
8 minute read
Mimbar Opini
BLACK
UNTAN EDUCATION
Advertisement
Oleh: Ireng Maulana
Pendidikan telah menjauhkan para mahasiswa terhadap realitas sosialnya, mahasiswa menjadi belajar untuk hanya memikirkan dirinya sendiri, sebagian kecil berdiri tunggal diatas kemewahan intelektual yang telah dimiliki dan sebagian yang lain sangat menikmati status sebagai pelajar tingkat tinggi – asal keren. Namun Ketidakberdayaan siswa untuk mentransformasikan kemewahan intelektual yang ada pada diri mereka kepada realitas sosialnya adalah sampah. Status tanpa kerja nyata. Apakah menjadi penting untuk terus berharap kepada ratusan bahkan ribuan mahasiswa dengan standarisasi indek prestasi kumulatif dan pintar, padahal mereka berkemampuan total hanya kepada kertas – kertas berisi pertanyaan.
Mahasiswa menjadi belajar bahwa tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah angka - angka jadi yang telah dirancang . Tanpa dibekali pemahaman yang menyeluruh terhadap arti sebuah proses belajar maka orientasi terhadap standar nilai tertentu adalah sesuatu yang tidak terbantahkan dan memang pantas untuk diperebutkan karena kegagalan untuk meraihnya adalah aib dan kebodohan. Nilai dijadikan sebagai sebuah bentuk penghargaan tertinggi sehingga diyakini menjadi perwakilan simbolik untuk memisahakan secara tegas antara pintar dan bodoh.
Kompetisi untuk standar nilai tertentu cenderung membuat mahasiswa pintar menjadi sombong dan mahasiswa yang kurang beruntung menjadi tidak percaya diri. Kampus bukan tempat merambah ilmu pengetahuan dan kebijaksaan namun hanya menara gading. Mahasiswa berubah menjadi elite baru tanpa kenal realitas sosialnya. Ketidakberpihakan penulis bahwa sistem telah menjadikan nilai berhala dan bukan berdasarkan kepada sebuah proses pembelajaran yang utuh dan menyeluruh yaitu pemahaman tentang tranforamsi pendidikan ditafsirkan sebagai ruang yang menyenangkan dan mahasiswa tidak takut untuk belajar, sehingga mereka, mahasiswa belajar tentang “Mencari dan Menemukan” dan belajar adalah awal untuk tumbuh dan berkembangnya pola pikir dan kelakukan, sehingga walaubagaimanapun nilai merupakan konsekuensi logis terhadap sebuah kemerdekaan belajar, mahasiswa belajar tentang bagaimana menghargai kegagalan, mereka belajar untuk memperbaiki kesalahan dan nilai bukan pada porsi yang tepat untuk menghakimi sebuah proses . Ketidak setujuan penulis juga mengarah kepada hegemoni nilai yang telah membuat mahasiswa terus menerus tertindas dalam proses belajar nya sendiri sehingga akan memunculkan Ketakutan kepada terindikasi ‘bodoh dan menjadikan semua orang berambisi dan tanpa sadar mereka telah mengekploitasi diri mereka sendiri sebagai bagian dari ambisi tersebut dan sekaligus mengekploitasi pendidikan sebagai sebuah peluang penindasan.
Sistem pendidikan nasional cenderung memberikan iming – iming tidak realistis. Semua orang harus masuk universitas. Kalau tidak masuk Universitas merasa gagal. Mereka mencari gelar tetapi tidak memperkaya kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Ilmu tidak berbanding lurus dengan penyelesaian banyak masalah yang dihadapi masyarakat secara luas. Orang – orang desa menjual sawah supaya anaknya bisa masuk Universitas. Setelah sawahnya habis, ternyata pekerjaan tidak ada, berapa anak kita yang bisa menjadi pemecah masalah? (Sofyan A djalil , Kompas/1/4/2006 ) .
Mahasiswa sengaja dibawa lari dalam ciptaan putaran ketergantungan bahwa kampus dan belajar akan berhenti kepada pencapaian terhadap status pekerjaaan yang layak dan nilai ekonomis dalam bentuk gaji yang tinggi. Mahasiswa tidak lagi berpikir untuk dan bagi lingkungannya. Mereka tidak lagi peka pada keseharian kehidupan Rakyat. Mahasiswa hampir kehilangan rasa untuk menghadapi kebenaran hidup yang ada disekelilingnya, hampir tidak ada yang bisa diharapakan! Mahasiswa tidak lagi peduli, mereka kehilangan kecerdasan untuk menetukan sikap.
Bukankah kampus dan belajar sejatinya untuk mendekatkan orang pada kehidupannya, memahami peranan terkecilnya, mahasiswa tidak belajar secara utuh untuk membangun karakter dirinya, tidak belajar memahami makna sebenarnya tentang menghargai, tidak belajar untuk mengeksperiskan sesuatu dengan tanggungjawab, mereka belum belajar bahwa aktualisasi diri bisa menjadi liar dan tidak berkeadilan apabila tidak didasari kepada pe nghormatan kepada orang lain. Kampus seolah – olah seperti kerangkeng monyet. Monyet didalam kerangkeng setiap hari dikondisikan kepada rutinitas yang sama, monyet diajarkan untuk tampil dan bertingkah cerdas pada saat banyak orang yang datang untuk melihat. Monyet hanya berinitiatif terbatas kepada apa yang di perintahkan tuannya, atau hanya sekedar menjalani rutinitas biologis seperti makan, minum atau buang air. Kampus seharusnya membantu mahasiswa untuk mempelajari dan merambah pengetahuan. Proses belajar yang baik seharusnya mengajarkan apa – apa yang bisa ditransformasikan sebagai kontribusi terkecil pada realitas sosial para mahasiswa, namun kenyataan terasa pahit ketika kita harus menyaksikan pendidikan menjadi rusak karena proses belajar berhenti pada pengetahuan yang elitis berkesenjangan; maka pengetahuan itu hanya menjadi symbol bagi mahasiswanya.
Pelurusan salah tafsir ini lebih mendiskusikan sebuah proses pendidikan yang mengedepankan kultur pendidikan pembebasan sehingga mahasiswa tidak diberi janji – janji yang tidak nyata , mahasiswa tidak perlu dibebani dengan cara belajar yang tidak demokratis. ( * pemerhati UNTAN )
MATINYA
PERAN ORGANISASI MAHASISWA DALAM DUNIA KAMPUS

Bassar
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP Untan 2012-2013
Mahasiswa sering disebut sebagai agen peru-
bahan, tapi sekarang mahasiwa pada umumnya adalah agen yang dirubah. Jadi apa yang terjadi pada mahasiswa sekarang khususnya di Kalimantan Barat. Hanya segelintir mahasiswa di tanah borneo bagian barat ini yang mampu menjadi agen perubahan. Paradigma yang ditanamkan didalam benak mahasiswa pada saat ini adalah mahasiswa yang menjadi aktivis merupakan mahasiswa yang berkonotasi negative. Bagaimana tidak, tim pentransfer ilmu di perguruan tinggi menganggap aktivis mahasiswa sebagai nyamuk di antara kerumunan dan terus menyebarkan dalam setiap perkuliahan bahwa menjadi aktivis mahasiswa hanya akan menghambat prestasi (Orientasi nilai) dan merupakan pemberontak yang tak tau budi.
Pada kenyataannya, mahasiswa yang menjadi aktivis, baik aktivis intern dan ekstern kampus adalah mahasiswa yang paling banyak menciptakan perubahan dan mendapatkan kesuksesan. Dalam Program Talk Show off air “Mata Najwa” menghadirkan Ketua PMI Pusat Jusuf Kalla, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan Ketua KPK Abraham, mereka menyatakan bahwa dulunya mereka adalah aktivis mahasiswa sebelum menjadi seperti sekarang.
Di dalam era kurikulum berbasis kompetensi (KBK) ini, memang membuat tanggungjawab aktivis mahasiswa semakin berat. Dimana pada KBK mahasiswa dituntut lebih aktif dari sang pentransfer ilmu, dengan metode yang tidak berubah yaitu pemeberian tugas, malah lebih banyak tugas. Mereka para, mahasiswa akativis tetap menerima KBK, karena memang tujuannya kuliah untuk belajar dan mendapatkan pengalaman. Masalah cepat atau telatnya menjadi sarjana bukan sebuah
pilihan. Jadi sarjana bingung mencari pekerjaan, keadaan ini disebabkan oleh tidak tersedianya lapangan pekerjaan dan pembelajaran diperkuliahan sebelumnya sebatas TEORI saja. Jarang sekali Pentransfer ilmu memberikan contoh yang nyata. Makalah, tugas mahasiswa saja berakhir di pembakaran bahkan skripsi juga ada, seperti tidak pernah kuliah saja dan pantas juga mahasiswa sering plagiat. Bagaimana mau menciptakan sering plagiat. Bagaimana mau menciptakan kompetensi, jika tidak menghargai sebuah karya? Coba makalah yang terbaik bisa diseminarkan, atau diterbitkan ke blog saja.
Nah bagaimana dengan organisasi mahasiswa? Akibat tidak pahamnya peran dan fungsi organisasi, mahasiswa di Kalimantan Barat ini, terjebak dan terkungkung dalam permainan politik kampus. Beberapa dekade ini Orma hanya berperan sebagai organisasi pengkaderan yang tidak terstruktur dan tidak mempunyai tujuan atau indikator yang jelas. Pada saat pengkaderan tidak pernah memberitahukan apa itu AD/ART, maupun Hubungan Orma dan dan pihak lain serta fungsinya seperti apa dan bagaimana prosesnya? Bahkan pengurusnya saja tidak tahu struktur organisasi, fungsi organisasi, bahkan tidak pernah membaca kembali AD/ART. Tidak tahu bagaimana hubungan antara Orma dan Pihak manajemen Kampus serta menjaga hubungannya. Tentunya Organisasi Mahasiswa dibentuk bukan untuk melawan Kampus tetapi sebagai tempat belajar berorganisasi, menimba pengetahuan, pengalaman dan sebagai Advokasi hakhak mahasiswa pastinya.
Akibatnya Ormawa sekarang di bawah perintah manajemen kampus tidak lagi berkoordinasi dengan cara musyawarah, semua diputuskan secara sepihak dan malah mengkomando langsung Ormawa. Dan hebatnya mahasiswa yang beroganisasi hanya diam dengan keadaan tersebut (Jelasnya mahasiswa sekarang tidak mengerti). Di mana nilai demokrasi dan budaya organisasi ? Malah menciptakan aktivis yang cenderung cari aman, cari muka, dan cari keuntungan. Ormawa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) baik tingkat Fakultas maupun Universitas seharusnya peka tehadap segala informasi dan fakta di lapangan. Jelas sekali bahwa fungsi BEM adalah menjamin hak-hak mahasiswa sepenuhnya dengan menjadi fasilitator dalam setiap masalah, baik masalah mahasiswa dengan mahasiswa (Horizontal), Mahasiswa dengan Orma ( Vertikal), Orma dengan Orma (Horizontal) dan Mahasiswa dengan Pihak Manajemen Kampus (Vertikal). BEM tidak berhak ikut campur dalam urusan kegiatan dan peraturan di dalam Orma seperti Himpunan Mahasiswa (Hima) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di karenakan hubungannya tidaklah mengusai atau mengkomando tetapi sebatas Koordinasi (Kerja Sama dan Fasilitator). Faktanya banyak BEM fakultas, hanya diam saja melihat pelanggaran akan hak berorganisasi dan hak-hak mahasiswa. Bungkam dan takut menjadi fasilitator apalagi dalam menyuarakan kebenaran, atau mungkin tidak peduli. Meski ada ancaman drop out, bukan alasan untuk takut, karena sebagai orang beragama harus yakin yang mengatur kehidupan adalah Tuhan Yang Maha Esa, jika kita benar, maka segalanya akan lancar dan yang khilaf pasti tersadarkan. Pihak kampus terlalu pusing memikirkan citra kampus yang akan tercorang oleh tindakan mahasiswanya sehingga lupa akan kaedah cara penyelesaian masalah dengan benar (Musyawarah Mufakat). Mengkrecoki mahasiswa dengan kebijakan sepihak hanya akan menambah buruk citra kampus itu sendiri. Maka akan terlihat bahwa pihak manajemen hanya mementingkan citra kampus dari pada mendidik mahasiswanya, maka tidak layak disebut sebagai pendidik dan hanya layak disebut Pentransfer Ilmu. Ancaman, Cacian, Makian tidak segan-segan di layangkan kepada mahasiswa yang di anggap ekstrimis. Mahasiswa akan tetap hormat jika diperlakukan secara bijaksana dan akan menerima segala keputusan serta konsekuensi jika di dalam penyelesaian masalah dengan memandang mahasiswa itu perlu perhatian dan kasih sayang.
Citra Kampus yang Fantastik dan bermutu tidak hanya keluar dan di buktikan dari mulut orang-orang penting seperti Mentri Pendidikan atau bahkan Presiden Amerika sekalipun. Justru Citra kampus sejatinya berada dihati mahasiswanya yang dikeluarkan melalui ucapan (Mouth To Mouth) yang kemudian menjadi sebuah media pencitraan ke semua orang disekitarnya sampai ia mati. Anggapan Citra kampus itu baik oleh orang-orang penting belum tentu sama dengan anggapan mahasiswa dikampusnya, karena orang-orang tersebut tidak pernah merasakan kehidupan di dalamnya dan menjadi korban penipuan yang dihalalkan. Tujuan kampus itu ada adalah untuk masyarakat menjadi lebih baik bukan untuk pencitraan dan bukan untuk kepentingan lain. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah” kata Ir. Soekarno. Setiap sarjana atau orang pernah mengenyam pendidikan tinggi akan mengenang sejarah saat berada di bangku kuliah terlepas itu kenangan baik atau kenangan buruk. Seperti pepatah lama, “manusia mati meninggalkan nama”. Selama memori manusia mengingat yang buruk tentang seseorang maka selama itu pula doa keburukan, cacian, makian akan berlaku kepada orang tersebut.
Organisasi tidak pernah lepas dari sendi kehidupan karena organisasi itu berupa manusia itu sendiri (Biologi: Organisasi sel-sel yang mempunyai fungsi dan peran masing-masing), bangsa, suku, keluarga (Sosiologi: Kumpulan individu yang bekerjasama mencapai suatu tujuan), pekerjaan (Ekonomi: Suatu badan atau wadah yang terdiri dari beberapa manusia untuk mencapai tujuan bersama (profit oriented), Negara (Organisasi yang memiliki wilayah dan masyarakat dengan tujuan kesejahteraan) dan banyak lagi. Jadi pentingnya belajar organisasi itu wajib sebagai bekal untuk kehidupan dan mencapai kebutuhan serta keinginan. Belajarlah organisasi secara tuntas baik dari segi sejarah, fungsi/peran, manfaat, proses/pengelolaan, dan tujuannya. Karena setiap segi itu masing-masing memiliki ilmu tersendiri serta bekal untuk kehidupan. Berharap agar terus membudayakan musyawarah untuk mufakat dan pengambilan keputusan serta penyelesaian masalah dengan bijaksana sebagai bangsa yang berbudaya dan bukan masyarakat Jahilliyah !
Aaamiin.