
7 minute read
Mimbar Sorotan
BATU PAIT
Prasasti di Tanah Mahap
Advertisement
Pait merupakan dusun yang indah, terletak di kaki bukit dengan hutan dan panorama alam yang eksotik. Ditambah masyarakatnya yang ramah membuat suasana dusun menjadi nyaman. Di situ terdapat sebuah batu alam berwarna hitam kecokelatan, berukuran sekitar 4 x7 meter, tampak kokoh bersama bangunan tidak berdinding dengan 12 tiang penyangga.
Oleh Gusti Eka Firmanda
Hari mulai terang, matahari telah menunjukkan sinarnya bersamaan dengan angin yang menerpa daun-daun kelapa. Di penginapan, Akmal masih tertidur berselimut kain tebal dan dua rekan lagi yaitu, Ahmad dan Safri sudah terbangun, namun masih terbaring, Mereka adalah tiga temanku, kami berencana pergi ke lokasi Batu pait yang terletak di Dusun Pait, Desa Sebabas, Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Penduduk sekitar sering menyebutnya sebagai batu bertulis atau batu berpahat bahkan ada yang menyebutnya sebagai Batu Pait karena terletak di Dusun Pait.
Sekitar pukul 07.30 pagi, aku dan tiga teman lainnya sudah bersiap-siap. Dengan perlengkapan yang sudah disiapkan, kami memutuskan untuk segera berangkat. Kami didampingi empat orang warga yang siap memandu jalan, empat buah motor kami yang beriringan di jalan setapak untuk mencapai dusun Pait. Menyusuri jalan yang berliku sempit, berbatu, berdebu penuh semak belukar, melewati banyak jembatan gantung hingga perkampungan warga.
Langkah kami terhenti di sebuah perkampungan yang jauh dari keramaian. Mata kami tertuju pada sebuah bongkahan batu yang berukuran 4 x 7 meter yang bewarna hitam kecoklatan. Di batu tersebut terdapat tulisan yang asing bagi kami, bertuliskan huruf aksara Pallawa, dan berbahasa Sansekerta yang kononnya merupakan peninggalan Hindu-Budha.
Prasasti Batu Pait adalah suatu fenomena langka yang terdapat di tanah borneo, karena di sini jarang sekali mendengar yang namanya prasasti, keberadaannya pun dapat dihitung dengan jari. dapat tanaman hias dan pepohonan yang rindang, secara tidak langsung menyejukkan siapa saja yang berada di sekitarnya. Di tempat ini juga di lengkapi fasilitas seperti toilet, namun di bagian belakang hingga samping kiri, dipenuhi oleh pemakaman penduduk. Tidak heran jika bongkahan batu tersebut dijadikan tempat keramat untuk memberi sesajen ataupun ritual oleh warga sekitar.
Sesampai di Dusun Pait, kami bergegas pergi ke sebuah perkampungan, tidak jauh dari lokasi batu tersebut. Kami mencari juru peliharanya. Namun, dia tidak berada di tempat. Ternyata juru pelihara batu tersebut sedang pergi ke Nanga Mahap. Kami akhirnya memutuskan kembali ke lokasi batu Pait.
Tidak menunggu waktu lama, dua orang bapak datang menghampiri kami. Salah seorang dari mereka adalah orang yang kami cari. Dia adalah juru pelihara Batu Pait. Namanya Vincensius Apung.
Vincensius Apung mengatakan, sebelumnya kondisi dari batu tersebut sedikit memprihatinkan. Batu Pait banyak ditumbuhi lumut yang membuat hurufhurufnya tidak terlihat. “Warna dari batu pun mulai memudar seiring dengan termakannya usia,” ungkapnya.
Untuk melindungi batu Pait, Vincensius Apung dan warga sekitar membuat
pondok dari pohon sagu. Setelah penduduk sekitar memohon bantuan kepada pemerintah setempat agar batu Pait dapat dipertahankan keasliannya, barulah bangunan menjadi lebih baik. Namun semestinya pelestarian khzanah budaya dan peninggalan sejarah ini harus diberi perhatian lebih agar bertahan sampai generasi selanjutnya dan menjadi wisata sejarah unggulan Kalimantan Barat.
“Sejak keluarnya Surat Keputusan tahun 1979 dari situlah saya mulai memelihara batu ini pertama-tama saya membuat pondok dari pohon sagu dan barulah datang bantuan dari pemerintah Provinsi untuk membuat sebuah pondok permanen namun setelah itu datang lagi bantuan dari pemerintah kabupaten untuk merehabnya,” ungkap Vincensius Apung lagi.
Penemu batu Pait adalah seorang warga Kampung Pait, berprofesi sebagai petani yang bernama Sentol atau biasa disapa dengan sebutan Kantong. Beliau menemukan batu ini ketika sedang berladang di hutan. Beliau sudah lama pergi menghadap Sang Ilahi tepatnya 8 Maret 1957 silam d a n a r e a l pemakamannya tak jauh dari lokasi Batu Pait atau Batu Berpahat .
Batu Pait merupakan sebuah batu yang besar yang terdapat tujuh Stupa bertuliskan huruf-huruf aksara pallawa. Namun, sejak pertama kali ditemukan, tidak ada satupun yang mampu menerjemahkan isi terdapat pada ketujuh stupa tersebut. Akan tetapi warga sekitar mengaitkan ketujuh stupa tersebut dengan istilah setempat untuk berniat. “Biasanya kalau orang di kampung ini sedang berniat, itukan ganjil misalnya sak duak tigo empat lima enam tujuh dan berjumlah tujuh mungkin ini ada kaitannya dengan stupa tersebut,” tambah Vincensius Apung.
Vincensius Apung dan beberapa warga sekitar mengatakan bahwa beberapa peneliti dari Jakarta bahkan pada zaman penjajahan serdadu Belanda pernah meneliti batu tersebut. Namun sayang, mereka semua kembali tidak menemukan jawaban dari apa yang diteliti dari batu bertulis itu.
Menurut Prof. Soekarto, Dosen Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) dalam buku Kepurbakalaan dan Sejarah Kalimantan Barat ketujuh stupa ini bertuliskan huruf aksara pallawa dan berbahasa sanksekerta yang berisi mantramantra Buddhis.
Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, peneliti dari Balai Arkeologi Banjarmasin menjelaskan, Batu Pait merupakan bukti peninggalan agama Budha. Ini bisa terlihat pada tulisan yang terdapat dalam tujuh stupa tersebut. “Di situ ada salah satu kata yaitu Dharma. Dharma itu upaya kebaikan, dalam kontek ini adalah upaya kebaikan penyebaran agama. Selanjutnya di situ ada menyebutkan Tatagata. Tatagata itu sang Budha, jadi di prasasti itu ada dua belas baris kalimat yang bisa diterjemahkan sama Profesor Soekarto pada tahun 1983 dan 1985. Jadi diantara kedua belas kalimat yang dibaca beliau, ada tulisan Dharma dan Tatagata. Itu yang menjadi indikator bahwa batu ini adalah penyebaran agama Budha,” cerita Vida. Selain itu, Vida juga mengungkapkan, ada satu lagi kata yang paling penting yaitu huruf Sangkala. Huruf Sangkala adalah tahun pendirian. Tahun pendirian di batu tersebut tertulis 578
Saka, atau sama dengan 656 masehi. Jadi batu pait tersebut sudah ada pada abad ke 7.
Sebelumnya, Vida menjelaskan ada tiga motif kedatangan orang-orang Budha ke nusantara. Satu diantaranya ke Kalimantan tepatnya kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, yaitu pertama karena perdagangan emas, kedua kemajuan teknologi kapal, dan yang ketiga penyebaran agama Budha. “Sistem mereka itu, jika mereka sudah mencapai suatu tujuan tertentu, mereka menciptakan prasasti itu. Inilah kami, inilah perjalanan kami dalam penyebaran agama Budha. Jadi makna apa yang tertulis di dalam huruf pallawa berbahasa sansekerta itu menyebutkan bahwa kami telah sampai di lokasi ini dan kami telah menyebarkan agama,” jelas Vida.[]
Vincensius Apung, Juru pelihara Batu Pait

Dibalik Ekplorasi Batu Bara Sengkalu
Oleh Arinda Zain
Perjalanan menuju tempat eksplorasi batu bara di Desa Sengkalu, Kecamatan Pengkadan, Kabupaten Kapuas Hulu. Kalimantan Barat ini memang memerlukan tenaga ekstra karena jalan yang di tempuh merupakan jalan berbatu dan terletak di pedalaman. Kelelahan akibat perjalanan yang panjang terbayar dengan suasana yang disuguhkan alam di sekitarnya sawah yang hijau, pohon yang rindang, bukit yang berbaris, dan yang terpenting adalah tidak ada polusi, baik itu polusi udara maupun polusi suara. Terlebih penduduknya yang ramah-ramah, menambah kesan menyenangkan saat perjalanan menuju desa yang bersahaja itu.

Seperti halnya wilayah lain di Kalimantan Barat yang memiliki begitu banyak potensi alam yang bisa dimanfaatkan mulai dari darat hingga perairan. Desa Sengkalu juga memiliki potensi alam. Desa yang terletak agak jauh dari jalan lintas utama di Kecamatan Pengkadan ini terdapat potensi yang tersembunyi, selain tempat penambangan emas, desa ini juga memiliki rahasia alam yang baru ditemukan, yaitu batu bara. PT. Radiance Energi dengan SK no 280 tahun 2009 contohnya, perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan ini, telah mengeksplorasi potensi alam yang dimiliki oleh desa Sengkalu sejak 19 oktober 2009 dengan batu bara sebagai komoditasnya. Kepala desa Sengkalu, Muk Adi mengatakan bahwa PT Radiance Energi yang mengadakan eksplorasi batubara di desanya telah melengkapi perizinan untuk mengadakan eksplorasi tersebut. Menurutnya manfaat yang telah dirasakan dengan adanya pertambangan belum ada. “Kalau manfaat yang baru dirasakan dari batu bara belum ada, karena mereka baru mencapai tahap eksplorasi, tapi disamping itu mereka sudah memberikan bantuan kepada desa kami berupa pakaian olah raga sepak bola, masjid, serta pembuatan sumur bor untuk setiap kepala keluarga di sini”, tuturnya. Dia juga mengatakan bahwa seharusnya ada sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu agar masyarakat lebih mengerti tentang pertambangan tersebut, seperti dampak yang akan ditimbulkan jika kegiatan pertambangan telah berjalan dengan semestinya, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Walaupun begitu, dia sedikit merasa tenang dengan adanya studi banding tentang limbah yang telah diatur dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Yang saya risaukan adalah kenapa harus dibangun MES dulu, kenapa harus dibangun jalan dahulu tanpa ada sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu?” ungkapnya. Sebanyak 50 kepala keluarga pemiliki lahan yang digunakan untuk pertambangan tersebut sementara kini belum mendapat kepastian. Mereka tidak memiliki pekerjaan seperti biasanya, karena lahan yang di gunakan adalah lahan perkebunan karet, tapi untuk sementara mereka tetap bisa bekerja sebagai buruh bangunan untuk membangun MES PT. Radiance Energi, yang dibangun dengan menyewa tanah masyarakat setempat. Sukiman contohnya, bapak dua anak ini selain mengajar, ia juga merupakan petani karet. Untuk sementara ia tidak berkebun karena lahan perkebunan karetnya di sewa oleh PT Radiance Energi. Untuk mengisi kesosongan waktunya karena tidak bisa noreh (kegiatan mengambil getah karet pada pohon karet-red), ia ikut menjadi pekerja dalam pembangunan MES yang kerjakan secara bergiliran oleh setiap kepala keluarga yang berjumlah 7 hingga 8 orang di desa tersebut setiap harinya. “ kalau sekarang tidak bisa berkebun tapi saya ikut dalam pembangunan MES dan kadang kalau jadwal mengajar saya bertabrakan dengan giliran saya, maka saya menyuruh anak saya, Mizi, untuk melanjutkan giliran saya”, ujarnya. Muk Adi selaku kepala Desa berharap dengan adanya pertambangan batu bara, dikemudian hari bisa menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi desa Sengkalu khususnya yang masih tertinggal dari desa lainnya. “Jadi, saya mengharapkan adanya dampak positif dari pertambangan ini, yaitu dengan adanya air bersih untuk setiap rumah dan kepala keluarga, akses jalan yang di permudah, serta penerangan di desa ini”, ungkapnya.