7 minute read

TRADISI MONAHU NDAU’U

dan Pahlawan Budaya yang namanya diabadikan dengan ikon monumen kota di alun-alun taman Colliq Pujie yang dilengkapi dengan fasilitas olahraga lintasan lari-jogging track dan alat fitness. Lokasi patung torso itu tepat di pusat kota dekat dengan kantor Bupati dan sangat startegis serta mudah dikunjungi oleh masyarakat. Sekira 200-an meter dari taman Colliq Pujie ada bangunan perpustakaan daerah yang juga dinamakan perpustakaan Colliq Pujie. Selain itu, Barru juga memiliki aneka tradisi ritual dan seni yang terjaga seperti Mappatettong Bola- Gotong royong mendirikan rumah, Ritual adat Maccera Tasi atau larung sesaji di tengah laut oleh nelayan agar hasil tangkapan ikan para nelayan di daerah tersebut berlimpah ruah. Mappadendang sebentuk pesta hiburan yang berlangsung selama dua malam berturut-turut dengan menampilkan hiburan tradisional dan hiburan modern. Menurut panitia Nasdir Rafly, Festival Budaya to Berru merupakan kegiatan budaya yang digelar setiap tahun dengan beberapa agenda kegiatan budaya seperti Karnaval Budaya, Pemilihan Duta Pariwisata Barru, dan pada puncaknya penampilan karya tari yang spektakuler. Untuk tahun ini dilaksanakan secara khusus di atas hamparan pasir putih Pulau Dutungan, dengan green consep yang alami, sekaligus menapaki jejak jalur rempah di Sulawesi Selatan. “Karena masih dalam masa Pandemi Covid-19 maka acara ditampilkan dengan standard protokol Kesehatan yang ketat dan tanpa kehadiran penonton.”Pungkas Nasdir. Jika berminat menghadiri acara puncak Festival budaya to Berru, hanya bisa dilakukan dengan mengkonfimasikan kedatangan Anda ke Panitia penyelenggara. []

TRaDISI MonahU nDaU’U MaSYaRaKaT SUKU ToLaKI

Advertisement

abdul asis

Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan. Tinggal di Makassar

Pada masyarakat suku Tolaki di Desa Benua, Kecamatan Benua, Kabupaten Konawe Selatan masyarakatnya masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi adatnya. yakni tradisi Monahu Ndau’u yang merupakan sebuah tradisi siklus pertanian yang telah di lakukan secara turun temurun. Masyarakat suku Tolaki memiliki prinsip hidup dan keyakinan bahwa ketika Tuhan telah memberinya rezeki, maka mereka wajib mengucapkan rasa syukur dan rasa terima kasih kepada-Nya. Ungkapan rasa syukur dan terima kasih tersebut mereka wujudkan dalam bentuk ritual yang disebut tradisi Monahu Ndau’u. Tradisi ini yang berkaitan dengan bidang pertanian/perladangan berpindah-pindah, sebagai bentuk kesyukuran oleh masyarakatnya menjelang musim tanam tiba. . Memohon keselamatan, mengucap syukur kepada Tuhan Yang

Tradisi ritual Monahu Ndau’u. (Foto: dokumentasi penulis)

Maha Esa dan menyampaikan rasa hormat kepada para leluhur untuk memulai kembali musim tanam. Tujuannya untuk mencegah terjadinya gagal panen. Melalui tradisi ritual Monahu Ndau’u dapat menjalin hubungan baik dengan leluhurnya agar senantiasa diberi perlindungan dan rasa aman dalam melakukan kegiatan berladang. Diyakini oleh masyarakat suku Tolaki di Desa Benua bahwa dengan melaksanakan tradisi ritual Monahu Ndau’u maka tanamannya akan

terhindar dari serangan tikus dan hama penyakit dan akan mendapat hasil panen yang berlimpah. Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini (Shil, 1981:12 dalam Piotr Sztompka, 2011:70). Tradisi (Bahasa Latin: tradition, diteruskan atau kebiasaan”. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Kanda/Lulo Ngganda

Sebelum memulai menanam benih maka terlebih dahulu dilakukan kegiatan kanda atau lulo ngganda yakni menari selama tiga malam berturut-turut saat bulan purnama tiba yakni bulan ke 14, 15, dan 16 dengan tanpa penerangan (lampu). Mereka hanya menyalakan api, dengan mengumpulkan dahan-dahan, ranting-ranting kayu, daun-daun kering, dan bambu kering kemudian dibakar sebagai alat penerangannya. Para penari kanda atau lulo ngganda menari dan bergembira sambil mengelilingi api yang berada di tengah-tengah keramaian. Pelaksanaan tradisi ritual Monahu Ndau’u biasanya dilakukan pada bulan-bulan November saat akan memasuki musim tanam tiba. Mengapa masyarakat memilih bulan purnama untuk memulai sebuah acara lulo ngganda karena dianggap bulan tersebut cukup terang untuk melakukan suatu kegiatan pada malam hari. Walaupun tanpa menggunakan lampu listrik, akan tetapi ada api yang dapat menerangi suasana orang-orang yang sedang bergembira. Hari pertama (tepatnya malam bulan keempat belas), pada siang harinya masyarakat di Desa Benua sudah mulai disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatunya yang terkait dengan peralatan yang akan digunakan dalam acara kanda atau lulo ngganda, seperti: membuat gendang tahunan, membuat laika ngganda, dan membersihkan tempat pelaksanaan acara.

Dahulu kala, membuat gendang tahunan dengan menggali tanah hingga menyerupai lubang. Kemudian memasukkan tumang enau ke dalam lubang yakni kulit dari batang enau yang sudah dibelah. Kulit batang enau tersebut dipukul-pukul dengan rotan yang sudah diraut sehingga mengeluarkan bunyi dan bernada merdu. Sehingga orang-orang yang akan menari kanda dan bergoyang serta menghentak-hentakan kakinya sambil bergembira menikmati pukulan watolengga. Seiring berjalannya waktu peralatan gendang yang terbuat dari kulit enau digantikan dengan gendang yang terbuat dari kulit jonga “rusa”. Gendang tersebut dibuat dengan melubangi sebatang pohon jati yang berukuran pendek, kemudian menempelkan dan memasang kulit rusa yang sudah dikeringkan. Bunyinya pun berbeda dengan gendang yang terbuat dari kulit enau. Suaranya lebih keras dan lebih nyaring. Selain menyiapkan gendang tahunan, mereka membuat laika ngganda yakni rumah-rumahan yang akan diletakkan di tengah-tengah tempat pelaksanaan tradisi ritual Monahu Ndau’u. Fungsinya adalah untuk menyimpan bibit-bibit pertanian, seperti bibit padi, jagung dan kacang-kacangan pada malam terakhir pelaksanaan kanda atau lulo ngganda. Setelah kedua peralatan ritual selesai dibuat yakni gendang tahunan dan laika ngganda yang merupakan alat yang wajib ada. Selanjutnya seluruh warga turut berpartisipasi untuk membersihkan lapangan yang akan ditempati untuk melakukan kanda atau lulo ngganda. Pelaksanaannya dimulai pada petang hari setelah sinar bulan sudah mulai tampak kelihatan dan berakhir pada saat tumpukan kayu sudah habis terbakar. Kemudian dilanjutkan kembali besok malam, yakni malam kedua dan malam ketiga (malam terakhir). Seperti halnya pada malam pertama. Malam kedua masyarakat di Desa Benua kembali melalukan kegiatan kanda atau lulo ngganda. Acara ini dikomandoi oleh lapiondio kanda “pemimpin ritual’. Mereka bergembira sambil mengitari api tersebut hingga apinya padam. Malam ketiga atau malam bulan (keenambelas) merupakan malam terakhir. Seluruh warga masyarakat berdatangan dan masing-masing membawa bibitbibit tanaman yang sudah disiapkan seperti: bibit padi, jagung dan kacang-kacangan, serta alat-alat pertanian, seperti, parang, cangkul, sabit, linggis, osowi ‘alat pemotong padi’, siwole uwa ‘tempat mengikat padi’ o’alu dan o’nohu ‘lesung dan alu’ dan lain-lainnya. Acara tahunan ini tergolong meriah karena di manfaatkan ajang silaturahmi dengan warga, juga sebagai rasa tanda syukur kepada Allah karena musim tanam sudah tiba.

Bibit-bibit tanaman yang dibawa oleh warga untuk diikutsertkan dalam ritual Monahu Ndau’u dinaikkan di atas laika ngganda ‘rumah-rumahan’ untuk disimpan semalaman. Sedangkan alat-alat pertanian diletakkan di bawah atau di sekitar rumah-rumahan tersebut. Disimpan hingga keesokan harinya setelah semua rangkaian ritual telah selesai dilakukan. Pada malam ketiga dalam kegiatan kanda atau lulo ngganda, selain warga membawa bibit-bibit tanaman. Mereka juga menyiapkan dan membawa makanan bagi setiap kepala keluarga dan mereka makan secara bersama-sama. Dalam kegiatan ini, tidak ada sesajen khusus yang perlu disiapkan. Makanan yang mereka bawa disajikan, kemudian di makan bersama-sama saat kegiatan kanda atau lulo ngganda selesai dilaksanakan. Setelah acara makan bersama selesai maka seluruh warga yang hadir pulang kembali ke rumahnya beristirahat. Keesokan harinya mereka kembali lagi menjemput bibitbibit tanaman dan peralatan pertaniannya yang telah diikutkan dalam ritual. (Hasil wawancara: Abdul Hafid, Februari 2015).

Mombaka

Warga masyarakat kembali berkumpul sekitar jam 09.00 pagi untuk melakukan acara ritual mombaka. Mombaka adalah merupakan memberi makan, tetapi makna yang sesungguhnya adalah mensucikan. Yakni mensucikan alat-alat pertanian yang telah selesai digunakan. Baik yang digunakan dalam mengolah lahan perkebunan, sampai peralatan dalam mengolah ladang untuk padi tadah hujan. Alat-alat pertanian yang digunakan berupa parang, sabit, pacul, kapak, lesung, alu, niru dan lain lain.

Momboposuka

Setelah kegiatan mombaka, dilanjutkan dengan kegiatan momboposuka. Momboposuko adalah ritual yang dilakukan untuk mengusir atau mencegah mahlukmahluk halus (roh), yang dapat menyebabkan gagal panen. Mereka memohon pertolongan kepada sang penguasa alam semesta “sangia” agar dapat menjauhkan dari binatang-binatang pengerat seperti tikus, babi hutan, dan serangga-serangga lainnya. Dalam ritual yang sederhana ini, mereka menyiapkan sesajen berupa nasi ketan yang berwarna hitam yang diletakkan di dalam daun khusus yang disebut tawa umera.

Mosehe Mosehe adalah pemulihan, perdamaian, atau rekonsiliasi. Dalam konteks ini adalah terkait keberadaan manusia sebagai mahluk sosial yang memiliki ketergantungan dengan mahluk lainnya. Ketergantungan itu meliputi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan, manusia dengan lingkungannya, maupun dengan Sang Hyang (Tuhan). Mosehe merupakan puncak kegiatan dari seluruh rangkaian upacara Mohanu Ndau’u, dan Mosehe ini hanya dilangsungkan pada 3 tempat yaitu:

- Ambekairi yakni bagian barat Kerajaan Konawe - Benua yakni wilayah bagian selatan Kerajaan

Konawe yang sekarang ini sudah menjadi wilayah Kabupaten Konawe Selatan - Paranua yakni bagian utara Kerajaan Konawe yang letaknya kurang lebih 3 kilometer dari ibu kota Kabupaten Konawe.

Orang Tolaki beranggapan, bahwa timbulnya berbagai masalah yang kurang baik seperti gagal panen, wabah penyakit yang membawa pada kematian, permusuhan, konflik antara individu dengan individu, konflik antara keluarga dengan keluarga, konflik antara golongan dengan golongan, atau konflik antara kampung dengan kampung. Kesemuanya itu adalah akibat dari manusia yang telah melanggar norma adat. Untuk memulihkan suasana-suasana demikian itu, maka tidak ada jalan lain yang menjamin berhasilnya pemulihan kecuali dengan mengadakan upacara mosehe. (Secara harfiah, mosehe merupakan penggabungan dari dua kata yaitu mo dan sehe. Mo artinya melakukan sesuatu, dan sehe yang berarti suci atau menyehatkan. Mosehe berarti upaya pensucian diri dari segala perbuatan yang salah). (Tarimana, 1993). []

Referensi

Sztompka, Piotr. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Cet6. Yogyakarta: Prenada. Tarimana, Abdurauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Hasil Wawancara: Abdul Hafid, Februari 2015 (Tokoh Adat di Kecamatan Benua Kab. Selatan).

This article is from: