Majalah MACCA Edisi nomor 2 Oktober 2021

Page 32

Cerpen

LIDAH DALAM KLEPON

S

Oleh: Rahmawati

umarni hanya seorang janda penjual kue, tetapi namanya tersohor hingga ke pelosok desa ketika ia mampu menghadiahkan seragam beda rupa kepada kelima anaknya. Dia hanya seorang wanita lapuk yang usianya sudah membunuh puluhan almanak sebagai tumbal untuk menjadi satu-satunya penopang untuk anak-anaknya. Tidak ada yang berlebih dalam dirinya selain senyum yang tatkala disedekahkan kepada para pelanggannya ketika hendak menghalalkan kleponnya. Memang setiap ia memakan apapun, ia selalu tambah. Kata leluhurnya, kita perlu menambah beberapa kali ketika makan agar nama kita berkali-kali disebut di bibir dan meja manapun. Tidak peduli pelanggannya tua, muda, anak-anak dia selalu membagi senyum. Jumlah derajat senyumnya pun tetap sama meskipun pelanggannya hanya membeli barang sebiji saja kuenya. Ah, barangkali 30 | Macca No. 2/Oktober 2021

karena senyumnya itu yang membuat para pelanggan berdatangan. Tapi, tidak. Para pelanggan menentang. “Klepon Sumarni enak. Tidak ada yang menandingi.” Ujar seorang pelanggan mantap dan tanpa ragu bak mendeklarasikan sebuah kemerdekaan. “Hanya Bu Sumarni yang jual, yang lain mah cuma poles tepung di muka.” Seloroh pelanggan. “Kue Mbak Marni murah, tapi gak murahan rasanya.” Sambil melipat tangan di depan dada dan menautkan ujung matanya pada penjual kue yang tidak jauh dari tempat Sumarni menjual. “Nek Malni gak pelnah boong kayak mama. Mama seling janji-janji sama Anin tapi tidak ditepati. Kata mama semua gala-gala colona. Memang colona itu apa sih?” Celoteh seorang pelanggan Sumarni yang masih anak-anak dengan gaya cadelnya. Begitulah nama Sumarni dikenal. Dia menjadi kesayangan masyarakat. Meskipun anak-anaknya sudah memiliki kursi dan seragam, ia tetap melanjutkan profesinya sebagai seorang penjual kue tanpa harus merasa malu. Justru dadanya semakin membusung karena pekerjaan itulah yang mampu menaikkan level kehidupan keluarganya ke permukaan kehidupan. Kepalanya semakin tegak menyambut para pelanggan yang menghampirinya meskipun hanya membeli sedikit kleponnya. Kata pelanggan, kue Sumarni semakin nikmat untuk disantap dibandingkan sebelum anaknya masih burik dan mengenakan pakaian bekas nan dekil. “Yey, Marni mah sekarang pakai bahan plus-plus dari gaji anak-anaknya buat bikin klepon yang mantap.” Tebak salah satu temannya yang juga seorang penjual kue dengan nada menggombal. Sumarni lagi-lagi tersenyum simpul meskipun jawabannya tidak searah dengan tebakan teman seprofesinya. “Sembarangan kamu. Bikin klepon itu yah dari zaman Belanda sampe zaman Sapi COD tetap saja cuma pakai tepung beras, gula merah sama kelapa parut. Dibuletin adonan tepungnya pakai isian gula merah, direbus, eh diguling-gulingin di atas kelapa parut, sudah deh. Ora’ ada parutan emasnya, kok.” Lagi-lagi mereka tenggelam dalam tawa sambil menikmati sisa kuenya sore itu tak peduli meskipun garis-garis di wajahnya telah beradu dengan timbal dan debu jalanan ulah pengendara. Suatu hari nan mendung, seperti biasa, Sumarni tetap menjejalkan kuenya di dalam etalase yang ada di pinggir jalan. Macam rupa kue disajikan tetapi hanya klepon yang diwadahi dengan mangkok keramik besar dengan hiasan warna-warni lukisan kembang kenamaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Majalah MACCA Edisi nomor 2 Oktober 2021 by de la macca - Issuu