5 minute read

Chaeruddin Hakim

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa sastra mempunyai aneka fungsi yang dapat dipandang dari berbagai aspek. Paling tidak, ada empat aspek yang dapat dijadikan barometer/ alat ukur untuk melihat fungsi saatra, yakni: a) aspek estetis; b) aspek koginitif; c) aspek mempengaruhi; dan aspek memberi rangsangan. Fungsi sastra yang lebih sederhana dikemukakan oleh Horace, yakni fungsi keindahan (dulce) dan fungsi manfaat (utile), (Wellek dan Warren,1990: 25). Berdasarkan fungsi-fungsi sastra yang telah digambarkan di atas, maka fungsi sastra paling tidak memberi satu pemahaman bahwa sastra dan masyarakat mempunyai keterkaitan yang sangat erat karena isi sastra adalah realitas sosial masyarakat. Sastra merupakan perwujudan rasa tanggung jawab seorang sastrawan kepada masyarakat di mana ia berada. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab IV, maka dikemukakan beberapa simpulkan sebagai berikut.

1. Nilai moral yang terkandung pada kelong

Advertisement

Makassar adalah nilai kejujuran, kesopanan, kedisiplinan, kebenaran, keadilan, ketaatan, nilai sosial kemasyarakatan, dan tata nilai dalam bersoisalisasi dengan sesama manusia. 2. Nilai religius yang terkandung pada kelong

Makassar meliputi nilai ketauhidan, yaitu pengakuan akan kebenaran adanya Tuhan yang menciptakan manusia, pengakuan akan kebenaran Rasul Allah. Kemudian nilai syariah dan nilai akhlak. 3. Terdapat konsribusi positif nilai religius dan nilai moral kelong Makassar terhadap pendidikan moral anak usia pendidikan dasar. Besarnya konstribusi tersebut adalah 39.5%. Sedangkan sisanya 60.5% dipengaruhi oleh faktor lain yang belum terungkap pada penelitian ini.

KELONG DALAM PANDANGAN FILSAFAT NILAI 1. Konsep Dasar Nilai

Ada tiga cara umum yang dapat diterima untuk mengklasifikasi kelas nilai. Pertama, kelas psikologis yang menganggap nilai menjadi fungsi kepentingan atau keinginan, membagi nilai menurut mode kepentingan dan cendrung menjadi masalah pokok untuk menerangkan keadaan biologis dan genetika. Oleh karena itu, pemahaman kelas ini selalu dihubungkan dengan beberapa kecendrungan atau “instink” fundamental. Kedua, kelas mode sejarah yang mempunyai bentuk institusional yang dibutuhkan, seperti ekonomi, moral, kognitif, politik, aestetis, dan agama/religi. Ketiga, kelas aksiologi diterima dalam tedrad, yakni kebaikan, keindahan, dan kebenaran yang memperjelas persatuan Tuhan di tingkat lebih tinggi, (Encyclopaedia Britannica volume 22: 962). Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya. Kajian ini untuk pertama kalinya muncul pada pertengahan

Tafsir Kelong (Bagian 2)

Oleh Chaeruddin Hakim

abad ke-19. Minat untuk mempelajari keindahan belum menghilang sama sekali; keindahan, sebagaimana yang tampak dewasa ini sebagai salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, disebut dengan nilai. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan yang penting dalam filsafat dewasa ini dan secara mendasar mengandung arti pembedaan antara ada (being) dengan nilai (value), (Frondizi, 2001:1-2). Menurut Frondizi (2001: 7-8), nilai tidak ada untuk dirinya sendiri, setidak-tidaknya di dunia ini, ia membutuhkan pengemban yang berada. Oleh karena itu, nilai tampak pada kita seolah-olah hanya merupakan kualitas dari pengemban nilai: keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari sepotong pakaian kegunaan dari sebuah peralatan. Sekalipun demikian, jika kita mengamati sebuah lukisan, kita akan melihat bahwa kualitas penilaian berbeda dengan kualitas yang lain.

Dalam hal persoalan nilai dan kualitas, tidak satupun objek ada, jika salah salah satu dari beberapa kualitas tidak ada. Oleh Frondizi, kualitas dibagi menjadi dua bagian.

1) Kualitas primer Kualitas dasar yang dimiliki oleh sebuah objek yang tanpa itu objek tidak dapat menjadi ada. Namun demikian, nilai tidak memberi atau menambah eksistensi. Contoh: sebuah batu yang sebelum dipahat, memang sudah ada sebelum dipahat menjadi lebih baik.

2) Kualitas skunder Kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindra, seperti warna, rasa, dan bau, yang dapat dibedakan dengan yang “primer”, yang terpengaruh oleh besar kecilnya tingkat subjektivitas, karena kualitas tersebut, membentuk sebagian esensi objek, baik warna yang berada dalam objek adalah jelas bahwa tidak ada, pakaian ataupun pualam yang tidak meliki warna. Dengan demikian, warna adalah realitas objek, termasuk keberadannya, (Frondizi, 2001: 8). Frondizi (2001: 9), berpendapat bahwa nilai tidak dapat ada melalui dirinya sendiri, nilai adalah milik semua objek yang oleh Husserl dikatakan “tidak independen”, yakni nilai tidak memiliki kesubtantivan. Lebih jauh Frondizi (2001: 11), mengatakan bahwa hendaknya orang tidak mengacaukan antara nilai dan objek ideal (hubungan, konsep, dan entitas matematis). Perbedaan antara nilai dengan objek ideal pada umumnya dibuat dengan pernyataan bahwa objek ideal itu “ada” (are), sedangkan nilai itu “tidak ada” (arent); mereka hanya memiliki nilai. Pertanyaan yang muncul sebagai akibat beberapa pernyataan di atas adalah apakah nilai itu objektif atau subjektif? Menurut Frondizi (2001:20), nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai, sebaliknya nilai menjadi subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Menurut Frondizi (2000: 21), sesuatu disebut nilai karena mempunyai lima kriteria.

1) Keabadian Benda yang lebih tahan lama (abadi) senantiasa lebih disukai daripada yang bersifat sementara dan mudah berubah. Kemampuan untuk bertahan dalam arus waktu merupakan tanda yang menjadi ciri khas karya sastra yang besar.

2) Dapat dibagi-bagi (divisibility) Ketinggian yang dicapai nilai berbanding terbalik dengan sifat dapat dibagi-baginya, yakni semakin tinggi derajatnya, semakin kecil sifatnya untuk dapat dibagi-bagi dikarenakan oleh keikutsertaan dari yang banyak di dalamnya.

3) Dasar. Jika satu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, nilai tersebut, lebih tinggi daripada nilai yang lain. Nilai yang termasuk golongan B merupakan dasar bagi nilai golongan A. Apabila nilai individual golongan A ditampilkan maka nilai individual golongan A memerlukan keberadaan nilai B. Nilai B dalam kasus ini adalah nilai yang memberikan dasar sehingga lebih tinggi daripada nilai yang kedua. Tentunya, semua nilai didasarkan pada nilai yang lebih tinggi yang bagi Scheler adalah nilai keagamaan.

4) Kedalaman kepuasan Konsep “kepuasan” menurut Scheler terdiri atas dua hal. Pertama, kepuasan hendaknya tidak dikacaukan dengan kenikmatan, mesikpun kenikmatan merupakan hasil kepuasan. Kedua, terdapat persoalan pemenuhan dari sebuah pengalaman, yakni hal yang hanya tampak manakala tujuan terwujud dengan mengingat satu nilai yang secara niscaya terjalin dengan satu kecendrungan. (Bersambung).

This article is from: