8 minute read

Rahmawati

LIDah DaLaM KLePon

Oleh: Rahmawati

Advertisement

Sumarni hanya seorang janda penjual kue, tetapi namanya tersohor hingga ke pelosok desa ketika ia mampu menghadiahkan seragam beda rupa kepada kelima anaknya. Dia hanya seorang wanita lapuk yang usianya sudah membunuh puluhan almanak sebagai tumbal untuk menjadi satu-satunya penopang untuk anak-anaknya. Tidak ada yang berlebih dalam dirinya selain senyum yang tatkala disedekahkan kepada para pelanggannya ketika hendak menghalalkan kleponnya. Memang setiap ia memakan apapun, ia selalu tambah. Kata leluhurnya, kita perlu menambah beberapa kali ketika makan agar nama kita berkali-kali disebut di bibir dan meja manapun.

Tidak peduli pelanggannya tua, muda, anak-anak dia selalu membagi senyum. Jumlah derajat senyumnya pun tetap sama meskipun pelanggannya hanya membeli barang sebiji saja kuenya. Ah, barangkali karena senyumnya itu yang membuat para pelanggan berdatangan. Tapi, tidak. Para pelanggan menentang.

“Klepon Sumarni enak. Tidak ada yang menandingi.” Ujar seorang pelanggan mantap dan tanpa ragu bak mendeklarasikan sebuah kemerdekaan.

“Hanya Bu Sumarni yang jual, yang lain mah cuma poles tepung di muka.” Seloroh pelanggan.

“Kue Mbak Marni murah, tapi gak murahan rasanya.” Sambil melipat tangan di depan dada dan menautkan ujung matanya pada penjual kue yang tidak jauh dari tempat Sumarni menjual.

“Nek Malni gak pelnah boong kayak mama. Mama seling janji-janji sama Anin tapi tidak ditepati. Kata mama semua gala-gala colona. Memang colona itu apa sih?” Celoteh seorang pelanggan Sumarni yang masih anak-anak dengan gaya cadelnya.

Begitulah nama Sumarni dikenal. Dia menjadi kesayangan masyarakat. Meskipun anak-anaknya sudah memiliki kursi dan seragam, ia tetap melanjutkan profesinya sebagai seorang penjual kue tanpa harus merasa malu. Justru dadanya semakin membusung karena pekerjaan itulah yang mampu menaikkan level kehidupan keluarganya ke permukaan kehidupan. Kepalanya semakin tegak menyambut para pelanggan yang menghampirinya meskipun hanya membeli sedikit kleponnya. Kata pelanggan, kue Sumarni semakin nikmat untuk disantap dibandingkan sebelum anaknya masih burik dan mengenakan pakaian bekas nan dekil.

“Yey, Marni mah sekarang pakai bahan plus-plus dari gaji anak-anaknya buat bikin klepon yang mantap.” Tebak salah satu temannya yang juga seorang penjual kue dengan nada menggombal. Sumarni lagi-lagi tersenyum simpul meskipun jawabannya tidak searah dengan tebakan teman seprofesinya.

“Sembarangan kamu. Bikin klepon itu yah dari zaman Belanda sampe zaman Sapi COD tetap saja cuma pakai tepung beras, gula merah sama kelapa parut. Dibuletin adonan tepungnya pakai isian gula merah, direbus, eh diguling-gulingin di atas kelapa parut, sudah deh. Ora’ ada parutan emasnya, kok.” Lagi-lagi mereka tenggelam dalam tawa sambil menikmati sisa kuenya sore itu tak peduli meskipun garis-garis di wajahnya telah beradu dengan timbal dan debu jalanan ulah pengendara.

Suatu hari nan mendung, seperti biasa, Sumarni tetap menjejalkan kuenya di dalam etalase yang ada di pinggir jalan. Macam rupa kue disajikan tetapi hanya klepon yang diwadahi dengan mangkok keramik besar dengan hiasan warna-warni lukisan kembang kenamaan

yang hanya ada di luar negeri. Memang itu selalu nikmat. Dan teramat istimewa bagi Sumarni dan anak-anaknya.

Matahari sudah beranjak ke atas kepala. Pelan-pelan sumarni duduk sembari mengelap peluh yang telah meguarkan aroma khas matahari. Jika ditanya apakah ia lelah, tentu Sumarni akan tersenyum sambil mengatakan bahwa tubuhnya melakukan fungsinya sesuai semestinya dengan melakukan pembakaran di dalam tubuh dan keluar melalui sistem ekspresinya.

Selang detik kemudian, Sumarni bangkit dari duduknya dan memamerkan kembali sebuah senyuman yang sangat syahdu dengan tatapan yang begitu teduh. Anak pertamanya datang sambil menenteng tas kerjanya. Sepatunya masih seperti pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Masih mengkilap. Seragam kebanggaan yang dihadiahi oleh Sumarni masih melekat rapi. Dan lagi-lagi Sumarni tersenyum bangga melihat hadiahnya tersebut. Sumarni mengangkat pandangannya. Senyum itu kemudian pudar saat ia menyelami kedua bola anaknya. Alisnya saling bertaut dan keningnya yang sudah membicarakan usia semakin menambah jumlah lipatannya setelah kedatangan sang anak.

“Lapar, Mak.” Ujar sang anak dengan pelan. Sumarni kemudian tersenyum dan menyuguhkan sepiring klepon pada anak pertamanya. Sang anak mencomot tanpa jeda kleponnya dalam diam dan tanpa menatap emaknya.

Besoknya, sumarni kembali geleng-geleng kepala ketika melihat anak keduanya. Dengan memakai seragam kebanggaannya, anak kedua datang. Profesinya yang menuntutnya untuk berdiri tegak dan mengetatkan rahang setiap saat, hari itu berjalan sempoyongan dengan kepala bengkok.

“Lapar, Mak.” Ujar si anak kedua sama persis dengan anak pertama kemarin. Sumarni tersenyum dalam diam. Sebegitu nikmatkah kuenya? Ketika sang anak bisa membeli apapun dengan gajinya, mereka justru kembali mengeong mengibah kue klepon emaknya. Ah, Sumarni memang mengakui kalau sensasi gula merah yang lumer ketika menggigit kleponnya, akan mengikis bilik lapuk ingatannya tentang hal-hal baik yang diperoleh semasa hidupnya. Tentang Sumarni yang pertama kali mendapat pengakuannya sebagai seorang wanita, bukan lagi seorang bocah ingusan yang sering melipir ke pinggir parit. Tentang Sumarni yang pertama kali menyemai dengan telaten biji kembang yang mampu menggeleparkan kalbunya sembari menyembunyikan pipi kemerahannya di balik helai rambutnya. Tentang Sumarni yang dipersunting oleh pria dewasa meski baru 2 kali ia mendapat bulan merahnya. Tentang Sumarni yang mampu membesarkan 5 pria hebat meski tubuhnya sebentar lagi layu jika tahun depan kemarau masih membatukan kepalanya.

“Enak?” Tanya Sumarni. Anak kedua hanya mengangguk pelan sambil menikmati klepon yang sudah disuguhkan. Tetapi, Sumarni merasa ada yang meremas nuraninya. Anak keduanya serupa gunung berapi yang menyimpan lava di perutnya dan kapan saja bisa mengeluarkan panas itu dari kepundannya dengan brutal. Maka dari itu ia memilih menikam pelan dalam gelap.

Hari berikutnya, Sumarni semakin yakin dengan kegelisahan-nya. Ia mulai geram dengan dirinya ketika anak ketiga, keempat dan kelima bergantian dihari yang berdampingan mendatangi emak-nya yang sedang menjual dengan kepala yang hendak terseret ke aspal. Sumarni kehilangan senyum pada hari itu juga. Isi kepalanya tergoncang. Hendak meledak. Meski begitu, ia tetap menjual kue, dan anehnya kuenya semakin nikmat dari biasanya meski tanpa hadiah sebuah senyuman kepada pelanggan.

Para tetangga krasak-krusuk saling berbisik. Bukan karena tidak ada senyum lagi, tetapi karena anak-anak Sumarni menghilang satu persatu. Para pelanggan yang mengenal baik Sumarni turut menyalurkan empati, tetapi hal itu justru semakin membuat Sumarni membuang jauh-jauh wajahnya.

“ Sudah melapor ke pihak yang berwajib, Bu?” Usul salah seorang kenalannya.

“Tidak perlu” Sumarni menjawabnya tanpa harus menggeledah isi otaknya.

Semua orang yang mengenal Sumarni menyelipkan Sumarni dan anak-anaknya yang menghilang dalam lidah mereka. Tatapan dingin dan jawaban yang seolah tidak peduli pada kehilangan anaknya menimbulkan anggapan negatif para tetangga terhadap dirinya. Terlebih saat kehilangan anak-anaknya, rumah sumarni selalu dibiarkan gelap gulita. Hal tersebut memancing rasa keingitahuan para tetangga Sumarni untuk menyambangi rumahnya. Alih-alih untuk mempererat tali silaturahmi, mereka justru hanya penasaran akan kebenaran yang ada.

“Mbak Marni gak usah menutup diri gitu. Cerita dong sama aku, Mbak. Barangkali aku bisa bantu mencari anak-anak, mbak.” Bujuk salah seorang.

“Tidak perlu. Ini urusan orang sinting.” Tegas Sumarni tanpa memandang lawan bicaranya.

“Mbak, jangan aneh-aneh, deh.”

Hingga setahun berlalu, Sumarni tetap menutup

diri dari masyarakat. Ia tetap tidak bergerak untuk mencari anak-anaknya. Tetapi, ia masih tetap menjual klepon. Sekarang usaha kleponnya semakin meningkat pesat. Bukan lagi etalase kecil nan retak yang ia pakai. Sekarang Sumarni menyewa ruko di jalan poros untuk memperkenalkan kuenya yang bisa dijadikan buah tangan ketika hendak pulang kampung. Bahkan sudah ada 5 pegawai tambahan yang membantunya untuk mengolah kue klepon dalam jumlah yang banyak.

Pelanggan berdatangan dari arah mana saja. Spanduk besar yang didominsasi warna putih dan merah dengan bubuhan gambar klepon kemudian membingkai tulisan KLEPON LIDAH ANAK. Ruko bercat biru langit itu terdiri dari 2 lantai. Lantai 1 difungsikan untuk menyimpan etalase-etalase berisi macam klepon dan kue-kue pendamping lainnya sekaligus dapur di bagian belakang. sedangkan, lantai 2 difungsikan sebagai tempat istirahat para karyawannya.

Rupanya, meningkatnya penghasilan sumarni, semakin memancing mayarakat untuk menjilat bibir mereka yang kering. Seperti pada sore hari itu di warung kopi dekat rumah Sumarni.

“Sumarni praktik pesugihan kali. Rejekinya cepet banget naik.”

“Benar juga. Anak-anaknya diseragamin semua. Dapat dari mana coba uangnya?”

“Betul, mas. Udah diseragamin, dijadiin tumbal lagi.” Lelaki tambun dan bertelanjang dada itu terkikik.

“Tahu tidak, kemarin aku ke rumah Mbak Marni. Cucian piringnya numpuk kayak orang sepuluh kepala sudah makan. Siapa tahu itu jin-jinnya yang ngisi tenaga, mas.” Datang lagi seorang perempuan membawa secangkir kopi untuk pelanggannya.

“DASAR BIADAB!”

“Ayo geledah rumahnya.”

“Gak usah diurusin deh. Dosa yah dia sendiri yang tanggung. Iri juga? Ngepet gih.” Celoteh salah seorang warga dengan sarkas.

“Aduh, Neng Ningsih. Jangan suudzon, siapa tahu itu piring bekas makan Marni 3 hari yang lalu belum dicuci.”

“Kamu sih, gak pernah ke rumahnya. Jangan Cuma karena alasan mau memutus rantai penyebaran virus, mbak memutus tali silaturahmi, yah.”

Beberapa warga ada yang tidak peduli dengan kasus Sumarni dan anak-anaknya, tetapi setelah salah seorang warga menemukan 5 pusara di belakang rumah Sumarni, mereka akhirnya kalap. Bak menemukan sungai di gurun pasir, begitulah mereka akhirnya mendapatkan bukti dari asumsi yang tidak berdasarnya. Berbekal clurit, badik, pisau, linggis dan alat gunting rumput, mereka mendatangi rumah Sumarni malam itu. Tanpa sepengetahuan Sumarni, para warga menggali pusara yang diduga adalah pusara anak-anaknya. Bermacam rupa menyelip di antara mereka. Ada yang sesegukan dengan perbuatan Sumarni, ada yang murka, ada yang hanya sekadar ingin tahu isi pusara, ada yang....akh, entah, rupa babi, banteng, kelejengking semakin terasa mudah dibedakan.

Berbekal alat yang mereka bawa, mereka mulai menggali pusara itu. Rahang mereka jatuh ketika hanya menemukan sepasang seragam yang sempat dihadiahi oleh Sumarni untuk anak pertamanya dalam onggok tanah itu. Begitupun pada pusara lainnya yang berisi satu persatu seragam anak-anak Sumarni. Mereka saling melemparkan tatapan bingung. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka mendobrak pintu belakang rumah sumarni.

Gelap. Itu hal pertama yang mereka lihat. Setelah menemukan saklar dan menyalakanya, nampak Sumarni duduk melantai dan bersandar pada sebuah lemari tua. Rambutnya berantakan, daster yang ia kenakan pudar dan ujung bawahannya sudah koyak di beberapa bagian. Wajahnya pasi, tetapi tangan renta dan berbukunya terus mengetuk permukaan lemari dengan pelan sambil melantunkan sebuah lagu pengantar tidur yang biasa ia nyanyikan untuk anaknya.

“Ininnawa sabarae, ininnawa sabarae lolongeng gare deceng

Alla tau sabaraede

Pitu taung na sabara, pitu taung na sabara

Tengnginang kulolongeng

Alla riasenge deceng”

Mereka semua tertegun.

“Shhh jangan ribut!” Sumarni bersuara dengan getar yang hebat tetapi penuh dengan penekanan.

“Anak-anakku kelelahan memakai seragam.”

“Tapi mereka takut bicara kalau tidak memakai masker.” Terang Sumarni sambil memberikan seulas senyum tipis. Sebelum melanjutkan pembicaraannya, Ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan pelan membuka pintu lemari yang berbahan kayu tersebut. Mata para warga jatuh bergelinding ketika menyaksikan kelima anak Sumarni yang terlelap dan tertumpuktumpuk menyesaki lemari itu. ”Makanya lidah mereka sengaja mereka simpan dalam klepon yang kalian makan.”. []

This article is from: