Puji dan syukur kami pan jatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan penyertaan-Nya sehingga Ma jalah Mimbar Untan Edisi XV dapat diterbitkan. Doa, usaha, dan kerja keras tim redaksi da lam menyelesaikan Karya di akhir kepengurusan pun berbuah manis. Perjalanan tim redaksi mengerjakan majalah edisi kali tidaklah berjalan dengan mulus. Ada banyak kesulitan dan rin tangan yang dihadapi mulai dari kesulitan mengumpulkan ang gota, kesulitan mengolah data, kesulitan mencari narasumber,
naik-turunnya semangat tim, hingga terjadinya pergolakan dalam tim redaksi. Semuanya memberikan kami pelajaran ber harga mengenai tanggung jawab, kerja sama, kedewasaan, dan militansi.
Pada edisi kali ini, liputan utama kami mengangkat tentang Kesiapan Sekolah Inklusi di Kota Pontianak. Terdapat 42 sekolah yang terpilih menjadi Sekolah Inklusi di kota Pontianak yang disertai dengan masalah terkait sarana dan prasarana yang tidak sesuai standar, Guru Pendamp ing Khusus (GPK) yang belum
terampil, data yang berbeda-be da di setiap instansi serta tidak adanya anggaran khusus bagi GPK sehingga kesiapan dari 42 Sekolah Inklusi tersebut di per tanyakan. Kemudian pada lipu tan khusus, kali ini membahas mengenai Indeks Kemerdekaan Pers (IPK) di Kalimantan Barat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan indikator tingkat kekerasan terhadap war tawan yang masuk dalam kate gori baik, namun masih terdapat kekerasan terhadap jurnalis yang tidak terdata. Tidak hanya itu, masih banyak cerita menarik lainnya dalam majalah Mimbar Untan edisi kali ini.
Demikianlah majalah ini disusun, semoga informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Kami segenap tim redaksi Majalah Mimbar Untan Edisi XV mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi da lam menerbitkan majalah ini.
Salam Pers Mahasiswa!!!
DAPUR REDAKSI
PENASEHAT : Rektor Universitas Tanjungpura PEMBINA : Wakil Rektor iii Universitas Tanjungpura DEWAN PENASEHAT LEMBAGA : Alumni LPM Untan STRUKTUR KEREDAKSIAN MAJALAH MIMBAR UNTAN EDISI XV STRUKTUR KEPENGURUSAN LPM UNTAN PERIODE 2021/2022 PIMPINAN REDAKSI SEKBEN REDAKSI EDITOR : Marlina Marlin : Stephanie Ngadiman : Adi Rahmad REPORTER FOTOGRAFER : All Crew : Hafidh Ravy Pramanda Rizky Arif Gunawan TATA LETAK : Stephanie Ngadiman Rizky Arif Gunawan DESAIN GRAFIS : Mar’atushsholihah Umi Tartilawati Stephanie Ngadiman Sekar Aprilia Maharani KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM BENDAHARA UMUM : Marlin : Mar`a : Stephanie DIVISI PSDM : Syifa, Rizky, Yosi, Fathana, Vania DIVISI PENERBITAN : Monica, Daniel, Antonia, Lulu DIVISI PENYIARAN : Ludovika, Dedy, Arum, Peggy DIVISI LITBANG : Hafidh, Bowo, Ester, Hendy DIVISI PERUSAHAAN: Azmi, Atna, Ersa, Yoga ANGGOTA TETAP : Dedek, Fahrul, Sam, Hilda, Abil, Putri, Wynona, Dita, Rahayu ANGGOTA BIASA : Ilham, Zulfikar, Futri, Azis, Joko, Marissa, Daniko, Ibnu, Mira, Diva, Widya, Angga, Ifdal, Vanessa, Nurul ALAMAT REDAKSI : Jl. Daya Nasional Gedung MKDU Untan, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak, 78124 mimbaruntan@gmail.com mimbaruntan.com mimbaruntan.com lpmuntan Untan Voice Radio Berita Mimbar Untan
Monica
Ediesca
DAFTAR ISI 06 editorial Gagal Paham Sekolah Inklusi 42 kampus Seuntai Harapan Menu ju Kampus Inklusi 45 humaniora Redam Api, Hapus Residu 50 resensi Buruh, Tani, dan Pem berontak 24 sorotan Cabais: Dapur Teman Tuli 38 religi Mengenal Pantang dan Puasa 4 Agama di In donesia 11 utama Latah Kelola Sekolah Inklusi 07 lipsus Suara Sumbang Kebe basan Jurnalis 18 utama Layanan Terapi Anak Berkebutuhan Khusus di Pontianak 27 jepretan 28 seremonial Sambut, Dukung, dan Kawal Lahirnya Satgas TPKS Untan 30 sastra Haruskah Aku Menjadi Manusia? 32 profil Aswandi: Lepas Mang kat, Karyanya Tak Lekas Berkarat 34 opini Melawan Eksklusif Dengan Inklusif 37 tts 53 ilmiah Fenomena Monkeypox, Kenali Gejalanya dan Cari Tahu Langkah Pencegahannya
MIPA merupakan salah satu fakultas di universitas Tanjungpura yang sema kin menunjukan kemajuan dari segi fasilitas. Mulai dari pembangunan gedung baru dan banyak fasilitas baru yang sudah dibangun. Namun, kemajuan tersebut tidak di imbangi dengan kualitas layanan terutama terkait administrasi mahasiswa di kampus untuk berbagai keperluan. Selama saya kuliah di MIPA, dalam mengurus administrasi seperti mengurus surat tidak pernah dicantumkan (minimal ditempel pada pengumuman) tentang Bagaimana mekanisme pengajuan, berapa lama dapat selesai hingga alur yang jelas sehingga kebanyakan mahasiswa kebingungan jika berurusan dengan administrasi. Belum lagi aturan baru yang diberlakukan se karang yang terkesan mempersulit mahasiswa jika berurusan dengan administrasi surat menyurat terutama bagi mahasiswa yang berorganisasi. Jika terjadi perubahan pada alur administrasi, seti daknya perubahan tersebut dapat didokumentasikan secara tertulis agar dapat dilihat dan dipa hami oleh mahasiswa. Kebetulan tadi saya menulis tentang mahasiswa yang berorganisasi, saya pengen ngebahas terkait mahasiswa yang berorganisasi, buat teman teman semua, ingat organi sasi merupakan tempat untuk mengembangkan diri, bukan sebagai sarana untuk memenuhi ke butuhan politik pihak luar, kita berkuliah memiliki batas waktu, jika sudah selesai mengabdikan diri sebagai pengurus, jangan lupa lulus, jangan sampai dengan dalih organisasi, kalian melupa kan tanggungjawab sehingga menjadi penunggu kampus karena tidak lulus-lulus. Berorganisasi boleh, tapi ingat tujuan menjadi mahasiswa. Berorganisasi banyak tapi lulus tepat waktu, bukan kah merupakan sesuatu yang keren kawan?
Fakultas
salah satu Mahasiswa di Universitas Tanjungpura tepatnya di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam merupakan hal yang menyenang kan bagi saya. Hal ini tentu saja jika ditinjau dari para staff dan tenaga pengajar yang selalu berupaya memberikan yang terbaik. Namun, tentu saja jika menarik sudut pandang saya sebagai mahasiswa yang bisa dikatakan tingkat akhir, tentun ya ini menjadi hal yang berbeda dimana pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) tetap berjalan seperti semester-semester sebelumnya seperti ketika masih melaksanakan perkuliahan. Jujur saja hal ini cukup memberatkan bagi saya dan teman-teman mahasiswa lainnya yang hanya mengambil seminar dan tugas akhir. Mahasiswa akhir dapat diberikan pengu rangan UKT berupa potongan sebesar 50%. Hal ini tentunya merupakan sebuah angin segar bagi kami. Namun, pada realitanya ternyata tidak semudah itu. Pasalnya, pada surat yang ditunjukkan sebagai surat resmi rektor yang berisi petunjuk teknis keringanan UKT tidak terlalu jelas untuk saya dan beberapa teman saya. Saya yang hanya mengambil seminar saja pada 1 semester dan semester selanjutnya baru mengambil TA ternyata tidak bisa mengajukan keringanan tersebut padahal sudah mengurus surat-suratnya secara lengkap. Sangat besar harapan saya jikalau hal ini lebih diperhatikan dan ditindak lanjut oleh pihak kampus karena saya rasa banyak mahasiswa lainnya yang merasakan hal yang sama seperti saya.
Menjadi
ANONIM - MAHASISWA UNTAN ANGKATAN 2018
NENI IRMAWATI - MAHASISWA FMIPA ANGKATAN 2018
GAGAL PAHAM SEKOLAH INKLUSI Ilustrasi: Mar’a
Berangkat dari temuan pada pemberitaan di media lokal tentang ditunjuknya 36 Sekolah Inklusi di Kota Pontianak pada tahun 2021, tentu menjadi angin segar. Pasalnya Edi Rusdi Kam tono, Walikota Pontianak men gatakan sekolah yang ditunjuk telah siap menerima peserta di dik dengan disabilitas.
Jika ditotalkan dengan jumlah sekolah inklusi di tahun sebelumnya, kini Pontianak su dah memiliki 42 Sekolah Inklusi.
Tapi dalam perjalanannya, justru menemukan banyak ham batan dalam penyelenggaran pendidikan yang inklusi bagi anak penyandang disabilitas di Kota Pontianak ini. Dari fasilitas Sekolah yang belum ramah dis abilitas, persoalan data, hingga keterlibatan pihak yang ditunjuk dalam Peraturan Walikota (Per wa) Pontianak nomor 8 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Ponti anak.
Lantaran, benarkah sekolah inklusi sudah ‘siap’ menerima peserta didik dengan disabilitas seperti yang dikatakan oleh Wa likota Pontianak?
Pada akhirnya Perwa ini memaksakan diri untuk menjadi sekolah inklusi karena ketidak siapan fasilitas dan kemampuan sekolah. Akibatnya, yang diter ima hanya disabilitas tertentu saja.
Keberadaan jumlah seko lah yang banyak dengan jum lah peserta didik yang diterima
pun dirasa tak sebanding. Tanpa komitmen yang kuat dari semua pihak, pendidikan inklusif tak akan terwujud.
Pemahaman tentang Se kolah Inklusi pun menjadi per tanyaan, dalam Perwa tersebut menyatakan bahwa Sekolah Inklusi adalah sekolah regular yang menyelenggarakan Pendidikan bagi peserta didik yang memili ki kelaianan DAN memiliki po tensi kercerdasan dan/atau bakat istimewa dalam lingkungan pen didikan atau pembelajaran secara bersama-sama dengan peserta di dik pada umumnya. Artinya Per wa tersebut membentuk batasan hanya menerima peserta didik disabilitas yang memiliki kecer dasan dan bakat tertentu saja.
Padahal menurut Anita Woolfok, seorang psikolog khu sus pendidikan anak asal Amer ika menyebutkan bahwa Pendi dikan inklusi berarti pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emo sional, atau kondisi lainnya. Pen didikan yang merdeka tak mem batasi pada apapun.
Tapi perlu diakui bahwa menciptakan pendidikan inklusif pun tidak semudah membalikan telapak tangan, upaya menghad irkan Sekolah Inklusi perlu diapresiasi, walau pemerintah juga harus segera berbenah terutama soal lingkungan kota yang inklu sif, karena tindakan dan karakter inklusif jelas tidak cukup bisa di hasilkan dari sistem pendidikan
berbasis kelas semata.
Sikap inklusif harus di tumbuhkan melalui proses yang berkesinambungan dan tanpa lelah. Proses itu, sebagian harus diasah di lapangan. Karena pen didikan Inklusif tidak hanya me merlukan fasilitas yang ramah disabilitas saja, tapi juga lingkun gan yang menghargai perbedaan. Maka sembari melengkapi fasil itas yang masih minim ini, kota yang ramah disabilitas pun harus dicapai. Jika tidak, bayangkan jika lingkungan tak mendukung, sekolah inklusi tidak akan menja di solusi, justru menjadi masalah baru bagi peserta didik dengan disabilitas yang terlanjur ditem patkan sendirian di dalam kelas bersama peserta didik non-dis abilitas lainnya.
Menjadi pekerjaan rumah yang besar. Lagi-lagi upaya ini harus diapresiasi, tapi sembari menyiapkan Sekolah Inklu si pula, pemerintah kota harus mengeratkan kerjasama den gan Pemerintah Provinsi untuk pendidikan khusus atau segre gasi. Jika Sekolah inklusi belum menjadi solusi mujarab, maka membenahi Sekolah Luar Bia sa (SLB) menjadi sangat pent ing, mengingat wewenang SLB berada dibawah Pemerintahan Provinsi. Dimana saat ini tercatat Pontianak hanya memiliki 5 SLB yang seluruhnya berstatus swasta, Itu pun belum tersedia pula SLB A yang khusus untuk tuna netra dan SLB D untuk tuna daksa.[]
EDITORIAL
Sumber:Depositphotos
Suara Sumbang KEBEBASAN Jurnalis
Oleh: Marlina Marlin dan Dedek Putri Mufarroha
agaman pandangan, akurat dan berimbang, akses in formasi publik, pendidikan insan pers, dan kesetaraan kelompok rentan. Dilanjutkan dengan lingkungan ekonomi dengan elemen kebebasan pendirian perusahaan pers, independensi dari kelompok kepentingan, keragaman kepemilikan, tata kelola perusahaan pers dan lembaga penyiaran publik. Terakhir, lingkun gan hukum dengan elemen independensi lembaga peradilan, kebebasan memprak tikkan jurnalisme, kriminalisasi dan intimidasi, serta etika pers.
Skala penilaian IKP terbagi menjadi kategori ‘Bebas’ dengan skor 90-100, kategori ‘Cukup Bebas’ dengan skor 70-89, kate gori i ‘Agak Bebas’ dengan skor 56-69, kategori ‘Kurang Bebas’ dengan skor 31-55, dan kategori ‘Tidak Bebas’ dengan skor 1-30.
Kemerdekaan pers adalah indikator hak-hak kebe basan bagi jurnalis dalam mem praktekkan jurnalisme. Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang disusun oleh Dewan Pers se tiap tahunnya menunjukkan bagaimana kondisi pelaksanaan pers itu berjalan, baik kebebasan dari tekanan pada aspek fisik dan politik, kebebasan dari tekanan ekonomi dan kebebasan dari tekanan hukum yang mengekang pers maupun kebebasan untuk menggunakan media dalam me ngungkapkan kebenaran.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang no mor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, menyebutkan bahwa Ke merdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Maka dalam hal ini, negara berper an penting dalam memberikan penjagaan serta pengamanan bagi para jurnalis dalam melak sanakan tugas.
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) disusun dengan memper timbangkan tiga kondisi lingkun gan antara lain lingkungan fisik dan politik dengan elemen aspek kebebasan berserikat, bebas dari intervensi, kebebasan dari kekerasan, media alternatif, ker
Sejak empat tahun terakhir, Provinsi Kalimantan Barat ada lah salah satu daerah yang ter masuk dalam kategori wilayah ‘Cukup Bebas’. Penilaian dalam Survei Indeks Kemerdekaan Pers disusun menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pene litian dilakukan melalui kue sioner dengan bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka serta waw ancara mendalam kepada para ahli informan terpilih, yaitu mer eka yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai ke merdekaan pers, berpengalaman atau pelaku langsung di bidang nya maupun sebagai akademisi atau peneliti di bidang yang ber
mimbar lipsus
7
sangkutan dalam jangka waktu minimal lima tahun. Selanjutnya, hasil Survei para informan ahli di setiap provinsi akan di bahas melalui Forum Group Discussion (FGD) berskala nasional dan National As sesment Council (NAC).
Kondisi Kemerdekaan Empat Tahun Terakhir
Secara keseluruhan, kondisi ke merdekaan pers di Kalimantan Barat berada dalam kategori ‘Cukup Bebas’ di sepanjang tahun 2018-2021. Kondisi lingkungan fisik dan politik mengalami peningkatan secara bertahap, walaupun sempat mengalami penurunan sebesar 0.66% di tahun 2019 dan penurunan kem
bali sebesar 1.39% di tahun 2021. Kondi si lingkungan ekonomi mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2020 walaupun mengalami penurunan sebe sar 1.65% di tahun berikutnya. Terakhir, kondisi lingkungan hukum menjadi aspek dengan peningkatan paling tinggi selama empat tahun terakhir.
Menilik lebih dalam pada aspek kondisi lingkungan hukum, Kalimantan Barat berada pada tahap ‘cukup bebas’ selama empat tahun terakhir walaupun sempat mengalami tingkat penurunan dan kenaikan yang cukup tipis. Pada aspek ini, terdiri dari enam indikator penilaian. Nilai tertinggi ditempati oleh indikator Krimi nalisasi dan Intimidasi Pers sebesar 81,31
persen. Sedangkan nilai terendah berada pada indikator Perlind ungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas sebesar 70,50 persen.
Sepanjang tahun 20182021, seluruh penilaian pada indikator ini selalu berada pada posisi yang cukup aman, yaitu dalam kategori ‘Cukup Bebas’ dalam rentang nilai 70-80 pers en. Kendati terbilang aman dan termasuk indikator dengan pe nilaian tertinggi, indikator krim inalisasi dan intimidasi pers ti dak mengalami perubahan yang berarti, sebab data selalu men galami naik dan turun pada an gka 1-4 persen di tiap tahunnya.
Namun demikian, coretan angka yang cukup tinggi dan ter tera dalam penilaian kadangkala menimbulkan pertanyaan. Teru tama dalam dunia pers yang rentan terhadap tindak kekerasan, ancaman, maupun gangguan da lam bentuk lain yang bisa saja
dialami sewaktu-waktu oleh jur nalis. Begitu pula dengan kondisi kemerdekaan pers di Kalimantan Barat yang bertahan dalam po sisi ‘cukup bebas’ selama em pat tahun terakhir, tidak menut up kemungkinan adanya kasus kekerasan yang tidak terdengar maupun terdata.
Menurut informasi yang ter tera dalam Survei IKP Kalbar, tak banyak ditemukan kasus ke kerasan yang dialami oleh para jurnalis baik yang dilakukan oleh TNI, Polri maupun Sipil hingga naik ke meja persidangan. Di ta hun 2019, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ponti anak, Ramses Tobing menyebut kan terdapat kekerasan terhadap jurnalis RUAI TV dalam bentuk penghalangan dan penyitaan alat peliputan jurnalistik dalam kasus foto tak senonoh yang diduga melibatkan seorang oknum kepa la desa di Kayong Utara.
Sayangnya, tak terdengar lagi kelanjutan dari kasus terse but setelah RUAI TV mengirim kan pengacara ke Polres Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Suara Sumbang kekerasan dari Warung Kopi
Dikutip dari laporan IKP, “Suara-suara sumbang mengenai kekerasan jurnalis hanya selintas lewat warung kopi saja.” Namun bagaimana realitas kebenarann ya?
Adalah Ferryanto, jurnalis di bawah naungan Tribun Pon tianak. Ia mengalami kekerasan saat bertugas, tepatnya pada ta hun 2019.
Ferryanto kala itu berangkat sendirian menuju lokasi demo yang dilakukan oleh segerom bolan massa yang tak diketahui identitasnya. Ricuh, adalah sua sana paling tepat menggambar kan kondisi aksi demo pasca
mimbar lipsus
8
penetapan calon presiden terpi lih, Joko Widodo.
Subuh itu tak lagi tenang, sebab dua pos polisi dan banban bekas sengaja dibakar untuk meriuhkan suasana, gerombolan massa tanpa identitas itu meru sak sarana dan prasarana pub lik tanpa ragu. Para jurnalis tak diperkenankan mendekat dan memamerkan alat kerja mereka, smartphone, kamera, dan segala bentuk tangkapan layar tak diter ima.
Memberikan ancaman, melemparkan intimidasi sam pai menodongkan senjata ta jam dilakukan oleh massa aksi. Begitu pula Ferryanto, demi nama keselamatan, ia tak bera ni mengeluarkan kamera dan melakukan dokumentasi dalam bentuk apapun.
“Sehabis sholat subuh, jalanan sudah chaos, mereka bakar-bakar ban. Saat itu mas sa bawa parang, pedang, kayu, bahkan samurai. Meski hampir dilukai massa, saya nggak bisa ambil dokumentasi sama sekali,” jelas Ferryanto saat diwawanca rai pada Selasa, (06/9).
Lelaki yang akrab disapa Ferry itu mengungkapkan bahwa kerja jurnalis saat itu sangatlah dibatasi. Walau telah menggu nakan kartu identitas pers, mere ka masih dihalang-halangi ketika melakukan liputan bahkan san gat rawan dicelakai.
Tak mau ambil resiko, Ferry dan rekan jurnalis lain memilih menepi dan menyelamatkan diri dari ancaman amukan massa. Aksi ricuh ini bertahan hingga tiga hari lamanya, menimbulkan banyak kerugian, korban dan prasangka yang masih tertinggal.
Perempatan Jalan Tanjung
mimbar lipsus
9
Raya I, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Kaliman tan Barat hari itu menjadi saksi bahwa dengan identitas dan per lindungan kuat sekalipun, kerja jurnalis sangat rawan mendapat berbagai tindak kekerasan, khu susnya intimidasi.
Kepada sang pimpinan re daksi, Ferry berusaha terus mel aporkan setiap kondisi yang dial aminya selama liputan. Namun, ia merasa tak perlu melaporkan
kekerasan yang ia dapat kepa da kepolisian. Sebab dirinya tak mendapat kekerasan secara fisik dan menganggap intimidasi dan penghalangan liputan masih ter golong kasus yang ringan.
“Saya nggak apa-apa, ba rang bawaan saya aman, kecuali ada alat kerja yang pecah atau dapat kekerasan fisik baru saya lapor. Kalau hanya dapat intim idasi, itu resiko saya sebagai jur nalis apalagi ditugaskan di divisi
kriminal,” ujarnya.
Di akhir, Ferry berpendapat bahwa walaupun jurnalis bekerja di bawah perlindungan UU Pers, masih banyak orang yang belum memahami tujuan dari adanya perlindungan ini untuk melind ungi kerja jurnalistik. Sehingga, masih banyak ditemui jurnalis yang menjadi target salah sasa ran dalam kekerasan ketika pros es peliputan.
Kosongnya Catatan dan Kekerasan Digital
Dian Lestari, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak masa tugas 2017-2020, mengatakan kecenderungan pe nilaian positif pada survei IKP dipengaruhi oleh narasumber yang kurang memahami kondisi yang terjadi di balik layar ranah jurnalistik. Ditambah lagi, tahapan proses pengaduan yang rumit membuat para jur nalis mengurungkan niat untuk melapor kan kekerasan yang dialaminya. Sehingga kasus kekerasan, penindasan, pemaksaan dan kasus-kasus buruk lain yang menimpa para jurnalis tidak terdengar. Hal ini tentu berpengaruh pada survei IKP yang terus meningkat setiap tahunnya.
“Tidak semua kasus sampai ke kepolisian, jadi IKP-nya cenderung baik. Apabila kasusnya nggak terlalu parah hingga men galami luka fisik, teman-teman jurnalis ng gak akan lapor ke polisi, itu akan diadvoka si oleh pimpinan redaksi yang menaungi,” ujar Dian.
Bentuk kekerasan yang dialami jurna lis saat ini mulai beragam, mulai dari fisik, verbal maupun secara digital. Dian menam bahkan bahwa UU Informasi dan Teknologi
(ITE) dapat melumpuhkan seluruh kalangan masyarakat, bahkan jurnalis yang dilind ungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Baik liputan seremonial hingga in vestigasi, jurnalis sangat rawan mendapat kriminalisasi, intimidasi, maupun serangan secara digital.
Sedangkan Mona Arvita, Pengacara LBH Pers mengemukakan bahwa dewasa ini, kasus pembunuhan terhadap jurnalis di Kalimantan Barat sudah hampir tak terden gar, melainkan lebih kepada kasus kriminal isasi pemberitaan yang dipublikasi melalui jerat-jerat pasal karet UU ITE.
“Tren kekerasan yang dialami jurnalis saat ini lebih ke serangan digital, misalnya peretasan smartphone, peretasan sosial me dia, website yang tiba-tida down, maupun mendapatkan pembullyan setelah menulis sebuah isu,” jelas Mona.
Meningkatnya survei IKP Kalimantan Barat setiap tahunnya tak serta merta diaki batkan oleh nihilnya kasus kekerasan yang terdata. Kasus kekerasan dewasa ini hadir dalam bentuk yang beragam, ia turut serta mengiringi perjuangan pers di Kalimantan
Bersambung di hal 33
mimbar lipsus 10
LATAH KELOLA SEKOLAH INKLUSI
Oleh: Mar`atushsholihah
42 Sekolah dari tingkat TK-PAUD, SD dan SMP telah ditunjuk menjadi Sekolah Inklusi oleh Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono. Tapi program yang baik ini tidak sesempurna kelihatannya, persoalan data, anggaran, dan ketidak siapan ditemui di sekolah-sekolah.
Sejak
tahun 2020, untuk me nerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 ten tang penyandang disabilitas yang memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menunjuk enam sekolah sebagai sekolah percon tohan atau pilot project dalam pelaksanaan Sekolah inklusi, di antaranya PAUD Terpadu Ponti anak Barat dan TK Jalan Selayar Pontianak Selatan, SDN 06 dan SDN 34 Pontianak Selatan serta SMPN 2 Pontianak Selatan dan
SMPN 23 Pontianak Selatan. Kebijakan ini dilanjutkan den gan pengesahan Peraturan Wa likota (Perwa) Pontianak Nomor 85 Tahun 2020 tentang Penye lenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota Pontianak.
Merujuk Perwa No 85 Tahun 2020, Sekolah Inklusi ada lah sekolah reguler pada satuan Pendidikan usia dini, Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah yang menyelenggarakan Pen didikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan / atau
bakat istimewa dalam lingkun gan pendidikan atau pembelaja ran secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pemerintah Kota (Pemkot) berhak menunjuk sekolah negeri maupun swasta sebagai sekolah inklusi di tingkat PAUD hingga SMP. Pemkot juga berkewajiban menjamin tersedianya sarana dan prasarana serta aksesibilitas pen didikan inklusif, termasuk pem biayaan, serta peningkatan kom petensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah yang telah ditetapkan. Pemkot juga
Salah satu peserta didik dengan disabilitas sedang bicara dengan gurunya. Foto: Mar’a
mimbar utama
11
harus memfasilitasi kerjasama kepada berbagai jaringan seperti pusat sumber dan berbagai pihak lain yang terkait dengan penye lenggaraan sekolah inklusi ini.
Setiap anak dengan disabil itas yang diterima di sekolah inklusi didampingi oleh Guru Pembimbing Khusus atau GPK dalam kegiatan belajar anak serta berkoordinasi dengan Pusat Sumber Pendidikan Inklusi un tuk membantu monitoring dan evaluasi. Sumber Pendidikan In klusif di Kota Pontianak yang tel ah ditunjuk yakni Unit Pelaksana Teknis Layanan Disabilitas dan Asesmen Center (UPT LDAC), Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Provinsi Kalimantan Barat, dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Asih Pontianak. Namun dalam Keputusan Wa likota Nomor 260 / Disdikbud / Tahun 2022 hanya menyebutkan UPT LDAC. Hingga kini total terdapat 42 penyelenggara Se kolah Inklusi di Pontianak dan setidaknya 83 guru sebagai Guru Pendamping Khusus (GPK).
Salah satu sekolah Inklusi adalah SDN 31 Pontianak Barat. Sekolah ini ditunjuk pada 2022 dan kini telah menerima 1 Peser ta Didik Penyandang Disabilitas (PDPD) bernama Abdurrazak. Ina Andika, satu dari dua GPK menceritakan mulanya terdapat beberapa wali murid mendaft arkan anaknya yang kebutuhan khusus di SDN 31 Pontianak Barat, namun selain Abdurrazak tak ada yang diterima lagi, pas alnya hanya Abdurrazak yang memiliki surat rekomendasi dari UPT LDAC.
“Kemarin itu ada sekitar 3 atau 4 orang tua yang daftar ke sini karena dia beranggapan se kolah ini sekolah inklusi jadi bisa
12
anaknya masuk di sini, tapi orang tua tersebut tidak ke LDAC, jadi kita sarankan ke sana dulu,” cer ita Ina yang kemudian disusul isak tangis kecil saat ditemui di ruangannya (28/7/22).
Ina mengaku tidak tega untuk menolak siswa tersebut, tapi Ina pun tidak memiliki cara lain. Fasilitas sekolah yang tidak
mendukung dan ketiadaan pengalaman menjadi GPK tentu menjadi pertimbangan pihak UPT LDAC.
“Dari LDAC kesini dulu, meninjau kondisi sekolah kami, ya seperti jalan untuk kursi roda kan be lum ada, jadi anak yang tuna daksa itu belum bisa masuk ke sini, ya seperti Abdurrazak saja yang bisa kami tangani itu yang direkomendasikan,” ujarnya seraya menyeka air matanya dengan tisu.
Usai kelas berakhir, Ina menenteng beberapa buku yang ia gunakan saat mengajar, di antaranya terselip ‘Diary Abdurrazak’ yang ia tulis sendiri. Di buku diary ini lah, Ina menjelaskan perkemban gan Abdurrazak dari hari ke hari dan dalam tiga bulan akan menjadi bahan pelaporan progress kepada LDAC.
Ina tak sendiri, ada Erna Tri ana yang juga ditunjuk sebagai GPK di SD 31 Pontianak. Kedua guru ini bertanggungjawab se bagai wali kelas di kelas 1 dan 2, tujuannya agar pendampingan terhadap ABK lebih mudah.
“Karena kan Abdurrazak ini masih kelas satu, jadi yang awalnya saya adalah wali kelas 5, diturunkan ke kelas 1, supaya lebih mudah mendampingi Ab durrazak, sedangkan Bu Erna di kelas 2, jadi ketika Abdurrazak naik kelas 2, ada Bu Erna di sana, saya menyambut siswa ABK yang baru lagi di kelas 1,” jelas Ina. Abdurrazak merupakan ABK dengan ham batan perkembangan intelektual.
Tak ada kesulitan bagi Ina mengajar Abdurrazak, walau begitu ada keresahan dari Ina kedepan jika hanya GPK yang ditunjuk yang dapat mendampingi siswa ABK saja. menurutnya ketika sekolah terse but telah dinobatkan menjadi sekolah Inklusi maka seluruh guru di dalamnya harus inklusi pula.
“Bagaimana kalau nanti siswanya lebih dari dua, sedang kami hanya berdua, jadi kalau sekolah itu sudah ditunjuk sebagai sekolah inklusi ya semua gurunya harus mampu mengajar ABK, jadi yang ikut pelatihan kalau bisa ya semua guru, jadi semua guru bertanggungjawab untuk ini,” tegasnya.
Ina, salah satu GPK di Sekolah Inklusi SD Negeri 31 Pontianak
Fasilitas tangga landai/ramp SMP Negeri 02 Pontianak
mimbar utama
13
Foto: Mar’a
Foto: Mar’a
Tak banyak hal yang ber beda dengan SD 31 Pontianak Barat, di tingkat TK, tepatnya TK Negeri Pembina Pontianak Barat juga belum ada fasilitas yang ramah disabilitas. Di TK ini hanya ada satu orang GPK, yak ni Anggreiny Afna Yulanda atau akrab disapa Anggi.
“Kita nggak ada persiapan untuk anak-anak disabilitas. Se dangkan saya sendiri ini orang kantor, jadi sebenarnya ngga ngajar, saya ngajar kalau gurun ya berhalangan, saya yang gan tikan,” jelas Anggi (29/7/22). Walau be gitu, TK Negeri Ter padu sudah meneri ma satu orang ABK tanpa surat rekomen dasi UPT LDAC.
“Dia daftar dan diterima karena kan kita nggak bisa no lak. Emang di sini kita nggak bisa no lak (jika ada yang mendaftar),” jelas Anggi. Adit adalah anak yang dimaksud Anggi. Adit di diagnosis autisme.
Mastianti, Ibu Adit menceritakan bahwa ia tidak ngeta hui perihal surat rekomendasi dari LDAC sebagai persyaratan pendaftaran. “Waktu itu terapi selama 8 bulan gratis di Autis Center, setelahnya harus daft ar ulang lagi dan nunggu daftar tunggu lagi karena kuotanya ter batas dan harus bergantian den gan anak-anak lainnya yang mau diterapi. Karena Adit saya lihat bisa di sekolah kan, jadi saya coba sekolahkan saja,” cerita Mastianti, Ibu Adit.
SMP Negeri 2 Pontianak Selatan yang merupakan satu
dari 6 pilot project sekolah in klusi memang memiliki fasilitas sarana dan prasarana lebih baik. Dengan gedung baru pasca renovasi besar, ia memiliki akses kursi roda, toilet duduk dan dua buah kursi roda. Sekolah ini tel ah menerima sebanyak 3 ABK sejak tahun 2021.
Meski begitu, Muhardi se bagai GPK mengaku tidak bisa selalu mendampingi ketiga siswa disabilitas yang ada karena tugas utamanya adalah sebagai guru agama Islam. “Kita di
dari UPT LDAC.
“Sekolah menghadirkan semua guru di sini untuk ikut semacam Bimtek, dengan narasumber dari LDAC. Dihadirkan semua guru, agar semua guru tahu tentang proses asesmen maupun proses pembelajaran untuk anak ABK, cara buat RPP segala macam,” jelas Muhardi, setelahnya ia segera masuk ke ruang kelas melanjutkan men gajar saat bel berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai.
sini hanyalah guru pendamping, karena kan kita guru mapel yang ditugaskan untuk mendampin gi anak-anak, karena secara keilmuan kita belum siap, semua Guru Mapel lah yang lebih ban yak porsinya menghadapi ABK ini,” cerita Muhardi (27/7/22).
Dalam melaksanakan tu gasnya sebagai GPK, Muhardi mengaku terbantu oleh guru-gu ru mata pelajaran yang hampir semuanya telah mendapatkan Bimbingan Teknis (Bimtek) se kolah inklusi. Bimtek tersebut diadakan oleh SMP Negeri 2 se cara internal dengan pembicara
LDAC Menjadi Wadah Seleksi ABK yang Ingin Bersekolah Program Se kolah Inklusif me nempatkan UPT LDAC sebagai bagian penting. Ia juga sebagai satu-satunya sum ber pendidikan inklusi yang melakukan mon itoring dan eval uasi secara langsung, tugasn ya dimulai dari meningkatkan kapasitas GPK, evaluasi hingga merekomendasikan siswa ABK untuk diterima di sekolah terkait. UPT LDAC juga menjadi ger bang pertama untuk menentu kan apakah seorang ABK dapat bersekolah di sekolah inklusi atau tidak.
Dalam program Sekolah Inklusi, UPT LDAC melaku kan asesmen pada ABK guna mengetahui tingkat kemampuan ABK. Hasil dari asesmen berupa rekomendasi tertulis dan tidak tertulis. Bagi siswa yang dinya takan mampu mengikuti seko lah inklusi, maka mendapatkan
Autis Center kini menjadi UPT LDAC Foto: Mar’a
mimbar utama 14
surat rekomendasi, jika dinya takan tidak dapat mengikuti se kolah inklusi maka rekomendasi tidak tertulis ke SLB ataupun ke layanan terapi. Surat rekomenda si itu kemudian dilampirkan saat pendaftaran sekolah inklusi atau PPDB (Penerimaan Peserta Di dik Baru).
Sejak PPDB Tahun Ajaran 2021/2022 hingga PPDB Tahun Ajar 2022/2023, UPT LDAC ha nya melakukan assessment pada 31 calon peserta didik penyan dang disabilitas (PDPD)/ABK. Pada 2021, 11 ABK diasesmen dan 4 ABK direkomendasikan ke TK Inklusi, 1 ke SD inklusi dan 3 ke SMP Inklusi. Sementara 3 ABK masuk kategori lain-lain. Pada 2022, 5 orang direkomen dasikan ke SD Inklusi, 2 orang ke SMP inklusi sementara 4 orang ke SLB, 5 orang diterapi dan 4 masuk ke lain-lain.
“Karena kita di sini menye leksi menyesuaikan dengan ke mampuan GPK yang ada di se kolah,” jelas Yulian saat ditemui di ruangannya (26/7/22).
Pada tahun 2020, awal di tunjuknya 6 sekolah inklusi, UPT LDAC hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada anak penyandang disabilitas tuna dak sa, di tahun 2022 beberapa ABK dengan keterbelakangan men tal ataupun lambat belajar dapat diterima jika dalam kondisi yang tidak terlalu parah.
Selain mempetimbangkan kemampuan GPK dan keter sediaan sarana dan prasarana, setiap sekolah inklusi hanya memiliki hanya memiliki kuo ta penerimaan sebanyak 2% untuk PDPD dari keseluruhan pendaftar, 2% ini termasuk da lam kelompok afirmasi.
Namun jika sekolah inklusi sudah terlanjur menerima PDPD tanpa melewati UPT LDAC maka sekolah harus memberikan surat pengantar untuk dilakukan nya asesmen dan pendampingan. “Memberi surat pengantar kepa da anak yang bersangkutan un tuk bisa diasesmen dulu ke sini,” tegas Yulian.
Namun menurut Yulian, Kasubag TU UPT LDAC, ia menyadari tak semua sekolah su dah dikatakan siap, hal ini yang membuat UPT LDAC tidak ban yak memberikan surat rekomen dasi, sehingga dalam satu tahun, PDPD yang direkomendasikan tidak mencapai angka 10 orang.
“Terus terang ada beberapa sekolah yang tidak cukup syarat nya. Tapi ya mau ndak maulah karena kita ditugaskan oleh Di nas, kita jalankan dulu program nya, minimal SDM-nya dulu yang kita siapkan, dilatih melalui Bimtek (Bimbingan Teknis) be berapa hari, dilanjutkan lagi dengan OJT (On Job Training),” tuturnya. Sejauh ini Bimtek dan OJT dilakukan satu kali dalam setiap periode tahun ajar semen jak diterbitkannya Perwa.
Yulian juga menjelaskan, penunjukan GPK dari unsur guru kelas dan mata pelajaran di seko lah masing-masing dikarenakan Pontianak belum memiliki Guru dengan lulusan PLB (Pendidikan Luar Biasa) yang dapat ditugas kan secara khusus menjadi GPK, oleh karena itu Yulian berkata UPT LDAC tidak serta merta melepas GPK yang sudah dipilih begitu saja usai Bimtek dan OJT. Semua GPK didampingi secara langsung oleh UPT LDAC.
“Kita agak berbeda dengan ketentuan yang secara nasional
atau contoh dari PLDPI (Pusat Layanan Disabilitas dan Pendi dikan Inklusi) di Solo misalnya. Di sana GPK diangkat dalam formasi. Kalau dia sebagai pegawai dia diangkat dalam formasi se bagai Guru Pendamping Khusus nama nomenklatur jabatannya. Tapi itu dengan latar belakang pendidikan minimal S1 PLB. Sementara guru-guru kita di sini tidak bisa. Jadinya mereka hanya sebagai tugas tambahan,”
Sekolah Inklusi hanya untuk ABK “Tertentu”
Penunjukan 36 sekolah pada tahun 2021 pasca ditunjuknya 6 sekolah pilot project membuat total Sekolah Inklusi Per TA 2022/2023 sebanyak 42 institusi dari Kelompok Bermain, TK, SD hingga SMP. Penunjukkan 36 sekolah dilakukan untuk memu dahkan akses ABK dan dianggap sudah siap menerima ABK.
Menurut Kepala Seksi Pem binaan SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Pontianak, Hermawan Eko Wibowo, adanya sistem zonasi pula yang menjadi alasan penun jukkan 36 sekolah tersebut.
“Dilihat dari lokasi seko lah dan jalanannya yang mudah diakses, jadi ada upaya untuk mendekatkan lokasi sekolah in klusi secara merata, karena saat ini juga sudah ada sistem zona si,” katanya saat ditemui di Kan tor Dinas Pendidikan dan Ke budayaan Kota Pontianak pada Rabu (10/8/22).
Berdasarkan data yang di peroleh dari Dinas Pendidikan Pontianak. Sebaran sekolah in klusi di Pontianak yaitu di Ke camatan Pontianak Timur 5 se kolah, Pontianak Kota 9 sekolah,
mimbar
utama
15
Pontianak Tenggara 6 sekolah, Pontianak Barat 7 sekolah, Pon tianak Selatan 14 sekolah, se mentara di kecamatan terbesar yaitu Pontianak Utara, hanya 7 sekolah inklusi.
Menanggapi hal ini, Her mawan mengatakan bahwa Se kolah Inklusi ini hanya untuk kelompok ABK tertentu saja, sehingga tidak semua ABK yang tercatat di Dinas Sosial Kota Pontianak maupun Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong dapat mengikuti pendidikan in klusif, karena spesifikasi setiap data yang berbeda.
“Pendidikan Inklusi di tem pat kita ini Pendidikan Inklusi tertentu, misalnya ABK memili ki cacat fisik tetapi dalam pener imaan pembelajaran ini masih bisa kita tangani, karena perlu juga guru pendamping, sedang kan guru-guru pendamping un tuk anak anak inklusi ini kan kita masih terbatas,” jelasnya.
Di Kota Pontianak menurut Data dari Dinas Sosial Kota Pontianak, Anak Berkebutuhan Khusus semua jenis usia 0-15 tahun sebanyak 82 ABK. Angka ini merupakan angka total ABK yang ada di Pontianak baik yang bersekolah maupun tidak berse kolah. Namun angka tersebut dinilai tidak menggambarkan kondisi nyata di lapangan. Hal ini dikarenakan gap yang besar jika dibandingkan dengan data siswa SLB di Kota Pontianak tahun ajaran 2022/2023 sebesar 519 peserta didik yang terdiri dari 334 laki-laki dan 185 Per empuan. Data peserta didik SLB tersebut diambil dari Data Pokok Pendidikan Direktorat Jender al Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendi
16 Foto: Mar’a mimbar UTAMA
dikan Menengah, Kemendikbud Ristek.
Hermawan menambahkan, dalam proses pengembangan sekolah inklusi ini juga menye suaikan kebutuhan siswa yang telah diterima di setiap sekolah. Tak semua sekolah dapat dileng kapi sarana dan prasarana yang mendukung ABK secara ber samaan. Saat ini berfokus pada kelengkapan fasilitas gedung seperti tangga landai dan kamar mandi.
“Sebelum ditunjuk (sebagai sekolah inklusi) kita sudah mer encanakan bahwa setiap mere hab dan membangun sekolah baru, maka kita mewajibkan adanya ramp (tangga landai) dan kamar mandi yang bisa untuk kursi roda, dan itu pelan-pelan karena tidak mungkin sekaligus kita rehab semua karena kita juga butuh pendanaan yang cuk
up besar,” jelasnya. Sedangkan pengadaan fasilitas seperti kursi roda tidak menjadi fokus utama.
“Ada seperti di SMP 2 itu sudah punya kursi roda bantuan dari PKK, tapi kita tidak fokus ke sana,” katanya.
Bicara soal anggaran, GPK yang ditunjuk dalam Surat Kepu tusan Wali Kota tidak mendapa tkan insentif tambahan dikare nakan Sekolah Inklusi tertentu ini hanya menerima siswa yang masih dapat mengikuti pelaja ran dengan baik, sehingga tidak memerlukan penanganan yang intens.
“Karena kita juga inklusi tertentu, inklusi yang masih bisa mengikuti pelajaran, jadi sebe narnya tidak ada spesifik guru yang menangani, tapi yang ada guru yang ikut membantu untuk siswa inklusi ini. Kita masih da lam jangkauan bahwa mereka ini
seperti siswa pada umumnya, ya mungkin setiap guru bisa meng handle,” terangnya.
Hermawan menyamakan tugas GPK seperti tugas Wali kelas yang merupakan bagian dari tu gas pokok guru, tidak bisa dibe dakan.
“Karena itu juga masuk ke dalam tugas pokok, ga bisa kita bicarakan soal anggaran ini kare na sensitif,” Pungkasya.
Namun saat dikonfirmasi kepada Walikota Pontianak, Edi mengatakan GPK telah memili ki insentif khusus. “Terkait guru pendamping ini ada insentifnya, sama hal nya dengan insentif tambahan yang lain, harusnya sudah (diberikan) sama seperti yang lain. Nanti saya cek lagi,” ucapnya melalui wawancara ek sklusif pada Kamis (11/8/22) di Kantor Walikota Pontianak.
Namun setelah dikonfirmasi, UPT Klinik Utama dan SLB Dharma Asih tidak mengetahui adanya Perwa tersebut begitupun keterlibatan mereka didalamnya. Menurut Hermawan, Se kolah Inklusi masih bisa ditangani oleh UPT LDAC sehingga belum melibatkan dua sumber pendidikan lainnya.
Kami menemui Suyanti, Kepala Sekolah SMP Dharma Asih bagian B yang dikhususkan untuk tuna rungu. Suyanti mengaku belum adanya sosialisasi terkait hal tersebut.
“Tapi ya kita mendukung adanya perwako itu, siapapun yang memerlukan informasi, in stansi manapun, sekolah mana pun, jika memerlukan pendampingan bahasa isyaratnya ya bisa. Tapi sejauh ini untuk sekolah inklusi ini belum ada, barangkali di sana sudah tertangani dengan baik dan itu tidak apa,” katanya saat ditemui di ruangannya pada Rabu (3/8/22).
Yosephina, Kasubag TU UPT Klinik Utama Provinsi Kalimantan Barat berharap agar mel ibatkan UPT Klinik Utama dalam pertemuan mengenai pembahasan sekolah Inklusi tersebut.
“Mungkin kedepannya kalau kita juga dilibatkan dalam perwako ini, sebaiknya kalau ada
Bersambung
Dalam Perwa nomor 85 tahun 2021 menyebutkan Rumah Sakit Jiwa Sungai Bangkong Provinsi Kalimantan Barat yang sekarang telah menjadi UPT Klinik Utama Provinsi Kaliman tan Barat dan SLB Dharma Asih sebagai sumber pendidikan sekolah inklusi, bersama dengan UPT LDAC.
Perlu Meningkatkan Koordinasi dan Perbaikan Data
di hal 41 17 mimbar utama
LAYANAN TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI PONTIANAK
Oleh: Syifa Meidiana
Anak berkebutuhan Khusus (ABK) umumnya mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembang, baik secara motorik maupun kognisi. Terapi pada ABK meleng kapi instrumen pendidikan lain yang dibutuhkan oleh ABK dimana instrumen pen didikan ini mencakup pendidikan inklusif, pendidikan segregasi dan terapi. Oleh karena itu, proses terapi bagi beberapa ABK menjadi hal yang penting dan tidak bisa digantikan.
Terapi dalam dunia medis dikenal luas sebagai upaya “mengobati” sakit yang terja di secara fisik maupun kognisi. Namun dalam terapi pada ABK, terapi lebih mirip proses pem belajaran dengan merangsang perkembangan fisik anak dengan baik dan dapat mengubah gang guan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku yang terjadi pada anak. Dalam prosesnya terapi dilakukan secara rutin dan ter padu agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan pada akh irnya mampu hidup dan berbaur dalam masyarakat.
Di Pontianak terdapat be berapa lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang menye diakan layanan terapi secara gratis untuk ABK. Salah satu lembaga yang disediakan oleh pemerintah untuk layanan terapi ABK adalah UPT Klinik Utama Sungai Bangkong. UPT Klinik Utama Sungai Bangkong ter letak di Jalan Alianyang No. 1 dan beroperasi dari hari Senin hingga Jumat.
Menurut Yosephina, Kepa la Sub Bagian Tata Usaha, sejak tahun 2021 terdapat perubahan nama dari yang mulanya Ru mah Sakit Jiwa Daerah Sungai
Bangkong menjadi UPT Klinik Utama Sungai Bangkong. Na mun demikian, perubahan nama ini tidak mempengaruhi fungsi UPT Klinik Utama Sungai Bang kong, segala jenis pelayanan masih sama seperti dulu. UPT ini berada di bawah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.
“Sebenarnya untuk fungsi pelayanan terhadap masyarakat tidak ada perubahan, yang beru bah itu hanya nomenklatur tetapi untuk pelayanan masih kita yang layani, baik itu pelayanan anak berkebutuhan khusus, pelayanan Napza, konseling Napza, pe layanan psikiatri,” ucapnya.
UPT Klinik Utama Sungai Bangkong memberikan layanan terapi yang tepat untuk seti ap kondisi anak, terapi ini juga menjadi jembatan bagi anak yang hendak bersekolah. Mereka diajari cara berbicara dan belajar untuk fokus, karena umumnya ABK mudah terdistraksi saat belajar dan justru menanggapi hal lain selain penjelasan guru. Ten tu saja fokus yang kurang mem buat anak tidak menyelesaikan tugas-tugasnya dengan maksi mal, tertinggal, atau bahkan me
makan waktu lebih lama. Bagi orang tua yang masih ragu dengan kemampuan anaknya belajar di sekolah juga dapat melakukan tes IQ untuk memastikan anakn
ya sudah siap dan mampu bersekolah.
“Mereka diajari gimana cara bicara, dia jari fokus untuk yang ku rang fokus, nanti setelah bisa fokus baru kita sa rankan, boleh kalau mau coba ke sekolah inklusi. Tapi kadang-kadang ada orang tua yang mau tes IQ, kira-kira (anaknya) kalau di sekolah ini mam pu nggak,” ungkapnya.
Adapun Instala si Anak Berkebutuhan Khusus dibangun sejak tahun 2010. Jumlah kunjungan terapi pun semakin bertambah tiap tahunnya. Tercatat tahun 2021 angka pengunjung melonjak menjadi 4.419 kunjungan, dari yang sebelumnya tahun 2020 hanya 1.153 kunjungan. UPT Klinik Utama Sungai Bangkong menan gani berbagai jenis ABK dengan berbagai jenis diagnosis. Pada
mimbar utama
”
“
18
mimbar utama tahun 2021 diagnosis autisme menjadi yang terbanyak dengan jumlah 977 ABK. Disusul dengan diag nosis Speech Delayed (457 anak), Schizoparanoid (322 anak), Gg. Konvulsif (131 anak), dan PDD-NOS (59 anak). Data ini menunjukkan semakin banyak anak berkebutuhan khusus di Pontianak.
Selain UPT Klinik Utama Sungai Bangkong, masyarakat juga dapat mendaftarkan anaknya di UPTD Layanan Anak Disabilitas dan Asesmen Center (LDAC) Pontianak.
UPTD LDAC bernaung dibawah Dinas Pendidikan Kota Pontianak dan telah diresmikan Operasio nalnya pada tanggal 22 November 2014 oleh Walikota Pontianak. Lembaga ini adalah pusat terapi un tuk anak-anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus terutama sindrom autism. Semua layanan terapi di UPTD LDAC bersifat gratis karena didanai lewat APBD Pemerintah Kota Pontianak. Sebagai sarana penunjang, UPT LDAC memiliki 13 ruangan terapi, alat terapi yang standar, dan SDM terlatih dengan tambahan dokter, psikolog, dan ahli gizi.
Adapun untuk pendaftaran terapi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu anak berusia 13-18 tahun, menjalani screening dan siap mengikuti terapi sesuai jadwal, dan melengkapi persyaratan administratif. Maksimal waktu terapi yaitu satu tahun dengan melibatkan orang tua di mana orang tua bisa melanjutkan terapi di rumah sendiri.
Mastianti, ibu dari Adit yang saat ini menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembi na Pontianak merupakan salah satu yang terbantu dengan UPTD LDAC. Layanan gratis yang diberikan dimanfaatkan oleh Mastianti untuk terapi anaknya yang saat itu berusia tiga tahun. Selama di sekolah, Adit mendapat respon yang baik, ia tidak mendapat perlakuan yang berbeda. Dalam proses belajar di
19
Foto: Mar’a
kelas, Adit juga tetap didampingi oleh gurunya.
“Respon teman-temann ya baik-baik. Biasanya kalau di kelas didampingi sama gurunya. Terapi di autis center tidak ber bayar, semua terapi di situ gratis berhenti terapi karena dia ada batasnya 8 bulan. Usia berapap un setahu saya sih gratis,” ung kap Mastianti.
Rumah Autis Sayang Pontianak Sebagai Alternatif Layanan Terapi
Rumah Autis Sayang Ponti anak yang menjadi salah satu al ternatif bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapat layanan pendidikan dan terapi. Untuk ter api di sini lebih berfokus untuk terapi perilaku pada ABK. Saat ini terdapat sekitar 20 ABK yang diterapi di Rumah Autis. Anakanak tersebut ditangani oleh ter apis di Rumah Autis yang ber jumlah tiga orang dengan jadwal bergiliran.
Dini, salah satu terapis di
Rumah Autis ini menyampaikan ceritanya saat melihat anak di diknya memiliki progres, ia merasa begitu bahagia meskipun menurutnya membutuhkan wak tu yang tidak cepat. Dini juga menerangkan bahwa terapi yang dilakukan haruslah rutin dan jika si anak jarang diterapi maka ha rus mengulang lagi dari nol.
”Kesannya awalnya senang sekali, siapa sih yang nggak sen
ang lihat anak ada yang membaik walaupun bertahap benar-benar cukup lama. Kalau dia misalnya jarang diterapi lagi harus ulang lagi dari nol karena dia langsung hilang makanya kalau lama ndak diterapi nanti diterapi lagi nah itu progresnya tuh sulit,” ung kapnya.
Dini melanjutkan, keberhas ilan terapi anak-anak berkebutu han khusus seperti Autis, tidak
terlepas dari kerja sama orang tua. Orang tua perlu men jalin komu nikasi yang baik dengan terapis dan berkonsul tasi dengan terapis untuk memenuhi semua kebu tuhan anak, seperti peri hal makanan yang boleh
mimbar utama
20
Gedung Instalasi ABK UPT Klinik Utama Sungai Bangkong Foto: Mar’a
Seorang Ibu sedang mengantri layanan terapi untuk anaknya di UPT LDAC Pontianak
Foto: Mar’a
maupun tidak boleh dikonsumsi. Makanan yang tepat bisa mem bantu memperbaiki perilaku anak, sementara makanan yang tidak tepat akan bekerja sebali knya. Dari sinilah peran orang tua dalam membantu terapis meningkatkan perkembangan anak.
Namun meski telah diber
ikan pemahaman larangan beberapa jenis makanan, menurut Dini masih ada orang tua yang tidak me matuhi hal tersebut dengan alasan takut anaknya keku rangan gizi.
“Saya sudah larang ini masih ngeyel takut anaknya kurang gizi padahal tepung, gula, susu itu sudah paten nggak boleh karena itu nan ti dia sikapnya bakal racun/ toxic,” ucapnya.
Rumah Autis pada awalnya hanya ada satu, kini sudah berlokasi di dua tempat, yaitu di Jalan H. Rais Arrahman Gang Agung No.46 dan Jalan Ampera Gang Ikhlas. Ter batasnya ruangan yang ada menjadi alasan hadirnya cabang Rumah Autis.
Lola Prianti, sebagai terapis Rumah Autis men gatakan bahwa selain tera pis, ada pula relawan yang turut membantu jalannya Rumah Autis. Setiap dua tahun sekali, terdapat ke giatan bernama Odbeat un tuk orang-orang yang ingin menjadi relawan. Dari situ relawan diberi bekal men genai cara menghadapi dan memberikan terapi pada ABK. Sejauh ini, terdapat
sekitar tujuh relawan di Rumah Autis.
“Biasanya relawan ini ber tugas di kelas sosial untuk me nerapi anak. Kelas sosial isinya lebih dari satu anak dalam satu kelas. Selain itu juga ikut dalam kegiatan yang ada di Rumah Au tis,” ungkapnya.
Sebagai layanan terapi
cuman kan ASN-nya ngasih pribadi, bukan dari pemerintah annya,” ucapnya.
Menurut Lola, terapi pada ABK di Kota Pontianak ma sih perlu peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Selain itu, masih banyak ABK yang belum merasa bahwa ter api itu penting untuk dijalani.
Lola sedang memberi layanan terapi kepada Richie Foto: Mar’a
ABK, Rumah Autis memerlukan sarana, seperti ruangan, mainan, dan alat pendukung terapi lainn ya. Keperluan tersebut didapat kan dari uang donasi masyarakat dan proposal.
Untuk pembiayaan, selama ini berasal dari para pengurus, donatur dan perusahaan atau sponsor. Dini mengatakan bahwa Rumah Autis belum mendapat kan dana dari pemerintah, hanya ASN yang memberi dengan uang pribadi dan bukan atas nama pe merintah.
“Mereka tu ngasih sih,
Untuk itu, diperlukan kerja sama oleh banyak pihak, tak terkecuali pemerintah. Lola juga berharap pemerintah dapat memberikan dukungan terhadap sarana dan prasarana terapi.
“Pemerintah dapat ikut andil dimulai dari angka pasti anak berkebutuhan khusus per diag nosanya, hingga menuju pener imaan dan pendukungan ABK melalui edukasi kepada orang tua untuk menerima terapi yang komprehensif,” tutupnya. []
mimbar utama
21
CABAIS: DAPUR TEMAN TULI
Sepuluh menit perjalanan kami menyusu
ri jalanan pusat kota Jalan Jendral Ah mad Yani untuk bisa sampai menuju Kafe yang terletak di Jalan Sungai Raya Dalam Ruko Komplek Griya Pesona. Sesampainya disana, kami membaca tulisan didepannya Cafe Bahasa Isyarat (CABAIS). Kami pun langsung disuguhkan dengan pemandangan gedung sederhana namun sangat memanja kan mata, dengan desain kafe minimalis dan kekinian membuatnya menjadi kafe pada umumnya. Kami langsung memasuki kafe dan disambut dengan senyuman ramah para pengunjung dan pekerja disana.
Hal yang cukup menarik, pramusaji dan baristanya merupakan teman tuli. Na mun pengunjung yang tidak mengerti baha sa isyarat tak perlu khawatir, Untuk mem bantu berkomunikasi, di dinding dekat meja kasir terdapat papan bahasa isyarat abjad
Bisindo. Pemesanan dilakukan menggunakan bahasa isyarat. Tapi, jika pengunjung merasa kesulitan berkomunikasi, pekerja kafe ini akan menyediakan kertas untuk menuliskan pesanan pengunjung.
Dewasa ini seringkali timbul pertanyaan tentang cara teman tuli berkomunikasi dan menjalankan kehidupan sehari-hari tanpa adan ya perbedaan. Tidak dipungkiri memang ket erbatasan ruang untuk menyampaikan aspirasi cenderung membuat teman tuli sulit beradap tasi dengan masyarakat dan tak jarang teman tuli merasa tidak memperoleh kesetaraan dalam
Foto: Willy Halim
lingkungan sosial. Menyuarakan kesetaraan tersebut, teman tuli mengupayakan banyak hal, satu diantaranya adalah mendirikan CABAIS. CABAIS menjadi tempat nongkrong dan ngopi sekaligus men jadi ruang untuk para teman tuli dan khalayak umum. Hal ini tampak dari penamaankafe dan juga di dirikan oleh salah seorang teman tuli yang merupakan mantan Miss Deaf Internasi onal, Lidya Alvani Taslim, dan rekannya Willy. Hari itu wartawan LPM Untan mendapat kesempatan untuk mewawancarai Lidya pendi ri CABAIS. Sejenak kami bersantai, dengan
Suara senyap teman tuli tidak serta merta diam tak bergerak, mulai dari gebrakan kecil, teman tuli ciptakan dapur interaksi berwujud kafe
“ Nongkrong di CABAIS bisa sambil belajar bahasa isyarat
mimbar sorotan
Oleh: Rizky Arif Gunawan & Stephanie Ngadiman
24
dibantu oleh salah seorang anggota Komunitas Kerabat Peduli Inklusi (KLIK) yang bernama Aldi, Lidya pun mulai bercerita latar belakang pembentukan CABAIS. Lika-liku hambatan dirasakan oleh teman tuli, dimulai dari sulitnya mengakses pelayanan publik, keterbatasan lapangan pekerjaan, hingga melan jutkan pendidikan perguruan tinggi di Pontianak. Pantang menyerah, teman tuli mencoba bergerak se cara perlahan-lahan dengan mencanangkan pembentukan CABAIS. Namun pada tahun 2019, pandemi membawa beban ganda bagi teman tuli sehingga rencana tersebut baru dapat terealisasi pada tahun 2021.
“Dulu ga ada tempat, pindah-pindah, jadi akhirnya memutuskan untuk bukakafe biar pada stay disini, teman-teman tuli punya markas, jadi lebih mudah untuk ngumpul satu sama lain dan sharing informasi,” ujarnya, (Selasa, 14/6).
Lidya mengakui bahwa dahulu masih belum ada komunitas atau kepemudaan seperti saat ini, juga sulit baginya untuk memperoleh kesempatan kerja di Pontianak sehingga ia memutuskan untuk melan jutkan karirnya di Jakarta. “Awal karir di mulai di Jakarta karena saat itu di Pontianak ga ada aksesnya, teman-teman tuli kepemudaan maupun komunitasnya belum ada, orang-orang juga bingung gimana cara mempekerjakan teman tuli karna tuli dianggap ga bisa berkomunikasi, pelayanan umum tidak dapat di akses secara langsung bahkan terkendala dalam melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi,” kata Lidya. Tak berhenti disitu, ia juga aktif dalam mengikuti kegiatan mulai dari ajang perlombaan dan terlibat dalam West Borneo Deaf Community (WBDC) dengan memberikan pengajaran bahasa isyarat. Menilik dari pengalaman dan permasalahan yang telah dilaluinya, Lidya menilai dibalik hal yang dialaminya, ada faktor-faktor yang berpengaruh didalamnya. Ia menyebutkan satu diantaranya yaitu pengetahuan “Kenapa bisa terjadi seperti itu, karna orang-orang umum ga tahu, ga paham cara ngetreatnya, cara menangani ketika ada tuli itu seperti apa,” jelasnya.
Menurutnya, CABAIS bisa menja di tempat untuk meningkatkan penge tahuan dan menjadi penghubung antara teman tuli maupun masyarakat umum serta memperkenalkan budaya bahasa isyarat itu sendiri. Hal ini tampak dari layanan yang diberikan oleh CABAIS dimana CABAIS memberikan multi pelayanan dalam bentuk komunikasi bahasa isyarat maupun melalui pesan teks.
Ade sebagai teman tuli sekaligus bagian dari West Borneo Deaf Com munity (WBDC) turut merasa senang karena dapat membagikan dan mem perkenalkan dunia bahasa isyarat bagi pengunjung “Biasanya ada pengunjung yang minta diajari, saya senang menga jari mereka dan memperluas ilmu baha sa isyarat,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp (18/7).
Hal senada disampaikan oleh Windy seorang teman tuli “Adanya kafe CABAIS di kota Pontianak ini ten tu saja membuat saya atau kami mera
sa senang karena dapat menunjukkan bahwa kaum tuli pun bisa memiliki kemandirian, dan dikafe ini kami bisa sering berinteraksi bersama komuni tas tuli,” tambahnya.
CABAIS tidak hanya ditanggapi secara positif oleh teman-teman tuli, Yeni sebagai peneliti dan pendamping teman tuli di Pontianak mengatakan hadrinya CABAIS merupakan bentuk keberanian teman tuli untuk bersek spresi. “Mereka menunjukkan untuk bisa terlibat dalam usaha kecil-menengah, dan mengambil bagian mem buka ruang inklusif, untuk masyarakat umum, tidak hanya untuk teman tuli saja,” kata Yeni yang sekarang bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional, (Minggu, 21/8).
Sejauh yang diamati oleh Yeni, jauh sebelum adanya CABAIS, teman-teman tuli menyewa atau meminjam ruang lembaga lain setiap kali akan melakukan aktivitas bersa ma. Sebuah kabar baik kini teman tuli
25
memiliki ruang sendiri, bahkan dapat memberikan edukasi Bisindo lebih luas, pengunjungkafe bisa berkenalan dengan Baha sa Isyarat tanpa perlu ada acara khusus serta teman tuli membu ka diri untuk proaktif lebih ban yak dalam menjangkau teman dengar.
Reinada salah satu pengun jung sempat kebingungan saat pertama kali mendatangi kafe ini karena jarang menemukankafe seperti CABAIS yang dikhu suskan untuk teman-teman tuli. Selain untuk teman-teman tuli, masyarakat umum juga dapat mempelajari hal baru dari apa yang teman-teman tuli bicara kan, bagaimana bahasa isyarat, dan menambah pengetahuan etikad yang baik saat berpapas an atau bercakap dengan temanteman tuli.
Reinanda merasakan sen ang dan mengharapkan kafe ba
hasa isyarat memiliki beberapa cabang di Pontianak. Menurutnya teman tuli bisa nongkrong dikafe sehingga masyarakat kelompok umum paham bahwa teman tuli sama aja, tidak ada perlakukan khusus seperti seko lah dibedakan dan juga di dunia kerja
“Saya harap sih sebenarnya kafe-kafe kaya gini dibanya kin, jadi mereka teman tuli bisa nongkrong dikafe kaya gini dan tidak ada perlakukan khusus sep erti dibedakan” katanya.
Hal senada juga diungkap kan oleh Shafira pengunjung kafe tersebut. Baginya dengan berdiri CABAIS dapat belajar banyak dan lebih memahami teman tuli. “Kalau ga di tempat kaya gini mungkin agak sulit un tuk mengerti mereka mau kaya gimana ngomong sama mereka,” imbuh Shafira, Minggu (21/8).
Aldi, satu diantara seorang
Komunitas Kerabat Peduli Inklu si (KLIK) menyampaikan bahwa isu disabilitas di kota Pontianak sendiri telah memperoleh perha tian lebih dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun tetap menja di tugas bersama untuk menuju Indonesia lebih inklusif “Bakal bisa terwujud tapi dengan waktu yang cukup panjang, jadi untuk mewujudkan hal itu perlu dukun gan dari semua pihak kerjasama yang baik, baik dari teman tuli itu sendiri, teman tuli yang harus jadi pelopor, dari bagaimana cara mereka untuk menyuarakan atau menggerakkan bahasa isyarat itu sendiri lalu dari kita masyarakat umum bagaimana menanggapin ya, ibaratnya aware dan mau ber interaksi sama teman-teman tuli serta dukung pemerintah sangat penting dalam hal mewujudkan itu,” paparnya (Minggu, 21/8). []
mimbar sorotan
26
Lidya sedang bicara dengan teman dengar menggunakan bahasa isyarat
Foto: Mar’a
mimbar
jepretan
27
SAMBUT, DUKUNG, DAN KAWAL
LAHIRNYA SATGAS TPKS UNTAN
Oleh: Monica Ediesca & Stephanie Ngadiman
Dibentuknya
Satgas Ke kerasan Seksual di Univer sitas Tanjungpura, merespons Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Te knologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021, tentang: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan perguruan Tinggi Diresmikan sejak 10 Febru ari 2022 lalu, Garuda Wiko se laku Rektor Untan mengatakan satgas tersebut hadir melalui proses yang panjang. Mengikuti mekanisme yang telah dijabar kan pada Permendikbudristek 30, seperti membentuk Panitia Seleksi (Pansel) yang berjumlah 11 orang anggot yang terdiri dari pendidik, tenaga pendidik, juga mahasiswa.
“Pansel sudah terbentuk di
Untan, jadi sudah diseleksi an ggotanya dengan jumlah maha siswa di atas 50% sesuai dengan arahan dari Permendikbud 30,” jelas Garuda saat ditemui di Rek torat (22/3/2022).
Ia juga menjelaskan bah wa ketika Pansel telah dibentuk, maka akan diberi sebuah pelati han yang diselenggarakan oleh unit kerja di Kementerian agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter sesuai dengan Pasal 30 Ayat 2, barulah dibentuk sebuah Satgas PPKS. Hadirnya satgas tersebut pun menjadi sebuah wadah pelapo ran apabila masyarakat kampus menemui kasus kekerasan seksual di lingkungannya.
Lebih lanjut, mengutip dari Hi! Pontianak, Garuda memapar kan bahwa pihaknya akan mem
berikan pendampingan Psikologi untuk korban yang mengalami kekerasan seksual melalui ker jasama Untan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), melalui rangkaian Standar Operasional Prosedur (SOP) PPKS.
“Ada SOP-nya kalau ditemukan laporan dan dia (read: kasus kekerasan seksual) masuk ke ranah hukum maka akan kita bawa ke aparat penegak hukum. Kita juga ada pendampingan dan LBH di Untan,” paparnya.
Adapun Emilya Kalsum, seorang dosen yang dimanda ti sebagai Ketua Satgas PPKS mengatakan bahwa Satgas akan menanggapi sebuah laporan ke kerasan seksual melalui bebera pa alur yang telah tertuang dalam Pasal 38, yaitu tahap penerimaan
mimbar seremonial 28
Sumber: BBC
laporan, tahap pemeriksaan, tahap penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, tahap pemu lihan, hingga tahap tindakan pencegahan keberulangan.
Walau hingga saat ini belum
sedangkan transparansi tersebut tidak diterangkan dalam petun juk pelaksanaan bahwa itu ada lah ranahnya. Oleh karena itu, hingga kini informasi struktur keanggotaan tersebut pun belum
saling mengedukasi,” terangnya.
Meski begitu, Dian turut mengapresiasi Untan yang telah sigap dalam mengambil langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, menim
terdapat laporan masuk menge nai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, Emilya me negaskan akan berupaya memberikan kegiatan-kegiatan pre ventif agar dapat menciptakan ruang aman bagi seluruh mas yarakat Untan.
“Kami mencoba mem berikan kegiatan yang bersifat preventif, kita siapkan sosial isasikan kepada mahasiswa dan mengajak semua civitas akade mika untuk menyelenggarakan lingkungan anti kekerasan,” jelasnya saat ditemui di Gedung Konferensi (31/03/22).
Saat ditanya mengenai transparansi struktur keanggota an Satgas PPKS, Emil memapar kan bahwa pihaknya hanya ber tugas untuk menyusun program,
dirilis.
Hal tersebut pun ditangga pi oleh Dian Puji Lestari, Ma hasiswa Prodi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Alam (FMIPA) Untan. Ia menyayang kan bahwa belum transparann ya struktur keanggotaan Satgas PPKS tersebut. Ia mengaku bah wa informasi mengenai pemben tukan satgas tersebut pun tidak sampai ke telinganya. Padahal menurutnya, transparansi terse but sangatlah penting untuk kor ban mencari orang yang tepat untuk bercerita.
“Saya ga tau dalam pemben tukan Satgas PPKS ini apakah dibentuk oleh mahasiswa atau siapa. Kalau misalnya dibentuk oleh mahasiswa, menurut saya itu bagus. Jadi mahasiswa bisa
bang banyak sekali kasus yang belum terjamah oleh para pet inggi kampus. Ia berharap, para eksekutif kampus seperti BEM Untan dapat mengangkat kem bali informasi-informasi seputar Satgas PPKS ini.
“Melibatkan eksekutif kam pus untuk menyebarkan infor masi terbuka terkait ini merupa kan langkah yang perlu dicoba kembali. Banyak sekali kasus kekerasan seksual bak fenome na gunung es, dengan melibat kan mahasiswa harapannya bisa membuat korban untuk berani speak up,” tambahnya.
Di akhir wawancara, Dian menggantung sebuah harapan agar kedepannya Untan dapat menciptakan ruang aman bagi
lingkungannya.[] “Semoga masyarakat Untan yang mungkin pernah menjadi korban yang mengalami kekerasan seksual baik fisik maupun verbal, jadi punya ruang untuk bercerita. Dengan itu korban dapat pulih dan tidak menganggap bahwa kejadian tersebut hanyalah aib belaka,” tutup Dian. 29
HARUSKAH AKU MENJADI MANUSIA ?
Oleh: Zulfikar Suardi
Hiruk-pikuk
suasana jalan siang itu, ban mobil yang diba kar, massa yang memblokade jalan, ditambah dengan terik matahari menyengat tubuh membawa dua pemuda berteduh di bawahku. Sekilas aku sudah tahu apa yang terjadi, aksi demon strasi dengan dalih “menyampaikan aspirasi” masyarakat.
“Semoga aksi kita ini bisa didengar oleh pemerintah, agar tuntutan yang kita suarakan melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat” ucap seorang pemuda dengan wajah tersenyum puas.
“Aku bangga bisa mewakili suara dan keresahan mas yarakat untuk disampaikan kepada pemerintah” ucap pemuda satunya sambil menyedot es teh yang dimasukkan ke dalam plastik.
Tidak henti-hentinya Aku mendengar ucapan seperti itu. Jujur saja, selama 50 tahun terakhir, aku sudah mendengar uca pan serupa setiap kali aksi demonstrasi terjadi. Aku senang, aku terharu, dan kadang aku berpikir aku ingin menjadi manusia seperti mereka. Dengan misi yang mulia, untuk memperjuang kan nasib rakyat. Tapi dalam 10 atau 20 tahun kemudian, ku perhatikan mereka, hanya kekecewaan yang kudapat. Ucapan yang pernah mereka katakan dengan bangga sangat gampang di lupakannya ketika sudah menyangkut masalah perut. Tentunya mengurus hidup sendiri lebih utama dibanding mengurus hidup orang lain.
“Keputusanku untuk tidak menjadi manusia memang su dah benar” batinku.
***
Sudah menjadi takdirku untuk merasakan kesakitan yang hebat dalam proses penuaan. Aku menolak untuk menjadi tua, warna kuning cerah dan bentuk yang indahku membuat manusia terpukau. Aku tidak ingin menua hanya untuk menjadi terbuang, rapuh dan dihembuskan angin. Setiap kali proses itu terulang, ingatanku tentang kehidupan manusia yang penuh kemunafikan terus terlintas melalui seeds ball ku. Aku adalah dandelion, dan delion tua yang siap diterbangkan angin untuk lagi-lagi menje lajahi kehidupan manusia.
Angin menerbangkanku menyusuri kehidupan manusia. Aku melihat banyak hal tentang perbua tan manusia. Melihat kemunafikan para pejabat yang hanya peduli dengan perutnya. Melihat bagaimana manusia mengumpat satu sama lain. Melihat bagaimana manusia menari-nari diatas penderitaan ses amanya. Manusia memang makhluk yang sombong, memiliki kelebihan sedikit saja membuat mer eka menindas yang lain. Hal yang paling menyesakkan adalah melihat manusia yang otaknya hanya dipenuhi selangkangan. Berani berbuat, tapi tak berani bertanggungjawab. Sesak melihat calon penerus nya terbunuh di dalam perut atau mati bersama ibunya. Sementara yang lainnya sibuk mengulangi fase
mimbar sastra
30
yang serupa.
Aku takut, sungguh takut menjadi manusia. aku takut akan terlahir dengan kekurangan fisik yang akan membuatku ditindas dan dijauhi. Aku takut apabila menjadi manusia yang serakah. Menjadi manu sia yang hanya peduli dengan diri sendiri. Takut untuk menjadi sosok yang aku sangat benci.
***
Perjalananku berakhir, tibalah saatnya aku menjalani hidupku yang baru, Aku ingin menjadi pohon. Menjadi pohon yang selalu punya manfaat. Yah, itulah keputusanku. Keputusan yang nantinya akan aku sesali.
Ketika aku masih menjadi pohon kecil, aku tidak berdaya. Tidak ada yang memperhatikanku. Aku hanya berharap air hujan yang bisa menyiramiku. Aku hanya berharap manusia dengan tidak sen gaja menyingkirkan batu yang menindih batangku. Aku menyesal, hingga mataku terbuka. Tidak semua manusia busuk, manusia juga ada yang baik.
Ketika aku masih menjadi pohon yang kecil dan tak berdaya, seorang pria menolongku. Mer awatku dan memberiku kasih sayang. Tidak hanya padaku saja, tapi dengan semua makhluk. Saat itu, aku
hanya bisa memohon. Aku ingin menjadi manu sia sepertinya. Sosok yang sangat mulia. Tapi apa daya, semua sudah terlambat. Aku sudah memilih jalanku.
***
Tahun berlalu begitu cepat, aku semakin tumbuh dengan lebat. Tajukku menjadi peneduh bagi siapapun yang ingin berlindung dari teriknya matahari. Walaupun begitu, aku tetap menyesal, aku masih ingin menjadi manusia seperti dia yang telah menolongku. Aku pasti bisa menjadi seper tinya.
Entah apa yang terjadi padanya, tetapi su dah cukup lama aku tidak melihatnya lagi. Teta pi, hal yang mengejutkan terjadi. Dia mendatangi aku. Datang dengan bentuk yang berbeda. Tu buhnya transparan, bahkan menembus kendaraan yang melewatinya, Mungkinkah dia sudah tiada?
Dia kemudian menghampiriku. Memulai pembic araan denganku.
“Senang rasanya bisa hidup. Banyak hal yang bisa aku lakukan” ungkapnya “Kau, kau mengajakku berbicara?” tanyaku “Yah, siapa lagi kalau bukan kamu. Aku bisa mera sakan jiwamu”
Percakapan panjang terjadi antara kita ber dua. Tak terasa, sudah sebulan lebih kita berbicara berdua. Aku semakin menyesali keputusanku. Ke napa aku tidak menjalani hidup sepertinya.
“Jangan sedih, keputusanmu sudah tepat. Hidupmu saat ini sangat bermanfaat. Banyak membantu makhluk hidup” hiburnya padaku “Tidak, aku ingin menjadi manusia baik seper timu” tegasku
“Dengar, manusia tidak bisa memilih lahir dari mana. Apakah lahir dari orang tua yang kaya ataupun miskin, apakah lahir dari lingkungan yang buruk atau baik, apakah lahir dengan kebaikan ataupun kejahatan. Kita tidak bisa memilih hal itu.” Jelasnya “Tapi aku tetap bisa menjadi manusia sep ertimu kalau aku memutuskan untuk menjadi ma nusia”
“Tidak, tidak semulus itu. Apakah kau bisa menentukan kau akan lahir dengan kondisi seper ti apa? Apakah kau akan tetap memegang teguh keyakinanmu bahkan setelah merasakan betapa kejamnya dunia? Tidak. Sebelum menjadi seperti ini, aku bukanlah orang baik seperti yang kau ke nal. Aku terlalu buruk untuk menjadi manusia”
“Yah, kau memang benar, aku tidak bisa menjamin kehidupanku akan berjalan sesuai den gan apa yang aku inginkan. Aku tau bahwa tidak semua manusia itu buruk, tapi aku juga tahu ka lau aku tidak bisa menentukan di lingkungan sep erti apa yang nantinya aku berada. Pun, jika aku memutuskan untuk menjadi orang baik, sanggu pkah aku berkomitmen untuk seterusnya menjadi baik?
“Untuk itu, aku sendiri tidak tahu. Silah kan amati manusia dan tentukanlah keputusanmu sudah benar atau salah” pesannya
“Baiklah, namun, jika kesempatan kedua datang kembali, haruskah aku menjadi manusia?” tanyaku
Dia hanya tersenyum dan perlahan pergi meninggalkanku.[]
31 Ilustrasi: Mar`a
Konten tanpa batas waktu, tanpa membe lit keseharian. Kiranya begitulah ia mem bangun karya dengan gagasan panjang yang nyatanya berakhir abadi.
ASWANDI: LEPAS MANGKAT, KARYANYA TAK LEKAS BERKARAT
Aswandi, tokoh pendidikan Kalimantan Barat yang kerap dikenang sebagai penulis intelektual ini banyak menitip kan karyanya pada terbitan media massa. Ia gemar menulis opini hasil buah pikirnya. epergiannya pada 22 Januari 2022 lalu sama saja seperti kehilangan tokoh penting da lam kepenulisan. Namun para penikmat karyanya tak perlu berkecil hati, sebab karya tu lisannya masih bisa ditemui kembali dan dibaca ulang sam pai nanti. Melalui laman blog pribadinya https://opiniaswan di.wordpress.com/ pembaca dapat menjenguk tulisan pen inggalannya.
Mengutip dari su arakalbar.com pada 23 Januari 2022 yang dapat dibaca oleh pembaca https://kalbar.suara. com/ Aswandi tidak hanya banyak menulis di media massa, ia bahkan telah menerbitkan 20 buku sejak tahun 2008. Da lam prosesnya, ia melakukan riset untuk mengawali sebuah tulisan. Salah satu kutipan
menarik dari buku berjudul Free dom for All (2021) yaitu “Hanya di alam yang penuh kebebasan tersebut si belajar dapat men gungkapkan makna yang berbe da dari hasil interpretasi terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.”
Mengobati rasa penasa ran beberapa penikmat karyanya yang mungkin tak begitu tahu semua buku yang telah terbit, “Di dunia ini tidak ada yang aba di, semua mengalami perubahan, yang abadi adalah perubahan itu sendiri” Aswandi dalam buku pertamanya, Memikirkan Kem bali Pendidikan (2008).
Pria kelahiran Tebas Sun gai, Sambas tanggal 13 Mei 1958 ini banyak menghabiskan masa hidupnya untuk mengajar se bagai dosen di Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Un tan). Ia dikenal dengan kepriba dian disiplin dan cukup humor is di mata para mahasiswanya. Satu diantaranya yaitu Arniasih
Sholehah selaku mahasiswa bimbingan sekaligus pengampu mata kuliah yang pernah diajar oleh Aswandi.
“Sebagai dosen, beliau ter masuk dosen yang disegani dan dihormati. Beliau juga sangat disiplin dan sering membagikan pembelajaran hidup yang dise lipkan guyonan. Beliau ada ma sanya serius dan juga humoris” jelas Arniasih sambil mengingat kebiasaan Aswandi ketika men gajar dulu.
Ingatan indah terbayang jelas oleh banyak mahasiswa yang pernah diampu oleh As wandi, sosok dosen dengan ciri khas kopiah yang selalu meng hias kepalanya. Raut wajah yang cukup disegani, penuh kegigi han, dan keberanian. Ia tak per nah terlihat mengeluhkan rasa sakitnya sehingga membuat tak sedikit orang sekitar merasa terkejut akan kepergiannya secara tiba-tiba, 22 Januari 2022 lalu.
Aswandi tak pernah be nar-benar pergi. Karyanya masih ada dalam keabadian.[]
Oleh: Rizky Arif Gunawan, Nur Azmi Husnul Khotimah, Hilda Putri Ghaisani
32
Sambungan LIPSUS
Barat. Carut marutnya implemen tasi regulasi, intervensi dari berbagai sisi, serangan digital yang semakin meliar, perun dang-undangan yang menjerat, serta mudahnya kriminalisasi pemberitaan menjadi pengham bat dalam kebebasan pers di Ka limantan Barat.
Laporan Tahunan Lemba ga Bantuan Hukum (LBH) Pers Indonesia tahun 2019 menun jukkan bahwa kemerdekaan pers turut dipengaruhi beragam faktor, antara lain hadirnya me dia abal-abal yang tidak sedikit jumlahnya, lemahnya regulasi perlindungan bagi jurnalis, krim inalisasi media dan jurnalis, ser ta lemahnya pemahaman jurnalis dalam melakukan peliputan.
Mengutip pernyataan yang diberikan oleh Ade Wahyudin, Ketua LBH Pers dalam waw ancaranya bersama Tempo, ia menyebutkan bahwa banyak media dan jurnalis yang aktif dalam melaporkan tindak pidana kekerasan yang dialami, namun terkendala oleh respon kepoli sian yang lamban atau proses hu kum yang terhitung lama.[]
mimbar profil
33
MELAWAN EKSKLUSIF DENGAN INKLUSIF
“Harus darimana solusi Disabilitas ini dimulai?” adalah pertanyaan yang paling sering sam pai ke saya, di mana pada akhirnya tidak juga saya berikan jawaban pasti dalam percaka pan yang biasanya saya ladeni. Ada banyak kepala dengan beragam sudut pandang yang saya bisa pastikan jawaban apapun tidak akan cukup akurat untuk memuaskan pemberi per tanyaan. Hanya saja, berangkat dari Disabilitas Tuli yang menjadi titik awal mula saya turut ikut sebagai pengguna bahasa isyarat, saya dikenalkan bahwa ada benang merah yang mere ka genggam sebagai pemersatu rekan-rekan disabilitas, yaitu budaya.”
Polemik
ini menjadi menarik karena saya me mahami bahwa ketika sesuatu dicarikan solusi maka hal ini diasumsikan sebagai masalah. Den gan kata lain, “disabilitas” secara tidak langsung mereka anggap sebuah masalah—termasuk pihak yang memberikan pertanyaan pertama tadi pada saya. Seakan-akan pemenuhan keterbatasan akses yang rekan-rekan disabilitas lalui selama ini ada lah solusi paling tepat agar Disabilitas tidak lagi merasa kepayahan. Satu yang pasti, Disabilitas bukan masalah, melainkan reaksi masyarakat pada Disabilitas lah yang menjadi sumber masalah. Reaksi ini dinamai sebagai Eksklusi Sosial—
kondisi penyisihan individu dari kelompok be sar—yang terlanjur muncul di tengah masyarakat. Oleh pakar psikologi, bentuk eksklusi ini terba gi atas 2 macam, yaitu; tindakan penyisihan dari kelompok dan juga pembatasan akses untuk ter libat di dalam kelompok. Entah bentuk eksklusi yang mana yang dialami oleh disabilitas, tapi salah satu di antara ini cukup memancing para pejuang hak asasi untuk membela mereka yang tidak pun ya cukup suara yang lantang untuk menyampaikan keresahan diri.
Menariknya, Inklusi kini sering kali dijadikan sebagai inovasi mutakhir untuk memenuhi kebu
mimbar opini
34
Foto: Mar`a
Oleh: Ahdha Sartika
tuhan disabilitas supaya bisa berbaur di tengah masyarakat. Barangkali mengacu pada fenomena Eksklusi sosial yang terjadi—dimana kemudahan mengakses fasilitas hanya eksklusif pada kelompok tertentu saja—Inklusi diambil sebagai se buah jawaban atas reaksi Eksklu si Sosial yang terlanjur mengakar di masyarakat. Ini akan menjadi PR yang begitu besar bagi para pembuat kebijakan, bahwa tidak sedikit pembangunan yang akan disosialisasikan pada tiap-tiap pemerintah daerah agar mereka menyegerakan penyediaan akan kebutuhan disabilitas. Sungguh, ini adalah PR yang besar, banyak dan tidak sebentar.
Pada bidang layanan pub lik misalnya, tersedianya jalur kursi roda di trotoar, juru bahasa isyarat di meja resepsionis, atau pun simbol braille pada tombol nomor di dalam lift adalah se bagian kecil dari akses disabil itas yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan publik setem pat. Community-Based Rehabil itation (CBR) menekankan ada 5 bidang yang aksesnya wajib dipenuhi untuk bisa disebut se bagai suatu lingkungan yang bisa ditinggali secara inklusif (Kesehatan, Pendidikan, Sosial, Mata Pencaharian dan Pember dayaan). Pertanyaannya, apakah kelompok Non Disabilitas sudah cukup siap untuk bisa berdamp ingan dengan Disabilitas seh ingga menghasilkan situasi yang inklusif bagi satu sama lainnya?
Dalam penelitian psikolo gi, Frank Doolard menemukan bahwa anggota suatu kelompok yang meyakini lingkupnya se bagai standar norma, mereka tidak segan membatasi akses pi hak luar untuk masuk ke dalam lingkaran agar tidak mengubah
sistem yang telah dianggap se bagai pakem yang sudah ada. Jadi bisa kita bayangkan, mulai dari menyediakan kebutuhan akses disabilitas, para pembuat kebijakan ini juga ditodong untuk menyelesaikan “masalah” berikut dengan mengubah stig ma masyarakatnya. Sungguh, ini adalah “masalah” yang bahkan Bandung Bondhowoso pun pen ing memikirkan cara untuk men gentaskannya.
***
Dengan menanggapi masu kan dari berbagai pihak terkait pemenuhan hak para disabilitas, hal ini pun berujung terbentukn ya pada program upaya pener apan pendidikan inklusif yang diterapkan di beberapa sekolah. Program ini juga memunculkan beragam reaksi sebagai bentuk evaluasi atas kebijakan yang dilakukan. Ada guru yang mera sa dirinya tidak cukup mampu, bingung penanganan, anggapan bahwa anak tidak kapabel serta tanggung jawab yang sekolah berikan, tak jarang membuat tenaga pendidik ini memutar otak untuk menerapkan kelas inklusif yang telah ditargetkan pada mereka. Seakan-akan ada langkah yang terlewat sebelum penerapan kelas inklusif ini dim ulai.
Di lain sisi, CBID—lemba ga yang berfokus pada pengem bangan komunitas yang inklu sif—telah memformulasikan bahwa setidaknya ada 5 tahapan bagi sebuah kelompok atau ko munitas yang hendak mengem bangkan kultur inklusif pada kondisi mereka. Para pembela hak asasi disabilitas ini nampak nya telah melakukan tugas mer eka di 2 tahapan pertama, yaitu memberi kesadaran dan men gadvokasi. Namun, para guru
ini sepertinya sudah melampaui sisanya hingga ke tahapan pelak sanaan.
Mereka diminta langsung menerapkan solusi dari ketim pangan anak disabilitas dengan menggabungkan pendidikan mereka di 1 kelas yang sama supaya bisa saling berkenalan— pendidikan Inklusi. Namun, mereka seakan-akan melupakan situasi dimana anak disabilitas ini bisa saja tidak diajak bermain karena dianggap terlalu lamban atau bahkan tampil terlalu beda dari kelompok kelas “normatif” ini. Sejatinya, ada pihak-pihak yang harus ikut terdidik sebe lum memberikan akses yang telah dipikirkan secara matang ini. Apakah warga kelas ini juga menyanggupi untuk mengubah pola interaksinya ketika ada kul tur lain masuk ke tengah mere ka?
Sebagai contoh di sekolah misalnya, Anak Non Disabili tas terbiasa mencatat penjelasan guru di papan tulis, sedangkan Disabilitas Netra tidak punya cukup kemampuan untuk menu lis dengan pensil. Akses apa yang harus dipenuhi guru? Atau pun, Non Disabilitas biasanya dengan mudah mendengarkan penjelasan guru, tapi Disabilitas Tuli hanya mampu mencerna in formasi lewat visual. Maka, ak ses apa yang harus dipenuhi oleh guru? Teknis semacam ini wajib dibekali oleh para guru sebelum mereka mendapati kelas inklusif yang harus diayomi. Harapannya tentu ini menjadi bahan evalua si atas kebijakan yang telah dis usun rapi.
Tidak dipungkiri bahwa kita memerlukan seluruh pihak untuk membangun iklim yang inklusif. Mengubah cara pan dang dan merelakan kesediaan
35
diri untuk belajar budaya baru bukanlah pekerjaan satu malam. Ada kebiasaan menjalani hidup yang berbeda antara Disabilitas dan Non Disabilitas. Kerelaan untuk belajar cara hidup yang berbeda ini adalah poin penting bagi kedua belah pihak sebelum memaksa Disabilitas menjalani kultur Non Disabilitas. Bukan menghendaki untuk menerapkan 1 cara saja, tapi juga menoleran si bahwa ada metode lain dalam melakukan sesuatu. Sebagaima na kata salah seorang ulama, angka sembilan itu bisa didapat dari penjumlahan 4 dan 5, per kalian 3, ataupun pengurangan 10 dan 1. Terdapat banyak cara untuk mencapai sebuah “pener imaan” dan sudah semestinya bahwa pendidikan inklusi tidak hanya memudahkan kaum Non Disabilitas saja.
Ada baiknya sebelum melimpahkan “masalah” ini ke bidang pendidikan, tanyakan ter lebih dahulu apakah kita mampu menyanggupi dengan melibat kan Disabilitas Tuli untuk ikut berbincang saat berkumpul den gan keluarga besar, atau mem beri ruang pada anggota keluarga yang menggunakan kursi roda, atau memberikan arahan pada saudara Disabilitas Netra yang butuh ke toilet di saat kita sendiri sedang asyik bercengkrama den gan sepupu-sepupu? Disabilitas kerap merasa terasing di tengah situasi-situasi semacam ini. Apa kah ada akses yang bisa mengu rangi rasa keterasingan mereka?
Kita perlu menitipkan pesan pada orang terdekat untuk sela lu memberi ruang pada orang yang terdesak membutuhkannya. Bisa pada kakak yang bekerja di layanan kesehatan, atau ayah yang terlibat pada perencanaan
tata kota, ataupun adik yang se kelas dengan teman Disabilitas. Dengan berpura-pura tidak meli hat kesulitan yang ada di hadapan kita adalah bentuk menyalahi ko drat kita sebagai manusia. Kita tidak melewati satu jengkal pun fase eksplorasi keadaan sekitar di saat kita balita, lalu mengapa ketika beranjak dewasa kita bisa abai dengan keadaan sekitar?
Penyediaan akses sudah se mestinya memudahkan banyak pihak dan menutup ruang acuh tak acuh pada disabilitas, kare na kebijakan selalu muncul dari fakta yang ada di lapangan bu kan asumsi semata. Sehingga, akan semakin memudahkan pe merintah daerah rasanya apabila kita sama-sama mengaktifkan fase eksplorasi kita kembali pada sekitar. Mengamati keresahan yang dialami oleh Disabilitas,
meningkatkan rasa kepekaan pada situasi yang dialami bersa ma, juga turut mengambil peran pada pembangunan iklim yang inklusif.
***
Ketentuan Pendidikan yang Inklusif sepertinya harus dicer mati kembali. Siapa sebenarnya yang harus diprioritaskan untuk dididik, Kelompok Disabilitas kah? kelompok Non Disabil itas? atau Pembuat kebijakan bagi kedua kelompok? Merujuk pada peribahasa lama, It takes a village to raise a child, tapi tidak juga menutup kemungkinan it takes a village to abuse one. Se moga kita bukan termasuk orang yang menzalimi pihak lain kare na keengganan kita untuk belajar dan membuka ruang baru bagi yang membutuhkan.[]
***
36
1. Pungutan wajib
2. Makanan khas Kapuas Hulu
3. Senjata Prabu Maladewa dalaM cerita pewayangan
4. Jenis (inggris)
5. Aliansi Jurnalis Independen
6. Dorongan jiwa untuk berkehendak
7. Wartawan yang ditemukan tewas di pantai penibungan mempawah pada 1997
8. Suku Dayak
9. Suara tangis yang tertahan-tahan
10. Rumah adat suku Dayak
11. Aliran air yang deras
12. Kabupaten termuda di Provinsi Kali mantan Barat (2022)
13. Tautan
14. Tempat Pemakaman Umum
15. Pattimura
16. Camilan ringan khas Bukittinggi yang terbuat dari kacang tanah
17. Penyangga tatanan negara Indonesia
18. Pejuang kemerdekaan pada masa revolusi, khususnya dalam bidang pen didikan dan kesehatan di Kalimantan Barat
19. Kuda yang memiliki ukuran kecil 20. Kota asli bubur pedas
21. Keraton di Pontianak
22. Makanan khas Kalimantan Barat ter buat dari pulut yang berisi udang ebi.
Mempunyai makna lebih dari satu 24. Keabadian
Hewan endemik pulau Kalimantan yang tersebar di hutan bakau, rawa dan hutan pantai.
26. Plat Kendaraan Kalimantan Barat
Makanan Khas Kabupaten Ketapang
Untuk Mengukur Tingkat
Pada Suatu Tempat.
Tanah Dengan Kandungan Organ
Salah Satu Pelabuhan Di Pontianak
Julukan Kota Pontianak
State
Makhluk mitologi Jepang
MENDATAR
23.
25.
27.
MENURUN 1. Penghibur 2. Pohon Endemik Kalimantan 3. Kecaman Atau Tanggapan, Atau Kupasan Yang Disertai Uraian Dan Pertimbangan Baik Buruk Terha dap Suatu Hasil Karya, Pendapat, Dan Sebagainya 4. Awan 5. Cerai 6. Cantik Atau Indah 7. Burung Enggang 8. Lembaga Pers Mahasiswa Uni versitas Tanjungpura Pontianak 9. Hitam Bercampur Putih 10. Indeks Prestasi Kumulatif 11. Ketua Angkatan Prodi 12. Akademi Kebidanan 13. Adalah Usaha Percetakan Dan Penerbitan. Arti Lainnya Dari Pers Adalah Usaha Peng umpulan Dan Penyiaran Berita. 14. Wakil Penghulu Urusan Ag ama Islam 15. Alat Musik Tradisional Suku Dayak 16. Bumi Galaherang 17. Pacar 18. Alat
Kelembapan
19.
ik Tertinggi 20.
21.
22. United
23.
24. Kelapa 37
Mengenal Pantang dan Puasa
4 Agama di Indonesia
Menahan makan dan minum, serta perbuatan buruk yang membatalkan puasa sejak fajar hingga matahari terbenam adalah bagian dari perwujudan ketaqwaan umat muslim. Tak hanya umat muslim, beberapa agama di Indonesia juga memiliki tradisi berpuasa berdasarkan karakteristiknya masing-masing. Walau berbeda dalam segi tata cara pelaksanaannya, makna berpuasa dipandang sebagai tujuan baik seorang hamba kepada TuhanNya.
Puasa Menurut Ajaran Agama Islam
Puasa
dalam ajaran agama Islam menjadi ruti nitas yang akrab diketahui masyarakat Indonesia. Pada bulan Ramadhan, suasana tarawih, ja janan takjil menyambut berbuka, dan sahur akan mewarnai agenda satu bulan penuh. Puasa men jadi salah satu rukun Islam yang perlu ditunaikan dengan menahan hawa nafsu sejak terbit hingga tenggelamnya matahari.
Selain berpuasa di bulan Ramadhan, umat muslim juga melakukan beberapa puasa wajib dan puasa sunnah lainnya. Dalam wawancara bersama Ustadz Aqil, ia menjelaskan bahwa puasa sunnah ialah kegiatan berpuasa yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, namun jika ti dak dikerjakan tidak menjadi masalah, namun sangat dianjurkan untuk dilakukan.
“Tujuan bagi umat muslim melakukan puasa adalah untuk dapat belajar menjadi orang yang selalu merasa cukup, belajar menjadi orang yang sabar, menjadi orang yang pandai bersyukur, menjaga perasaan orang lain, dan belajar untuk konsisten.” Jelas Ustadz Aqil seraya memberi contoh Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai sosok tokoh yang diteladani oleh umat muslim
Oleh: Antonia Sentia, Ludovika Krisa Marentini, dan Yosi Rima Riana
“ “
38
Sumber: detiknews.com
mimbar religi dalam berpuasa.
Ia juga menambahkan bahwa dalam berpuasa terdapat beberapa pantangan yang harus dilakukan oleh umat muslim yaitu tidak boleh makan dan minuman sebelum waktu berbuka puasa tiba, tidak diperkenankan untuk berbuat hal hal yang mengandung unsur dosa, sebab akan mengurangi pahala pua sa tersebut.
Dalam penjelasannya, puasa dapat dibatalkan jika terdapat alasan yang masuk akal (logis/syar’i), diantaranya sakit, dan sedang dalam perjalanan/safar, ketika sudah tidak dalam hal yang membuatnya diperbolehkan maka ia harus mengganti sebanyak puasa yang dibatalkan.
Akhirnya, Ustad Aqil meninggalkan pesan bahwa makna dari menjalankan ibadah puasa bagi umat muslim adalah untuk mendekatkan diri diri kepada Allah, dengan mengerjakan segala perintahNya, dan menjauhi segala laranganNya.
Puasa Menurut Ajaran Agama Katolik
Berbeda dengan agama Is lam, dalam agama katolik, puasa disebut berpantang makan dan minum hal-hal tertentu. Pan tang dilakukan sebagai tanda pertobatan dan pengorbanan. Bi asanya pantang ini dilaksanakan pada masa prapaskah yang dim ulai pada Rabu Abu.
Firdaus Galang Sumam poa mahasiswa jurusan Filsafat Keilahian STFT Widya Sasana Malang mengatakan dalam ag ama Katolik puasa dan pantang tujuan akhirnya adalah tobat atau pertobatan.
“Masa puasa dan pantang ialah selama 40 hari dari Hari Rabu Abu sampai Vigili Paskah, dikurangi Hari Minggu dan hari raya. Dalam KHK Kanon. 1253 menegaskan bahwa Konferensi Para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat menggantikan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-ben tuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-la
tihan rohani,” jelasnya. Dalam KHK Kanon 1250 menegaskan bahwa "Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gere ja ialah setiap Hari Jumat sepan jang tahun, dan masa empat puluh hari sebelum paskah (quadrag esima)", maka puasa dan pan tang pun baik untuk dilakukan. KHK Kanon. 1251 menegaskan juga bahwa "Puasa dan pantang hendaknya dilakukan pada Hari Rabu Abu dan pada Hari Jumat Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus".
Ia juga mengatakan bahwa umat Katolik dapat meneladani tokoh orang Kudus yang sudah dijelaskan dalam alkitab yaitu Yesus dan umat Niniwe. “Mas ing-masing pribadi dapat memi lih tokoh dari orang kudus sesuai dengan pilihan pribadi yang in gin diteladani,” katanya.
Pria yang kerap disapa Fir daus ini juga mengatakan bahwa puasa dan pantang tidak selalu merujuk pada tidak makan dan minum, tetapi puasa dan pantang mencakup seluruh kehidupan seluruh umat beriman misalnya tentang menahan diri untuk tidak cepat marah, menahan diri un
tuk tidak mencaci-maki, berbuat baik pada sesama.
“Dalam KHK Kanon. 1251 menegaskan bahwa "Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi Para Uskup hendaknya dilaku kan setiap Hari Jumat sepanjang tahun, kecuali Hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya. Sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada Hari Rabu Abu dan pada Hari Jumat Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.” ujarnya.
Anjuran tentang puasa ter maktub dalam Injil Matius 6:1618 yang berbunyi,“Dan apabi la kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesung guhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepala mu dan cucilah mukamu supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melain kan hanya dilihat oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.
39
Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan mem balasnya kepadamu.”
Puasa Menurut Ajaran Kristen Protestan
Dalam ajaran agama Kris ten Protestan secara resmi tidak mewajibkan untuk berpuasa. Na mun para tokoh agama kristen menganjurkan umatnya untuk menyempatkan diri agar sesering mungkin berdoa dan berpuasa sesuai keinginan dan ketulusan masing-masing. Puasa merupa kan kegiatan yang penting untuk membangun rohani dan berman faat bagi kehidupan sehari-hari.
Walau tidak diwajibkan un tuk berpuasa, akan tetapi umat Kristen Protestan mempunyai 5 jenis bentuk puasa seperti yang dijelaskan oleh Gloria seorang pendeta muda. Lima jenis Puasa tersebut, sebagai berikut,
1. Puasa Musa, 40 hari 40 malam tidak makan tidak minum
2. Puasa Daud, tidak makan se malaman berbaring di tanah
3. Puasa Ester, 3 hari 3 malam ti dak makan tidak minum
4. Puasa Daniel, 10 hari hanya makan sayur serta minum air putih, berdoa, dan berkabung 21 hari
5. Puasa Tuhan Yesus, 40 hari 40 malam
Sedikit berbeda dengan puasa umat Katolik, umat Kris ten Protestan menjalankan puasa bukan untuk memperingati hari raya keagamaan, akan tetapi leb ih ke arah pendekatan diri den gan Tuhan. “Supaya hubungan kita lebih dekat dengan Tuhan dan iman kepercayaan kita se makin bertumbuh di dalam-Nya. Bukan untuk memperingati hari besar keagamaan,” katanya.
Foto: Mar’a
“Jenis puasa dalam agama kami seperti yang sudah dijelas kan dalam alkitab, puasa ini bisa dilakukan kapan dan dimana pun,” ucap Gloria wanita kelahiran tahun 1997 itu.
Ia juga menjelaskan bahwa tokoh yang paling mereka tel adani dalam menjalankan ibadah puasa ialah Tuhan Yesus. “Ka lau kita mengikuti puasa Tuhan Yesus, larangannya adalah tidak boleh makan dan minum selama puasa berlangsung. Bisa dibatal kan apabila dalam keadaan sakit, namun tidak ada konsekuensi apapun,” paparnya.
Makna ibadah puasa yang dilakukan oleh umat Kristen Protestan yaitu meningkatkan iman dan mendekatkan diri ke pada Tuhan Yesus Kristus. Puasa menjadi bukti seseorang mer endahkan diri secara total kepada Tuhan Yesus Kristus untuk meminta pertolongan penuh ke pada-Nya. Puasa juga dapat diar tikan sebagai wujud berdoa, ber pantang makan, dan mengurangi hal-hal lahiriah untuk mendapat
berkat-berkat rohani.
Puasa Menurut Aliran Keper cayaan Baha’i
Baha'i adalah agama monoteistik yang menekankan pada kesatuan spiritual bagi seluruh umat manusia. Agama ini lahir di Persia, sekarang Iran, pada 1863. Pendirinya adalah Mirza Hu sayn-Ali Nuri yang bergelar Ba ha'u'llah, yang berarti kemuliaan Tuhan. Di seluruh dunia, ada sekitar 6 juta orang penganut Ba ha’i yang tersebar di 191 negara. Di Indonesia, penganut Baha’i disebut berjumlah sekitar 5.000 orang, tersebar di 29 provinsi.
Dikutip dari website re sminya Baha’i, umat Baha’i juga bersembahyang seperti halnya agama lainnya. Sembahyang mereka dilakukan secara indivi du. Sementara itu, Baha’i berpuasa selama periode tertentu.
Hanggari Sandy atau yang kerap disapa Sandy mencerita kan bahwa puasa dalam agama Baha’i hanya dilaksanakan satu tahun sekali.
mimbar religi 40
“Puasa 1 tahun sekali pada tanggal 1 bulan Ala’, jatuh seki tar tanggal 1 atau 2 Maret dalam kalender Baha’i. Satu bulan Ba ha’i terdiri dari 19 hari, dan 1 ta hun terdiri dari 19 bulan, ditam bah 4-5 hari sisipan,” ucapnya melalui pesan teks whatsapp.
Pria berusia 37 tahun ini juga menceritakan, bahwasanya dalam agama Baha’i ini tidak ada tokoh atau teladan yang diikuti, mereka berpuasa untuk berdoa dan bermeditasi dalam rangka memperbaiki batin rohani mer eka.
“Masa puasa adalah masa berdoa dan bermeditasi, masa memperbaiki rohani. Setelah masa puasa 19 hari, hari beri kutnya adalah tahun baru Baha’i (hari raya NawRuz),” katanya.
Sama halnya dengan puasa
dalam agama Islam, umat Baha’i berpuasa dengan tidak makan dan minum, serta menahan hawa nafsu mulai dari matahari ter bit sampai matahari terbenam. Berpuasa diikuti pula dengan shalat wajib,.
“Itu adalah salah satu ke wajiban terbesar seorang Baháʼí, dan tujuan utamanya adalah spir itual untuk menyegarkan jiwa dan membawa orang itu lebih dekat kepada Tuhan.” lanjutnya.
Ada hukum dan praktik yang terkait dengan Puasa Sem bilan Belas Hari yang ditetapkan oleh Baháʼu’lláh dalam Kitáb-iAqdas, buku hukumnya. Puasa bisa dibatalkan karena hal ter tentu, jika terdapat sakit atau benar-benar tidak mampu. Serta tidak wajib bagi orang dengan usia di bawah 15 tahun dan di
atas 70 tahun.
Pengecualian juga diberi kan kepada mereka yang beper gian selama puasa. Pengecualian diberikan ketika perjalanan lebih lama dari 9 jam (atau 2 jam jika bepergian dengan berjalan kaki). Jika musafir membatalkan per jalanannya lebih dari sembilan belas hari, mereka hanya dibe baskan dari puasa selama tiga hari pertama. Juga jika mereka kembali ke rumah, mereka harus segera mulai berpuasa.
“Jika seseorang makan tan pa sadar selama jam puasa, ini tidak membatalkan puasa karena itu adalah kecelakaan, hari-hari yang terlewat dari puasa tidak wajib diganti kemudian,” pung kasnya.[]
Sambungan Utama - Latah Kelola Sekolah Inklusi
pertemuan ya dilibatkan juga, siapa tahu kita juga bisa men yampaikan perspektif kita soal penanganan anak disabilitas ini,” katanya saat ditemui pada Senin (8/3/22) lalu.
Menanggapi hal ini, Edi Rusdi Kamtono, Walikota Pontianak akan memastikan lagi ket erlibatan berbagai pihak dalam menyukseskan sekolah inklusi ini.
“Yaudah nanti kita pastikan lagi. Nanti ada koordinasi lah, terus terang dalam proses ini kan kita harus kolaborasi, tidak bisa bergerak sendiri, ya kita ber proses terus lah saling mengisi,” ucapnya pada Kamis (11/8/22) saat ditemui di Kantor Walikota Pontianak.
Edi juga mengakui masih ada beberapa sekolah yang be lum bisa dikatakan ideal. Se hingga kedepan perlu adanya perencanaan jangka pendek, me nengah, dan panjang terkait Pen didikan Inklusif ini.
“Harusnya kita memiliki program jangka pendek, menen gah, dan jangka panjang terkait sekolah anak berkebutuhan khu sus,”
Tidak adanya data ABK juga menjadi kendala utama dalam program Pendidikan Inklusif ini sehingga perlu adanya perbaikan data. Data yang ada menurutn ya pelru diverifikasi dan valida si ulang, termasuk usia. Ia pun mengatakan akan meningkatkan koordinasi terkait pemilik data.
Diakhir Edi menjelaskan, sesuai dengan Perwa terdapat Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif yang berisi dari peja bat struktural dari lingkungan pemerintahan kota dan instan si yang menangani bidang ter kait, baik pelayanan langsung maupun perencanaan. Dengan meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dari berbagai pihak kedepan ia optimis bahwa tidak lebih dari dua hingga lima tahun, Pontianak akan memiliki Seko lah yang benar-benar inklusif.
“Mungkin tidak lebih dari dua sampai lima tahun kita bisa memilki sekolah inklusi,” pung kas Edi.[]
mimbar jepretan
41
Pendidikan merupakan as pek yang sangat penting bagi perkembangan Sum ber Daya Manusia, sebab pendidikan merupakan wa hana yang digunakan untuk membebaskan seseorang dari keterbelakangan. Pen didikan pun diyakini mam pu menanamkan kapasitas baru bagi semua kalangan, termasuk kelompok disabil itas. Upaya tersebut telah diterapkan dengan lahirnya berbagai regulasi yang me nerapkan pendidikan inklusi di segala jenjangnya, tak ter kecuali dunia perkuliahan.
Seuntai Harapan
Menuju Kampus
Inklusi
Namun sayangnya, ru ang inklusivitas yang digadangkan dapat menjadi sistem pendi dikan berkeadilan tanpa diskriminasi ini menuai banyak hambatan da lam pengimplementasi annya.
“
“
mimbar kampus
Oleh: Monica Ediesca dan Yosi Rima Riana
42
Foto: Ifdal
Merujuk pada Peraturan
Menteri Riset, Teknolo gi (Menristek) dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No mor 46 Tahun 2017, dijelas kan bahwa pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus di perguruan tinggi diterapkan guna meningkatkan mutu pen didikan dari berbagai latar be lakang. Tidak melulu tentang pembangunan fasilitas yang ra mah disabilitas, pada Pasal 11 Ayat 1 ditegaskan bahwa pergu ruan tinggi yang menyelenggara kan program studi kependidikan wajib memasukkan materi, ka jian, pokok, bahasan, atau mata kuliah pendidikan inklusi dalam kurikulumnya. Pada Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2016, secara garis besar dijelaskan bahwa hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi kesamaan kesempatan sebagai penyeleng gara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, jenjang, serta mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
Menindaklanjuti hal itu, di implementasikanlah regulasi tersebut oleh beberapa universi tas yang telah terverifikasi men jadi universitas ramah disabili tas, dinilai dari fasilitas, layanan, dan pengajarannya. Universitas tersebut diantaranya adalah Uni versitas Brawijaya, Universitas Sebelas Maret, Universitas Padj adjaran, dan Universitas Indone sia. Namun sayangnya, seuntai harapan akan dunia pendidikan yang inklusi itu belum terlaksana dengan maksimal oleh Universitas Tanjungpura (Untan).
Hal tersebut pun disam paikan oleh Ahdha Sartika, Re lawan Juru Bahasa Isyarat (JBI)
Pontianak ketika menceritakan pengalamannya menemani Ade Muhammad Fahrizan saat ingin melakukan tes masuk Untan jalur mandiri. Walau Ade merupakan seorang penyandang tuna rungu, tak menyurutkan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan. Namun saat hari pendaftaran tiba, Ade sedikit memiliki kes ulitan saat ingin berkomunikasi kepada panitia penyelenggara karena mereka tidak mengetahui apa yang sedang ia bicarakan. Setelah melakukan komu nikasi melalui pesan yang di tuliskan Ade di kertas, panitia mengerti bahwa kehadiran Ade ialah ingin mempertanyakan apakah calon peserta disabilitas diperbolehkan untuk mengiku ti ujian mandiri atau tidak, me nimbang formulir pendaftaran ujian tersebut tidak memberikan kolom penyandang disabilitas. Dengan keterbatasan panitia untuk mengerti bahasa isyarat yang Ade lontarkan dan tidak adanya tenaga kerja di Untan yang dapat memahaminya, Ade diperbole hkan mengikuti ujian tersebut dengan catatan ada seseorang yang dapat mendampinginya.
“Saat itu diarahkan, kalau Ade ini bisa mengikuti ujian mandiri di Untan jika ada yang mendampingi. Akhirnya saya yang menemani walau secara ke seluruhan semua bulir pertanyaan itu Ade semua yang menjawab, menimbang Ade adalah penyan dang disabilitas tuna rungu yang masih bisa membaca dengan lan car,” ceritanya (30/7/2022).
Bagi Tika, Ade merupakan salah satu kisah yang menggam barkan ketidaksiapan sebuah universitas dalam mengimple mentasikan pendidikan ramah
mimbar kampus
disabilitas. Menurutnya, ruang inklusi tersebut mencakup se gala aspek, salah satunya dapat dimulai dengan menghadirkan layanan publik yang dapat ber interaksi langsung dengan seseo rang penyandang disabilitas. Tak hanya itu, Tika juga mengang gap terdapat beberapa hal yang menurutnya keliru apabila ingin menciptakan pendidikan inklusi.
“Kalau mau menciptakan ruang inklusi, yang wajib bela jar bahasa isyarat atau mengerti teman-teman disabilitas bukan hanya pengajar, karena pasti akan keteteran. Kalau mau inklu si, ya semua (read - siswa dan masyarakat di lingkungan pen didikan) diwajibkan dapat berba hasa isyarat,” tegasnya.
Menilik dari kasus Untan, Tika menambahkan agar instansi pendidikan tidak mengelompok kan antara seorang penyandang disabilitas dan non-disabilitas, namun yang terpenting adalah mendukung akses yang dapat digunakan oleh siapapun, baik fasilitas maupun pendidikan.
Adapun Ade, calon peser ta yang mendaftar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Un tan ini mengatakan bahwa ini adalah kali keduanya mencoba mendaftar universitas. Walau memiliki latar belakang penyan dang disabilitas, ia tidak ingin menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan berkembang.
Namun nasib baik belum berpihak padanya. Meski ha sil menyatakan bahwa ia tidak lolos untuk masuk perguruan tinggi Untan melalui jalur ujian mandiri, Ade mencoba mendaft ar ujian masuk jalur alokasi den gan mengambil Prodi Ilmu Poli tik di Fakultas Ilmu Sosial dan
43
Ilmu Politik (FISIP) Untan, atau Universitas Terbuka (UT) yang menurut penuturannya lebih ra mah akses perkuliahannya kare na dilakukan secara daring.
“Alasan saya mau ambil politik, karena saya ingin men gubah dan menegakan regulasi yang ada agar selalu ramah ter hadap kelompok siapapun. Khu sus untuk teman disabilitas, saya ingin menginspirasi untuk terus mengutamakan pendidikan sela ma itu semua masih bisa diusa hakan,” ujar Ade menggunakan bahasa isyarat, yang diterjemah kan oleh Tika.
Perlu Digencarkannya Pendidikan Inklusi
Di tengah wawancara ber sama Tika, hadir Figo Auril yang merupakan Ketua West Bor neo Deaf Community (WBDC) menghampiri kami. Sambil melemparkan segaris senyuman, Figo mulai memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa isyarat. Lentik jari dan raut wa
jahnya yang ekspresif, menular kan semangat untuk kami men dengarkan rentetan cerita yang akan ia bagikan.
Laki-laki berusia 19 tahun ini merupakan penyandang tuna rungu, lulusan SMALB Ponti anak yang saat ini belum berke sempatan melanjutkan pendi dikannya ke jenjang universitas. Hal tersebut bukan tanpa alasan, Figo mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan izin dari orang tu anya untuk melanjutkan pendi dikannya karena khawatir bahwa akses yang diberikan oleh pihak universitas kepada anaknya.
“Mama saya ga percaya karena di sana ga ada akses JBI, takutnya nanti saya bingung dan kesusahan,” ungkap Figo meng gunakan bahasa isyarat, yang diterjemahkan oleh Tika.
Fenomena tersebut pun di jelaskan oleh Tika yang men gatakan bahwa kekhawatiran ini dikarenakan sikap pesimis orangtua dengan keterbatasan akses komunikasi di lingkungan
pendidikan, atau cemas apabila anaknya tidak akan diterima di lingkungan pergaulan.
“Kebanyakan pendidikan tinggi atau orang tua itu cemas duluan kalau ada siswa penyan dang disabilitas, udah pusing mikirin tenaga pengajar. Pada hal mereka tidak memerlukan guru khusus, cukup dilengkapi pendamping saja. Terlebih ban yak dari mereka yang tidak ingin membuka diri, padahal yang pal ing penting adalah pendekatan dan membuka akses itu,” tam bahnya.
Dipenghujung wawancara, besar harapan Tika agar pendi dikan Indonesia dapat meng gaungkan kembali tujuan awal regulasi inklusi dalam mem bentuk sebuah lingkungan yang baik, agar pemuda penerus bang sa seperti Ade, Figo, maupun teman-teman disabilitas lainnya dapat menerima layanan pub lik dan mengenyam pendidikan dengan semestinya.[]
mimbar kampus 44
REDAM API, HAPUS RESIDU
Oleh: Mar`atushsholihah
Residu kerusuhan etnis yang terjadi berulang kali antara 1967 hingga 2001 di Kalimantan Barat nyatanya tidak mudah hilang. Meski begitu, hal lain tercipta di organisasi-organisasi Pemadam Kebakaran di Pontianak. Mereka berkembang tidak hanya sebagai pemadam api, tapi juga menciptakan keharmonisan dari beragam status sosial dan identitas yang ada. Para relawan kemanusiaan ini menjadi miniatur bagaimana keberagaman di Kota Pontianak seha rusnya.
Foto: Mar`a
Dari seberang Sungai Kapuas, merah api menyala dengan laju melalap gudang dan ru mah pengasapan karet milik NV Djung Nyan Sung, material yang mudah terbakar membuat api senantiasa merembet ke rumah pemukiman warga hingga nyaris menghanguskan seluruh Parit
Pekong, sebuah perkampungan di pinggir Sungai Kapuas pada 1947.
“Mudah sekali api itu menyebar ke kanan kiri, pemad am api dari pemerintah jauh mau ke sini, sedang Siantan kawasan industri yang banyak ruko nya, mudah sekali menyebar kalau
ada kebakaran,” ujar Aldo saat ditemui pada Kamis (19/05/22), sambil menunjuk bangunan ru mah toko di depan posko Badan Pemadam Api Siantan (BPAS), yang menjadi salah satu bangu nan yang pernah mengalami ke bakaran besar. Aldo merupakan Koordinator Lapangan BPAS.
mimbar humaniora
“ “
Madin, Korlap BPK Tritura
45
Karenanya pada 1948, Than Khie Ho bersama beberapa rekannya pun mendiri kan Badan Pemadam Kebakaran Api Se berang, mulanya dinamai demikian sebab lokasinya di Pontianak Utara yang sering disebut masyarakat Kota Pontianak se bagai daerah “Seberang”.
Dengan modal urunan masyarakat sekitar, sebesar dua puluh ribu rupiah mampu membeli dua unit mesin pompa air bekas yang hingga kini masih dirawat bahkan digunakan jika ada kebakaran yang besar.
Bangunan lawas dengan material kayu menunjukan usia BPAS pula, ham pir keseluruhan ruangan bernuansa biru, membuatnya kontras dengan warna mobil pemadam kebakaran yang merah menya la.
Hingga saat ini BPAS memiliki 3 posko pemadam kebakaran, BPAS Unit I di Jalan Selat Baru, BPAS Unit II dan Unit III di Jalan Khatulistiwa,. Ketiganya berada di Pontianak Utara.
Sejak awal datang, Posko BPAS Unit II nampak sepi, tak terlihat seorang pun selain Aldo dan satpam yang berjaga di
depan. Karena sepinya, deru kendaraan dan terompet penjual bakpao babi dapat terdengar dengan jelas. Pasalnya para relawan tidak selalu berada di posko, kesiagaan mengandalkan komunikasi radio ataupun pesan singkat, sebab pekerjaan yang mengharuskan mereka siaga dari jarak jauh. Puluhan rela wan yang terjaring pun merupakan penduduk sekitar.
“Kami tidak hanya memadamkan api, tapi juga membantu kalau ada pohon tumbang, kehilangan anak, ketumpahan solar, puting beliung, tugas pemadam kebakaran itu banyak,” ujar Aldo.
Kami lalu berkeliling dan menuju lantai dua, letak foto-foto, meja-meja pertemuan, dan tower pe mancar radio berada. Di lantai dua posko, terpajang rapi foto keluarga BPAS juga dokumentasi berbagai situasi saat memadamkan kebakaran. Para damkar itu berseragam biru dengan helm sebagai pelindung kepala.
“Seragam kita ini bukan seragam safety untuk damkar, kalau seragam yang safety itu ada yang anti api anti bara, kalau kita cuma seragam biasa hanya untuk identitas,” tunjuk Aldo ke salah satu foto yang terpajang.
Dari sisi kiri ruangan, kami berpindah pada sisi dinding yang lain, tempat bingkat foto paling besar tergantung. Foto keluarga besar BPAS.
“Mayoritas anggota adalah Tionghoa, ada sebagian kecil dari Madura dan Melayu,” jari Aldo menunjuk foto di dinding bagian atas tersebut.
Tapi bagi Aldo keberagaman bukan hanya soal ada tidaknya atau sedikit banyaknya beragam suku dalam satu yayasan damkar, tapi ini soal kerjasama dari damkar yang satu ke damkar yang lainnya.
“Waktu lebaran Idul Fitri kemaren, kami orang Tionghoa yang lebih senggang ini yang siaga, begit upun kalau kami Imlek, sebaliknya, damkar yang isinya orang Madura dan Melayu lebih siaga,” katanya.
mimbar Humaniora
Foto para pendiri BPAS Foto: Mar`a
46
Kiprah BPAS mengamank an warga dalam berbagai situasi mendesak menginspirasi para pegiat sosial di Pontianak. Or ganisasi serupa pun bermun culan tahun kemudian. Saat ini ada 47 pemadam swasta di Pontianak yang tercatat dengan prinsip kerelawanan yang sama. Salah satunya terletak di jalan Tritura, Tanjung Hilir. Dengan nama yang sama, yaitu Badan Pemadam Kebakaran (BPK) Tri tura. Hampir semua relawannya beretnis Madura.
Madin sang koordinator lapangan (korlap) duduk di teras rumahnya lengkap dengan se ragam dan HT (Handy Talkie) digenggamnya saat dikunjun gi pada Kamis (30/06/22), usai bekerja beginilah rutinitas Ma din, tak bisa jauh dari radio yang diletakan di ruang tamunya.
“Ini itu istri kedua saya,” ujarnya sambil menunjuk susu nan benda berbentuk kotak itu, lalu HT yang tadinya ia geng gam, diletakkan di sana. Antena
menjulang ke atas atap, sesekali berbunyi ‘kresek’ pertanda radio dinyalakan, dan memang begitu, dua puluh empat jam radio tak pernah beristirahat.
Tepatnya pada 2014, Madin dan rekannya berinisiatif mendi rikan Badan Pemadam Keba karan untuk menjaga daerah Tanjung Hilir dan sekitarnya dari kebakaran yang besar karena ja rak pemadam kebakaran yang jauh kerap kali membuat keba karan yang besar.
Di samping itu Madin ingin menepis stigma terhadap etnis Madura akibat konflik etnis yang melibatkan orang-orang Madura di Kalimantan Barat dan meny isakan stigma dan pelabelan terhadap etnis Madura yang berwatak keras dan tidak dapat bersosialisasi dengan baik.
“Salah satu alasan kamek, terutama di Tanjung Hilir ini kan orang Madura semua, kami sam pai dijuluki sebagai kota Texas karena katanya kalau orang le wat sini banyak yang dicegat, pa
dahal tidak ada, saya kan dari la hir di sini,” ujarnya yang disusul dengan penjelasan bahwa yang ia maksud kota Texas adalah kota yang berisi para penjahat.
Usaha Madin dan relawan lainnya yang terdiri dari sekitar 50 orang ini pun ditunjukan da lam pertemuan-pertemuan den gan yayasan pemadam kebakaran lainnya, misalnya pada saat up acara mereka menggunakan peci hitam untuk menunjukan identi tas sebagai etnis Madura, tentu dengan tujuan yang ia sebutkan sebelumnya.
Teringat di kepala Ma din kebakaran pada tahun 2017 lalu, saat kebakaran besar terja di di Jalan Gadjah Mada tepat di malam Imlek, kebakaran itu menurunkan banyak damkar, terlebih lokasi yang jauh dari sumber air membuat unit tangki air datang silih berganti. Dalam kondisi itu kerjasama tim dan antar unit pemadam kebakaran harus solid. Madin memandu tim nya dengan bahasa Madura, begitupun damkar yang be retnis Tionghoa, tak jarang mereka menggunakan ba hasa Cina.
“Sampai biasanya itu mengerti apa yang mereka perintahkan dalam bahasa Cina,” ujarnya.
Cerita Madin berhenti disana, ia mengajak kami ke posko BPK Tritura yang tak jauh dari kediamannya, sekitar seratus meter kami tiba di garasi yang berdiri sendiri diantara rumah war ga, garasi itu hanya memuat 1 unit mobil damkar, sisa ruang diisi kursi panjang. Satu mobil lainnya diletak
Radio yang digunakan Madin untuk bersiaga Foto: Mar`at
mimbar humaniora
47
kan di rumah salah satu relawan karena tempat yang tak cukup besar.
Beragamnya kisah keberagaman dari para relawan damkar ini juga ditemui di pemadam ter besar di Pontianak, yaitu Yayasan Pemadam Kebakaran Panca Bhakti di Jalan Letjend Suprapto, Pontianak Selatan.
Situasi sedang rusuh kala itu, Edi Efendi pada Senin (04/07/22) bercerita ada dua relawan beretnis Madura dan Dayak yang maju paling depan saat Panca Bhakti diminta polisi untuk terli bat dalam Pasukan Anti Huru-hara dalam membubarkan kerumunan dua etnis, yaitu Madura dan Melayu yang rusuh saat konflik suku 1998 di Kalimantan Barat.
Edi yang saat itu menjadi korlap mengatur siasat agar etnis yang berkonflik (Dayak, Madura, dan Melayu) berada di barisan paling belakang agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Tapi dua orang ini yang bersuku Madura dan Dayak maju paling depan, mukanya ditutup pakai helm ini, saya bilang ‘mundur!’, tapi mereka bilang tidak apa-apa yang penting masa bubar
dan mereka pakai helm jadi tidak ketahuan,” cerita laki-laki beru sia 56 tahun yang telah menjadi relawan sejak ia dibangku seko lah ini disusul tawa mengenang masa itu.
Edi mengajak kami ke ru ang sekretariat, tempat segala arsip dan penghargaan disimpan. Semakin masuk kedalam posko damkar ini, nuansa oriental semakin kental karena adanya bunga sakura imitasi di sudut ruangan, juga panggung sisa per ayaan Imlek yang masih terpas ang di sisi kiri gedung. Terlihat penghargaan dari Gema Takbir berada diantara penghargaan lainnya.
“Apapun kegiatannya, kami turut memeriahkan, seperti me masang photo booth di halaman depan saat idul fitri juga kami lakukan,” kisahnya. Dari tempat kami berdiri terlihat papan sisa photo booth Idul Fitri yang Edi maksud. Tak hanya turut memer iahkan saja, jika setiap Imlek bin gkisan diberikan kepada relawan yang beretnis Tionghoa, maka
begitu pula saat Idul Fitri kepada relawan yang merayakan.
“Di sini ada Katolik, Kris ten, Buddha, Islam, Konghucu, ada semua, sedangkan Tionghoa sekitar 80 persen, sisanya ada Dayak dan Madura. Mereka ka lau ketemu ya suku itu dijadikan bahan candaan karena saking akrabnya,” kata Edi yang kemudian menegaskan bahwa iklim ini terbentuk sebab kerja kerel awanan damkar adalah kerja ke bhinekaan.
Bagaimana Mereka Bertahan
“Rata rata kebakaran seka rang itu gak pernah besar lagi, karena saking banyaknya pemad am kebakaran, itu paling besar itu tahunnya pak jokowi berkun jung ke sini, di pasar tengah (ke bakarannya),” Edi bercerita yang disusul cerita oleh satu orang rekan lainnya. Usai mendengar cerita tentang kebakaran terbe sar di sepuluh tahun terakhir ini, Edi membawa kami berkeliling, melihat garasi mobil pemadam kebakaran yang terparkir rapi, di
kanan-kiri garasi tergantung baju damkar lengkap dengan sepatu dan helm.
Dengan anggota lebih dari 200 relawan, Panca Bakti adalah pemadam kebakaran yang memi liki perlengkapan keamanan ter lengkap, jingga, coklat susu, dari biru tua, semua seragam itu ter susun rapi di garasi dan di ruang sekretariat.
“Ini yang udah lama, di pakai buat latihan, kalau turun lapangan kita pakai seragam yang baru,” ujarnya menunjuk manekin dengan baju damkar berwarna biru tua.
Satu baju lengkap dengan sepatu, helm dan tabung oksigen seberat 30 hingga 40 kilogram. Selain baju damkar yang leng kap, Panca Bhakti juga memiliki unit mobil damkar yang lengkap pula, yakni dua unit tangki tem pur, dua unit mobil suplai, satu unit mobil peralatan, satu unit mobil tangga, satu unit ambulan, satu unit mobil pick up.
Semua perlengkapan dan operasional diberikan oleh dona
mimbar Humaniora Edi Foto: 48
tur tetap maupun dari jalinan ker jasama. Disamping itu beberapa mobil juga pernah disumbang kan ke beberapa yayasan pemad am kebakaran di Kota Pontianak dan sekitarnya.
“Sebelumnya banyak yang sudah disumbangkan, misalnya ke Siaga, Punggur ada satu unit, Jeruju juga satu unit, Kakap, ter us Segedong, dan Jungkat,” lan jut Edi seraya menunjukkan isi mobil damkar.
Namun hanya Panca Bhakti yang cukup beruntung, damkar swasta lain di Kota Pontianak tidak memiliki perlengkapan yang aman dari api dan bara saat bertugas, untuk keperluan oper asional pun perlu banyak cara
agar tetap bertahan. Seperti bah an bakar misalnya.
“Kami pernah mengadakan iuran kepada warga di sekitar Jalan Tritura sebesar 5000 rupi ah per rumah, yang kami pungut tiap bulan, tapi akhirnya tidak berlanjut karena dikomplain oleh beberapa orang. Ya sekarang kami buat proposal dan lain-lain, itu biar kami bisa jalan. Ya min imal buat beli bahan bakar lah,” ini cerita Madin dari Tritura.
Lain Tritura, lain pula BPAS, Korlap BPAS, Aldo me ngungkapkan semakin kesini, donatur tak sebanyak seperti da hulu, lahan sumbangan donatur di belakang posko BPAS pun disewakan untuk biaya opera
sional BPAS. Sisanya, sumban gan masyarakat sekitar.
“Di sana menjual berbagai jenis makanan halal dan non ha lal, yang menyewa pun kebanya kan dari relawan BPAS sendiri,” ujar Aldo.
Walau begitu, prinsip ker elawanan damkar swasta ini tak pernah luntur sejak kapan berdi ri, tak bergaji, pun harus selalu siaga dua puluh empat jam seti ap radio berbunyi dan sirine me manggil. Militansi ini rupanya dibarengi dengan keberagaman yang kental. []
Edi Bercerita seraya menunjukan perlengkapan pemadam kebakaran milik Panca Bhakti
Foto: Mar`a
49
BURUH, TANI, DAN PEMBERONTAKAN
“Tapi kegembiraan apa yang dibawanya untuk kita? Kegembiraan apakah, sekali pun sehari bukan hanya keluar satu, melainkan seratus ribu? Perut kaum buruh tetap lapar. Sekalipun orang-orang lain makan.” (Pabrik yang bernyawa, hal 43.)
cerita dalam mene mukan buku ini, saya sibuk menjadi pengangguran dan in gin mencari bacaan ringan yang dapat menghilangkan rasa bosan ini. Jadi saya datang ke rumah teman saya, sebut saja namanya Miun. Nah, di rumah Miun ini saya menemukan lemari yang dipenuhi buku-buku. Saya pun mulai melihat-lihat buku −lebih tepatnya membongkar lemari itu. Mata saya langsung tertuju pada buku yang berukuran agak kecil dengan warna biru muda dengan ilustrasi orang-orang yang se dang meminggul sebuah peti.
Sedikit
Singkat cerita, karena men gira buku ini bacaan yang ringan karena buku ini juga lumayan tipis, tak sampai seratus hala
man, saya langsung meminjam buku ini untuk sementara. Tetapi setelah membaca habis buku ini, perkiraan saya salah. Buku yang berisi kumpulan cerita pendek ini merangkum sebuah isu yang menarik di dalamnya; Sebuah pergerakan buruh dan petani.
“Pemberontakan di Pela buhan” karya Alexandru Sahia membawa saya kedalam situa
Hujan Juni, Sebuah Perjuangan Ibu
Hujan Juni menceritakan tentang Petre dan Ana, sepas ang suami istri yang merupa kan petani miskin yang sedang menunggu kelahiran anak ke delapan mereka sembari bekerja di ladang. Ana, sang istri yang sedang hamil besar saat itu tetap membantu suaminya di ladang mereka karena kebutuhan sem bilan mulut yang harus diberi makan, belum lagi dengan yang di kandung oleh Ana saat itu. Bahkan, diakhir cerita, kand ungan Ana yang ternyata sudah memasuki usia melahirkan pada
saat itu terpaksa melahirkan sendirian di atas gerobak jerami di ujung ladang mereka.
Situasi tegang bercampur haru sangat terasa dalam cerita ini, dimana Ana tanpa bantuan siapa pun terpaksa melahirkan anak kembar ketika sedang isti rahat bekerja. Belum lagi per juangan mereka pulang kerumah dalam kondisi badai yang hebat. Ketegangan terjadi ketika kain yang digunakan Ana untuk mem bungkus bayinya mulai basah terkena hujan dan Ana dengan tangisnya memeriksa bayinya
si tahun 1930-an di Uni Soviet. Cerpen-cerpen yang terangkum dalam buku yang diterjemahkan Koesalah Soebagyo Toer ini me mang berlatar di tahun itu, dima na di masa itu pergerakan politik kiri dan juga revolusi industri kedua sedang kencang-kencan gnya. Alexandru pun membuka tirai kemelaratan kaum buruh di masa itu.
masih bernapas atau tidak.
Dalam cerpen pertama da lam buku ini, saya melihat kepi awaian Alexandru dalam melukis sebuah suasana di dalam tulisan. Walaupun saya yakin hal ini juga berkat keahlian Koesalah Toer dalam menerjemahkan tulisan ini kedalam bahasa Indonesia. Saya dapat merasakan suasana pertanian di sore hari dan yang digambarkan Alexandru dengan apik. Tak lupa pula dengan de tail-detail yang diciptakan mem buat karya ini semakin “dalam”.
mimbar resensi
Oleh: Daniel Simanjuntak
50
Ilustrasi: Mar`a
Pemberontakan di Pelabuhan yang Bernyawa
Sebenarnya sub judul dia tas menggabungkan antara judul cerpen Pemberontakan di Pela buhan dan cerpen Pabrik yang Bernyawa. Alasannya sederhana, karena kedua cerpen ini memili ki topik yang sama, yaitu pem berontakan buruh.
Dalam Pemberontakan di Pelabuhan, Alexandru menceri takan tentang kematian Galaci uc, seorang buruh di Pelabuhan yang tewas karena runtuhnya jembatan di tempat kerjanya. Oleh karena kejadian itu, serikat buruh berinisiatif melakukan pe makaman terhadap buruh yang dihormati karena kebaikannya itu. Namun, situasi panas mulai terjadi karena perusahaan tidak memberikan apa apa kepada keluarga Galaciuc, bahkan tidak memperbolehkan mereka me makamkan Galaciuc karena hal itu akan mengurangi jam kerja mereka.
Serikat buruh pun tak mer isaukan pernyataan perusahaan tersebut dan bersikeras untuk melakukan pemakaman teman mereka. Bahkan sudah lama mereka tidak memanggil pende ta untuk ikut memakamkan bu ruh-buruh yang telah meninggal
karena takut pendeta akan mem beritahukan hal itu kepada pen guasa-penguasa pelabuhan.
Namun, ketika mereka ber jalan menuju tanah pemakaman melalui jalur yang tak diketahui banyak orang, mereka dihadang oleh pasukan bersenjata yang menghalau mereka untuk men guburkan Galaciuc. Tak dapat dielak, kerusuhan pun terjadi dan mayat Galaciuc berada di tengah pertempuran antara buruh den gan aparat. Galaciuc, hingga saat kematiannya pun tak mendapat hak yang layak untuk dirinya.
Masuk ke dalam cerita Pabrik yang Bernyawa, pem berontakan tetap menjadi inti cerita ini. Kali ini pemberontakan terjadi karena Bozan, seorang buruh di perusahaan pembuat kereta api mengalami kecelakaan dalam kerja dan mengharuskan ia untuk kehilangan kaki kanan nya. Tentu saja dengan kehilan gan kaki, ia tak bisa bekerja lagi dan perusahaan tidak mau mem berikan kaki palsu untuk Bozan. Merasa ketidakadilan yang ter jadi, para buruh di perusahaan itu berencana melakukan pemo gokan kerja sampai Bozan dapat memiliki kaki palsu sebagai ben
tuk tanggung jawab perusahaan.
Rencana pemogokan ker ja pun tercium oleh perusahaan, dan lagi lagi, seperti cerita sebel umnya, perusahaan mengirimkan aparat untuk memaksa mereka kembali bekerja. Kekacauan pun terjadi dan aparat tidak segan-se gan menarik pelatuk dari laras panjangnya. Cerita pun diakhiri dengan kematian Bozan dalam kekacauan tersebut.
Alexandru membuat se buah lakon yang terasa drama tis dengan pembabakan cerita yang runut dan enak dibaca. Tak sedikit pula kutipan-kutipan menarik ketika membaca kedua cerita ini. Alexandru pun dapat membuat suasana patriotis da lam ceritanya. Menurut saya hal ini karena permasalahan dalam cerita dapat dibayangkan secara nyata dan masih sering terjadi saat ini, bahkan setelah hampir seratus tahun cerita ini ditulis. Walau cerita ini dapat dikatakan fiksi, tapi saya mendapati masih banyak Bozan atau pun Galaci uc diluar sana yang masih belum mendapatkan haknya yang layak sebagai buruh.
Menurut saya, dalam em pat cerita yang terangkum dalam buku ini, Alexandru menaruh fokus pada ketidakadilan dan buruknya sistem pada masa itu yang mengorbankan hak-hak para kaum proletar. Walaupun dalam cerita Pemberontakan di Pelabuhan dan Pabrik yang Ber nyawa yang telah dibahas sebel
umnya menaruh pihak bersenjata sebagai antagonis, dalam cerita ini Alexandru mengangkat sisi lainnya dari mereka.
Cerpen yang menjadi cerita terakhir di buku ini menceritakan tentang nasib Serdici, seorang prajurit yang meninggal karena sakit selama masa pelatihannya. Alexandru menceritakan beta
pa buruknya menjadi serdadu rekrutan di masa itu, mulai dari makanan dan tempat istirahat yang tak layak, dan juga pelati han fisik yang lebih cocok dika takan penyiksaan. Serdici, yang kala itu terpaksa dilarikan ke rumah sakit militer karena sakit yang parah dianggap sebuah ke mewahan oleh teman-temann
Matinya Seorang Rekrut, Sebuah Keberimbangan yang Dimiliki Alexandru
mimbar
resensi 51
ya. Hal itu dikarenakan Serdici mendapatkan tempat tidur yang nyaman, makanan yang layak, dan tentu saja dapat menghindari latihan militer yang keras. Tetapi sebenarnya penyakit Serdici pun didapat karena pola hidup yang tidak layak yang ia dapatkan se lama di barak.
Cerita ini semakin terasa sedih karena terdapat surat yang selalu dikirimkan Ibu Serdici
Penutup
Ketika membaca semua cerita di buku ini, saya mendapa tkan sebuah pandangan menar ik dari penulis yang lahir pada Oktober 1908 ini. Menurut saya, tulisan-tulisan Alexandru men gadung sebuah nilai penting dari arti perjuangan dan arti se benarnya dari kemerdekaan. Ia menaruh keyakinan pada tulisan nya, dimana ia menitikberatkan pada ketidakadilan sistem yang terjadi pada masa itu dan hara pan untuk menghilangkannya.
Identitas Buku
padanya. Bahkan dalam surat itu ibu Serdici sudah mengetahui betapa buruknya menjadi serda du dan menyuruh Serdici untuk kembali ke kampung halaman sebelum nasib buruk menimpanya. Namun semuanya terlambat. Serdici telah menghembuskan napas terakhirnya saat itu.
Mungkin saya sudah men ceritakan tentang gaya tulisan yang digunakan oleh Alexand
ru dalam cerita-ceritanya. Sama seperti ketiga cerita lainnya, gaya yang dipakai Alexandru masih sama dan enak untuk dibaca. Jika dapat menyimpulkan, walaupun agaknya saya kurang berkapasitas untuk itu, saya merasa bahwa tulisan Alexandru Sahia mem buat sebuah cerita dengan isu yang kompleks menjadi mudah dipahami tanpa menghilangkan esensi dari kompleksitas terse but.
Sebuah cita-cita untuk bebas dari perbudakan tersirat dari tiap-tiap tulisannya di dalam buku ini.
Tak lupa pula yang mem buat cerita-cerita ini semakin dapat dinikmati adalah Koesalah Toer, dimana beliau adalah seo rang penerjemah yang sudah diakui oleh dunia. Terbukti ke tika Koesalah Toer mendapat penghargaan Pushkin Award dari Presiden Rusia, Vladimir Putin pada 2016 lalu dimana penghar gaan tersebut hanya diterima oleh
orang yang sudah berkancah di bidang penerjemahan dalam ku run waktu tiga puluh tahun lebih.
Terlepas dari itu semua, saya merasa buku ini sangat ba gus untuk dibaca, terutama jika anda adalah tipe orang yang san gat menyukai sastra lama. Tak hanya itu, buku ini juga dapat memberikan persepsi lain dari kenyataan yang terlihat mata se lama ini karena praktek ketida kadilan dan perbudakan masih saja terjadi sampai detik ini []
Buku ini berisi empat cerita pendek didalamnya, antara Hujan Juni, Pemberontakan di Pelabuhan, Pabrik yang Bernyawa, dan Matinya Seorang Rekrut. Rasanya kurang afdol jika resensi ini tidak membahas satu persatu cerpen karya penulis Rumania ini.
Judul: Pemberontakan Di Pelabuhan
Penulis: Alexandru Sahia
Penerjemah: Koesalah Toer
Penerbit: Pataba Press
Tahun Terbit: 2017
Halaman: 98 Halaman Kategori: Cerpen ISBN: 978-602-61940-0-8
mimbar resensi
52
Fenomena Monkeypox, Kenali Gejalanya dan Cari Tahu Langkah Pencegahannya
Belum sepenuhnya pulih dari wabah virus COVID-19, dunia kini dihebohkan dengan kemunculan virus cacar monyet atau yang dikenal dengan sebu tan Monkeypox. Cacar monyet disebabkan oleh infeksi virus Monkeypox. Virus ini tergolong zoonosis, yang berarti ditularkan dari hewan. Seseorang yang terinfeksi cacar monyet dapat menularkan virus yang menjan gkitinya pada orang lain. Perlu dilakukan langkah pencegah an agar virus Monkeypox tidak menyebar lebih luas.
Kemunculan pertama Monkeypox Monkeypox bukan penya kit yang baru muncul ke permu kaan. Monkeypox pertama kali ditemukan pada tahun 1958 di Denmark. Penyakit ini dinamai cacar monyet atau Monkeypox karena ditemukan pada koloni monyet yang dipelihara untuk penelitian. Cacar monyet baru tercatat menginfeksi manusia pada tahun 1970, yaitu di Repub lik Demokratik Kongo. Virus ca car monyet kemudian menyebar di beberapa negara Afrika Ten gah dan Barat lainnya. Penyebaran virus Monkey
pox Monkeypox adalah penyakit yang infeksinya bersifat zoono sis, yakni ditularkan dari hewan ke manusia. Hewan yang berpo tensi menjadi inang atau reser voir dari Monkeypox adalah he wan jenis pengerat dan primata. Penyebaran virus dari hewan ke manusia dapat disebabkan oleh gigitan atau cakaran. Penggu naan produk dari hewan yang terinfeksi juga dapat memicu penularan. Di beberapa negara endemik yang menjadi wilayah penyebaran Monkeypox, seti ap makanan yang mengandung daging atau bagian hewan harus dimasak dengan matang sebelum dimakan.
Manusia yang terinfeksi cacar monyet sangat berpoten si menularkan virus yang ada di tubuhnya pada manusia lain. Penyebaran Monkeypox pada manusia dapat melalui sentuhan fisik, kontak langsung dengan luka infeksi atau cairan tubuh penderita, hingga kontak seksual.
Lingkungan sekitar juga bisa terkontaminasi virus Mon keypox. Misalnya, jika penderita cacar monyet menyentuh ben da disekitarnya, orang lain yang
menyentuh benda itu bisa tertu lar virus darinya. Begitu juga jika seseorang mengenakan pakaian yang telah dikenakan penderita cacar monyet.
Monkeypox bisa sebabkan ke matian?
Monkeypox ditandai dengan beberapa gejala. Gejala yang paling umum diantaranya demam, sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, dan kelelahan. Ca car monyet juga ditandai dengan munculnya ruam atau lesi berisi air ataupun nanah di seluruh ba gian tubuh layaknya cacar biasa. Yang membedakan cacar monyet dengan dan cacar biasa adalah adanya pembengkakan pada kelenjar getah bening. Geja la-gejala ini akan hilang dengan sendirinya setelah 2-3 minggu.
Disamping gejala umum tersebut, beberapa orang dapat mengalami gejala yang lebih se rius dan memerlukan perawatan di fasilitas medis. Pada beberapa kasus, infeksi virus Monkeypox dapat berujung pada komplika si hingga kematian. Komplikasi yang dapat dialami penderita ca car monyet diantaranya infeksi kulit sekunder, pneumonia, hing ga permasalahan pada bagian
mimbar ILMIAH
Oleh: Ibnu Najaib Failasuf A.
53 Sumber:
suara.com
mata. Orang-orang yang
esiko mengalami komplikasi di antaranya ibu hamil, anak-anak, dan seseorang dengan ketahanan imun yang rendah.
Mencegah penyebaran Mon keypox
Penyebaran monkeypox dapat dicegah dengan mengh indari kontak langsung dengan reservoir atau penderita virus Monkeypox. Hindari kontak dengan hewan yang berpoten si menjadi reservoir virus, ter masuk hewan sakit dan bang kai yang ditemukan di wilayah penyebaran Monkeypox. Masak olahan daging atau produk he wani dengan benar dan matang. Hindari kontak dengan ben da-benda yang sudah disentuh penderita Monkeypox dan jan gan mengenakan pakaian, han duk, atau bahan kain lain yang sudah dikenakannya. Gunakan alat pelindung diri (APD) saat merawat pasien yang terinfeksi. Selalu mencuci tangan dan men jaga kebersihan lingkungan un tuk mencegah kontaminasi virus Monkeypox
Jika merasakan gejala-gejala cacar monyet seperti yang su dah disebutkan diatas, sebaiknya segera konsultasi pada layanan kesehatan agar didiagnosa dan
diberi arahan tentang perawatan dan pencegahan penyebaran vi rus. Sebaiknya segera mengiso lasi diri dan membatasi kontak dengan orang lain. Gunakan kamar mandi, tempat tidur, per alatan makan, pakaian, dan alat elektronik terpisah. Cuci pa kaian, sprei, handuk, dan bahan kain lainnya dengan hati-hati. Ingatkan selalu anggota keluarga untuk membersihkan tangan se cara teratur dengan sabun dan air atau hand-sanitizer
Vaksin yang digunakan un tuk Monkeypox adalah vaksin yang sebelumnya digunakan untuk Smallpox. Vaksin ini tel ah dikembangkan sehingga dapat digunakan untuk pence gahan Monkeypox. Namun ket ersediaannya terbatas sehingga beberapa negara merekomen dasikan vaksinasi bagi orang yang berisiko saja, misalnya orang yang pernah melakukan kontak dengan penderita Mon keypox. Belum dianjurkan pen gadaan vaksinasi Monkeypox se cara massal.
Perawatan bagi penderita Monkeypox
Gejala-gejala Monkeypox akan hilang dengan sendirinya tanpa perlu pengobatan. Tetap ikuti arahan dari pihak me
dis. Obat nyeri (analgesik) dan demam (antipiretik) dapat digu nakan untuk meredakan beber apa gejala jika diperlukan. Penderita cacar monyet harus tetap terhidrasi, makan dengan baik, dan tidur yang cukup. Hindari menggaruk kulit. Selalu mencu ci tangan dengan bersih sebelum dan sesudah menyentuh lesi atau ruam. Jaga kulit tetap kering dan terbuka.
Gunakan air yang telah dis terilisasi atau antiseptik untuk menjaga kebersihan ruam. Man di air hangat dengan soda kue dan garam Epsom untuk menga tasi lesi di bagian tubuh. Lidoka in dapat digunakan pada lesi di bagian oral dan perianal untuk meredakan rasa sakit.
Kesehatan mental juga perlu dijaga selama proses per awatan Monkeypox. Diperlu kan dukungan keluarga ataupun teman agar penderita tidak mera sa kesepian selama isolasi dan bertahan selama proses pemuli han. Penderita Monkeypox tetap dapat terhubung dengan orang terdekat melalui perangkat sep erti handphone untuk mengirim pesan atau melakukan panggilan telepon.[]
REFERENSI: https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/monkeypox1 2 3 http://www.b2p2vrp.litbang.kemkes.go.id/mobile/berita/baca/419/Penya kit-Cacar-Monyet-Monkeypox-dan-yang-Perlu-Kita-Tahu-Tentangnya https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/frequent ly-asked-questions-faq-monkeypox 54
ber
mimbar resensi