutur isyaratnya.

“Aku lulus untuk melanjutkan kuliah dengan jurusan dosen bahasa isyarat,” ia tampak riang namun menangis meski tak dapat di dengar. Hat inya memekik penuh kegembiraan. Ia sujud ke tanah kemudian menengadahkan tangan ke langit kurasa Ia tengah berdoa dengan banyak harapan.

“Terima kasih banyak Pencipta. Engkaulah maha pembolak balik hati manusia,” tutur batin Beltra.

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen
20
MIMBAR
SASTRA
MIMBAR SASTRA
[]

Mimbar Untan MIMBAR JEPRETAN

Mahasiswa baru mengikuti rangkaian pengenalan kehidupan kampus, dengan khidmat mendengarkan paparan materi tentang MBKM (Foto: Arum)

Selama dua tahun, Untan telah menye lenggarakan PKKMB secara daring akibat dari dampak pandemi Covid-19. Kali ini pengenalan kehidupan kampus tersebut pun akan dilak sanakan secara luring dengan kon sep yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu menyelipkan materi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 21
MIMBAR JEPRETAN Tabloid Mahasiswa Calon mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah ini mel akukan rangkaian ujian masuk universitas (Foto: Ifdal) Pemasangan Almamater Untan kepa da perwakilan mahasiswa dari mas ing-masing fakultas, sebagai simbolik bahwa telah diterimanya mereka se bagai keluarga besar Unta (Foto: Ibnu) Dinyatakan lulus, ratusan mahasiswa baru mengikuti upacara pengenalan kehidupan kampus di depan Gedung Rektorat Untan (Foto: Ibnu)

Mimbar Untan MIMBAR

Dewasa ini, kekerasan terhadap peremp uan bukan hanya menjadi permasalahan individual maupun nasional saja, tetapi sudah menjadi masalah global yang harus diper hatikan bersama. Demi menekan maraknya kasus kekerasan tersebut, pada tahun 2003 lalu Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menginisiasi kam panye bertajuk 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan), sebuah gerakan kolaborasi bersama organisasi dan masyarakat sipil yang di harapkan dapat menjadi angin segar bagi

Walau sudah berumur sembilan belas tahun, kampanye ini terus digaungkan oleh para penggiat keadilan kemanusiaan. Kampanye ini telah men gakar di berbagai daerah, satu diantaranya ialah gerakan kolektif kaum milenial yang ada di Kali mantan Barat (Kalbar) yang ikut menyemarakkan aksi persuasi ini. Gerakan kolektif tersebut dikenal dengan “Koalisi Muda Kalbar”.

Adalah Ningsih Lumbantoruan yang dimandati sebagai Koordinator Koalisi Muda Kalbar men gungkapkan bahwa gerakan ini berangkat dari ke resahan muda-mudi terhadap kasus kekerasan ter hadap perempuan khususnya di Kota Pontianak. Nings menambahkan, gerakan ini sangat penting digaungkan menimbang kemungkinan terjadinya kasus kekerasan tersebut di setiap kehidupan ber masyarakat.

“Setiap anggota pasti memiliki keresahan mas ing-masing terhadap kasus kekerasan yang diper oleh dari pengalaman hidup mereka secara pribadi dan ketika berada di dalam lingkungannya. Ger akan ini sangat penting digaungkan menimbang kasus ini sangat mungkin terjadi ditiap sudut ke masyarakatan,” ujarnya (30/11/2021).

Sesuai dengan namanya, kampanye ini ber langsung selama enam belas hari dengan rangka ian kegiatan yang dilakukan sejak 25 November 2021 hingga 10 Desember 2021 lalu. Kampanye

tersebut dibuka dengan produksi di media sosial, seminar nasional, diskusi forum, gelar wicara, hingga pagelaran pameran seni.

Kritisi Bobroknya Sistem Pencegahan Kasus Kejahatan Terhadap Perempuan

Gerakan kolektif ini diinisiasi oleh Aksi Ka misan Pontianak, Dema Fakultas Syariah IAIN Pontianak, Himpunan Prodi Hukum Keluarga Is lam, Gemawan, Gerakan Perempuan Pontianak, Kohati, Khalsa, LPM Mimbar Untan, LPM Warta IAIN Pontianak, Rumah Diskusi, Rumah Perem puan dan Anak, SADAP Indonesia, Sejuk Kalbar, Hingga Suar Asa Khatulistiwa.

Keenam belas pegiat independen, mahasiswa dan akademisi ini menyampaikan bahwa rang kaian kampanye yang disuarakan oleh Koalisi Muda Kalbar menjadi bentuk kesadaran terhadap bobroknya sistem dalam pencegahan dan penan ganan kasus kekerasan terhadap perempuan, satu diantaranya ialah isu kekerasan seksual yang ser ing dijumpai di institusi pendidikan.

“Satu isu yang dibahas oleh Koalisi Muda Kal bar saat ini adalah isu kekerasan seksual yang mar ak terjadi di institusi pendidikan, karena kurang nya sistem yang mendukung pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual,” papar Nings.

Guna memperkuat pernyataan tersebut, Koalisi Muda Kalbar membuat sebuah survei yang diisi oleh masyarakat di Kota Pontianak. Dari 464 re sponden, didapatkan data bahwa 127 responden mengaku pernah menjadi korban kekerasan sek sual. Tentu, data tersebut bukanlah angka yang kecil, dan kasus kekerasan seksual ini akan terus menjalar bagai fenomena gunung es.

Dari hasil jajak pendapat tersebut, sebanyak 438 responden mengaku bahwa pemerintah belum secara maksimal memberikan jaminan keamanan masa depan kepada korban kekerasan seksual, khususnya di Kalimantan Barat. Sehingga re sponden mengharapkan adanya sebuah regulasi khusus terkait penanganan korban kekerasan sek sual.

Nings menambahkan, agar gerakan ini dap at mengawal kasus kekerasan seksual secara berkelanjutan, Koalisi Muda Kalbar membuat sebuah Base Project Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Hadirnya lembaga tersebut bertujuan se bagai pusat layanan penanganan kasus dan pen dampingan korban.

Kritis, Ilmiah, Religius, Independen

22
MIMBAR
SEREMONIAL
SEREMONIAL
Mahasiswa
Oleh: Ester Dwiyana dan Peggy Dania
yatidak tidak tahu
etc SETUJUKAH ANDA BAHWA DI KALBAR MARAK TERJADI KEKERASAN SEKSUAL
ya tidak mungkin
APAKAH ANDA PERNAH MENJADI KORBAN KEKERASAN ATAU PELECEHAN SEKSUAL
Memang sudah ada LBH, tapi belum ada yang terafiliasi Yayasan Lembaga Bantuan Hu kum Indonesia (YLBHI), itu bedanya. Kebetulan
16 HAKTP menjadi salah satu momen yang pent ing dan bisa digunakan sebagai pendekatan untuk membicarakan isu kekerasan seksual itu lebih besar dan menga jak lebih banyak orang,”

Tabloid Mahasiswa

Mimbar Untan MIMBAR SEREMONIAL

Eksistensi Koalisi Muda Kalbar menjadi an gin segar sebagai upaya menjadikan Kalimantan Barat, terkhusus Kota Pontianak menjadi rumah aman bagi semua. Oleh karena itu, niatan ini akan dikawal menjadi tugas bersama

“Pendampingan korban ini masih menjadi ci ta-cita. Namun anggota-anggota kita pernah mel akukan pendampingan, misalnya Gerakan Perem puan Pontianak (GPP), lalu Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Kalbar,” pungkasnya.

Keberlanjutan Koalisi Muda Kalbar

Kesadaran akan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi hal yang penting untuk diketahui agar terciptan ya ruang aman bagi masyarakat. Disampaikan oleh Siti Mukharomah saat menghadiri Talk Show Untan Voice Radio, kampanye 16 HAKTP ini ha ruslah berlanjut dan tidak menjadi kegiatan sere monial belaka.

“Gerakan ini harus berlanjut. Karena ketika hari ini kekerasan seksual sendiri dianggap seperti hal yang biasa, maka mereka (read - pelaku) akan selalu melakukan itu,” ujar Bendahara Umum Ru mah Diskusi Pontianak ini.

Berbicara mengenai keberlanjutan, Lulu Van Salimah yang menjadi bagian dari Koalisi Muda Kalbar memaparkan bahwa gerakan kolektif terse but mempunyai potensi yang baik sebagai wadah yang sanggup memayungi proses kontinuitas kasus, mengingat muda-mudi hebat tergabung di dalamnya.

“Koalisi Muda Kalbar mengusahakan untuk selalu membantu teman-teman penyintas. Kare na gerakan yang terdiri dari beberapa elemen dan konsentrasi yang beragam, maka dari itu setiap komponen membantu dengan porsi dan kekuatan nya masing,” paparnya (29/7/2022).

Rencana pendampingan dan penanganan kasus korban kekerasan seksual oleh Koalisi Muda Kal

bar pun mendapat sambutan hangat dari Ketua Pengurus wilayah RPA Kalbar, Putriana. Wacana berdirinya LBH Kalbar ini tinggal menanti pere smian saja.

“Kita sudah punya banyak SDM di Koali si Muda Kalbar, tinggal dibentuk. Makanya, te men-temen katanya mau bentuk LBH nya itu, ka rena siapapun pelaku akan takut pada kita karena kita kuat,” imbuhnya (26/7/2022).

Besar harapan Putri untuk terus merajut cer ita bersama rekan sejawat yang tergabung dalam Koalisi Muda, hingga LBH Kalbar resmi dipub likasikan.

“Untuk Koalisi Muda Kalbar, semoga kede pannya semakin erat hubungannya dan tidak ha nya dalam rangka seremonial 16 HAKTP saja, itu harapan besarnya. Kemudian yang kedua, untuk soal akan pembentukan LBH Kalbar itu Insya Al lah segera direalisasikan,” tutupnya. []

Edisi XXV/LPM Mimbar Untan/2022 23

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.