3 minute read

RENDEZ VOUS dengan BAHASA DAERAH

Elvirawati Pasila, guru SMP tinggal di Tana Toraja.

Kita sering mendengar sebuah slogan Bahasa adalah jati diri bangsa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama di negeri ini merupakan salah satu alat komunikasi yang dapat meyatukan satu rasa memiliki bahasa bagi bangsa Indonesia. Mengapa kita (baca : bangsa Indonesia) memerlukan bahasa persatuan? karena kita mendiami pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke dan memiliki beragam bahasa daerah di tiap wilayah itu. Beberapa semboyan hidup mencerminkan keberadaan masyarakat penuturnya seperti alon-alon asal kelakon (Jawa; Perlahan tetapi terlaksana), Siri’ na pacce (Bugis Makassar; harga diri dan kehormatan yang harus dijunjung tinggi) dan misa’ kada dipotuo pantan kada dipomate (Toraja; bersatu kita teguh bercerai kita runtuh). Falsafah hidup ini menjadi ciri khas perilaku dan kebanggaan masing-masing penuturnya. Seiring perjalanan waktu perkembangan teknologi menjangkau hampir semua lini, menyebabkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu sedikit bergeser. Kemajuan teknologi yang memunculkan media seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan gawai saat ini menawarkan bahasa yang lebih mudah dipahami karena kebiasaan dan keseharian dari informasi yang disajikan menggunakan bahasa Indonesia. Terlebih lagi Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional (PERPRES No 63/2019) , sehingga kesempatan untuk berbahasa daerah bagi generasi yang lahir pada tahun 80-an sampai sekarang tidak banyak yang memahami bahasa daerah. Selain itu, pada kurikulum pendidikan nasional 2013 bahasa daerah tidak menjadi mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di sekolah, berbeda dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kemudian dimaknai sebagai otoritas sekolah masing-masing; tergantung kepala sekolah dan bagian kurikulum apakah akan memilih antara Bahasa Daerah atau Ketrampilan yang bersifat lokal. Kurangnya ketersediaan guru bahasa daerah dan bahan ajar pun menjadi pemicu menurunnya minat sekolah untuk memberi ruang pengajaran bahasa daerah di sekolah, sehingga penggunaan bahasa daerah sehari-hari hanya dituturkan saat terjadi percakapan lisan antar teman sebaya, bahkan kadang-kadang dengan cara menggabung antara bahasa Indonesia dan aksen atau dialek lokal seperti dari manaki’, kapan ki’ datang, itumi, nanti le, sebentar le dan sebagainya. Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarutlarut. Bahasa daerah sebagai bagian dari kearifan lokal budaya Indonesia harus dikembalikan dan menjadi tuan rumah mendampingi bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Kekurangan tenaga guru lulusan prodi bahasa daerah dapat ‘diakali’ dengan menugaskan tenaga guru penutur asli yang mengampu mata pelajaran bahasa dan bersedia dengan ‘rela dan ikhlas’ berbagi waktu antara mata pelajaran yang linier dengan jurusannya. Mengapa harus ‘rela dan ikhlas’ ? karena apabila tidak linier antara jurusan dan mata pelajaran yang diampuh maka jam mengajar ini tidak akan terhitung sebagai pemenuhan jam mengajar untuk mendapatkan tunjangan professional guru. Anggap saja ladang amal selama kita masih mengembara di dunia. Untuk itu, pemerintah harus bekeja sama dengan balai bahasa untuk memberikan pelatihan agar cara penyampaian bahan ajar dapat sesuai dengan metode pembelajaran yang efektif. Beruntungnya, kerisauan ini terjawab ketika Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Sulawesi Selatan mengadakan Diseminasi Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan seSulawesi Selatan. Rendez-vous (Prancis: rangdévu,artinya pertemuan) dengan bahasa daerah ini berlangsung pada tgl 22-25 September 2021 yang melibatkan nara sumber penutur asli bahasa Bugis, Makassar dan Toraja dan dihadiri oleh pengawas serta guru dari jenjang SD/SMP kabupaten/ kota. Pertemuan ini dimaksudkan untuk menyebarluaskan program pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah di kalangan para pemangku kepentingan pendidikan sehingga dari hasil pelatihan ini dapat meningkatkan mutu guru utama atau guru master dalam pembelajaran bahasa daerah. Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan Bahasa daerah dan kuasailah Bahasa Asing adalah slogan yang harus dimiliki oleh generasi penerus dalam menyikapi perubahan zaman. Era globalisasi memicu persaingan secara universal, sehingga kita perlu menguasai bahasa asing agar tidak tertinggal dari bangsa lain tetapi sipakatau,sipakainge’, sipakalebbi dalam menggunakan bahasa daerah harus terus dilestarikan. Dan yang utama dari semua itu,sebagai bangsa Indonesia kita akan memegang teguh Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.]

Advertisement

This article is from: