6 minute read

FESTIVAL BUDAYA, SEPERTI APA? Badaruddin Amir

feSTIVaL BUDaYa, SePeRTI aPa?

Badaruddin Amir Pemangku Budaya. Tinggal di Barru

Advertisement

Hampir setiap tahun ada daerah yang melaksanakan festival kebudayaan. Tidak terkecuali tahun ini. saat covid-19 merebak sebagai pagebluk. Festival terus saja berjangsung -meski dalam skala yang terbatas dan dengan protokol kesehatan yang ketat: pakai masker, jaga jarak dan cuci tangan pakai sabun. Beberapa festival demi gaung yang lebih luas juga menyelenggarakannya dengan cara kombinasi daring-luring. Tapiseperti apakah festival budaya itu sesungguhnya? Pada umumnya kita mengenal festival itu sebagai ajang hiburan. Karena itu festival selalu bertabur dengan berbagai asesoris kegemerlapan. Glamour. Sebuah pesta yang meriah -tak boleh ada yang sedih di dalamnya. Festival sudah dikenal sejak era kejayaan Yunani (Yunani Klasik) yang berlangsung sekitar abad ke-5 sampai abad ke-4 SM, biasanya dilaksanakan sebagai pesta kemenangan usai peperangan menaklukkan sebuah wilayah. Di sana tarian dipertunjukkan, obor-obor dinyalakan, genta dan alat musik lainnya dibunyikan. Bahkan pesta sexpun menyertainya. Sex pada peradaban kuno ini bukanlah sesuatu yang ditabukan. Simbol-simbol kelamin (patung penis atau patung phallus) menjadi bagian dari “budaya benda” menghiasi taman-taman kerajaan. Demikian juga dengan pesta-pesta sexnya. Ada Peradaban Etruscan yang berasimilasi ke dalam Republik Romawi pada abad ke-4 SM, para perempuan bertelanjang dan selalu siap bertukar pasangan pada pesta sex. Demikian juga pada karnaval (carnival) di era itu adalah sebuah momentum kebebasan -- dalam arti sebebasbebasnya. Arthur Edward Waite, dalam bukunya, A New Encyclopedia of Freemasonry mengatakan, “Festival berarti pesta seks dan minuman anggur.” Di sana ada kebiasaan memasang gambar dan patung dewa Priapus dengan penis menegang di taman-taman guna memperingatkan penerobos. Sang dewa dipercaya mengutuk para penerobos dengan hukuman seksual yang ganas. Kata “festival” sendiri berasal dari bahasa Latin dari kata dasar “fiesta”. Dalam bahasa Indonesia disebut “pesta”. Festival diartikan sebagai “pesta besar” atau yang meriah yang biasanya diadakan dalam rangka memperingati sesuatu yang dianggap penting dan bernuansa kemenangan. Itulah sebabnya festival di beberapa daerah diadakan sebagai rangkaian hari jadi suatu daerah, karena hari jadi dianggap bernuansa kemenangan. Maka festival pun disadari atau tidak disadari sering menjadi pesta glamour, pesta yang gemerlapan, penuh dengan

Tari Pamasari (Foto: Goenawan Mohoharto)

kegembiraan yang diekspresikan dalam rupa-rupa jenis kesenian seperti tari, atau seni-seni pertunjukanpertunjukan lainnya yang bersifat performance. Dan inilah yang disukai oleh kebanyakan peserta, pengunjung atau penonton sebuah festival. Karena sifat glamournya itu maka sering terjadi sebuah festival tidak meninggalkan apa-apa usai pesta gemerlap itu berlangsung - kecuali rasa puas dari penyelenggara, peserta, maupun pengunjung. Tak ada nilai yang dapat membangun kesadaran masyarakat yang ditinggalkannya. Tak ada nilai edukasi maupun literasi yang dapat mempermudah kebudayaan bergerak maju. Itulah sebabnya maka diperlukan sinergisitas antara semua bidang yang terkait dengan kebudayaan. Dalam pelaksanaan festival pemerintah seharusnya melihat potensi lokal yang terkait dengan pengembangan kebudayaan dan melibatkannya pada sebuah kerjasama. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai sebuah lembaga yang mewadahi kebudayaan di Indonesia sudah memiliki payung kuat di bidang kebudayaan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasca pengesahan undang-undang tersebut Dirjen Kebudayaan sudah banyak membuat terobosan sebagai langkah atau strategi pemajuan kebudayaan. Dalam membenahi “festival” yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan daerah dan banyak diselenggarakan di daerah-daerah ini misalnya, Dirjen Kebudayaan telah membuat (kan) Platform yang diberi nama “Indonesiana”. Platform ini mencoba menawarkan bentuk-bentuk pelaksanaan festival yang tidak lagi hanya sebagai pesta glamour, simbol dari sebuah euforia kemenangan. Pada Platform Indonesiana ini Dirjen Kebudayaan menawarkan tata kelola kebudayaan yang seharusnya dilaksanakan di daerah pada kegiatan pesta kegembiraan seperti dalam festival ini. Tata kelola kebudayaan ini menjadi poin penting yang perlu mendapat perhatian khus, kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, seperti yang dikutip dari laman https:// www.kemdikbud.go.id. Hilmar Farid mengajak seluruh pemangku kepentingan bidang kebudayaan untuk bersama-sama memperbaiki dan meningkatkan kualitas tata kelola kebudayaan, baik dari sisi kualitas, manajemen, maupun tindakan. “Indonesiana adalah sebuah platform kegiatan kebudayaan yang nantinya akan digarap bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” ujar Hilmar Farid di hadapan peserta Lokakarya (Workshop) Platform Indonesiana, di Jakarta. Dengan Platform tersebut maka kita berharap pengelolaan kebudayaan kita akan lebih baik dan akan mempermudah kebudayaan tersebut bergerak dan membangun kesadaran masyarakat. Hakikat dari Platform Indonesiana tersebut adalah untuk menjalin kerjasama dalam bidang kebudayaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, begitu juga dengan komunitas-komunitas budaya dan pelaku budaya sendiri. “Di Indonesiana ini kita mencoba untuk memperbaiki, meningkatkan kualitas tata kelola kita

melalui tindakan. Ini ditekankan karena semangat kita bukan hanya melaksanakan kegiatan. Kita sering bilang kegiatan-kegiatan kita bisa mendunia. Namun kalau hanya terus berkutat di lingkungan sendiri dan senang pada kegiatan sendiri hanya akan jadi katak dalam tempurung. Harus tumbuh kesadaran bahwa ada dunia yang besar di luar sana. Jadi semangat kita bukan sedang berlomba-lomba membuat festival,” katanya seperti yang dikutip sebuah media. Dirjen Kebudayaan menuturkan, tata kelola tersebut bertujuan untuk menyinergikan pemangku kepentingan, yakni antarkementerian, lembaga hingga komunitas-komunitas untuk duduk bersama dan saling terkoneksi satu sama lain. Hasil akhirnya ialah membentuk budaya masyarakat yang mandiri. Platform Indonesiana sendiri bertujuan untuk menemukan rumusan-rumusan yang tepat dalam meningkatkan tata kelola festival budaya di kawasan yang menjadi titik lokasi. Tak hanya itu, fokus utamanya ialah peningkatan kualitas manajemen, perluasan akses dan penguatan jejaring budaya, serta menyusun skema dan mekanisme sebagai acuan kerja pemerintah di bidang kebudayaan. Jadi jelaslah bahwa asumsi lama tentang festival sebagai sebuah pesta glamour dan gemerlapan tanpa tujuan atau manfaat yang jelas sudah perlu dihindarkan. Festival ansic meskipun mendukung nama “budaya” saatnya beralih haluan. Artinya unsur hiburan yang kadang glamour dan meriah untuk masyarakat bukannya dihilangkan, tapi kita coba menambah aspek lain yang bernuansa edukatif, literatif yang dapat menjadi muatan sebuah festival budaya. Dalam tata kelola kebudayaan tentunya pelibatan masyarakat sangat penting. Itulah sebabnya dalam “Platform Indonesiana” harus menemukan formula baru dan rumusan-rumusan yang tepat dalam meningkatkan tata kelola festival budaya di kawasan yang menjadi titik lokasi dengan fokus utama peningkatan kualitas manajemen, perluasan akses dan penguatan jejaring budaya, serta penyusunan skema dan mekanisme sebagai acuan kerja pemerintah di bidang kebudayaan. Sesungguhnya sebelum “Platforn Indonesiana” diluncurkan oleh Dirjen Kebudayaan sudah ada beberapa festival di beberapa daerah yang telah melakukan kegiatan festival tidak sekadar festival ansic dan telah dilakukan dengan tata kelola kebudayaan. Kita boleh menyebut Festival dan Seminar Internasional La Galigo yang sudah tiga kali di taja oleh Pemkab di Sulawesi Selatan. Juga demikian dengan Eight Festival (F8) Makassar sebagai salah satu event seni dan budaya tahunan terbesar di Makassar yang sayangnya belakangan mengendur, Festival Internasional Gunung Bintang di Propinsi Kepulauan Riau yang mengusung tema Hang Tuah, Banjarbaru’s Rainy Day Festival di Banjar Baru Kalimantan Selatan, Festival dan Seminar Budaya di Bukit Tinggi. Festival-festival tersebut tidak lagi sekadar pesta besar yang meriah, melainkan sudah memberikan muatan yang bernuansa edukatif dan literatif. Seminar, diskusi seni budaya, workshop, sastrawan masuk sekolah, pameran karya-karya seni rupa, dan pentas-pentas teater oleh teater-teater lokal yang dilaksanakn secara paralel di beberapa tempat, penerbitan buku-buku seperti buku sejarah lokal, buku antologi antologi puisi, cerpen, maupun esai yang disesuaikan dengan tema festival telah menjadi bagian penting dari festival tersebut, di samping pertunjukan seni tari di panggung dan karnaval di lapangan. Pada festival-festival tersebut akses kebudayaan benar-benar dibuka seluas-luasnya, masyarakat dalam komunitas dibiarkan menjadi pelaku sehingga keterlibatan semua unsur kesenian --bukan saja seniseni tradisional tapi juga seni kontemporer mendapat ruang yang cukup dan berimbang. Nah, ini yang sesungguhnya belum banyak dicapai pada Festival budaya yang diselenggarakan di daerah.[]

Salah satu adegan pertunjukan teater I Tolok produksi Teater Studio Makassar, karya Rahman Arge, Sutradara Goenawan Monoharto. (Foto: Dokumentasi).

This article is from: