
9 minute read
Goenawan Monoharto
Proses Photography Sandwich Pallumara
Maestro tari Pakarena, Dr. Nurlina Syahrir, M.Hum. (Foto: Goenawan Monoharto).
Advertisement
Konsep modern dari roti lapis atau ‘sandwich’ dalam bahasa Inggris pertama kali ditulis di jurnal Edward Gibbon, mengacu pada penyebutan “potongan daging dingin” sebagai ’Sandwich’. Adalah John Montagu, 4th Earl of Sandwich, seorang aristokrat Inggris yang memerintahkan pelayannya untuk membawakan daging pesanannya yang diselipkan di antara dua potong roti, dan yang lainnya mulai memesan dengan berkata sama: ‘Sandwich!’ Pada awal abad ke-20, saat roti menjadi makanan pokok di Amerika, roti lapis menjadi makanan populer dan popularitas yang terus meningkat. (Disarikan dari wikipedia). Kemudian saya coba mengelaborasi panganan dari bahan roti tawar dengan ikan (masak) Pallumara. Saya suka Pallumara ikan Mairo (teri) atau ikan anak Layang (sarden). Racikan yang enak, asyik dan menarik dicicipi. Kemudian saya memperkenalkan pada sahabat-sahabat seniman bahwa kuliner di Makassar begitu bervariasi, juga dapat direkayasa. Di masa millineal racikan apa saja nyaris SAH. Soal enak tidaknya tergantung selera. Sebagaimana Raja Salomo pernah menuliskan bahwa tak ada yang baru
Goenawan Monoharto Seniman fotografi. Tinggal di Makassar
di muka bumi ini. Yang ada hanya ada pengulanganpengulangan penuh rekayasa sehingga disebut ‘baru’. Baru, apakah ini disebut penciptaan kuliner baru? Bukan ihwal tersebut substansi yang ingin saya sampaikan, tetapi sebuah konsep fotografi ala saya, Ya, saya tidak berbicara tentang kuliner Makassar, namun mencoba menukik ke kedalaman pameran foto Refocusing Pakarena yang melibatkan koreografer/seniman tari/ akademisi Dr. Nurlina Syahrir, M.Hum. Pada beberapa karya beliau, saya ikuti dan terlibat memotret. Meski pun tidak memotret seluruhnya sebagai dokumentasi. Tahun 1990-an, saya memotret Passion of Pakarena dan Akkarena ri Benteng Pannyua. Hasil dari pengambilan foto tersebut disimpulkan bahwa perlu ada karya fotografi dengan pendekatan ‘baru’ dalam Pakarena, hanya saja waktu itu saya belum tahu bentuknya. Saya kemudian membuat konsep pendekatan semacam layer baru dalam proses penciptaan fotografi- saya sebut Sandwich Pallumara, menyelipkan Pakarena pada karya foto-foto saya Secara jujur saya sampaikan bahwa pengenalan saya dengan Nurlina Syahrir sudah dimulai sejak beliau remaja siswa di kelas 1 jurusan tari SMKI Makassar di Benteng Fort Rotterdam. Ia salah satu primadona di SMKI penari Pakarena. Setelah menyelesaikan S2 di UGM dan doktoralnya di ISI Yogyakarta ia lebih konsen pada tari Pakarena. Sesuatu yang bukan mengada-ada ketika Yayasan Sulappa Eppa (Dr. H. Ajiep Padindang, SE., MM.) menganugerahkan penghargaan tertinggi pada Nurlina Syahrir sebagai Maestro (Anrong Guru) Pakarena (2015) dan Basri Baharuddin Sila sebagai Maestro pemusik tradisional. Balik pada karya fotografi, sebagai seniman fotografi saya mengelaborasi bentuk karya saya yang akan ditampilkan pada pameran Refocusing
Pakarena. Saya mesti melihat Pakarena dengan layerlayer pemahaman lebih luas dan komprehensif, saat ini bagaimana keadaanmu? Masih perlukah Pakarena digambarkan sebagai perempuan Makassar dahulu kala, yang bekerja di rumah saja mulai matahari terbit hingga tenggelam? Juga di masa pandemik Covid-19 ini apakah perempuan Makassar di rumah saja? Apa pendapat generasi millineal, generasi K Pop masa kini? Sebagai seniman fotografi saya mencoba penciptaan foto-foto tentang Refocusing Pakarena melihat sudut pandang kamera, lensa dengan segala fitur-fiturnya baik speed, diagrafma maupun iso (asa) nya. Juga pemilihan lokasi pemotretan, dengan pertimbangan yang apik dan disepakati dengan tim kerja: Dewi Ritayana, Yudhistira Sukatanya, Bhagawan Ciptoning, kemudian melibatkan Basri Baharudin Sila, Don Redo, Ahmad Fauzi, Ahmad Anzul dan Sukma Sillanan (ahli pencayahaan pentas). Tim kerja ini solid, banyak memberi saran dan kritik saat membicarakan Pakarena masa lampau, sekarang dan akan datang. Spot stasiun ikan Beba Galesong-Takalar, menjadi salah salah satu lokasi pemotretan. Dari sudut pandang Showing potret sangat bagus penuh warna, tetapi apakah sudah masuk konsep Refocusing Pakarena? Saya melunak: ya. Sekalipun saya menyisihkan pikiran dan perasaan ‘tidak suka’ pada hasil pengambilan foto di lokasi tersebut. Kemudian terpilih satu karya untuk maskot (titik fokus) untuk keperluan pameran. Kemudian beralih ke lokasi berikutnya di Etika Studio (menjadi studio pemotretan), lalu ke Benteng Somba Opu yang kelam penuh misteri sejarah, kemudian ke hutan karst (batu kapur/bahan baku semen) di Rammang-Rammang, Maros. Pemilihan lokasi pemotretan semua terjadwal pada malam hari, ketika bulan bundar masih belum purnama jelang akhir Ramadhan. Tak ada pilihan lain, memoret dalam cahaya minim (terang bulan) dan pijaran kanjoli (semacam kandil). Di benak saya pasti noise bertaburan pada hasil foto saya. Hasilnya, kena sasaran wacana dalam diskusi bahwa Pakarena sekarang ini masuk pada pintu kekelaman. Gelap. Pemilihan foto hitam putih adalah bagian dari konsep pameran sebagai konten Refocusing Pakarena; menyetel kamera dengan program monocrom dan pemakaian red filter sebagai kekontrasan hasil foto black and white. Secara teknis meskipun sudah terlewatkan, saya menggunakan diagfragma 2, speed 2, Asa 1000 dan 1600: Mirroleks FUJI FILM X100 dengan lensa 35. Sekalipun saat pemotretan ada tiga buah foto warna sebagai perbandingan. 18 foto terpilih untuk dipajang. Sisi minimal 55 cm dicetak di atas kanvas. Hasil pencetakan karya turut mengambil bagian dalam menentukan konten pameran tersebut. Kali ini, lagi-lagi saya memotret melampaui batas romantisme foto salon tetapi dengan intuisi rasa penciptaan yang motorik. Tidak ada yang “baru” seperti kata Raja Salomo. Saya teringat Kassian Cephas orang Indonesia pertama yang menyandang gelar fotografer. Banyak fotografer di Indonesia dari keturunan Belanda. Cephas-lah yang banyak memotret candi, keindahan alam dan human interest. Fotonya sangat luar biasa pada masanya. Meskipun saat ini dianggap hasil fotonya biasa-biasa saja, tetapi pada masanya di akhir abad 18 itu sungguh luar biasa. Apakah konsep penciptaan fotografi yang saya sebut Sandwich Pallumara akan poluler pada suatu hari? Entahlah. Ada masa dalam menghasilkan karya foto luar biasa dan dianggap biasa pada masa kemudian. Tentu juga ditentukan dengan genre. Saya memilih jalan sunyi dalam fotografi, yakni instalasi fotografi, foto konseptual yang tidak populer di negeri ini. Itu kesukaan saya dalam penciptaan seni dalam fotografi. Jalan sunyi ini saya tempuh sejak tahun 1984 pameran tunggal Seni Foto di Dewan Kesenian Makassar, dan setelah itu hampir setiap tahun saya berpameran. Tahun 2001 foto kaki-kaki tentara berbaris saya siram dengan cairan merah (aplikasi photoshop) dengan judul ‘Operasi’ berhasil meraih penghargaan Medali Emas pada Foto Salon Inovasi yang diselenggarakan PAF Yogyakarta. Setahun kemudian oleh Mas Tubagus S.V. sebagai promotor menyatukan kami, seniman foto Davi Linggar (Jakarta), Fotogfafer Senior Budi Darmawan, Hon.E.FPSI., PAF***. Hon PAF. Saya pameran di Semarang dan Yogyakarta dalam Pameran Foto Digital (pertama di Indonesia). Namun sebelumnya saya sudah berpameran tunggal foto digital di Makassar (merupakan pameran foto digital pertama di Indonesia) Karya Instalasi Fotografi, “Belajar pada anak-anak ini”, “Dark Room- Kamar Gelap” (2020) “Mencari Aktor di Balik Lensa” (2020). Lebih lanjut silakan menikmati Sandwich Pallumara yang sudah disuguhkan pada pameran foto Refocusing Pakarena di Galeri De La Macca, Jl. Borong Raya No. 75A, Makassar. 7 Juni hingga 7 Juli 2021 (pada masa covid-19) yang lalu. Roti tawar dan Pallumara. []

Dewi Ritayana menyerahkan MACCA pada Drs. Badaruddin Amir, pemilik Pustaka IQRA di Barru. (Foto: Yudhistira Skt.).
Kota Barru sekitar 105 km dari kota Makassar terdapat sebuah rumah panggung kayu dengan halaman yang asri, itulah perpustakaan komunitas IRQA milik Badaruddin Amir. Kolong rumah yang luasnya sekira 4,5 X 8 meter difungsikan sebagai perpustakaan komunitas Iqra yang kini mengoleksi tidak kurang dari 6000-an judul buku, bundel majalah, bundel koran, klipping koran dan bahan bacaan lain. Lemari-lemari buku dari bahan aluminium setinggi 120 sentimeter mengelilingi tiga sisi ruang dengan aneka koleksi buku bahasa, fiksi-sastra, agama, filsafat, sejarah, budaya, buku paket, buku bacaan untuk anak dan lainnya ditata rapih dengan diberi nomer klassifikasi sebagaimana lazimnya perpustakaan. Beberapa bingkai foto-foto dan poster terpajang di dinding. Ada piagam penghargaan, sertfikat hingga berita di koran. Badaruddin Amir dengan ramah bercerita bahwa pada awalnya perpustakaan Iqra hanya mengoleksi sejumlah buku bacaan sastra milik pribadi, kemudian mendapat bantuan dari berbagai pihak. Ada sejumlah buku dari Dinas Pendidikan Kabupaten Barru juga bantuan 1000 eksampar buku dari Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan untuk pengembangan taman bacaan, kemudian The
Perpustakaan IQRA Oase Bagi Minat Baca
Habibie Centre Jakarta pernah mengirimkan puluhan bundel-bundel surat kabar Kompas, Media Indonesia dan Republika serta buku-buku dan majalah yang tak ternilai harganya, dari pustaka bergerak dan temanteman penulis baik dari dalam maupun luar Sulsel “Jadilah perpustakaan kecil dengan koleksi yang sangat terbatas namun eksklusif.” Imbuh Badar sambil tertawa ringan. Perpustakaan komunitas Iqra juga adalah ruang yang terbuka, sudah berkali-kali melayani kunjungan komunitas-komunitas baik sastrawan, siswa, mahasiswa, wartawan hingga pamong yang berminat mengenal, mengetahui hingga menelaah karya sastra, atau berdiskusi berbagai topik, mempelajari cara pengelolaan perpustakaan komunitas dan lainnya. Misalnya memahami sistem pengelolaan koleksi perpustakaan dengan Dewey Decimal Cassification yang merupakan salah satu pilihan standar dalam mengelompokkan dan mengatur koleksi yang ada di perpustakaan. Kadang, mendiskusikan karya sastra lama hingga mutahir atau berbagi pengetahuan tentang tips dan trik menulis kreatif” Mereka itulah “komunitas” utama Perpustakaan Iqra. Sementara masyarakat umum masih menjadi “komunitas” kedua. Di masa pandemi covid -19 kegiatan di perpustakaan komunitas sastra Iqra pun turut terdampak. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan karena berbagai pembatasan sosial tatap muka. Namun hal yang lebih dikhawatirkan oleh Badar adalah menurunnya minat baca. Ia sungguh prihatin pada generasi yang tidak bersikap konsisten dalam giat literasi. Pilihan bacaan yang mereka sukai pun relatif ringan dan bertema populer. “Terkadang saya menawarkan bacaan buku sastra yang bermutu tinggi dari penulis terkenal, tapi kurang digubris.” Keluh Badar. Memang kenyataan seperti itu sungguh terasa miris sekaligus menjadi tantangan layanan. Pengunjung yang datang dari kalangan tertentu, pelajar, mahasiswa kadang peneliti, penulis/sastrawan masing-masing hanya terkonsentrasi pada topik tertentu, bukannya cakrawala pengetahuan yang luas. Mungkin juga perlu disediakan buku-buku praktis sesuai kebutuhan masyarakat, sebagaimana buku-buku tema agama,
buku-buku tuntunan praktis cara bertani, beternak, bertanam hydroponik dan semacamnya. Namun untuk pengadaan buku itu dibutuhkan adanya dukungan para pihak. Tantangan lain dalam mengembangkan minat baca (literasi baca-tulis) masyarakat –terutama di kalangan generasi muda sekarang adalah dominasi keberadaan perangkat dan interaksi IT, itu memang belum dapat kami fasilitasi karena keterbatasan kemampuan dana. Disadari bahwa pada era IT ini, pengelola taman bacaan pun sedianya dituntut mampu bekerja secara hybrid- daring dan luring, perlu mengikuti dan memahami perkembangan dan kemajuan layanan IT dari waktu ke waktu. Meski demikian diharapkan pula agar segala yang tersedia di perpustakaan komunitas Iqra tidaklah disia-siakan. Jadikanlah semacam oase di tengah kekeringan minat baca. (Dewi Ritayana).
Makassar Kota Event 5000 Lorong Dirias
Tidak main-main dalam memajukan Kota Makassar. Pada priode kedua Danny menjadi Wali Kota Makassar, mempersiapkan Kota Makassar selain kota dunia, kota wisata. Kekayaan kota Makassar banyak yang dapat di”jual” misalnya tempat-tempat eksotif yang akan menjadi kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara. Danny mengatakan, begitu kaya kota Makassar, sebagai kota wisata, sampai pada loronglorong yang ada di wilayahnya berpotensi mendapat perhatian wisatawan dunia. Sekarang ini sementara dalam pembenahan memperindah lorong-lorong itu. Apalagi konsep lorong ini didukung penuh masyarakat kota Makassar. “Dapat dibayangkan yang tercatat sekarang ada 5000 lorong wisata di Makassar,” sebut Danny pada acara diskusi asik pariwisata dengan tema strategi bisnis pariwisata di masa pandemi. Acara itu diadakan oleh forum backstager Indonesia di hotel Four Points of Sheraton Makassar, Rabu 15 September 2021. “Periode pertama, saya buat namanya wisata lorong. Ada ribuan lorong menjadi tempat

Salah satu lorong di Makassar. (Foto: M. Idris) menarik untuk di kunjungi. Warga juga merasa memiliki lorong jadi bersama-sama untuk menjaga dan merawat. Memperindah lorong dengan paduan warna menjadi hak mereka karena mereka yang akan menikmati sendiri,” ungkap Danny Pomanto. Kota Makassar akan menjadi kota Event, konsep ini telah di mulai dengan mendata titik-titik seni budaya yang ada di setiap kecamatan. Ia pun menambahkan berkat wisata lorong tersebut, Danny juga memperkenalkan smart city dengan konsep sombere’ (ramah) sehingga makin membuat orang luar penasaran. “Konsep lokal kami terapkan. Menjadikan Makassar smart city yang sombere’ dan orang luar bertanya akan Makassar. Ini peluang menjadikan Makassar makin di kenal dengan melibatkan masyarakat dari semua kalangan. Olehnya itu tak ada salahnya menjadikan Makassar kota event,” jelasnya. Pada diskusi tentang wisata di kota Makassar di masa pendemi Covid-19, dihadiri Reza Pahlevi dan juga Fikri L. Azis sebagai panelis. Dialog yang di pandu oleh dua moderator yakni Sofyan Setiawan dan Andre Ginting ini juga mengulik bagaimana perjalanan karir Danny Pomanto membangun Makassar. (M. Idris).