Pelindungan PMI Melalui Layanan Terpadu Satu Atap yang Berperspektif HAM dan Gender

Page 1

Tinjauan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Melalui Layanan Terpadu Satu Atap yang Berperspektif HAM dan Gender



Tinjauan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Melalui Layanan Terpadu Satu Atap yang Berperspektif HAM dan Gender


Tinjauan Pelindungan PMI Melalui Layanan Terpadu Satu Atap yang Berperspektif HAM dan Gender Tim Penulis : Avyanthi Azis Savitri Wisnu Wardhani Sayyid M. Jundullah Peneliti Lokal : Sakri Chaerudin Karyono Agung Subastian Miftakhul Jannah Usman Kusmayanti Pembaca Kritis : PD. Eko Prasetyohadi Foto Cover: ILO/A. Ridwan Sampul dan Tata Letak : Agus Wiyono Didukung oleh : Yayasan TIFA Diterbitkan oleh : Jaringan Buruh Migran a/n The Institute for Ecosoc Rights Jln. Tebet Timur Dalam VI C No 17 Jaksel Telp dan fax : (021) 8304153 Email : jaringan@buruhmigran.or.id | Fanpage : Jaringan Buruh Migran | FB : Jaringan Buruh Migran – jbm | twitter : @jariburuhmigran | IG : Jaringan Buruh Migran (JBM) | website : jaringanburuhmigran.org | YT : Jaringan BuruhMigran

ii


Sekapur Sirih

S

egala puji dan syukur kami panjatkan atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Tim peneliti, baik yang berada di daerah maupun di Jakarta dapat menyelesaikan penulisan tanpa terkendala banyak hal di tengah-tengah pandemi Covid-19. UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) lahir dengan semangat lebih melindungi PMI karena tidak hanya memberikan ruang yang lebih besar kepada pemerintah dalam memberikan pelayanan dan pelindungan kepada PMI sehingga pelindungan PMI menjadi mandat tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga bagi pemerintah daerah hingga tingkat desa. Terlebih, UU PPMI mengurangi peran Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dalam proses-proses penting migrasi kerja PMI misalnya pada pemberian informasi dan pendidikan/pelatihan. Adanya Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) dalam UU PPMI adalah salah satu inovasi kebijakan yang diinisiasi untuk melindungi PMI. Per tahun 2021, sudah terdapat 45 LTSA yang dibangun di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Kehadiran LTSA diharapkan mampu mencegah dan mengurangi permasalahan PMI sebelum berangkat dengan menghadirkan layanan yang cepat, bebas pungli, transparan, akuntabel, dan dapat diakses langsung oleh PMI. LTSA juga berperan memberikan informasi mengenai migrasi kerja yang aman sehingga diharapkan dengan adanya informasi yang lebih jelas mengenai situasi bekerja di luar negeri, PMI dapat lebih siap untuk bekerja. Meskipun pemerintah belum lama ini menerbitkan salah satu aturan turunan UU PPMI dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mana dalam PP tersebut telah memberikan aturan lebih teknis mengenai LTSA, tetapi dalam PP tersebut tidak mengatur secara khusus aturan mengenai LTSA. Sehingga hingga saat ini, aturan turunan khusus mengenai LTSA belum diterbitkan. Akibatnya, implementasi LTSA belum dapat dijalankan secara maksimal. Misalnya, berdasarkan hasil pemantauan yang terindentifikasi oleh organisasi pekerja migran dan organisasi pemerhati PMI, masih banyak ditemukan praktik-praktik yang minim pelindungan sehingga fungsi LTSA tidak dapat berjalan maksimal. Terdapat indikasi LTSA justru mempermudah broker informal untuk mengurus dokumen kerja PMI dibandingkan mempermudah

iii


PMI itu sendiri untuk mengurus secara mandiri. Hingga kini, PMI tidak banyak yang mengetahui adanya keberadaan dan kegunaan LTSA, terlebih belum ada loket pengaduan di LTSA dan masih banyak lagi. Dengan dasar tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memotret realitas permasalahan PMI di LTSA berdasarkan pengalaman yang dialami oleh mereka. Misalnya apakah LTSA yang telah ada dapat menjawab kebutuhan calon/ PMI? Apakah PMI memahami adanya LTSA merupakan salah satu bentuk pelindungan yang diberikan oleh negara untuk melindungi PMI sebelum berangkat? Apa saja inovasi yang telah dilakukan dan apa tantangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan di LTSA? Begitu pula apakah terdapat kebutuhan dan rekomendasi PMI dan organisasi/lembaga masyarakat sipil terhadap LTSA agar LTSA mampu memberikan pelindungan yang dibutuhkan oleh PMI? Harapannya, hasil penelitian ini dapat berkontribusi terhadap pemberian gagasan dan pemikiran dalam penyusunan peraturan pelaksana UU PPMI baik yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Proses penyusunan hasil laporan ini menggunakan pendekatan HAM dan gender agar kedepan tidak hanya secara kebijakan tetapi juga layanan yang telah ada, dapat selalu berinovasi menjadi lebih baik. Secara metodologi, penelitian ini menggunakan dua pendekatan yakni metode kuantitatif dalam bentuk survei terhadap calon PMI, PMI dan purna PMI sebagai right holders dan pendekatan kualitatif. Dalam melakukan pendekatan kualitatif ada beberapa hal yang dilakukan seperti melakukan penelusuran data berbasis peristiwa kepada pekerja migrannya sendiri, penelusuran data administratif di LTSA itu sendiri dan melakukan focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan seluruh pihak yang berkepentingan. Dua pendekatan ini dilakukan dalam kerangka communitybased participatory research (CBPR), yakni penelitian dengan melibatkan komunitas PMI terutama komunitas PMI di tiga wilayah, yakni Kab. Lombok Timur (NTB), Kab. Banyuwangi (Jawa Timur), dan Kab. Karawang (Jawa Barat). Tentunya dalam proses penyusunan laporan ini terdapat beberapa kendala dan keterbatasan yang kami alami terlebih penelitian ini dilakukan pada saat pandemi Covid-19. Singkatnya, periode waktu penulisan menyebabkan proses penelitian tidak bisa secara penuh dilakukan dengan model CBPR. Selain itu, kami juga terkendala dengan kebijakan pengetatan mobilitas ke daerah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penyebaran Covid-19, maka tim peneliti dari Jakarta tidak dapat turun ke tiga wilayah penelitian di tingkat daerah. Meskipun terjadi kendala, tidak mengurangi proses analisis dalam laporan penelitian ini karena telah diatasi dengan berbagai diskusi online untuk memperbaharui

iv


temuan lapangan yang dilakukan oleh peneliti daerah, tantangan dan kebutuhan yang diperlukan oleh peneliti daerah. Selain itu, berdasarkan hasil diskusi bersama antar peneliti di Jakarta dan daerah, atas kesepakatan bersama, peneliti daerah juga beberapa kali mengkonfirmasi temuan kepada para pihak dengan tujuan untuk pengayakan dan pendalaman permasalahan yang dihadapi. Terlepas dari segala keterbatasan dari laporan ini, semoga laporan ini dapat menjadi fondasi keberlanjutan bagi penelitian-penelitian lainnya agar tata kelola migrasi bagi PMI dapat meningkat sehingga pelindungan bagi PMI terwujud secara maksimal. Terima kasih kami sampaikan kepada Yayasan TIFA yang bukan hanya memungkinkan penelitian, penulisan dan penyebaran buku ini sampai ke tangan para pembaca, tetapi juga turut terlibat dan berkontribusi memberikan masukan dalam proses penulisan ini. Kami juga berterima kasih kepada Ibu Ani W. Soetjipto, selaku dosen FISIP UI yang senantiasa terus memberikan masukan analisis penulisan khususnya dari perspektif gender. Selain itu, kami juga mengucapkan terimakasih kepada bapak PD. Eko Prasetyohadi dari The Institute for Ecosoc Rights sebagai pembaca kritis atas laporan ini mulai dari proses awal hingga penulisan laporan. Ucapan terimakasih juga kami tujukan terutama kepada PMI baik yang akan diberangkatkan ke luar negeri, PMI di luar negeri dan purna PMI serta anggota keluarganya di tiga wilayah penelitian karena telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya baik melalui survei kuantitatif maupun wawancara kualitatif. Kami berterima kasih kepada Serantau Malaysia (Suherman) dan SBMI (Figo Kurniawan), Pertimig (Binti Rosidah dan Nasrikah), HOME (Novia), SBMI HK (Nurhalimah), dan Asosiasi Purna Pekerja Migran (Paryanto) yang membantu kami dalam proses pelaksanaan survei kuantitatif dengan membantu mengkoordinasikan ke teman-teman PMI di luar negeri dan purna PMI. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Lia (Parco Laut) yang juga memberikan akses PMI tujuan Hong Kong untuk diwawancarai. Ucapan terimakasih tak terhingga kepada organisasi buruh migran yang ada di tiga aerah penelitian yang ikut berkontribusi dalam proses penelitian hingga terlibat dalam analisis penelitian. Kami sebutkan satu persatu nama-nama individual mereka pada halaman awal buku ini. Kami juga berterimakasih kepada rekan-rekan lembaga organisasi buruh migran dan lembaga masyakat sipil maupun organisasi internasional serta individu-individu yang dengan segala bantuan dan dukungan untuk memberikan masukan pada penulisan buku yakni SBMI (Boby Anwar Maarif dan Figo Kurniawan), LBH Jakarga (Ayu Ezra), KSBSI (Yatini Sulistyowati), Solidaritas Perempuan (Putri Fahimatul),

v


HRWG (Daniel Awigra dan Icha), DPC SBMI Indramayu (Juwarih), DPC SBMI NTT (Maria Hingi), Seruni Banyumas (Kusnaeni), Mitra ImaDei (Iswanti), Edhi Sujiman (Migrant Care), ILO (Sinthia Harkrisnowo) dan Thaufiek Zulbahary. Apresiasi kami sampaikan kepada Pak Rendra dan Pak Sigit dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Pak Freddy Martin dan Ibu Restu dari BP2MI dan seluruh jajaran dinas-dinas yang berada di LTSA di tiga wilayah penelitian (Dinas Ketenagakerjaan, BP3MI, Imigrasi, Dukcapil dll), DPRD di tiga wilayah penelitian dan juga beberapa aparat desa yang berada di tiga wilayah penelitian. Mohon maaf apabila kami tidak dapat menyebutkan satu persatu nama Bapak dan Ibu, namun kontribusi terutama aparat desa dan pemerintah daerah dalam menyediakan waktu dan informasi kepada kami untuk diwawancarai baik secara daring maupun luring sangat berharga bagi kami untuk dapat menyelesaikan laporan ini. Akhir kata, kami berharap buku ini dapat menyumbangkan penguatan wacana publik mengenai hak asasi manusia dan responsif gender dalam tata kelola migrasi khususnya di LTSA baik itu untuk pembuatan regulasi/kebijakan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah dan penguatan layanan terpadu satu atap di tingkat daerah demi terwujudnya pelindungan kepada pekerja migran Indonesia. Jakarta, 07 Juni 2021 Jaringan Buruh Migran

vi


Daftar Isi

Sekapur Sirih.....................................................................................................................

iii

Daftar Isi.............................................................................................................................

vii

Daftar Gambar..................................................................................................................

ix

Daftar Tabel.......................................................................................................................

x

Daftar Singkatan..............................................................................................................

xii

Ringkasan Eksekutif ........................................................................................................

iv

Bab 1 Pendahuluan.........................................................................................................

1

1.1 Kerangka pemikiran...........................................................................................

2

1.2 Metode dan pengumpulan data.....................................................................

5

Bab 2 Konteks Indonesia sebagai negara asal pekerja migran.........................

8

2.1 Kabupaten Banyuwangi....................................................................................

8

2.1.1 Profil demografi Kabupaten Banyuwangi........................................

8

2.1.2 Karakteristik PMI dan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Banyuwangi.......................................................................

12

2.2 Kabupaten Karawang........................................................................................

19

2.2.1 Profil demografi Kabupaten Karawang............................................

19

2.2.2 Karakteristik PMI dan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Karawang...........................................................................

22

2.3 Kabupaten Lombok Timur................................................................................

24

2.3.1 Profil demografi Kabupaten Lombok Timur................................................

24

2.3.2 Karakteristik PMI dan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Lombok Timur...................................................................

27

vii


viii

Bab 3 Temuan penelitian..............................................................................................

32

3.1 Temuan kuantitatif............................................................................................

35

3.1.1 Profil responden survei.......................................................................

35

3.1.2 Pemahaman pekerja migran tentang LTSA......................................

40

3.2 Temuan kualitatif ..............................................................................................

46

3.2.1 Potret LTSA di tiga wilayah.................................................................

46

3.2.2 Penggunaan LTSA oleh PMI.................................................................

53

3.3 Temuan-temuan utama.....................................................................................

58

Bab 4 Diskusi dan analisis: Evaluasi pemenuhan hak asasi manusia dan aspek gender...................................................................................................................

68

4.1 Indikator struktural: Payung hukum dan orientasi hak asasi manusia....

69

4.2 Indikator proses: Jumlah LTSA yang telah dibuka, fungsi layanan LTSA yang tersedia......................................................................................................

71

4.3 Indikator hasil Dampak positif dari LTSA, jumlah (C)PMI yang terlayani.

74

4.4 Indikator norma hak asasi manusia................................................................

76

4.4.1 Nondiskriminasi dan kesetaraan........................................................

76

4.4.2 Partisipasi...............................................................................................

76

4.4.3 Akses terhadap pemulihan.................................................................

77

4.4.4 Akuntabilitas..........................................................................................

78

4.5 Indikator responsif gender..............................................................................

78

Bab 5 Rekomendasi kebijakan....................................................................................

80

Daftar Pustaka..................................................................................................................

84

Lampiran............................................................................................................................

86


Daftar Gambar Gambar 1.1 Loket LTSA di dalam Mal Pelayanan Publik Kab. Banyuwangi........ 46 Gambar 1.2 Loket BP2MI di PTSP TKI Kab. Karawang............................................ 48 Gambar 1.3 Wawancara dan Diskusi di LTSP-P2TKI Kab. Lombok Timur............ 50 Gambar 1.4 Tampak Depan LTSP-P2TKI Kab. Lombok Timur................................ 62 Gambar 1.5 Proses Pengumpulan Data Penelitian di Kab. Karawang................. 65 Gambar 1.6. FGD Online dgn pemangku kepentingan di tingkat Kab. Lotim..... 72

ix


Daftar Tabel Tabel 2.1

Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kab. Banyuwangi Tahun 2020.................................................................................................

9

Jenis Program Perlindungan Sosial dan Persentase Rumah Tangga Penerima di Kab. Banyuwangi Tahun 2020............................

10

Ijasah Tertinggi yang Dimiliki Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas di Kab.Banyuwangi Tahun 2020....................................................

11

Rata – rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 25 Tahun ke Atas di Kab. Banyuwangi Tahun 2020.................................................................

11

Pendanaan Program Prioritas Ketenagakerjaan Tahun 2019 -2021 di Kab. Banyuwangi Menurut RPJMD........................................

13

Tabel 2.6

Jumlah Penduduk PMI asal Kab. Banyuwangi Tahun 2017-2020.....

14

Tabel 2.7

Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kab. Karawang Tahun 2020.............................................................................................................

19

Jenis Program Perlindungan Sosial dan Persentase Rumah tangga Penerima di Kab. Karawang tahun 2020...............................

20

Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Berumur 15 Tahun ke Atas di Kab. Karawang Tahun 2020..............................................................................

21

Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 25 Tahun ke Atas di Kab. Banyuwangi Tahun 2020.................................................................

21

Pendanaan Program Prioritas Ketenagakerjaan di Kab. Karawang Tahun 2019-2021 menurut RPJMD........................................................

22

Tabel 2.12

Jumlah Penempatan PMI asal Kab. Karawang Tahun 2017-2020....

23

Tabel 2.13

Jumlah Penduduk Kecamatan di Kab. Lombok Timur Tahun 2020 Menurut Jenis Kelamin............................................................................

25

Jenis Program Perlindungan Sosial dan Persentase Rumah Tangga Penerima di Kab. Lombok Timur Tahun 2020........................

26

Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas di Kab. Lombok Timur Tahun 2020...............................................

27

Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 25 Tahun ke Atas di Kab. Lombok Timur Tahun 2020.............................................................

27

Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5

Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 2.10 Tabel 2.11

Tabel 2.14 Tabel 2.15 Tabel 2.16

x


Tabel 2.17

Pendanaan Sejumlah Program Prioritas Ketenagakerjaan di Kab. Lombok Timur Tahun 2019-2021 Menurut RPJMD............................

28

Jumlah Penempatan PMI asal Kab. Lombok Timur Tahun 20172020.............................................................................................................

29

Tabel 3.1

Negara Tujuan Penempatan Respoden................................................

36

Tabel 3.2

Jenis Pekerjaan Responden dan Tingkat Pengetahuan akan LTSA.

39

Tabel 3.3

Respons mengenai LTSA VS Jenis Kelamin..........................................

40

Tabel 3.4

Tingkat Pengetahuan Responden PMI tentang LTSA........................

41

Tabel 3.5

Sumber Informasi mengenai LTSA.........................................................

41

Tabel 3.6

Profil LTSA di Banyuwangi, Karawang dan Lombok Timur...............

53

Tabel 3.7

Potret Penggunaan LTSA.........................................................................

55

Tabel 3.7a

Potret Penggunaan LTSA di Banyuwangi.............................................

55

Tabel 3.7b

Potret Penggunaan LTSA di Karawang.................................................

56

Tabel 3.7c

Potret Penggunaan LTSA di Lombok Timur.........................................

58

Tabel 2.18

xi


Daftar Singkatan ABK

: Anak Buah Kapal

APBN

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APBD

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APS

: Angka Partisipasi Sekolah

Bappeda

: Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah

BNP2TKI

: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

BP2MI

: Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

BPS

: Badan Pusat Statistik

CEDAW

: Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women

COVID-19

: Coronavirus Disease 2019

CPMI

: Calon Pekerja Migran Indonesia

Desmigratif

: Desa Migran Produktif

Dinkes

: Dinas Kesehatan

Disdukcapil

: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Disnaker

: Dinas Ketenagakerjaan

Disnakertransperin : Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Transmigrasi

xii

Dll

: Dan lain-lain

DPC

: Dewan Pimpinan Cabang

DPT

: Daftar Pemilih Tetap

DPRD

: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dinsos

: Dinas Sosial

Dinsos PPKB

: Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana

FGD

: Focused Group Discussion

HAM

: Hak Asasi Manusia

HDB

: Housing & Development Board

ID

: Identitas Diri

Inpres

: Instruksi Presiden


IOM

: International Organization for Migration

JBM

: Jaringan Buruh Migran

Kab.

: Kabupaten

KBRI

: Kedutaan Besar Republik Indonesia

Kemendagri

: Kementerian Dalam Regeri Republik Indonesia

Kemnaker RI

: Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia

KK

: Kartu Keluarga

KKS

: Kartu Keluarga Sejahtera

Km

: Kilometer

KPS

: Kartu Perlindungan Sosial

KTP

: Kartu Tanda Penduduk

Lansia

: Lanjut Usia

LD

: Luar Daerah

LN

: Luar Negeri

LTSA

: Layanan Terpadu Satu Atap

LTSP-P2TKI

: Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

LPBH NU Banyuwangi

: Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul ‘Ulama Banyuwangi

MPP

: Mal Pelayanan Publik

NIK

: Nomor Induk Kependudukan

NTB

: Nusa Tenggara Barat

OHCHR

: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights

OJK

: Otoritas Jasa Keuangan

OPP

: Orientasi Pra-penempatan

P to P

: Private to Private

P2TP2A

: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

P3MI

: Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia

PAP

: Pembekalan Akhir Pemberangkatan

PAR

: Participatory Action Research

PBB

: Perserikatan Bangsa-Bangsa

Pemkab

: Pemerintah Kabupaten

Perbup

: Peraturan Bupati

Perda

: Peraturan Daerah

Perka Badan

: Peraturan Kepala Badan

xiii


xiv

Permenaker

: Peraturan Menteri Tenaga Kerja

PIP

: Program Indonesia Pintar

PKWG-UI

: Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia

PL

: Petugas Lapangan

PMI

: Pekerja Migran Indonesia

PNS

: Pegawai Negeri Sipil

POEA

: Philippine Overseas Employment Administration

Polres

: Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort

PP

: Peraturan Pemerintah

PPTKIS

: Pelaksana Penempatan TKI Swasta

PRT

: pekerja rumah tangga

PTSA

: Pelayanan Terpadu Satu Atap

PTSP TKI

: Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk TKI

PUG

: Pengarusutamaan Gender

RAN

: Rencana Aksi Nasional

Raperda

: Rancangan Peraturan Daerah

Rekom ID

: Rekomendasi Identitas Diri

RPJMD

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RSUD

: Rumah Sakit Umum Daerah

RT

: Rukun Tetangga

RW

: Rukun Warga

SBMI

: Serikat Buruh Migran Indonesia

SD

: Sekolah Dasar

SDM

: Sumber Daya Manusia

Sisko P2MI

: Sistem Komputerisasi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

ULP

: Unit Layanan Paspor

UNDP

: United Nations Development Programme

UPT

: Unit Pelayanan Teknis

UU

: Undang-Undang

UU PPMI

: Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia


Ringkasan Eksekutif

T

injauan berbasis HAM dan gender atas Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk pekerja migran Indonesia (PMI) ini menyoroti implementasi LTSA sebagai salah satu amanat UU No. 18 Tahun 2017. Dengan memotret pada penyelenggaraan tiga LTSA yang telah operasional di Banyuwangi, Karawang dan Lombok Timur dan penggunaannya oleh PMI sejauh ini, riset advokasi ini menggunakan pendekatan partisipatoris, serta metode kuantitatif dan kualitatif untuk menghasilkan data empiris sebagai basis evaluasi atas LTSA sebagai sebuah layanan publik. Evaluasi yang dituangkan di dalam laporan ini bertumpu kerangka hak asasi manusia, yang memuat tiga pilar utama: penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak. Mengingat adanya peran serta pihak swasta, yakni perusahaan penempatan PMI (P3MI), yang signifikan dalam proses penempatan PMI, pilar lain yang juga menjadi sangat penting adalah pemulihan. Evaluasi berbasis HAM ini kemudian dikembangkan berdasarkan indikator-indikator HAM; yang terdiri atas indikator struktural, proses, hasil dan norma HAM. Mengingat migrasi ketenagakerjaan Indonesia berwajah perempuan, aspek responsif gender juga diinkorporasikan dalam evaluasi ini sebagai bentuk afirmasi terhadap perempuan pekerja migran. Sebagai sebuah inovasi pelindungan, LTSA memiliki tujuan baik untuk memudahkan dan mendekatkan layanan pemerintah kepada PMI, serta memotong rantai perantaraan yang selama ini berpotensi menjerumuskan mereka pada praktikpraktik eksploitatif dan perangkap migrasi utang. Namun, pelaksanaan LTSA sejauh ini masih belum memenuhi harapan. Beberapa temuan utama yang digarisbawahi dalam studi ini yakni: (i) belum memadainya payung hukum/regulasi yang menaungi LTSA; (ii) masih dominannya pemahaman atas LTSA sebagai sebuah layanan administratif; (iii) pelaksanaan LTSA yang belum terpadu; (iv) rendahnya pengetahuan CPMI akan LTSA dan masih minimnya sosialisasi LTSA ke desa/CPMI sebagai pengguna; (v) adanya kedekatan relasi antara LTSA dengan pihak swasta & masih langgengnya praktik perantaraan; (vi) tidak diaksesnya LTSA secara mandiri oleh CPMI; (vii) tidak adanya mekanisme pengaduan di LTSA; (viii) belum munculnya perhatian terhadap aspek responsif gender dalam penyelenggaran LTSA, atau dengan kata lain LTSA masih buta gender.

xv


Dengan dikembangkannya tata kelola migrasi saat ini yang berbasis kedaerahan, studi ini juga mencatat pentingnya dukungan dari pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam implementasi LTSA. Selain itu, studi ini juga mempertanyakan sejauh mana LTSA dapat menjamin hadirnya migrasi yang adil dan aman. Dengan fokus pada memastikan kesesuaian dokumen CPMI, LTSA turut dalam tata kelola yang mendisiplinkan PMI dalam koridor migrasi prosedural, akan tetapi prosedural belum tentu sama dengan adil dan aman karena proses seleksi yang ketat hanya berjalan searah, yakni terhadap CPMI, tetapi tidak berlaku sebaliknya terhadap pemberi kerja, P3MI ataupun mitra usahanya. Sebagai pembelajaran, evaluasi ini memuat berbagai masukan dari perspektif masyarakat sipil untuk perbaikan pelaksanaan LTSA ke depannya, antara lain: mendorong cepat dihadirkannya aturan-aturan turunan dan juga (revisi) aturanaturan di tingkat daerah sebagai mekanisme struktural yang memandu pelaksanaan LTSA yang melindungi PMI; memastikan sosialisasi LTSA yang intensif dan tepat sasaran; memastikan kehadiran semua instansi terkait dalam LTSA (8 desk sebagaimana amanat perundangan) serta menghimbau diadakannya desk sosialisasi informasi migrasi aman dan loket pengaduan sebagai mekanisme pemulihan; mendukung upaya-upaya pengarusutamaan gender di LTSA dan dilengkapinya wawasan perangkat LTSA dengan perspektif gender; mendorong pemantauan yang lebih baik dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga yang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, serta menghimbau dilibatkannya organisasiorganisasi masyarakat sipil dalam pelaksanaan dan pengawasan LTSA.

xvi


Bab

1 Pendahuluan

H

adirnya UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) menandakan perombakan yang menyeluruh dalam tata kelola migrasi yang sebelumnya lebih didominasi oleh logika penempatan di bawah UU No. 39 Tahun 2004. Dengan penekanan pada pelindungan, UU No. 18 Tahun 2017 mengambil kerangka yang berorientasi pada hak asasi manusia. Secara eksplisit ini tertuang dalam Pasal 2, yang memuat prinsip-prinsip berikut: a. keterpaduan; b. persamaan hak; c. pengakuan atas martabat dan hak asasi manusia; d. demokrasi; e. keadilan sosial; f. kesetaraan dan keadilan gender; g. nondiskriminasi; h. antiperdagangan manusia; i. transparansi; j. akuntabilitas, dan k. keberlanjutan. Pengadaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) merupakan salah satu inovasi pelindungan dalam tata kelola yang dicetuskan oleh UU No. 18 Tahun 2017. Dalam sejarahnya, sejak tahun 2008, pembicaraan mengenai konsep LTSA sudah mulai digulirkan oleh BNP2TKI, di mana inisiatif ini kemudian ditindaklanjuti dengan pendirian LTSP Mataram bersama pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu kantong utama pekerja migran di Indonesia. Keberadaan UU No. 18 Tahun 2017 memberikan dasar hukum yang lebih kokoh untuk pengadaan layanan migrasi yang terpadu. Dalam Pasal 38, ayat 3, disebutkan bahwa LTSA ini dimaksudkan untuk tujuantujuan berikut: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; b. memberikan efisiensi dan transparansi dalam pengurusan dokumen penempatan dan pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan Pekerja Migran Indonesia. Antara lain, secara signifikan ayat ini mengungkap maksud LTSA sebagai jawaban/respons kebijakan pemerintah terhadap permasalahan perantaraan/intermediasi oleh broker informal (calo) yang selama ini berkontribusi terhadap langgengnya praktik-praktik buruk dan eksploitatif yang jauh dari ethical recruitment, menyebabkan pembengkakan biaya penempatan, dan menghadirkan pola migrasi utang (debt migration) yang merugikan pekerja

1


migran. Pasal 38 ini harus dibaca juga berbarengan dengan Pasal 8 mengenai Pelindungan Sebelum Bekerja, di mana ayat 3 memuat. “f. pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia,” sebagai bagian dari pelindungan teknis. Meski penyelenggaraan LTSA tetap memerlukan keterlibatan dari pemerintah di tingkat Pusat, UU No. 18 Tahun 2017 merancang pembentukan LTSA sebagai sebuah upaya yang utamanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Ini terlihat dalam Pasal 40(i) dan Pasal 41(j), yang menyatakan bahwa pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, “dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia” di tingkatan masing-masing. Hingga penulisan laporan ini, berdasarkan informasi dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Ketenagakerjaan, pemerintah telah membuka 45 LTSA di seluruh Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota—39 di antaranya telah operasional. Sejauh ini, evaluasi yang telah dilakukan terhadap LTSA kebanyakan bersifat internal di kementerian/lembaga, dan lebih seringnya mengambil sudut pandang yang administratif. Sebagai sebuah evaluasi eksternal terhadap performa LTSA sejauh ini, penelitian ini dimaksudkan sebagai bagian dari pengawasan oleh masyarakat sipil. Kerangka evaluasi yang diambil dalam kajian ini berpegang pada hak asasi manusia (HAM), sesuai dengan semangat pelindungan yang diusung oleh UU No. 18 Tahun 2017. Evaluasi ini dilakukan dengan mengambil pilot project di tiga lokasi berikut, yang dipilih berdasarkan asesmen yang pernah dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan yang membagi LTSA ke tiga kategori: (i) sudah optimal.

1.1 Kerangka pemikiran Dalam meninjau performa LTSA sejauh ini, penelitian ini bertumpu pada konsep evaluasi kebijakan, khususnya berdasarkan indikator hak asasi manusia (HAM). Vedung (2017) mendefinisikan evaluasi sebagai, “Tinjauan atas kelayakan, kepantasan dan nilai dari proses administrasi, serta luaran dan hasil yang dari intervensi kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah.” Sebagai sebuah proses, evaluasi dimaksudkan untuk memperbaiki situasi di masa depan. Tiga komponen yang menjadi titik berat perhatian adalah: administrasi, luaran, dan hasil

2


Bagan 1. Skema evaluasi LTSA

Amanat UU No. 18 Tahun 2017

Intervensi kebijakan melalui LTSA

MASUKAN

IMPLEMENTASI

LUARAN

EVALUASI

Layanan LTSA

Kriteriakriteria umum & indikatorindikator spesifik HAM

Sumber: dikembangkan dari Vedung (2017)

Praktik evaluasi kebijakan bersifat amat heterogen, dan indikator-indikator yang dipergunakan pun sangat beragam (de Rijcke et al. 2016). Secara umum, para praktisi pembangunan, mempertimbangkan kriteria-kriteria utama berikut dalam melakukan evaluasi kebijakan: signifikansi, efektivitas, efisensi, dampak, dan keberlanjutan. Dalam mengevaluasi LTSA, kriteria-kriteria umum tersebut dapat kita elaborasi sebagai berikut:

Signifikansi

Menyoal relevansi/signifikansi LTSA terhadap tujuan pelindungan pekerja migran Indonesia sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2017

Efektivitas

Meninjau apakah tujuan-tujuan LTSA telah tercapai terpenuhi, yakni mendekatkan layanan pemerintah dan memutuskan rantai intermediasi/praktik percaloan yang selama ini membengkakkan biaya perekrutan. Ini dilihat khususnya dengan komparasi dengan sebelum LTSA diberlakukan

Efisiensi

Seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kebijakan mengelola LTSA? Rasio penggunaan sumber daya menjadi perhatian dalam hal ini

Dampak

Apakah calon pekerja migran dan keluarganya merasakan dampak-dampak positif dari LTSA?

Keberlanjutan

Apakah dampak positif dari LTSA dapat dipertahankan dalam jangka panjang?

3


Selain melihat kriteria-kriteria yang telah disampaikan di atas, sesuai dengan semangat yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), secara lebih khusus, penelitian tindakan (action research) ini akan mengedepankan kerangka konseptual hak asasi manusia dalam mengembangkan indikator-indikator evaluasinya. Ini sesuai dengan semangat menitikberatkan perhatian pada aspek pelindungan, dan bukan pada penempatan. Kerangka hak asasi manusia pada prinsipnya menyoroti penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak. Kewajiban untuk menghormati berarti Negara harus tidak boleh turut serta atau menghalangi individual/kelompok dalam mendapatkan/menikmati hak asasi manusia (enjoyment of human rights). Kewajiban melindungi mengharuskan Negara melindungi individu dan kelompok dari pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban pemenuhan bermakna Negara harus mengambil langkah-langkah positif untuk memfasilitasi individu/kelompok dalam mendapatkan/menikmati hak asasi manusia. Selain trikotomi ini, mengingat terdapat aktor swasta, yakni P3MI, yang terlibat dalam penempatan dan pelindungan PMI, sesuai dengan prinsip bisnis dan hak asasi manusia, maka perlu ada perhatian khusus pada aspek pemulihan. Mekanisme pengaduan dapat membantu memberikan pemulihan di mana perusahaan telah menyebabkan atau berkontribusi terhadap dampak negatif yang dirasakan oleh (C)PMI. Mekanisme ini juga dapat menjadi sistem peringatan dini yang penting bagi perusahaan dan dapat memberikan informasi penting untuk proses uji tuntas hak asasi manusia yang lebih luas. Salah satu dokumen yang menjadi referensi bagi pengembangan indikator hak asasi manusia adalah panduan yang dikembangkan oleh Kantor Komisaris Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Hak Asasi Manusia (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, OHCHR) dalam pengukuran dan evaluasi berbasis indikator hak asasi manusia (OHCHR 2012). Antara lain, kerangka ini mencakup dua fitur penting berikut: (i) Pengukuran komitmen negara sebagai duty bearer, dalam menjalankan kewajibannya, dan upaya yang dilakukannya untuk memenuhinya serta merealisasikan HAM; (ii) Perhatian terhadap norma-norma hak asasi manusia dalam pelaksanaan evaluasi. Panduan OHCHR mengurai beberapa indikator, yakni indikator struktural, indikator proses, indikator hasil dan indikator norma hak asasi manusia. Indikator struktural meninjau payung hukum dan standar-standar hak asasi manusia internasional yang telah diterima oleh negara (contoh indikator: keberadaan aturan/ regulasi spesifik terkait implementasi LTSA). Indikator proses menyorot capaiancapaian (milestones) intervensi kebijakan yang diambil (contoh indikator: fungsi LTSA yang telah berjalan). Indikator hasil berfokus pada cakupan manfaat hak asasi

4


manusia yang dirasakan (contoh indikator: proporsi jumlah pekerja migran yang berkesempatan menggunakan LTSA). Selain memerhatikan indikator struktural, proses, OHCHR memberikan penekanan pada indikator-indikator norma-norma hak asasi manusia—khususnya nondiskriminasi dan kesetaraan, partisipasi, akses terhadap pemulihan dan akuntabilitas. Indikator struktural

Indikator proses

Indikator hasil Indikator norma HAM

Payung hukum berorientasi hak asasi manusia yang menaungi LTSA, komitmen terhadap hukum hak asasi manusia internasional yang relevan

Jumlah LTSA yang telah dibuka, fungsi layanan LTSA yang tersedia

Dampak positif dari LTSA, jumlah (C)PMI yang terlayani

Nondiskriminasi dan kesetaraan Partisipasi Akses terhadap pemulihan Akuntabilitas

Selain aspek hak asasi manusia, baseline study ini juga mengusahakan perhatian terhadap aspek responsif gender, dan meninjau apakah LTSA sudah mampu mengenali pengalaman bermigrasi yang tergenderisasi (berbeda secara gender). Beberapa hal yang akan diperiksa antara lain: Apakah LTSA dan aturan hukum yang menaunginya bersifat buta gender/netral gender/responsif gender atau sudah transformatif gender? Secara administratif, apakah LTSA sudah menerapkan pemilahan data berdasarkan gender?

1.2 Metode dan pengumpulan data Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Statistik deskriptif yang sederhana dipergunakan dalam penelitian ini untuk menguatkan temuantemuan kualitatif. Secara metodologis, tim Jaringan Buruh Migran (JBM) dalam melakukan survei kuantitatif memperhatikan secara proposional angka penempatan PMI berdasarkan data BP2MI dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Oleh karenanya jumlah 229 orang PMI yang telah disurvei, baik melalui pengisian langsung oleh PMI

5


maupun dengan dibantu dengan mekanisme wawancara oleh tim JBM, juga telah memenuhi persyaratan metodologis—antara lain, penentuan jumlah responden PMI menurut negara tujuan bekerja menjadi dasar survei ini. Diharapkan, hasilnya dapat secara obyektif mengambarkan permasalahan PMI di masing-masing negara. Metode kualitatif dari penelitian ini melibatkan empat komponen: (1) Wawancara mendalam dengan aktor pemerintah di tingkat nasional yang langsung terkait dengan tata kelola migrasi, khususnya BP2MI dan Kementerian Ketenagakerjaan; (2) Analisis dokumen, khususnya peraturan-peraturan hukum yang ada di tingkat daerah yang berhubungan dengan pembentukan LTSA; (3) Diskusi kelompok terfokus (focused group discussion – FGD) dengan para pemangku kepentingan di tiga lokasi yang menjadi titik perhatian penelitian ini, yakni Banyuwangi, Karawang dan Lombok Timur; dan (4) Survei kualitatif terhadap pekerja migran, termasuk yang pernah melalui LTSA di tiga lokasi yang menjadi tiga wilayah fokus penelitian, yakni Banyuwangi, Karawang dan Lombok Timur. FGD dan survei kualitatif merupakan metode partisipatoris yang banyak dipergunakan umum dijalankan dalam evaluasi kebijakan. Berakar pada metode wawancara berkelompok yang awalnya dikembangkan Merton et al. (1956), FGD dapat didefinisikan secara luas sebagai, “sebuah bentuk diskusi kelompok mengenai sebuah topik, yang dilakukan dengan dipandu oleh seorang moderator kelompok yang terlatih” (Stewart 2018, p. 687). FGD bernilai penting sebagai sebuah metode kualitatif—Guest et al. (2016) memperkirakan bahwa sekitar 80% dari cakupan tema mengenai suatu topik sudah dapat teridentifikasi melalui 2-3 kali penyelenggaraan FGD. Pengumpulan data untuk komponen FGD dan survei kualitatif diampu utamanya oleh para peneliti di tingkat daerah yang merupakan penggiat Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) di tiga wilayah fokus penelitian. Para peneliti daerah juga melengkapi analisis kualitatif dengan pemahaman spesifik di daerah masing-masing berdasarkan pengalaman organisasi, advokasi kebijakan dan penanganan/ pendampingan kasus yang selama ini mereka jalankan. Sedari awal, para peneliti daerah ini sudah terlibat dalam pembahasan rancangan dan arah penelitian. Instrumen kualitatif berupa pertanyaan panduan FGD dan protokol wawancara semiterstruktur dikembangkan bersama-sama dengan para peneliti komunitas ini. FGD diarahkan untuk mengupas payung hukum/regulasi dan segi kebijakan, sementara survei kualitatif terhadap (calon) PMI dan keluarganya berfokus lebih mendalam pada indikator-indikator HAM. Pelibatan komunitas secara aktif dalam penelitian ini merupakan wujud komitmen terhadap metode participatory action research (PAR) yang berbasis

6


komunitas. Menjadi catatan penelitian bahwasanya penggunaan metode ini belum sepenuhnya optimal karena beberapa kendala, selain karena konteks pandemi juga khususnya karena waktu penelitian yang terbatas (sesuai dengan periode proyek yang telah ditetapkan). Penggunaan metode PAR memerlukan engagement yang bersifat lebih jangka panjang, terutama dalam mengembangkan kapasitas riset di tingkat lokal. Kami percaya bahwa benih-benih yang telah disemai dalam penelitian ini dapat bertumbuh dan berkembang jika ditindaklanjuti secara berkesinambungan. Dalam proses penelitian, para peneliti di daerah telah mampu memberikan catatancatatan reflektif berdasarkan pengamatan yang etnografis. Menjadi catatan penelitian ini, karena periode penelitian lapangan di tiga lokasi dilakukan sebelum akhir Desember 2020, artinya sebelum penempatan semula kembali akan dibuka (tengah diundur lagi ke Juli 2021), maka laporan ini belum dapat memotret proses penempatan yang berlangsung di masa COVID-19. Begitu juga dengan mekanisme penanganan terkait pelaporan/pengaduan tentang PMI yang terjangkit COVID-19, belum dapat kami eksplorasi. Diperlukan kajian lebih lanjut yang lebih spesifik terkait penyelenggaraan LTSA di masa pasca-COVID, bagaimana LTSA beradaptasi pada kebiasaan baru.

7


Bab

2

Konteks Indonesia sebagai negara asal pekerja migran

2.1. Kabupaten Banyuwangi 2.1.1 Profil demografi Kabupaten Banyuwangi Menurut hasil Sensus Penduduk 2020 yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Banyuwangi, Kab. Banyuwangi memiliki jumlah penduduk sebesar 1.708.114 jiwa, mengalami penambahan 152.036 jiwa dari hasil sensus penduduk sebelumnya pada tahun 2010. Sedangkan menurut komposisi jenis kelamin, sebanyak 50,07 persen atau 855.220 jiwa adalah laki-laki dan 49,93 persen atau 852.894 jiwa adalah perempuan [BPS Kab. Banyuwangi 2020]. Dari angka jumlah penduduk tersebut, sebanyak 93,2 persen atau 1.604.313 penduduk berdomisili sesuai KK/KTP, sedangkan 6,08 persen atau 103.801 penduduk lainnya berdomisili tidak sesuai KK/KTP. Dengan luas wilayah sebesar 5.782,5 km2, kepadatan penduduk Kab. Banyuwangi adalah 295 jiwa setiap 1 km2. Kab. Banyuwangi saat ini masih berada dalam masa bonus demografi karena 70,49 persen penduduknya merupakan penduduk usia produktif (15-64 tahun) [BPS Kab. Banyuwangi 2020]. Untuk lebih detil terkait komposisi penduduk per kecamatan dapat dilihat di tabel berikut.

8


Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kab. Banyuwangi Tahun 2020 No.

Kecamatan

Penduduk

No.

Kecamatan

Penduduk

1

Pesanggaran

53.373 14

Rogojampi

57.217

2

Siliragung

48.678 15

Blimbingsari

54.341

3

Bangorejo

65.709 16

Kabat

63.413

4

Purwoharjo

69.471 17

Singojuruh

50.463

5

Tegaldlimo

66.737 18

Sempu

83.100

6

Muncar

136.425 19

Songgon

57.077

7

Cluring

77.417 20

Glagah

36.532

8

Gambiran

66.187 21

Licin

29.460

9

Tegalsari

52.361 22

Banyuwangi

10

Glenmore

75.365 23

Giri

31.621

11

Kalibaru

65.142 24

Kalipuro

83.685

12

Genteng

92.448 25

Wongsorejo

77.420

13

Srono

96.914 Jumlah

117.558

1.708.114

Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Banyuwangi (2020)

Dalam bidang ketenagakerjaan, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang berjenis kelamin perempuan lebih tinggi daripada laki-laki dengan masing-masing sebanyak 649.248 jiwa dan 635.954 jiwa. Akan tetapi, tingkat partisipasi kerja laki-laki yang sebesar 87,11 persen atau 554.016 jiwa jauh melampaui tingkat partisipasi kerja perempuan yang hanya sebesar 56,80 persen 368.757 jiwa. Angka pengangguran terbuka angkatan kerja di Kab. Banyuwangi tahun 2020 berada di angka 5,34 persen. Angka pengangguran terbuka lebih besar di kalangan angkatan kerja laki-laki, yakni 6,02 persen, sedangkan angka di kalangan angkatan kerja perempuan berada di angka 4,31 persen. Dengan garis kemiskinan Kab. Banyuwangi Rp. 373.679,00/kapita/bulan, pada tahun 2020 terdapat 130,37 ribu penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tersebut atau 8,06 persen dari jumlah penduduk. BPS belum memiliki data terkait penduduk rentan/hampir miskin, baik di tingkat nasional maupun provinsi dan kabupaten. Meskipun begitu, diyakini bahwa masih banyak penduduk, termasuk di

9


Kab. Banyuwangi, yang hidup mengelompok sedikit di atas garis kemiskinan, mereka inilah yang disebut sebagai penduduk rentan/hampir miskin. Kelompok ini, seperti namanya, adalah kelompok rentan yang jika terdapat misalnya guncangan ekonomi, dengan mudah berpotensi untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Bila melihat program perlindungan sosial, sekitar 20 persen rumah tangga di Kab. Banyuwangi menerima bantuan pangan atau program sembako. Untuk melihat beberapa program perlindungan sosial oleh pemerintah dan jumlah rumah tangga penerima program tersebut di Kab. Banyuwangi dapat dilihat di tabel berikut. Tabel 2.2 Jenis Program Perlindungan Sosial dan Persentase Rumah Tangga Penerima di Kab. Banyuwangi Tahun 2020

No.

Jenis Program Perlindungan Sosial

1

Bantuan Pangan (BPNT/Program Sembako)

2

Program Indonesia Pintar (PIP)

3

Kartu Perlindungan Sosial (KPS)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)

4

Program Keluarga Harapan (PKH)

Persentase Rumah Tangga yang Menerima 20,09 6,98 15,71 8,97

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Banyuwangi Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Banyuwangi

Mengenai bidang pendidikan, 30,64 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas memiliki ijazah SMA/ke atas sebagai ijazah tertinggi. Meskipun paling tinggi di antara kelompok pencapaian ijazah tertinggi lainnya, mayoritas penduduk berumur 15 tahun ke atas di Kab. Banyuwangi, atau 69,36 persen memiliki ijazah tertinggi di bawah SMA. Sedangkan angka rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk berumur 25 tahun ke atas di Kab. Banyuwangi adalah 7,16 tahun.

10


Tabel 2.3 Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas di Kab. Banyuwangi Tahun 2020

No. Jenis Kelamin

Tidak Punya Ijazah SD (%)

SD/ sederajat (%)

SMP/ sederajat (%)

SMA/ke atas (%)

1

Laki-laki

17,47

26,38

23,60

32,55

2

Perempuan

26,87

26,30

18,07

28,78

22,23

26,34

20,80

30,64

Jumlah

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Banyuwangi Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Banyuwangi

Tabel 2.4 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 25 Tahun ke Atas di Kab. Banyuwangi Tahun 2020 RLS (dalam tahun) No. Wilayah

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki dan Perempuan

1

Indonesia

8,90

8,07

8,48

2

Provinsi Jawa Timur

8,30

7,30

7,78

3

Kab. Banyuwangi

7,65

6,55

7,16

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Banyuwangi Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Banyuwangi

Secara umum, tingkat pendidikan masyarakat di Kab. Banyuwangi tercermin dalam dua tabel di atas. Tingkat pendidikan yang ada masih terbilang cukup rendah, bahkan jika dibandingkan dengan tingkat provinsi dan nasional. Kemudian, menurut karakteristik jenis kelamin terlihat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang mana di kalangan perempuan, mereka yang tidak memiliki ijazah SD menduduki posisi kedua, sedangkan di kalangan laki-laki, kelompok yang tidak memiliki ijazah SD merupakan kelompok yang paling sedikit jumlahnya. Meskipun telah terlihat perbaikan tingkat pendidikan, utamanya di kalangan penduduk muda, persoalan ketimpangan capaian antara penduduk laki-laki dan perempuan masih menjadi persoalan. Dalam kelompok umur 7-18 tahun, angka

11


partisipasi sekolah (APS) Kab. Banyuwangi sedikit lebih baik perempuan dibanding laki-laki. Hanya saja, dalam perjalanan pendidikan, para peserta didik perempuan lebih banyak yang drop out dan memiliki kecenderungan untuk berhenti di jenjang pendidikan menengah. Tingkat pendidikan yang cukup rendah selama ini memang menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat untuk bermigrasi kerja ke luar negeri. Namun, bukan hanya itu, ketimpangan gender yang ada dalam tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap karakteristik PMI yang didominasi oleh perempuan di sektor-sektor informal. 2.1.2 Karakteristik PMI dan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Banyuwangi Dalam Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kab. Banyuwangi Tahun 2016-2021, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi memiliki visi pembangunan daerah “Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Banyuwangi yang Semakin Sejahtera, Mandiri, dan Berakhlak Mulia melalui Peningkatan Perekonomian dan Kualitas Sumber Daya Manusia.” Sedangkan misi pembangunan yang dimiliki oleh Pemkab Banyuwangi terdiri dari tiga garis besar, yaitu: 1) Mewujudkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya; 2) Optimalisasi sumber daya daerah berbasis pemberdayaan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan; 3) Mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) serta layanan publik yang berkualitas berbasis teknologi informasi. Sasaran program prioritas Pemkab Banyuwangi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan sesuai Perubahan RPJMD Kab. Banyuwangi Tahun 2016-2021 terbagi menjadi dua prioritas. Pertama, untuk program prioritas II terdiri dari: 1) Program peningkatan kesempatan kerja; 2) Program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja; dan 3) Program peningkatan kualitas, penempatan, dan perlindungan tenaga kerja. Kedua, untuk program prioritas III terdiri atas: 1) Program Pengembangan Hubungan Industrial dan Syarat Kerja; 2) Program Perlindungan Tenaga Kerja; dan 3) Program Pengembangan Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Perusahaan. Beberapa program prioritas di atas mencantumkan indikator kinerja program yang berkaitan langsung dengan pekerja migran.

12


Tabel 2.5 Pendanaan Program Prioritas Ketenagakerjaan Tahun 2019-2021 di Kab. Banyuwangi Menurut RPJMD No

Program Prioritas

Indikator Kinerja Program

Pendanaan (dalam milyar rupiah) 2019

%

2020

%

2021

%

Persentase pencari kerja yang ditempatkan

0,82

0,58

1,14

0,70

Persentase lulusan pelatihan kerja yang memiliki kompetensi

0,82

0,58

0,94

0,58

Persentase permasalahan PMI yang terselesaikan

0,71

0,50

0,92

0,56

0,85

0,39

1,11

0,46

0,71

0,32

0,92

0,38

Program Prioritas II Bidang Ketenagakerjaan

1

2

Program Peningkatan Kualitas, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja

Program Peningkatan Kesempatan Kerja

Persentase pencari kerja yang ditempatkan

0,68

0,41

Program Prioritas III Bidang Ketenagakerjaan Persentase perselisihan hubungan industrial yang terselesaikan

3

Program Pengembangan Hubungan Industrial dan Syarat Kerja

4

Persentase perselisihan hubungan Program industrial yang Pengembangan terselesaikan Hubungan Persentase Industrial dan kepesertaan Perlindungan pekerja penerima Tenaga Kerja upah pada Perusahaan perusahaan dalam BPJS Ketenagakerjaan

0,70

0,29

13


Program Perlindungan Tenaga Kerja

Persentase TKI/ PMI bermasalah

0,08

0,033

Alokasi Pendanaan Program Prioritas II dan III Bidang Ketenagakerjaan

1,46

0,092

Alokasi Pendanaan Program Prioritas I, II, dan III

1.585,65

100

5

Jumlah 3,91

0,29

5,03

0,36

1.356,87 100 1.397,14 100

Sumber: Perubahan RPJMD Kab. Banyuwangi Tahun 2016-2021

Jika melihat alokasi pendanaan di atas, terdapat dua program prioritas yang secara eksplisit berkepentingan langsung dengan PMI, yakni program pelindungan tenaga kerja yang mana pada tahun 2019 berdiri sendiri sebagai satu program prioritas, sedangkan tahun 2020-2021 digabungkan dengan program peningkatan kualitas dan penempatan tenaga kerja. Meskipun terdapat kenaikan alokasi pendanaan setiap tahunnya, baik program prioritas di bidang ketenagakerjaan secara umum maupun program prioritas dengan indikator kerja yang secara eksplisit berkepentingan langsung dengan PMI, tetap terlihat bahwa alokasi dana setiap tahunnya cukup rendah. Di tingkat nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar penempatan PMI. Kab. Banyuwangi sebagai salah satu daerah kantong PMI, berada di urutan ke-13 nasional dan ke-5 di Jawa Timur. Angka penempatan PMI asal Banyuwangi yang tercatat oleh BP2MI setiap tahunnya terus meningkat, kecuali tahun 2020 karena adanya pandemi COVID-19. Tabel 2.6 Jumlah Penempatan PMI asal Kab. Banyuwangi Tahun 2017-2020 No. Wilayah

2017

2018

2019

2020

1

Indonesia

262.899

283.640

276.553

113.173

2

Provinsi Jawa Timur

64.084

70.381

68.740

37.331

3

Kab. Banyuwangi

5.176

6.132

6.343

3.347

Sumber: Data Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI

Secara umum, PMI asal Kab. Banyuwangi masih didominasi oleh perempuan PMI yang mengisi sektor-sektor informal seperti pekerja rumah tangga (PRT) maupun

14


pengasuh bayi/lansia. Sedangkan dalam sektor formal, seperti manufaktur, mayoritas berasal dari kalangan laki-laki PMI. Jika menurut negara tujuan, menurut catatan SBMI Banyuwangi, Hong Kong dan Taiwan merupakan negara tujuan paling umum bagi PMI asal Kab. Banyuwangi, utamanya para perempuan PMI yang bekerja sebagai PRT dan pengasuh bayi/lansia. Selain itu, pada masa pandemi, terdapat kecenderungan kenaikan jumlah PMI asal Kab. Banyuwangi yang bermigrasi kerja ke Singapura dan Malaysia. Peningkatan angka penempatan PMI asal Kab. Banyuwangi dari tahun ke tahun disebabkan oleh berbagai faktor pendorong, seperti indikasi kemiskinan, keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, tingkat upah yang rendah, tingkat pendidikan yang terbatas, kualitas hidup yang tidak cukup baik, dll. Contohnya di bidang pendidikan, bagian profil demografi Kab. Banyuwangi telah menggambarkan bagaimana tingkat pendidikan Kab. Banyuwangi cukup rendah, bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat Provinsi Jawa Timur dan nasional. Begitu pula terkait ketimpangan gender yang tercermin dalam tingkat pendidikan yang ada, menjadi wajar apabila karakteristik PMI asal Kab. Banyuwangi didominasi oleh perempuan PMI yang bekerja di sektor-sektor informal. Sekalipun terdapat PMI yang bekerja di sektor formal, laki-laki PMI masih lebih dominan. Cukup tingginya angka penempatan PMI bukan tanpa masalah. Permasalahan utama yang dialami oleh PMI asal Kab. Banyuwangi di luar negeri meliputi gaji tidak dibayar, PT bermasalah, putus komunikasi dengan keluarga, penganiayaan, pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, hingga kecelakaan kerja. Menurut catatan SBMI Banyuwangi, Kab. Banyuwangi juga memiliki permalasahan terkait maraknya penempatan PMI secara non prosedural. Sebagaimana tertulis, terdapat kecenderungan peningkatan penempatan PMI asal Kab. Banyuwangi ke Singapura dan Malaysia baru-baru ini yang mana penempatan tersebut dilakukan secara nonprosedural oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

BP2MI mencatat setidaknya terdapat 81 pengaduan kasus oleh PMI asal Kab. Banyuwangi tahun 2018-2020. Meskipun begitu, angka kasus permasalahan PMI asal Kab. Banyuwangi diyakini lebih tinggi karena terdapatnya fenomena gunung es, yakni banyaknya permasalahan yang tidak terlaporkan. Pada tahun 2018, Jaringan Buruh Migran (JBM) pernah melakukan penelitian sebelumnya terkait evaluasi pelayanan migrasi ketenagakerjaan dan sempat merangkum beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemkab Banyuwangi dalam melihat kompleksitas kondisi PMI asal Kab. Banyuwangi. Berikut merupakan beberapa upaya oleh Pemkab Banyuwangi yang tercatat dalam penelitian JBM tahun 2018 beserta perkembangan terbaru yang dapat terlihat.

15


1. Meletakkan pelayanan pemberdayaan perempuan dan anak di dalam mal tidak menjaga privasi para korban Pemkab Banyuwangi telah mendirikan Mal Pelayanan Publik (MPP) pada tahun 2017 di mana fungsinya serupa dengan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), meskipun tidak khusus untuk pelayanan migrasi ketenagakerjaan, melainkan sifat pelayanan publiknya adalah umum. MPP diatur dalam Perbup No. 59 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Mal Pelayanan Publik. Menurut perbup tersebut, MPP dibangun sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang merupakan perluasan fungsi pelayanan terpadu baik pusat maupun daerah. Menurut Pihak Bidang Kesejahteraan Masyarakat Pemkab Banyuwangi yang diwawancarai oleh JBM pada Maret 2018, selama ini MPP memang tidak khusus bagi PMI. Namun, Pemkab Banyuwangi memiliki rencana untuk meletakkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di dalam MPP yang mana perempuan PMI menjadi salah satu sasaran. Melalui P2TP2A, diharapkan perempuan PMI dapat memanfaatkannya sebagai tempat pengaduan ketika mengalami masalah, misalnya terkait kekerasan. Hanya saja, rencana tersebut menghadapi keraguan karena adanya kekhawatiran bahwa jika ada seorang perempuan yang datang ke P2TP2A di dalam MPP untuk konseling akan dipandang sebagai orang yang memiliki masalah, sehingga menimbulkan keengganan dan rasa malu. SBMI Banyuwangi turut menolak terkait rencana peletakkan P2TP2A di dalam MPP karena dirasa kurang berperspektif hak asasi manusia, utamanya dalam menjaga privasi korban. MPP sendiri merupakan tempat pelayanan umum, sedangkan terkait perlindungan perempuan tidak seharusnya dicampurkan dengan pelayanan umum. Dalam perkembangan terbaru, P2TP2A sekarang bertempat di Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana (Dinsos PPKB) Kab. Banyuwangi. 2. Tidak ada sinkronisasi antara perda perlindungan PMI dengan UU 18/2017 Pada tahun 2017, DPRD Kab. Banyuwangi telah mengesahkan Perda No. 15 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kab. Banyuwangi di Luar Negeri dan masih mengacu UU No. 39 Tahun 2004. Sejak pengesahan Perda tersebut, hingga sekarang belum terdapat perkembangan terbaru terkait perda tentang perlindungan PMI di Kab. Banyuwangi. Ke depannya, tugas Pemkab Banyuwangi adalah untuk menyelaraskan Perda mengenai perlindungan PMI dengan undangundang yang paling terbaru, yaitu UU No. 18 Tahun 2017.

16


Tidak adanya sinkronisasi antara perda dengan UU No. 18 Tahun 2017 tentunya berpotensi untuk melanggengkan celah perlindungan PMI yang menjadi kelemahan dari UU No. 39 Tahun 2004 karena terdapat perbedaan dalam hal-hal seperti nomenklatur dan definisi PMI, pendidikan dan pelatihan, peran swasta, sistem asuransi PMI, dll. Pada awal tahun 2020, DPC SBMI Banyuwangi sempat berencana akan mengajukan permohonan tinjau ulang kelemahan perda tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri, Biro Hukum Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur seperti yang diatur dalam UU. SBMI Banyuwangi juga pernah melakukan audiensi dengan Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Transmigrasi (Disnakertransperin) Kab. Banyuwangi dengan harapan dapat membantu menyampaikan kepada bupati dan DPRD untuk merevisi Perda tersebut, namun dirasa tidak berbuah baik dikarenakan pihak Disnakertransperin justru meminta SBMI Banyuwangi untuk bergerak sendiri. Hingga sekarang, SBMI Banyuwangi masih dalam tahapan menelaah kembali pasal per pasal perda tersebut bersama LPBH NU Banyuwangi. 3. Peluang program Smart Kampung belum dimanfaatkan untuk pelindungan calon PMI. Salah satu program yang dijalankan oleh Pemkab Banyuwangi di dua desa, yaitu Desa Benculuk dan Desa Taman Agung dengan memanfaatkan Dana Desa, Smart Kampung didesain sebagai pelayanan berbasis teknologi yang bertujuan untuk mendekatkan layanan kepada masyarakat. Melalui inisatif ini, masyarakat tidak perlu jauh-jauh datang ke pusat kota jika hendak mengurus dokumen-dokumen kependudukan, misalnya seperti KTP ataupun KK. Menurut catatan SBMI Banyuwangi, fokus dari Smart Kampung semasa pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat adalah untuk peningkatan kapasitas internet masyarakat desa. Hingga tahun 2021, Smart Kampung masih berjalan, utamanya sebagai medium kordinasi antara pemda dengan pemerintah desa terkait pendataan dokumen kependudukan. Terkait layanan migrasi ketenagakerjaan, SBMI Banyuwangi pernah mengusulkan agar Smart Kampung dapat menjadi medium bagi pemerintah desa dalam melakukan pendataan terhadap masyarakatnya yang ingin bekerja ke luar negeri. Meskipun begitu, usulan tersebut hingga sekarang belum diakomodasi oleh Smart Kampung.

17


4. Program Desmigratif belum mampu memberikan informasi terkait tata cara pengaduan kasus Salah satu komitmen Kemnaker RI dalam melindungi PMI adalah melalui Desmigratif (Desa Migran Produktif). Program tersebut memiliki tujuan yang tidak hanya terkait pemberdayaan purna PMI dan keluarga, namun juga bertujuan untuk mengurangi angka PMI nonprosedural, termasuk mengurangi angka perdagangan manusia yang mana kerap dialami oleh PMI. Desmigratif juga diharapkan berperan aktif untuk mengeliminasi calo yang merekrut PMI secara tidak bertanggung jawab. Melalui pemberdayaan purna PMI dan keluarga, mereka diharapkan memiliki bekal kemampuan dan modal dalam mengembangkan wirausaha di daerah mereka dan menghilangkan ketergantungan untuk bekerja ke luar negeri. Kab. Banyuwangi adalah salah satu Kab. yang menjadi sasaran program Desmigratif. Melalui catatan penelitian JBM, pada tahun 2017, terdapat dua desa di Kab. Banyuwangi, yaitu Desa Taman Agung dan Desa Tegaldlimo yang mendapatkan program desmigratif. Bagaimanapun, menurut analisis SBMI Banyuwangi, dua desa tersebut tidak memiliki jumlah PMI yang besar, terutama PMI nonprosedural. Terlebih, Desmigratif juga dianggap belum mampu memberikan informasi terkait tata cara pengaduan kasus. Perkembangan terbaru hingga tahun 2020, terdapat dua desa lainnya di Kab. Banyuwangi yang turut menjadi sasaran program Desmigratif, yaitu Desa Kedunggebang dan Desa Sumbermulyo. Tidak banyak data publik dan penelitian dari akademisi maupun organisasi tertentu yang tersedia terkait perkembangan dan evaluasi terhadap program desmigratif yang berjalan di Kab. Banyuwangi. Namun, program Desmigratif, di manapun, diharapkan dapat tepat sasaran dan berjalan sesuai dengan tujuan yang telah dirancang oleh Kemnaker RI. 5. Kemnaker mengategorikan pelayanan LTSA Banyuwangi “belum optimal” Pada saat JBM melakukan penelitian terkait evaluasi pelayanan migrasi ketenagakerjaan di Kab. Banyuwangi, LTSA belum berdiri di Kab. Banyuwangi. Meskipun begitu, beberapa bulan kemudian, yakni pada 27 November 2018, Pemkab Banyuwangi mendirikan LTSA khusus PMI di Kab. Banyuwangi yang diletakkan di dalam MPP, artinya LTSA tidak berdiri di gedung tersendiri yang terpisah dengan pelayanan publik lainnya yang bersifat umum. Berdasarkan evaluasi Kemnaker RI pada tahun yang sama dengan pendirian LTSA Kab. Banyuwangi, yakni tahun 2018, LTSA Kab. Banyuwangi masuk ke dalam kategori belum optimal. Bagaimanapun, dua tahun setelah berdirinya LTSA tersebut, tercatat bahwa tidak ada perubahan signifikan yang terjadi di LTSA Kab. Banyuwangi yang mana hingga sekarang LTSA baru dihadiri oleh satu dinas, yaitu Disnakertransperin.

18


2.2. Kabupaten Karawang 2.2.1 Profil demografi Kabupaten Karawang Hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa Kab. Karawang memiliki jumlah penduduk sebesar 2,44 juta jiwa, bertambah sebanyak 311,29 ribu jiwa dari hasil sensus penduduk pada tahun 2010. Penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Kab. Karawang terbilang cukup tinggi, yaitu 71,36 persen dari jumlah penduduk, sedikit lebih tinggi dari tingkat Provinsi Jawa Barat dan nasional dengan masingmasing berada di angka 70,68 persen dan 70,72 persen. Dengan luas wilayah seluas 1.753,27 km2, kepadatan penduduk Kab. Karawang adalah 1.392 penduduk di setiap 1 km2. Tabel 2.7 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kab. Karawang Tahun 2020 No. Kecamatan

Penduduk

No. Kecamatan

Penduduk

1

Pangkalan

38.408

16

Telagasari

68.183

2

Tegalwaru

37.626

17

Majalaya

64.557

3

Ciampel

44.104

18

Karawang Timur

146.326

4

Telukjambe Timur

135.914

19

Karawang Barat

161.554

5

Telukjambe Barat

54.957

20

Rawamerta

53.608

6

Klari

181.111

21

Tempuran

64.976

7

Cikampek

115.369

22

Kutawaluya

59.086

8

Purwasari

75.934

23

Rengasdengklok

109.718

9

Tirtamulya

49.599

24

Jayakerta

65.557

10

Jatisari

78.565

25

Pedes

78.187

11

Banyusari

55.425

26

Cilebar

43.494

12

Kotabaru

131.136

27

Cibuaya

52.050

13

Cilamaya Wetan

78.279

28

Tirtajaya

70.166

14

Cilamaya Kulon

64.566

29

Batujaya

77.966

15

Lemahabang

64.711

30

Pakisjaya

39.887

Jumlah

2.361.019

Sumber: Kab. Karawang dalam Angka Tahun 2021, Badan Pusat Statistik Kab. Karawang. Data merupakan hasil proyeksi penduduk tahun 2020 dikarenakan belum tersedia data resmi persebaran penduduk di setiap kecamatan hasil Sensus Penduduk 2020 Kab. Karawang

19


Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 mencatat bahwa komposisi penduduk berumur 15 tahun ke atas adalah laki-laki sebanyak 918.695 jiwa dan perempuan sebanyak 872.833 jiwa. Tingkat partisipasi kerja laki-laki dan perempuan masingmasing adalah 84,47 persen dan 44,29 persen. Angka tersebut menunjukkan perbedaan yang cukup jauh antara laki-laki dan perempuan yang mana mayoritas dari penduduk perempuan berumur 15 tahun ke atas bukan merupakan angkatan kerja, salah satunya karena banyak dari penduduk perempuan yang berstatus sebagai pengurus rumah tangga. Berdasarkan hasil survei angkatan kerja yang sama, angka pengangguran terbuka angkatan kerja di Kab. Karawang tergolong cukup tinggi, yakni 11,52 persen. Tidak ada perbedaan signifikan terkait angka pengangguran terbuka menurut karakteristik jenis kelamin. Angka pengangguran terbuka angkatan kerja laki-laki dan perempuan masing-masing berada di angka 11,39 persen dan 11,78 persen. Penduduk Kab. Karawang yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2020 adalah sejumlah 195,41 ribu jiwa atau 8,26 persen dari jumlah penduduk. Garis kemiskinan Kab. Karawang berada di angka Rp. 466.152,00/kapita/bulan. Serupa dengan daerah lainnya, tidak ada data mengenai kelompok rentan/hampir miskin di Kab. Karawang. Sementara itu, 14,97 persen dari jumlah rumah tangga di Kab. Karawang merupakan rumah tangga penerima bantuan pangan atau program sembako. Untuk melihat detil program perlindungan sosial oleh pemerintah dan persentase rumah tangga di Kab. Karawang yang menerima dapat dilihat di tabel berikut. Tabel 2.8 Jenis Program Perlindungan Sosial dan Persentase Rumah Tangga Penerima di Kab. Karawang Tahun 2020

No. Jenis Program Perlindungan Sosial

Persentase Rumah Tangga yang Menerima

1

Bantuan Pangan (BPNT/Program Sembako)

14,97

2

Program Indonesia Pintar (PIP)

6,19

3

Kartu Perlindungan Sosial (KPS)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)

10,53

4

Program Keluarga Harapan (PKH)

10,27

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Karawang Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Karawang

20


Dalam bidang pendidikan, di antara penduduk berumur 15 tahun ke atas, ijazah tertinggi yang paling banyak dimiliki oleh laki-laki adalah ijazah SMA/ke atas dan oleh perempuan adalah ijazah SD/sederajat, sedangkan RLS penduduk berumur 25 tahun ke atas adalah 7,77 tahun. Untuk melihat detil ijazah tertinggi yang dimiliki penduduk berumur 15 tahun ke atas dan RLS penduduk berumur 25 tahun ke atas dapat dilihat di tabel berikut. Tabel 2.9 Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas di Kab. Karawang Tahun 2020

No. Jenis Kelamin

Tidak Punya SD/sederajat Ijazah SD (%) (%)

SMP/ sederajat (%)

SMA/ke atas (%)

1

Laki-laki

11,90

27,07

23,76

37,26

2

Perempuan

18,01

31,55

21,69

28,75

14,88

29,26

22,75

33,10

Jumlah

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Karawang Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Karawang

Tabel 2.10 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 25 Tahun ke Atas di Kab. Karawang Tahun 2020 RLS (dalam tahun) No.

Wilayah

1

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki + Perempuan

Indonesia

8,90

8,07

8,48

2

Provinsi Jawa Barat

8,97

8,11

8,55

3

Kab. Karawang

8,41

6,96

7,77

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Karawang Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Karawang

Dari tabel-tabel di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Kab. Karawang bukan hanya lebih rendah dari tingkat provinsi dan nasional, akan tetapi juga terdapat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang lebih lebar. Tingkat pendidikan yang rendah beserta ketimpangan gender yang ada dapat berkontribusi sebagai salah satu faktor pendorong masyarakat untuk bermigrasi kerja ke luar negeri.

21


2.2.2 Karakteristik PMI dan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Karawang Sesuai Revisi RPMJD Tahun 2016-2021, Kab. Karawang memiliki visi pembangunan “Kab. Karawang yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur” yang kemudian diturunkan menjadi lima misi pembangunan, yakni: 1) Mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang bersih dan berwibawa; 2) Mewujudkan Kab. Karawang yang berdaya saing; 3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; 4) Mewujudkan Kab. Karawang yang produktif, nyaman, indah, dan lestari; dan 5) Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang mandiri, profesional, dan akuntabel dalam kerangka otonomi daerah. Beberapa program prioritas yang berhubungan dengan bidang ketenagakerjaan antara lain adalah program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, program perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan hingga program peningkatan kesempatan kerja. Kab. Karawang tidak memiliki program prioritas maupun indikator kinerja program prioritas yang secara khusus menyasar komunitas PMI. Tabel 2.11 Pendanaan Program Prioritas Ketenagakerjaan di Kab. Karawang Tahun 2019-2021 menurut RPJMD Pendanaan (dalam rupiah)

No

Program Pembangunan

Indikator Kinerja

1

Program Peningkatan Persentase Kualitas dan Produk- tenaga kerja yang dilatih tivitas Tenaga Kerja

10.593.000.000 11.581.000.000 12.296.000.000

2

Program PerlinPersentase dungan dan Pengemkonflik yang bangan Lembaga ditangani Ketenagakerjaan

2.239.000.000

2.461.000.000

2.461.000.000

3

Persentase Program Peningkatan penempatan Kesempatan Kerja pencari kerja

6.800.000.000

7.090.000.000

7.290.000.000

2019

2020

2021

Sumber: Revisi RPJMD Kab. Karawang Tahun 2016-2021

Berdasarkan alokasi pendanaan program prioritas pembangunan, Kab. Karawang memiliki alokasi yang lebih besar terhadap bidang ketenagakerjaan dibanding Kab. Banyuwangi maupun Kab. Lombok Timur. Hanya saja, sebagai salah satu daerah

22


penyumbang PMI terbesar, belum terdapat program prioritas pembangunan dengan indikator kinerja yang berkaitan secara khusus dengan PMI. Hal ini menunjukkan bahwa RPJMD Kab. Karawang Tahun 2016-2021 tidak menjadikan kelompok PMI sebagai salah satu kelompok yang secara khusus disasar dalam program prioritas pembangunan. Kab. Karawang adalah salah satu daerah kantong PMI baik di tingkat provinsi maupun nasional. Di tingkat provinsi, Kab. Karawang merupakan penyumbang PMI terbesar ke-4, sedangkan di tingkat nasional menduduki posisi ke-19 sebagai kabupaten/kota penyumbang PMI terbesar. Data dari tahun ke tahun, kecuali tahun 2020, terlihat bahwa angka penempatan PMI asal Kab. Karawang ke luar negeri terus meningkat. Data penempatan PMI asal Kab. Karawang tahun 2017-2020 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.12 Jumlah Penempatan PMI asal Kab. Karawang Tahun 2017-2020 No. Wilayah

2017

2018

2019

2020

1

Indonesia

262.899

283.640

276.553

113.173

2

Provinsi Jawa Barat

50.844

57.230

57.957

23.246

3

Kab. Karawang

3.104

3.586

3.749

1.328

Sumber: Data Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI

Beberapa faktor yang menjadi pendorong bagi masyarakat Kab. Karawang untuk menjadi PMI di antaranya karena indikasi kemiskinan, kesempatan lapangan kerja yang kurang di dalam negeri, hingga tingkat pendidikan yang cukup rendah. Contohnya terkait tingkat pendidikan, secara umum berdasarkan data yang telah tercantum di bagian profil demografi, Kab. Karawang memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah dan lebih rendah dibandingkan tingkat Provinsi Jawa Barat dan nasional. Hal ini berpengaruh terhadap karakteristik PMI asal Kab. Karawang yang menyumbang angka penempatan yang cukup besar dibanding daerah lainnya, maupun dominasi perempuan PMI dalam migrasi ketanagakerjaan, utamanya dominasi mereka dalam sektor-sektor informal. Sama seperti daerah lainnya, menjadi kantong PMI bukan tanpa masalah. Setidaknya pada rentang tahun 2017-2020, BP2MI mencatat 616 pengaduan kasus PMI asal Kab. Karawang. Kelompok PMI mengalami masalah-masalah di setiap tahap migrasi, seperti maraknya pemberangkatan PMI secara non prosedural, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, hingga perdagangan manusia.

23


Sementara itu, berikut upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemkab Karawang dalam melihat kompleksitas isu PMI. • DPRD Kab. Karawang sedang berada dalam tahap finalisasi rancangan perda tentang penempatan dan perlindungan PMI asal Kab. Karawang. Raperda tersebut berusaha untuk memperbaharui legislasi di Kab. Karawang terkait penempatan dan perlindungan PMI, sehingga acuannya bukan lagi UU No. 39 Tahun 2004, melainkan UU No. 18 Tahun 2017. Meskipun begitu, terdapat perhatian khusus oleh berbagai pihak mengenai raperda tersebut. Berdasarkan temuan oleh SBMI Karawang, raperda yang ada memiliki kelemahan dikarenakan banyak sekali pasal-pasal yang dibuat serupa dengan UU No. 18 Tahun 2017, artinya pembahasaan teknis tidak begitu diperhatikan dan berpotensi untuk mempersulit implementasinya di Kab. Karawang. • Desmigratif. Sebagai program yang menyasar komunitas PMI, Kab. Karawang turut menjadi sasaran program desmigratif, yakni di Desa Kertamulya dan Desa Pasirjaya. Sebagaimana di desmigratif lainnya, program tersebut memiliki tujuan utama pemberdayaan purna PMI dan keluarga serta mencegah praktikpraktik penempatan PMI non prosedural hingga perdagangan manusia. Hanya saja, tidak terdapat cukup informasi maupun evaluasi publik yang menyorot terkait implementasi program desmigratif di Kab. Karawang. • Pada awal tahun 2018, Pemkab Karawang meresmikan layanan terpadu satu pintu TKI (PTSP TKI). Meskipun memiliki nama yang berbeda, PTSP TKI sejatinya serupa dengan LTSA karena ditujukan untuk memberikan pelayanan khusus bagi komunitas PMI. Berdasarkan evaluasi oleh Kemnaker RI pada tahun 2018, PTSP TKI Kab. Karawang termasuk ke dalam kategori optimal sedang. Angka penempatan yang berhasil difasilitasi melalui PTSP TKI Kab. Karawang pada tahun 2018 dan 2019 masingmasing berjumlah 259 dan 382 PMI. Angka penempatan tersebut masih berada di bawah 1.000 PMI dalam satu tahun. Sesuai indikator evaluasi Kemnaker RI, salah satu penentu LTSA dapat dikatakan optimal adalah apabila angka penempatannya di atas 1.000 PMI dalam satu tahun.

2.3. Kabupaten Lombok Timur 2.3.1 Profil demografi Kabupaten Lombok Timur Menurut hasil Sensus Penduduk 2020, Kab. Lombok Timur memiliki jumlah penduduk sebesar 1.325.240 jiwa, mengalami penambahan 221.008 jiwa dari hasil sensus penduduk sebelumnya pada tahun 2010. Penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Kab. Lombok Timur meliputi 66,01 persen dari jumlah penduduk.

24


Sedangkan menurut komposisi jenis kelamin, sebanyak 50,23 persen atau 665.723 jiwa adalah perempuan dan 49,77 persen atau 659.517 jiwa adalah laki-laki. Dengan luas wilayah seluas 2.679,88 km2, Kab. Lombok Timur memiliki kepadatan penduduk sebesar 495 jiwa setiap 1 km2. Tabel 2.13 Jumlah Penduduk Kecamatan di Kab. Lombok Timur Tahun 2020 Menurut Jenis Kelamin No. Kecamatan

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1

Keruak

28.616

29.089

57.705

2

Jerowaru

30.745

30.666

61.411

3

Sakra

31.823

32.257

64.080

4

Sakra Barat

28.884

29.300

58.184

5

Sakra Timur

26.040

25.972

52.012

6

Terara

38.306

37.583

75.889

7

Montong Gading

24.335

24.466

48.801

8

Sikur

39.392

39.631

79.023

9

Masbagik

53.984

53.909

107.893

10

Pringgasela

31.496

31.614

63.110

11

Sukamulia

17.944

18.429

36.373

12

Suralaga

31.836

32.845

64.681

13

Selong

46.060

46.404

92.464

14

Labuhan Haji

31.813

32.679

64.492

15

Pringgabaya

54.984

55.829

110.813

16

Suela

22.579

22.842

45.421

17

Aikmel

34.741

35.380

70.121

18

Wanasaba

33.850

34.452

68.302

19

Sembalun

11.913

11.655

23.568

20

Lenek

21.365

22.155

43.520

21

Sambelia

18.811

18.566

37.377

659.517

665.723

1.325.240

Jumlah

Sumber: Kab. Lombok Timur dalam Angka Tahun 2021, Badan Pusat Statistik Kab. Lombok Timur

25


Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 memperlihatkan bahwa penduduk Kab. Lombok Timur berumur 15 tahun ke atas didominasi oleh penduduk perempuan sebanyak 483.834 jiwa, sedangkan laki-laki sebanyak 409.126 jiwa. Meskipun begitu, tingkat partisipasi kerja laki-laki jauh melampaui perempuan. Tingkat partisipasi kerja laki-laki adalah 82,66 persen atau sebesar 338.178 jiwa, sedangkan tingkat partisipasi kerja perempuan adalah 55,81 persen atau sebesar 270.014 jiwa. Survei angkatan kerja nasional tersebut juga mencatat angka pengangguran terbuka angkatan kerja di Kab. Lombok Timur, yakni berada di angka 4,17 persen. Menurut karakteristik jenis kelamin, angka pengangguran terbuka angkatan kerja laki-laki dan perempuan berada di angka 5,68 persen dan 2,29 persen. Kab. Lombok Timur memiliki garis kemiskinan Rp. 447.263,00/kapita/bulan. Persentase jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup tingi, yakni 15,24 persen atau sebanyak 183.840 penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Mengenai masyarakat yang hidup sebagai kelompok rentan/hampir miskin juga tidak ada data publik yang tersedia.

Selanjutnya, terkait program perlindungan sosial, 27,38 persen rumah tangga Kab. Lombok Timur menerima bantuan pangan. Untuk melihat lebih detil terkait jaminan perlindungan sosial dan persentase rumah tangga yang menerima pada tahun 2020 dapat dilihat di tabel berikut. Tabel 2.14 Jenis Program Perlindungan Sosial dan Persentase Rumah Tangga Penerima di Kab. Lombok Timur Tahun 2020 No. Jenis Program Perlindungan Sosial

Persentase Rumah Tangga yang Menerima

1

Bantuan Pangan (BPNT/Program Sembako)

27,38

2

Program Indonesia Pintar (PIP)

23,59

3

Kartu Perlindungan Sosial (KPS)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)

16,27

4

Program Keluarga Harapan (PKH)

23,29

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Karawang Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Karawang

Sementara itu, dalam bidang pendidikan, seperempat penduduk Kab. Lombok Timur berumur 15 tahun ke atas tidak memiliki ijazah SD. Sedangkan untuk kelompok umur 25 tahun ke atas, RLS di Kab. Lombok Timur hanyalah 6,70 tahun. Untuk detil ijazah tertinggi penduduk berumur 15 tahun ke atas dan RLS penduduk berumur 25 tahun ke atas Kab. Lombok Timur dapat dilihat melalui tabel berikut. 26


Tabel 2.15 Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas di Kab. Lombok Timur Tahun 2020 No. Jenis Kelamin

Tidak Punya SD/sederajat SMP/ SMA/ke atas Ijazah SD (%) (%) sederajat (%) (%)

1

Laki-laki

22,16

24,55

18,08

35,21

2

Perempuan

27,18

22,58

28,90

21,33

24,93

23,46

24,05

27,55

Jumlah

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Lombok Timur Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Lombok Timur

Tabel 2.16 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 25 Tahun ke Atas di Kab. Lombok Timur Tahun 2020 RLS (dalam tahun) No. Wilayah

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki + Perempuan

1

Indonesia

8,90

8,07

8,48

2

Provinsi NTB

8,08

6,64

7,31

3

Kab. Lombok Timur

7,44

6,17

6,70

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kab. Lombok Timur Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kab. Lombok Timur

BPS menggunakan beberapa data seperti tingkat ijazah tertinggi hingga RLS untuk mengetahui tingkat pendidikan masyarakat di suatu daerah. Tabel tingkat ijazah tertinggi dan RLS di atas menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendidikan masyarakat di Kab. Lombok Timur terbilang cukup rendah. Tingkat pendidikan tersebut menjadi satu dari berbagai faktor yang dapat mendorong tingginya angka migrasi ketenagakerjaan. 2.3.2 Karakteristik PMI dan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Lombok Timur Mengacu RPJMD Kab. Lombok Timur Tahun 2018-2023, visi pembangunan daerah Kab. Lombok Timur adalah “Lombok Timur yang Adil, Sejahtera, dan Aman.” Sedangkan misi pembangunan terdapat setidaknya enam butir, yakni: 1) Membangun dan meningkatkan infrastruktur wilayah secara berimbang pada bidang transportasi,

27


energi, irigasi, air bersih, serta perumahan; 2) Meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berdaya saing dengan biaya terjangkau; 3) Menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada pengembangan potensi lokal melalui sinergi fungsi-fungsi pertanian, peternakan, perdagangan, perikanan, kelautan, pariwisata, dan sumber daya lainnya; 4) Memperkuat pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial, politik, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan anak serta meningkatkan pembinaan kepemudaan dan olahraga; 5) Menciptakan keamanan dan ketertiban harmonis dalam masyarakat dengan meningkatkan pembangunan kehidupan keagamaan yang lebih baik dan religius; dan 6) Meningkatkan reformasi birokrasi melalui pemekaran wilayah pemerintahan desa, kecamatan, dan Kab. untuk menuju aparatur yang bersih dan berorientasi kepada pelayanan publik. Pemkab Lombok Timur memiliki beberapa program prioritas dalam bidang ketenagakerjaan, di antaranya program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, program perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan, hingga program peningkatan kesempatan kerja. Tabel 2.17 Pendanaan Sejumlah Program Prioritas Ketenagakerjaan di Kab. Lombok Timur Tahun 2019-2021 Menurut RPJMD Pendanaan (dalam rupiah) Program No Prioritas

Indikator Kinerja Program

2019 (Juta)

1

2

28

Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja

Program Peningkatan Kesempatan Kerja

Persentase peserta didik terampil kerja yang diterima kerja Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Rasio penduduk usia angkatan kerja yang bekerja

2020 %

(Juta)

2021 %

(Juta)

%

1.691,3

0,14

1.775,8

0,14

1.864,6

0,13

594,6

0,05

624,3

0,05

655,5

0,05


Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenagakerjaan

Persentase lembaga ketenagakerjaan yang mengikuti aturan perundangundangan

174,9

0,015

183,7

0,014

192,9

0,014

Alokasi Pendanaan Program Prioritas Bidang Ketenagakerjaan1

3.456,9

0,29

3.629,7

0,28

3.811,2

0,27

Alokasi Pendanaan Program Prioritas

1.204.793,5

100

1.295.497,4

100

1.419.340,5

100

3

Sumber: RPJMD Kab. Lombok Timur Tahun 2018-2023

Berdasarkan tabel di atas, sebagai salah satu penyumbang PMI terbesar di Provinsi NTB dan Indonesia, Kab. Lombok Timur tidak memiliki program prioritas pembangunan dengan indikator kinerja yang secara khusus menyasar kelompok PMI. RPJMD yang ada belum memiliki analisis permasalahan PMI, sehingga isu tersebut tidak masuk ke dalam isu-isu strategis. Sedangkan secara umum, alokasi pendanaan program prioritas di bidang ketenagakerjaan secara persentase masih terbilang sangat rendah, berada di kisaran 0,27-0,29 persen dalam satu tahun. Provinsi NTB maupun Kab. Lombok Timur, keduanya merupakan kantong PMI yang ada di Indonesia. Di tingkat nasional, Provinsi NTB merupakan provinsi penyumbang PMI terbesar ke-4 dan Kab. Lombok Timur merupakan kabupaten/kota penyumbang PMI terbesar ke-2, hanya berada di bawah Kab. Indramayu. Data penempatan yang dikeluarkan oleh BP2MI menunjukkan bahwa meskipun angka penempatan dari tahun ke tahun cenderung menurun, angka penempatan PMI asal Kab. Lombok Timur masih tergolong tinggi dibandingkan dengan daerahdaerah lain, termasuk jika dibandingkan dengan angka penempatan dari Kab. Banyuwangi dan Kab. Karawang yang telah tercantum di bagian sebelumnya. Tabel 2.18 Jumlah Penempatan PMI asal Kab. Lombok Timur Tahun 2017-2020 No. Wilayah

2017

2018

2019

2020

1

Indonesia

262.899

283.640

276.553

113.173

2

Provinsi NTB

34.994

32.557

30.706

8.261

3

Kab. Lombok Timur

15.232

12.832

12.284

3.019

Sumber: Data Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI 1 Jumlah alokasi pendanaan dari tujuh program prioritas di bidang ketenagakerjaan.

29


Angka penempatan PMI yang selalu tinggi setiap tahunnya didorong oleh berbagai faktor yang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah kantong PMI lainnya, seperti faktor indikasi kemiskinan, tingkat upah yang rendah, kesempatan kerja yang minim di dalam negeri, tingkat pendidikan yang rendah, dll. Berdasarkan profil demografi yang telah dituliskan di bagian sebelumnya, Kab. Lombok Timur memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah, bahkan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, termasuk Kab. Banyuwangi dan Kab. Karawang. Ketimpangan gender yang juga tercermin dalam beberapa data, misalnya tingkat pendidikan tentunya berpengaruh terhadap lazimnya penempatan perempuan PMI asal Kab. Lombok Timur yang mengisi sektorsektor informal di luar negeri. SBMI Lombok Timur mencatat bahwa negara tujuan utama PMI asal Kab. Lombok Timur adalah Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi. Sedangkan berdasarkan sektor pekerjaan, umumnya PMI asal Kab. Lombok Timur bekerja sebagai PRT, pekerja ladang/perkebunan, dan pekerja konstruksi bangunan. Sebagai daerah kantong PMI, Kab. Lombok Timur dirundung berbagai permasalahan. Permasalahan utama yang sering terjadi kepada PMI asal Kab. Lombok Timur adalah kasus PMI meninggal di luar negeri hingga penyiksaan oleh majikan. Selain itu, Kab. Lombok Timur menghadapi permasalahan yang cukup kompleks mengenai perdagangan manusia dan praktik penempatan PMI non prosedural oleh perusahaan-perusahaan perekrut yang melakukan pemalsuan identitas PMI. Untuk rentang waktu Januari hingga November 2020, terdapat 600 PMI non prosedural asal Kab. Lombok Timur dideportasi dari Malaysia. Melalui data yang dirilis oleh BP2MI, tercatat setidaknya 322 pengaduan kasus oleh PMI asal Kab. Lombok Timur pada tahun 2017-2020.

Berikut merupakan beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemkab Lombok Timur sebagai daerah kantong PMI dengan segala kompleksitas permasalahan yang mengikutinya. •

30

Perda yang berlaku masih belum direvisi. Kab. Lombok Timur memiliki Perda No. 12 Tahun 2006 tentang Penempatan, Perlindungan, dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia asal Kab. Lombok Timur. Perda tersebut masih merujuk UU No. 39 Tahun 2004 dan bukan UU No. 18 Tahun 2017. Perda lama ini tentu berimplikasi terhadap berbagai hal, bahkan nomenklatur yang dipakai masih “Tenaga Kerja Indonesia” dan bukan “Pekerja Migran Indonesia.” Dalam aspek perlindungan PMI, tentu perda lama juga tidak memiliki potensi yang prospektif dalam menghadapi berbagai permasalahan migrasi ketenagakerjaan di Kab. Lombok Timur. SBMI Lombok Timur sempat


meminta agar perda tersebut dapat direvisi untuk menyesuaikan dengan UU No. 18 Tahun 2017 dikarenakan perda yang ada tidak dapat menjalankan amanah UU No. 18 Tahun 2017, terutama dalam kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab Pemda dan pemerintah desa terkait perlindungan PMI. Desmigratif. Desa Lenek Laut dan Desa Korleko merupakan desa yang menjadi sasaran program Desmigratif di Kab. Lombok Timur. Program ini bukan hanya ditujukan untuk memberdayakan purna PMI dan keluarganya, tetapi juga berusaha untuk mengurangi angka penempatan nonprosedural yang telah menjadi permasalahan pelik di Kab. Lombok Timur sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Catatan SBMI tentang program desmigratif: Meskipun memiliki tujuan spesifik, SBMI Lombok Timur mencatat bahwa desmigratif tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Desmigratif bahkan dikatakan tidak memiliki data penduduk desanya yang pergi bekerja ke luar negeri, sehingga menjadi paradoks bagi desmigratif yang bertujuan untuk merapikan pendataan dan menekan angka penempatan PMI nonprosedural. Pemerintah daerah berinisiatif menetapkan kebijakan lewat menerbitkan peraturan bupati. Pada awal tahun 2018, Kab. Lombok Timur meresmikan layanan terpadu satu pintu dan perlindungan TKI (LTSP-P2TKI) di Kecamatan Selong. Penyelenggaraan LTSP-P2TKI diatur dalam Perbup Kab. Lombok Timur No. 14 Tahun 2017 tentang Pembentukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Kab. Lombok Timur yang kemudian mengalami perubahan melalui Perbup Kab. Lombok Timur No. 44 Tahun 2018. Evaluasi Kemnaker terhadap layanan satu pintu untuk pekerja migran. Berdasarkan evaluasi oleh Kemnaker RI, LTSP-P2TKI Lombok Timur termasuk ke dalam kategori optimal karena beberapa hal, salah satunya kemampuan LTSP-P2TKI dalam menerbitkan paspor dan angka penempatan yang berada di atas 1.000 PMI per tahun. Menurut data BP2MI, LTSP-P2TKI Lombok Timur telah memfasilitasi penempatan kepada 4.529 PMI pada tahun 2018 dan 5.837 PMI pada tahun 2019.

31


Bab

3 Temuan penelitian

P

ada dasarnya survei ini hendak menyingkap bagaimana kondisi aktual LTSA sejauh ini dengan maksud agar kita dapat mengetahui perkembangan atau kemajuan dan situasi-situasi yang dihadapi para pihak sejauh terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia dari para pekerja migran. Adanya perkembangan baik dari pembentukan LTSA diharapkan memperkuat pelayanan dan pemenuhan hak pekerja migran. Sementara dari pengetahuan kita tentang kemunduran, kemandegan, hambatan atau situasi kurang mendukung LTSA diharapkan dapat mendorong untuk memacu perbaikan. Namun, sebelum menjelaskan temuan-temuan yang didapat dari survei ini, kami ketengahkan terlebih dahulu catatan singkat tentang sejarah pembentukan LTSA. Catatan ini akan menjadi pembanding yang kiranya akan membantu pembaca untuk memahami hasil survei ini. Sebagaimana telah diketahui, UU No. 18 Tahun 2017 menetapkan mandat pelindungan yang lebih terperinci dibandingkan dengan perundangan sebelumnya. Dengan penekanan pada tata kelola migrasi yang berbasis daerah, untuk meningkatkan layanan migrasi yang aman dan mengurangi kasus yang dialami PMI, UU No. 18 Tahun 2017 menggariskan beberapa tugas dan peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, salah satunya dengan membuat layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Dalam konfigurasi tata kelola migrasi berbasis daerah, LTSA merupakan salah satu pengejawantahan pelindungan. Selain LTSA juga ada bentuk-bentuk pelindungan lainnya, misalnya yang diselenggarakan oleh desa sebagai pemerintahan terkecil dan lebih memiliki akses untuk menjangkau PMI. Salah satu dasar bagi keberadaan LTSA di antaranya adalah adanya identifikasi bahwasanya masalah PMI terbesar adalah ketika di dalam negeri/sebelum berangkat, misalnya pemalsuan dokumen, informasi kerja yang tidak sesuai, minimnya penyiapan pendidikan dan pelatihan termasuk pendidikan hak PMI berkontribusi pada kasus yang dialami PMI di luar negeri. Untuk mengantisipasi permasalahan Pasal 38 dan Pasal 40-41 UU No. 18 Tahun 2017 memandatkan pentingnya dibentuk LTSA di tingkat kabupaten dan/atau Provinsi.

32


Dilihat dari sejarah adanya LTSA, pengaturan mengenai layanan terpadu satu pintu sudah dituliskan didalam Permenaker No 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksana Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri pasal 10 dan pasal 51. Pada pasal 10 dijelaskan mengenai layanan rekrut penempatan dan perlindungan pekerja migran dilakukan oleh dinas provinsi melalui layanan terpadu satu pintu yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi tenaga kerja luar negeri. Sedangkan pasal 51 menjelaskan mengenai mekanisme layanan data dan informasi migrasi kerja dilakukan secara terpadu dengan menggunakan sistem online. Sayangnya dalam Permen tersebut, tidak dijelaskan dalam penjelasan pasal 10 mengenai mekanisme dinas provinsi dalam melakukan layanan terpadu satu pintu tersebut. Satu tahun kemudian, pada 2015, Kemnaker melalui Permenaker No 30 tahun 2015 membuat Pedoman Pembentukan dan Penyelenggaraan Layanan Terpadu Satu Atap Tenaga Kerja Indonesia. Dalam peraturan tersebut, diatur mengenai layanan berbasis satu atap yang dipergunakan tidak hanya untuk pekerja migran Indonesia tetapi juga pekerja dalam negeri/lokal. Hal ini terlihat dari definisi PTSA, pelaksana layanan, bidang kerja dan jenis layanan yang diberikan. Menurut definisi, PTSA dalam Permenaker ini mengatur mengenai pelayanan yang dilaksanakan di satu tempat dengan memadukan beberapa jenis pelayanan dan atau beberapa satuan kerja penyelenggara secara bersama dari tahap permohonan sampai dengan penyelesaian produk pelayanan. Pelaksana dari kegiatan ini disebut UPT (Unit Pelayanan Teknis) yang merupakan organisasi yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional tertentu/penunjang Kementerian Ketenagakerjaan (pasal 1 Permenaker No 30/2015). PTSA sendiri meliputi 6 bidang dengan jenis layanan yang mengikuti bidang-bidang ini yakni: a) bidang pelatihan dan produktivitas, b) bidang penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, c) bidang hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja, d) bidang pengawasan ketenagakerjaan dan keselamatan dan kesehatan kerja, e) bidang perencanaan dan pengembangan ketenagakerjaan dan f) kesekretariatan (pasal 4 ayat 1). Pada 2016 berdasarkan laman BP2MI, BNP2TKI (nama pada saat itu) telah membuat peraturan mengenai layanan terpadu dengan konsep Layanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), melalui Perka Badan No 54 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Nusa Tenggara Barat. Dalam Perka tersebut diatur mengenai (a) lokasi enam PTSP di wilayah Provinsi NTB; (b) unsur yang melakukan pelayanan terpadu satu pintu yakni instansi pemerintah pusat dan daerah di bidang administrasi kependudukan,

33


ketenagakerjaan, kesehatan, kepolisian dan imigrasi; (c) pendanaan dalam penyelenggaraan PTSP yang dibebankan kepada ABPN Kementerian/instansi terkait dan ABPD. Selain membuat aturan PTSP di Nusa Tenggara Barat, BP2MI juga membuat dua peraturan kepala badan yang lain yakni Perka BNP2TKI No 55 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI di Kalimantan Barat dan Perka BNP2TKI No 56 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI di Kepulauan Riau. Di dalam kedua peraturan itu juga disebutkan mengenai kedudukan, tugas, fungsi dan keanggotaan dari PTSP akan diatur dalam aturan perka badan yang lain. Pada 2017 dengan diundangkannya UU PPMI, istilah “satu pintu” kini sudah tidak ada lagi. Pasal 38 dalam UU PPMI menetapkan kebijakan pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Dalam pasal tersebut, ada tiga tujuan pembentukan LTSA yakni untuk (1) mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan perlindungan PMI; (2) efisiensi dan transparansi pengurusan dokumen (C)PMI; dan (3) mempercepat peningkatan kualitas pelayanan PMI. Sedangkan untuk pelaksana dari LTSA berdasarkan UU PPMI dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pasal 40) dan Pemerintah kabupaten/kota (Pasal 41) UU PPMI. Dalam implementasinya, menurut data dari BP2MI, suatu jenis layanan terpadu telah dibuat sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Pemprov NTB mendirikan Balai Pelayanan yang bekerja secara terpadu antar-instansi melalui kebijakan Perka BNP2KI No 333 Thn 2008. Sasaran dalam pembuatan balai ini untuk membentuk sistem pelayanan terpadu satu pintu untuk memproses dokumen pekerja migran sehingga dapat mempermudah pemberangkatan ke negara tujuan dan pemulangan ke daerah asal. Lokasi pendirian balai pelayanan terpadu ini berada di 13 lokasi debarkasi dan embarkasi. Pelaksana balai ini dalam bentuk UPT (Unit Pelayanan Teknis) dengan nama BP3TKI dan P4TKI dan bertanggungjawab kepada kepala BP2TKI. Sedangkan LTSA sendiri (pada saat itu masih dalam masa transisi PTSP ke LTSA) dibangun sejak tahun 2016 hingga sekarang. Kesimpulan yang ditarik dari pergeseran layanan terpadu “satu pintu” yang diinisiasikan oleh BP2MI kepada layanan terpadu ke “satu atap” adalah memberikan ruang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melindungi PMI sebelum berangkat melalui penyediaan perlindungan di LTSA. Selain itu juga untuk mempermudah koordinasi antar-dinas di tingkat daerah dalam memberikan perlindungan PMI. Oleh karenanya, untuk memperkuat fungsi perlindungan PMI oleh pemerintah daerah, di dalam UU PPMI dimandatkan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten untuk menyelenggarakan

34


layanan LTSA. Perkembangan terakhir, dari data Kemnaker, telah terbangun LTSA di 45 Provinsi dan Kabupaten/kota. Yang mana kedepan diharapkan seluruh LTSA dapat melayani 8 desk yakni : 1. Desk Ketenagakerjaan meliputi : informasi pasar kerja dalam dan luar negeri, pengurusan kartu AK/I atau kartu kuning, rekomendasi pembuatan paspor. 2. Desk Dukcapil: pengurusan e-KTP, pengurusan surat keterangan pindah ke luar negeri. 3. Desk Imigrasi: pengurusan paspor. 4. Desk Dinas Kesehatan: rekomendasi pemeriksaan kesehatan, surat keterangan sehat. 5. Desk Kepolisian: pengurusan SKCK. 6. Desk BPJS Ketenagakerjaan: pengurusan asuransi sebelum, selama dan setelah bekerja. 7. Desk Perlindungan dan pengaduan. 8. Desk Perbankan.

3.1. Temuan kuantitatif Temuan kuantitatif ini menyingkap karakter utama dari migrasi kerja dari Indonesia selama ini. Setidaknya tersingkap di sini: (1) sebaran negara-negara tujuan, (2) pola dominasi gender dari para pekerja migran dan implikasinya pada jenis pekerjaan, serta (3) siapakah pemeran utama dari pemberangkatan kerja para pekerja migran itu ke luar negeri. 3.1.1 Profil responden survei • Mayoritas PMI bekerja di negara Asia-Pasifik Senada dengan data BP2MI selama periode 2010-2019, negara terbanyak menjadi negara tujuan bekerja PMI adalah Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Arab Saudi dan sisanya tersebar di berbagai negara baik itu di Asia Pasifik maupun Timur Tengah. Tingginya jumlah PMI yang bekerja di negara Asia Pasifik dikarenakan beberapa hal : 1) adanya kebutuhan pekerjaan yang lebih banyak di kawasan Asia Pasifik bila dibandingkan dengan negara Timur Tengah. Khususnya di Malaysia – terdapat sejarah panjang migrasi kerja Indonesia-Malaysia; 2) pengaruh faktor kebijakan penghentian dan pelarangan penempatan pekerja migran melalui Permenaker No 260 Tahun 2015 pada pengguna perseorangan di Kawasan Timur Tengah. Meskipun kebijakan bukan menjadi faktor penentu, namun data pemerintah memperlihatkan bahwa terjadi penurunan penempatan yang cukup signifikan ke negara-negara di Timur Tengah, sementara penempatan di negara-negara Asia Pasifik meningkat.

35


Tabel 3.1 Negara tujuan penempatan responden Negara

Jumlah Responden

Prosentase

Malaysia

72

34,9

Taiwan

57

27,3

Hongkong

38

18,2

Singapura

27

12,4

Arab Saudi

9

4,3

Korea Selatan

5

2,4

Tidak menjawab

1

5

209

100

Total

100 Manufaktur/Pabrik Pekerja Rumah Tangga

80

Caregiver Perkebunan/Ladang

60 Count

Konstruksi Jasa ABK/Perkapalan

40

Lainnya

20

0

Perempuan

Laki-laki Jenis Kelamin

Belum adanya mekanisme penempatan selain berdasarkan skema P-to-P, terutama bagi PMI informal, berkontribusi signifikan terhadap jumlah kasus yang ada. Berdasarkan berbagai hasil kajian dan data pengaduan yang direkam oleh serikat/organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap isu PMI, ditemukan

36


bahwasanya kasus yang menimpa perempuan PMI lebih banyak terjadi justru ketika mereka ditempatkan oleh P3MI. Berbagai serikat/aktor masyarakat sipil semakin menyerukan agar PMI informal memiliki pilihan mekanisme penempatan lainnya sesuai kebutuhan yang ada. Tentunya mekanisme penempatan lainnya ini harus dirancang sesuai norma HAM dan dipastikan responsif gender agar ketika PMI memilih jalur non-P3MI, mereka tetap terdata dan terlindungi oleh pemerintah. Beberapa praktik baik dapat dilihat dari Filipina, yang membuka jalur penempatan yang tidak melalui perusahaan swasta/agensi. Meski tidak melalui perusahaan, pemerintah Filipina memastikan dengan prosedur dan mekanisme direct hiring yang berjalan diawasi dengan saksama (POEA 2018). • Mayoritas PMI responden adalah perempuan yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga Sama halnya dengan data pemerintah (BP2MI), mayoritas responden yang mengisi survei ini adalah perempuan. Hal ini membuktikan terjadinya feminisasi migrasi sebagaimana disebutkan berbagai literatur internasional dan nasional bahwa jenis pekerjaan yang dominan tersedia adalah kerja-kerja di sektor domestik dan informal yang rentan; ditandai dengan karakteristik 3D (dirty, dangerous, difficult) serta minimnya sarana dan prasarana migrasi kerja yang memastikan adanya migrasi aman dengan perspektif hak asasi manusia dan gender. Dari perspektif gender, feminisasi migrasi yang berlangsung dalam konteks budaya patriarkis belum tentu mengemansipasi perempuan pekerja karena mereka umumnya diposisikan sebagai tulang punggung keluarga untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. • Mayoritas pemberangkatan PMI ke luar negeri difasilitasi oleh swasta yakni P3MI/PPTKIS, meskipun 22% PMI memilih bekerja secara mandiri. Penempatan PMI untuk sektor informal hingga saat ini dilakukan oleh pihak swasta (P-to-P) menurut UU baik itu UU No. 39 Tahun 2004 maupun UU No. 18 Tahun 2017 Meski dilakukan oleh pihak swasta, terdapat perbedaan peran yang cukup besar antara UU No. 18 Tahun 2017 dengan perundangan sebelumnya. Dalam UU No. 18 Tahun 2017, peran swasta/P3MI hanya 3 yakni mencari peluang kerja, menempatkan PMI dan menyelesaikan masalah. Ini berbeda dengan peran perusahaan di dalam UU sebelumnya, di mana mereka diberikan porsi keterlibatan yang lebih besar, mulai pemberian informasi, pengurusan dokumen, pendidikan/ pelatihan hingga keberangkatan. Peran mereka masih tetap besar saat ini karena UU No. 18 Tahun 2017 belum bisa dijalankan tanpa aturan turunan yang lebih jelas. Akibatnya, tidak terjadi pengurangan kasus secara signifikan, baik dari segi jumlah

37


Bagan 3.2. Pihak yang memberangkatkan PMI Tekong/Calo

9%

Mandiri

22%

Pemerintah

1%

P3MI

68%

maupun tingkat keparahannya. Belum adanya mekanisme penempatan selain berdasarkan skema P-to-P, terutama bagi PMI informal, berkontribusi signifikan terhadap jumlah kasus yang ada. Berdasarkan berbagai hasil kajian dan data pengaduan yang direkam oleh serikat/organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap isu PMI, ditemukan bahwasanya kasus yang menimpa perempuan PMI lebih banyak terjadi justru ketika mereka ditempatkan oleh P3MI. Berbagai serikat/aktor masyarakat sipil semakin menyerukan agar PMI informal memiliki pilihan mekanisme penempatan lainnya sesuai kebutuhan yang ada. Tentunya mekanisme penempatan lainnya ini harus dirancang sesuai norma hak asasi manusia dan dipastikan responsif gender agar ketika PMI memilih jalur non-P3MI, mereka tetap terdata dan terlindungi oleh pemerintah. Beberapa praktik baik dapat dilihat dari Filipina, yang membuka jalur penempatan yang tidak melalui perusahaan swasta/agensi. Meski tidak melalui perusahaan, pemerintah Filipina memastikan dengan prosedur dan mekanisme direct hiring yang berjalan diawasi dengan saksama (POEA 2018).

38


Tabel 3.2 Jenis pekerjaan responden dan tingkat pengetahuan akan LTSA Jenis pekerjaan

Sebelum 2015

2015 – 2017

2018 – Feb. 2020

Maret 2020 – Feb. 2021

Tidak tahu karena belum berangkat

Pekerja Rumah Tangga (PRT)

44

13

28

6

9

Manufaktur/pabrik

6

9

4

2

0

Konstruksi

7

4

4

1

0

Jasa

7

2

7

0

1

Perkebunan/Ladang

2

3

2

0

0

Caregiver

12

14

10

1

4

ABK/perkapalan

1

0

0

0

1

Lainnya

0

3

2

0

0

Total

79

48

57

10

15

Ditilik dari jenis pekerjaan, mayoritas PMI yang mengisi survei merupakan pekerja rumah tangga, dan kebanyakan bekerja di luar negeri sejak sebelum tahun 2015. Untuk kurun pasca-terbitnya UU No. 18 Tahun 2017, survei ini menjaring lebih banyak responden PMI yang menjalani penempatan sebelum pandemi COVID-19 (Maret 2020 – Februari 2021). Untuk responden yang belum berangkat, mereka belum bisa mengisi data jenis pekerjaan dan kapan akan diberangkatkan. Minimnya jumlah PMI yang berangkat ke luar negeri di masa COVID-19 dikarenakan oleh: 1) Kebijakan dari negara/tujuan penempatan yang melarang adanya warga asing masuk ke wilayahnya baik untuk bekerja, sebagai turis maupun untuk menetap. Hal ini misalnya diberlakukan oleh Malaysia; 2) Adanya pelarangan bekerja keluar negeri pada masa COVID-19, melalui Kepmen No 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan PMI, meskipun dalam Kepmen masih dibuka peluang bekerja keluar negeri bila visa, tiket telah ada dan negara tujuan membuka bagi warga asing untuk masuk dan adanya jaminan negara tujuan terhadap PMI yang ingin bekerja. Namun di bulan Juli 2020, Kemnaker membuka penempatan dengan persyaratan tertentu melalui Kepmen No. 294 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Penempatan PMI pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru. Adapun keputusan Kemnaker membuka kembali penempatan di masa COVID-19 ini menuai berbagai respons, baik itu yang

39


mendukung dengan catatan perlu dikuat terlebih dahulu tata kelola migrasi dan diadakan pengawasan yang lebih baik, maupun yang menolak dengan pertimbangan masih tingginya kasus dan kerentanan yang akan dialami PMI di negara tujuan. 3.1.2 Pemahaman pekerja migran tentang LTSA Pembentukan LTSA di berbagai daerah bagaikan suatu panacea konstitusional yang didorong pelaksanaannya oleh pemerintah untuk menangani berbagai masalah pekerja migran kita. Tetapi benarkah LTSA dapat diibaratkan sebagai suatu “obat mujarab” dari pemerintah untuk masalah pekerja migran? Ataukah LTSA sudah jadi bagaikan “salah obat”? Dari hasil survei ini kiranya dapat kita coba tilik bagaimana implementasi LTSA sejauh ini di mata (calon) PMI. Apakah LTSA setelah beberapa tahun ini sudah menjadi obat mujarab atau setidaknya potensial menjadi obat mujarab untuk tahun-tahun yang akan segera datang? Apakah informasi telah tersosialisasikan dengan baik, dan masyarakat umum, khususnya calon PMI mengetahui tentang adanya LTSA? Dari mana mereka mendapatkan informasi tentang LTSA? Jika telah mengetahui tentang LTSA, apakah mereka kemudian mengakses layanan tersebut? Apa respons PMI setelah mengaksesnya? Apakah layanan yang ada berlandaskan pelayanan publik, berperspektif hak asasi manusia dan responsif gender? Berikut temuan berdasarkan hasil survei JBM kepada 209 responden PMI, baik yang belum berangkat, sedang di negara/tujuan penempatan maupun purna. Tabel 3.3 Respons mengenai LTSA vs Jenis Kelamin Respons mengenai informasi keberadaan LTSA

Tidak tahu tentang LTSA

Tahu mengenai LTSA

Perempuan

121

35

Laki-laki

45

8

Total

166

43

• Informasi/sosialisasi LTSA sangat terbatas Meskipun LTSA sudah dibangun di 45 provinsi dan kabupaten kantong PMI, hasil survei mengindikasikan bahwa informasi/sosialisasi mengenai LTSA sangat terbatas. Dari 209 responden, hanya 43 orang (20,6%) mengetahui tentang LTSA, sedangkan 166 orang (79,4%) calon PMI/PMI tidak mengetahui adanya LTSA. Bila dilihat dari negara tujuan bekerja, dengan pengecualian Hong Kong, jumlah PMI yang tidak mengetahui lebih besar daripada PMI yang mengetahui.

40


Tabel 3.4 Tingkat pengetahuan PMI responden tentang LTSA 35

31

30

25

25 20 15 10 5

10

10 3

4

9

2

2

0

2

2

0

0

0 Singapura Malaysia

Taiwan

Hong Kong

Belum mengetahui

Korea Arab Saudi Selatan

Belum tahu

Sudah mengetahui

• Mayoritas responden mendapatkan informasi mengenai LTSA dari P3MI Dari 43 responden (calon) PMI yang mengetahui tentang LTSA, kami melakukan wawancara lebih mendalam kepada 21 responden mengenai pihak yang memberikan informasi, mayoritas (42,9%) mendapatkan informasi dari P3MI. Sisanya baru dari serikat atau komunitas PMI, teman PMI dan dari internet/media massa. Peran pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam memberikan informasi belum secara maksimal dilakukan sehingga informasi mengenai LTSA justru didapat dari P3MI. Selain P3MI, pihak yang memberikan informasi kepada PMI adalah serikat/ komunitas PMI dan organisasi PMI. Peran media massa juga sangat penting untuk menyebarkan informasi mengenai migrasi aman, karena tidak sedikit PMI yang mengetahui tentang LTSA lewat media massa. Tabel 3.5 Sumber informasi mengenai LTSA Pemberi informasi

Prosentase

Petugas P3MI

42,9

Serikat/komunitas PMI

23,8

Sesama PMI

14,3

Media massa

14,3

Lainnya

4,8

41


• Masih rendahnya akses pekerja migran Indonesia terhadap LTSA Meskipun PMI mengetahui adanya LTSA, namun hanya 6% yang mengakses LTSA. Ada berbagai alasan mengapa PMI tidak mengakses LTSA. Mayoritas mengatakan (1) LTSA belum ada di wilayah PMI ketika bekerja keluar negeri; (2) tidak pernah mendapatkan informasi mengenai alur, cara dan syarakat pengurusan dokumen di LTSA; (3) khawatir dikenai biaya berlebihan; (4) LTSA terlalu jauh dan sisanya tidak mendapatkan sosialisasi mengenai fungsi dan manfaat LTSA dan khawatir tidak mendapatkan pelayanan yang mudah, cepat, aman dan nyaman. Hal-hal di atas harus segera diantisipasi oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, jika ingin implementasi UU No. 18 Tahun 2017 berjalan maksimal. Grafik 3.3 Akses PMI terhadap LTSA Sudah pernah

6%

Belum pernah

94%

• Pihak yang mendampingi PMI mengakses LTSA Dalam mengakses LTSA, sebanyak 69,2% PMI mengakses dengan didampingi oleh petugas P3MI. Sedangkan 30,8% PMI mengakses sendiri LTSA. Sama halnya dengan informasi mengenai LTSA, hingga saat ini P3MI/calo/tekong justru yang menjadi pemberi informasi dan membantu layanan PMI di LTSA. Dalam konteks pendekatan berbasis HAM (right based approach), salah satu tanggung jawab pemerintah yakni memenuhi hak-hak warganegaranya yang mana dalam konteks pelayanan publik di LTSA, pemerintah baik itu pemerintah pusat dan daerah, memenuhi tanggungjawabnya di LTSA dengan memastikan PMI dapat mengakses layanan pra keberangkatan PMI secara mandiri dengan memperhatikan prinsipprinsip yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Kemudahan dan keterjangkauan ini 42


dapat diartikan bahwa tempat/lokasi sarana pelayanan memadai dan mudah terjangkau oleh masyarat dengan menggunakan berbagai metode misalnya memanfaatkan metode daring dan luring. • Akses LTSA berdasarkan jenis pekerjaan responden Mayoritas responden yang pernah mengakses LTSA bekerja di sektor rumah tangga, disusul oleh caregiver dan penyedia jasa. Kebanyakan dari mereka diberangkatkan oleh P3MI, dengan tujuan terbanyak Hong Kong (69,2%), disusul Malaysia (15,4%) dan Taiwan (15,4%). Pekerja di sektor rentan lainnya seperti perkebunan, konstruksi dan sektor lainnya, rata-rata tidak pernah mengakses LTSA. Padahal sektor tersebut juga tidak kalah rawannya dibandingkan sektor rumah tangga. Grafik 3.4 Akses LTSA berdasarkan negara/tujuan bekerja 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Malaysia

Taiwan

Hong Kong Singapura Malaysia

Korea Arab Saudi Selatan

Belum tahu

• Respons pekerja migran Indonesia yang pernah mengakses LTSA Respons pekerja migran Indonesia yang pernah mengakses LTSA sangat bervariatif, di antaranya dilihat dari beberapa hal berikut ini. • Jarak/waktu tempuh. Data survei menunjukkan bahwa sebanyak 46,2% responden mengatakan jarak LTSA dengan tempat tinggalnya kurang dari 1 jam. Sedangkan, 30,8% mengatakan bahwa jarak LTSA dengan tempat tinggalnya lebih dari 2 jam dan sisanya sebanyak 23% mengatakan jarak LTSA

43


dengan tempat tinggalnya antara 1 sampai 2 jam. Meski lebih banyak PMI mengatakan secara jarak kurang dari 1 jam, namun, bagi PMI yang tinggal di daerah dengan minimnya kemacetan (tidak seperti di kota besar), secara kilometer, jarak yang ditempuh relatif jauh. Berdasarkan keterangan dari purna PMI, meski jarak LTSA kurang dari satu jam, dengan terbatasnya kendaraan yang dapat dijangkau publik, keberadaan LTSA masih belum dapat diartikan menjangkau PMI. Selain itu terdapat beberapa faktor lainnya seperti tidak ada kejelasan manfaat yang didapat bila mengakses melewati LTSA, sehingga peran calo/sponsor yang masih sangat dominan dalam pengurusan proses prakeberangkatan. Hak untuk memeriksa dokumen kerja selama mengurus di LTSA. Mayoritas PMI yang mengurus dokumennya di LTSA mendapatkan informasi dan diberikan kesempatan untuk memeriksakan dokumennya (92,3%). Sedangkan sisanya sebanyak 7% tidak mengetahui secara pasti apakah mendapat informasi dan diberi kesempatan untuk memeriksa dokumen persyaratan kerja. Selain itu bagi PMI yang mengurus beberapa layanan di LTSA juga merasa tidak merasa terdiskriminasi (84,6%) sedangkan sisanya tidak tahu (7,7%) dan merasa terdiskriminasi (7,7%). Kepuasan pelayanan di LTSA. Mayoritas PMI yang pernah mengakses LTSA mengatakan puas dengan pelayanan di LTSA (53,8%). Sisanya tersebar pada penilaian baik (23,1%), biasa saja (15,4%) dan buruk (7,7%). Namun ketika dikonfirmasi lebih lanjut, rata-rata PMI yang mengurus persyaratan kerja di LTSA tidak melalui semua desk yang ada. Dari 13 responden yang mengurus di LTSA dan menjawab pertanyaan lebih dari satu jawaban mengatakan bahwa sebagian besar datang ke LTSA untuk pembuatan ID/rekom ID, beberapa selain membuat ID juga melakukan pembuatan/perpanjangan paspor dan hanya dua yang mengikuti layanan OPP di LTSA dan layanan BPJS ketenagakerjaan.

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai perubahan apa yang terjadi dari sebelum LTSA dan adanya LTSA, rata-rata mengatakan tidak tahu, tidak ada, bahkan ada yang mengatakan lebih rumit tetapi lebih mudah. Ketidaktahuan PMI ini mungkin disebabkan karena: 1) Ketika mengurus persyaratan kerja sebelum adanya LTSA, PMI menggunakan calo/sponsor/petugas P3MI. Ketika ada LTSA pun, PMI juga mayoritas yang mengakses didampingi oleh petugas P3MI/calo/sponsor. Sehingga PMI tidak merasakan atau tidak tahu perbedaan; 2) Minimnya sosialiasi yang masif mengenai apa manfaat pengurusan persyaratan kerja bila melalui LTSA. Apa saja

44


keuntungan bagi PMI, misalnya bila salah satu persyaratan dokumen kerja hilang, PMI/keluarga PMI dapat meminta salinan dokumen di LTSA atau PMI mendapatkan informasi mengenai bantuan hukum atau informasi lebih detail mengenai jenis pekerjaan, kondisi hukum, sosial budaya negara tujuan, dan lain-lain. Grafik 3.5 Dampak LTSA terhadap proses pengurusan persyaratan kerja Ya, lebih mudah

9%

Ya, lebih rumit

18%

Tidak tahu

36%

Tidak ada

37%

• Harapan responden survei mengenai LTSA terkait pelindungan ke depan. Pertama, 13 responden yang menjawab lebih dari satu jawaban dan yang pernah mengurus di LTSA mengatakan sangat penting adanya informasi mengenai alur pengurusan persyaratan kerja di LTSA, lokasi LTSA lebih terjangkau, informasi mengenai kegunaan dan manfaat adanya LTSA, serta perlu adanya layanan pengaduan/penanganan kasus (7,6%) dan sikap petugas LTSA. Pada kesempatan berbeda JBM pernah melakukan FGD dengan para pegiat PMI di Banyumas, Jawa Tengah, yang juga pernah mendampingi CPMI mengurus dokumen di LTSA. Mereka mengeluhkan lokasi LTSA yang cukup jauh untuk diakses. Para pegiat merekomendasikan adanya LTSA mobile/keliling misalnya di kecamatan untuk mendekatkan akses dan memberikan informasi lebih lengkap mengenai LTSA. Kedua, terdapat 196 responden yang menjawab lebih dari satu jawaban dan belum pernah mengurus di LTSA dan masih berada di luar negeri/purna PMI yang belum ingin bekerja kembali. Mereka berharap ke depannya, layanan di LTSA dapat ditingkatkan, khususnya terkait: (1) transparansi informasi mengenai pembiayaan, baik itu biaya penempatan keseluruhan, maupun komponen biaya yang ditanggung CPMI; (2) pengurusan persyaratan migrasi kerja yang lebih terpusat; PMI menyadari

45


pentingnya pengurusan terpusat di satu tempat dengan kehadiran seluruh instansi (LTSA); (3) adanya loket pengaduan kasus, sehingga PMI/keluarga dapat mengadu ke LTSA; (4) sosialisasi keberadaan LTSA oleh Pemda—lokasi LTSA yang jauh dari kantong asal para PMI menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak tahu tentang LTSA, tidak memahami manfaatnya dan tidak tahu bagaimana mengaksesnya. Terakhir PMI juga meminta agar dapat mengurus persyaratan kerja secara mandiri/ individual di LTSA dan adanya transparansi job order.

3.2. Temuan kualitatif Dalam bagian ini, kami menyarikan data primer yang menjadi temuan kualitatif penelitian ini, dimulai dengan potret layanan terpadu di tiga LTSA, penggunaan LTSA di kalangan PMI, yang kemudian dilanjutkan dengan paparan temuan-temuan menarik yang diperoleh dari komponen penelitian kualitatif. 3.2.1 Potret LTSA di tiga wilayah • Banyuwangi Di Banyuwangi, LTSA telah hadir sejak tahun 2018, dan diintegrasikan ke dalam Mal Pelayanan Publik. Dasar hukum untuk hadirnya mal pelayananan publik ini adalah Permenpan No. 23 tentang Penyelenggaraan Mal Publik dan juga Peraturan Bupati No. 59 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Mal Publik di Banyuwangi. Dalam penyelenggaraannya, MPP Banyuwangi masih melakukan pelayanan secara luring, dan belum bisa daring, meski dalam situasi pandemi saat ini sekali pun. Jumlah PMI yang mengakses layanan belum banyak, dengan rerata yang mereka laporkan sejumlah 2-5 orang per hari kerja. Pihak LTSA Banyuwangi menyatakan bahwa secara rutin Disnaker setempat telah

Gambar 1.1 Loket LTSA di dalam Mal Pelayanan Publik Kab. Banyuwangi Peneliti lokal, Miftahul Jannah (kiri) dan Agung Subastian (kanan) sehabis melakukan wawancara dengan petugas LTSA Banyuwangi (tengah)

46


mengadakan rapat koordinasi internal. Dari keterangan yang kami dapatkan dari pihak LTSA Banyuwangi, terdapat beberapa evaluasi kritis yang mereka sampaikan, antara lain: (1) Belum dapat berjalannya Sisnaker; (2) Belum optimalnya fungsi sarana kesehatan, di mana pihak LTSA Banyuwangi kemudian menyatakan bahwa sejauh ini PMI masih memilih untuk menjalani pemeriksaan medis di sarana kesehatan di luar LTSA; (3) Layanan Imigrasi belum hadir di LTSA Banyuwangi, dan PMI harus melalui proses layanan paspor di Jember; (4) Sebagaimana terjadi juga di LTSA yang lain, di LTSA yang tergabung dalam MPP Banyuwangi belum ada loket untuk pengaduan. Terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut dalam pernyataan-pernyataan yang terlontar saat proses wawancara. Yang pertama, terkait dengan status LTSA yang terintegrasi dalam MPP. Sebagian dari perangkat yang bertugas di LTSA Banyuwangi menyayangkan keadaan di mana LTSA sebagai layanan yang terspesialisasi masih berada di satu lokasi dengan mal pelayanan publik. Diskusi mengenai tepat/tidaknya integrasi LTSA ke dalam MPP, yang merupakan sesuatu yang didukung oleh Kementerian Dalam Negeri, akan kami elaborasi dalam subbab selanjutnya. Observasi kedua, yang juga perlu untuk dianalisis lebih lanjut adalah alur proses di LTSA Banyuwangi, sebagaimana yang dipaparkan sebagai berikut oleh salah satu perangkat di LTSA yang diwawancarai oleh tim peneliti, “Alurnya, buruh migran yang datang di LTSA, yaitu CPMI melihat PT yang recommended yang punya ijin untuk merekrut CPMI yang telah dikeluarkan oleh Kemenaker. Website-nya ada. Petugas yang beroperasi di Banyuwangi namanya PL yang membawa surat tugas resmi dan mencari secara door-to-door yang kemudian diselesaikan dan dibantu mengurus hingga selesai. Alurnya dibantu mulai dari bawah RT/RW hingga sampai masuk di MPP.”

Kutipan pernyataan langsung mengenai alur proses mengindikasikan masih besarnya peran PL (petugas lapangan) sebagai perantara, yang melakukan “layanan” dari pintu ke pintu (membantu alur mulai dari bawah, RT/RW, hingga masuk ke MPP). Besarnya peran mereka, sebagaimana tercermin dalam pernyataan di atas, membuka pertanyaan mengenai apakah kemudian terjadi pergeseran yang nyata dari tata kelola sebelumnya, di mana pekerja migran diposisikan sebagai sebagai obyek. • Karawang Layanan terpadu bagi pekerja migran yang berasal dari kabupaten Karawang beroperasi sejak Bupati Cellica Nurachadiana mengesahkan Peraturan Bupati Karawang No. 69 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu 47


Gambar 1.2 Loket BP2MI di PTSP TKI Kab. Karawang Peneliti lokal, Sakri Chaerudin (kanan) sedang mewawancarai petugas BP2MI (kiri)

Pintu Tenaga Kerja Indonesia (PTSP TKI) pada tanggal 19 Desember 2016. Peraturan Bupati ini didasarkan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 30 Tahun 2016 tentang Pedoman Pembentukan dan Penyelenggaraan Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri. Dapat diamati di sini, bahwa pengadaan LTSA di Karawang masih mengikuti konsideran lama, yakni UU No. 39 Tahun 2004. Juga perlu dicatat, bahwa hanya baru-baru ini, Karawang mengesahkan Perda yang mengatur tentang tata kelola migrasi, yang menginduk ke UU No. 18 Tahun 2017. Peluncuran PTSP TKI dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2018 yang dihadiri Bupati Karawang Cellica Nurachadiana, BNP2TKI, Imigrasi, Disdukcatpil, Polres, Bank BJB, Dinas Kesehatan, RSUD dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam penyelenggaraan Peraturan Bupati tersebut dijelaskan pada Bab II tentang Penyelenggaraan PTSP-TKI Pasal 3 meliputi: a. Informasi Pasar Kerja; b. Pengurusan dokumen kependudukan; c. Penerbitan surat pengantar rekrut; d. Penyuluhan dan bimbingan jabatan; e. Surat pemeriksaan psikologi; f. Penerbitan surat keterangan sehat; g. Surat keterangan catatan kepolisian; h. Verifikasi sertifikat pelatihan kerja; i. Verifikasi sertifikat kompetensi kerja; j. Penandatanganan perjanjian penempatan dan perjanjian kerja; k. Asuransi TKI pada masa prakerja, sewaktu bekerja dan purnakerja; l. Rekomendasi paspor; m. Pembuatan paspor; n. Pembekalan akhir pemberangkatan; dan o. Pemberian EKTLN. Pihak PTSP TKI Karawang mencatat bahwa jumlah PMI yang terlayani mencapai 30-40 orang di masa prapandemi. Setelah wabah COVID-19, rerata jumlah PMI yang mengakses LTSA hanya sekitar setengah dari angka sebelumnya. Meski tidak memberikan data secara terperinci, pihak PTSP TKI melaporkan bahwa lebih banyak yang berangkat adalah perempuan pekerja migran, yang kebanyakan menuju Singapura, Hong Kong dan Taiwan. PTSP TKI Karawang juga menyebut bahwa layanan mereka juga diakses oleh PMI yang melakukan penempatan yang tidak dalam skema P-to-P, antara lain ke Jepang.

48


Layanan terpadu yang diberikan oleh PTSP TKI Karawang ditujukan utamanya untuk warga Karawang. Umumnya, PMI asal Karawang yang melakukan pendaftaran penempatan di daerah-daerah lainnya yang lokasinya berdekatan—seperti DKI Jakarta dan Bekasi—tetap menjalani proses rekomendasi di Karawang. Dalam perjalanannya, layanan yang semula lengkap pada saat peluncuran perdana PTSP TKI Karawang, kemudian tak dapat dipertahankan. Ketika survei kualitatif terhadap PTSP TKI Karawang dilaksanakan pada pertengahan Desember 2020, yang terlihat hadir hanya tiga instansi, yakni Disnaker, BP2MI dan Imigrasi. Tercatat bahwa BPJS Ketenagakerjaan, Kepolisian, Disdukcatpil, dan Tenaga Kesehatan tidak berada di PTSP TKI. Menurut salah satu petugas Disnakertrans, instansi-instansi tersebut kantornya berdekatan dengan PTSP TKI. Meski tidak seberapa jauh, hal ini kemudian tetap berdampak dalam pelayanan karena CPMI harus bolak-balik antara PTSP TKI dengan kantor-kantor instansi lainnya. Terdapat beberapa kutipan langsung pernyataan dari pihak PTSP TKI Karawang tentang ketersediaan layanan yang menarik untuk disimak, terutama karena terkesan mengindikasikan keterkaitan antara pembukaan layanan dengan keberadaan perusahaan, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. «Kebanyakan PMI yang dari Karawang masih banyak yang diarahkan ke daerah lain, mungkin ke Tangerang, Jakarta dan Bekasi. Itu mungkin mengapa LTSA di Karawang masih belum maksimal. Sebagai tambahan P3MI yang berkedudukan di Karawang cuma satu, yaitu PT Intan Ayu, lokasinya di Cikampek.» «Awalnya layanan lengkap, cuma akhirnya yang masih aktif ada tiga, Rekom, BP2MI sama Imigrasi. Sebelumnya ada Kesehatan, Kepolisian begitu. Dan saya juga baru masuk tahun 2019, LTSA ini ‘kan dari tahun 2017. Denger-denger sih semuanya masih ada. Kemudian mungkin tidak terlalu digunakan karena perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta biasanya medical di sana. Akhirnya close tuh, Kepolisian sama medical-nya.»

Pertanyaan yang berkembang di sini adalah apakah kemudian LTSA lebih dimaksudkan untuk memfasilitasi perusahaan dan memudahkan perantaraan ketimbang mendekatkan layanan ke PMI sebagai pengguna prospektif. Sebagaimana halnya dengan Banyuwangi, di PTSP TKI Karawang juga belum ditemui adanya loket pengaduan. Meski demikian, pihak BP2MI di PTSP TKI Karawang, mengatakan bahwa mereka siap menerima pengaduan PMI atau anggota keluarganya, dengan persyaratan mereka dapat menunjukkan dokumen-dokumen yang relevan untuk penanganan masalah. BP2MI akan menindaklanjuti pengaduan dengan BP2MI di provinsi (Jawa Barat), Pusat atau menyampaikannya ke KBRI/ Perwakilan. Pengaduan juga dapat dilakukan secara daring melalui situs web BP2MI. 49


• Lombok Timur Dibandingkan dengan dua LTSA yang telah disinggung sebelumnya, LTSA Lombok Timur tergolong paling lengkap dalam hal layanannya. Saat ini, ada enam layanan yang sudah hadir, antara lain BP2MI/ BP3TKI, BPJS Ketenagakerjaan, Disnaker, petugas layanan kesehatan dari Dinkes, Disdukcapil dan Imigrasi. Perlu menjadi catatan bahwa meski petugas layanan kesehatan sudah dihadirkan, akan tetapi tidak ada sarana kesehatan di LTSP-P2TKI, dan pemeriksaan medis tetap dilakukan di luar LTSA, di rumah sakit yang menjadi rujukan, biasanya di Rumah Sakit Lombok Timur, yang masuk ke dalam kategori Tipe B. Umumnya, biaya yang dikenakan untuk pemeriksaan medis adalah sebesar Rp. 500,000 hingga Rp. 800,000. Secara garis besar, alur pengurusan dokumen di LTSP-P2TKI Lombok Timur adalah sebagai berikut: • Petugas BP2MI melakukan registrasi dan mengecek kelengkapan berkas/ dokumen CPMI; • Petugas Disnaker melakukan pemeriksaan berkas, dan melakukan proses wawancara; • Setelah pemberkasan dan wawancara dilakukan, dokumen yang telah dilengkapi diserahkan ke petugas Disdukcapil. Mekanisme pemeriksaan oleh Disdukcapil adalah dengan penelusuran NIK, untuk memastikan CPMI tidak berasal dari luar wilayah. Sistem secara otomatis akan menolak permohonan dari CPMI yang tidak tercatat berdomisili di Lombok Timur; • Setelah pemeriksaan dan pencatatan oleh Disdukcapil, berkas ditindaklanjuti dengan pembuatan identitas (ID) pada Sistem Komputerisasi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Sisko P2MI, sebelumnya Sisko TKLN); • Setelah pembuatan ID, CPMI melakukan pembayaran asuransi ke BPJS

Gambar 1.3 Wawancara dan Diskusi di LTSP-P2TKI Kab. Lombok Timur Peneliti lokal, Usman (kiri; baju putih) sedang memimpin wawancara dan diskusi dengan para petugas LTSPP2TKI di ruangan rapat LTSPP2TKI Kab. Lombok Timur

50


Ketenagakerjaan. Pembayaran dilakukan melalui bank, akan tetapi karena belum ada perwakilan perbankan di LTSP-P2TKI, proses harus dilakukan di luar LTSA; Setelah penyerahan bukti pembayaran asuransi, Disnaker akan akan menerbitkan dan mencetak berita acara dan rekomendasi pembuatan paspor. Kepala Dinas selaku koordinator atau perwakilan bidang teknis menandatangani penetapan rekomendasi; Rekomendasi diserahkan ke Imigrasi untuk ditindaklanjuti dengan pembuatan dan penerbitan paspor. Pembuatan paspor bagi PMI yang baru pertama kali berangkat tidak bebas biaya, sementara bagi PMI yang melakukan penggantian paspor (masa berlaku paspor lama habis), dikenakan biaya sebesar Rp. 350,000.

Menurut salah satu petugas yang sempat diwawancarai di oleh tim peneliti di Lombok Timur, PAP saat ini sudah dapat dilakukan di LTSP-P2TKI. Selain itu, meski kepolisian belum bisa hadir di LTSP-P2TKI, jika ada CPMI yang membutuhkan SKCK ada petugas akan membantu menguruskan ke pihak kepolisian. Meski belum menyediakan loket pengaduan, LTSP-P2TKI Lombok Timur telah melakukan pengadaan kotak aduan dan informasi masyarakat. Kotak tersebut diletakkan di depan kantor LTSP-P2TKI sebagai mekanisme untuk menerima pengaduan dari PMI dan keluarganya. Terkait kendala yang masih ada, di tingkat teknis, petugas menyebut soal jaringan server yang terkadang mengalami gangguan. Perangkat LTSP-P2TKI juga menyinggung persoalan SDM yang terbatas, di mana kemudian tidak banyak petugas di LTSP-P2TKI yang berstatus PNS. Lebih banyak merupakan pegawai honorer. Tidak mengherankan kemudian timbul juga keluhan mengenai kesejahteraan mereka. Menarik untuk dicatat bahwa pihak Disnaker Lombok Timur mengatakan belum dapat melakukan sosialisasi di tingkat desa karena keterbatasan anggaran. Hal ini dibenarkan oleh perwakilan Desa Gelanggang yang mengatakan bahwa masyarakat setempat belum mendapatkan sosialisasi tentang LTSA. Sosialisasi yang pernah dijalankan tercatat kepada 10 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur. Untuk menengahi kebuntuan sosialisasi, solusi yang pernah dijalankan kemudian adalah menggandeng P3MI untuk melakukan sosialisasi, salah satunya di Desa Stanggor. Pihak Disnaker Lombok Timur mengungkapkan juga bahwa sosialisasi ke desa terhambat oleh beberapa kendala di desa, antara lain desa belum berani mengalokasikan anggaran untuk diseminasi informasi migrasi aman karena belum ada nomenklatur resmi, dan juga belum ada instruksi Permen untuk penganggaran

51


tersebut. Menarik untuk dicatat bahwa Imigrasi Lombok Timur memberikan pernyataan bahwa untuk tahun 2021 ini pihaknya akan mulai mengadakan sosialisasi ke desa, dengan target 1 desa per bulan. Tidak terlalu jelas bagaimana koordinasi antarinstansi yang sama-sama berada dalam LTSA ini berjalan terkait dengan penyelenggaraan sosialisasi, misalnya antara Disnaker dan Imigrasi. Seperti halnya dengan dua LTSA lainnya, LTSP-P2TKI Lombok Timur juga memberikan penekanan terhadap peran P3MI dalam proses yang berlangsung di LTSA. Jika ditemukan kekurangan atau kesalahan data, berkas/dokumen dikembalikan ke P3MI. Pihak LTSA juga meminta direktur utama atau kepala cabang P3MI untuk hadir langsung pada saat penandatanganan berita acara dan perjanjian penempatan. Selain itu, LTSP-P2TKI juga mensyaratkan petugas P3MI yang dikirim untuk mendampingi PMI memiliki surat tugas serta kartu identitas (ID card) yang dikeluarkan oleh P3MI. Pelayanan hanya bisa dilangsungkan jika kelengkapan syarat tersebut dipenuhi. Meski prosedur ini dapat dibaca sebagai praktik-praktik langkah pelindungan yang (bermaksud) baik (memastikan pertanggungjawaban P3MI dalam penempatan), akan tetapi di saat yang bersamaan juga muncul pertanyaan terkait kemungkinan PMI untuk melakukan proses pengurusan dokumen secara mandiri. Juga menjadi catatan adalah posisi P3MI dalam payung hukum LTSP-P2TKI Lombok Timur, yaitu Peraturan Bupati Lombok Timur No. 14 Tahun 2017. Di dalam aturan tersebut tercantum bahwa keanggotaan LTSP-P2TKI terdiri atas personil/ aparat yang ditunjuk oleh pimpinan Perangkat Daerah atau instansi/lembaga terkait, meliputi: (i) unsur Asosiasi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta. Selain masih memakai nomenklatur lama (sekarang aktor swasta pelaksana penempatan dirujuk sebagai P3MI), pengikutsertaan P3MI di sini menghadirkan tanda tanya besar mengenai keberpihakan LTSA, dan pertentangannya dengan semangat UU No. 18 Tahun 2017 untuk melindungi pekerja. Klausul ini semakin menimbulkan tanda tanya ditinjau dari ketidakberimbangan partisipasi, di mana perwakilan masyarakat sipil tidak ikut disertakan dalam keanggotaan.

52


Tabel 3.6 Profil LTSA di Banyuwangi, Karawang dan Lombok Timur LTSA

Tahun berdiri

Dasar hukum

Layanan yang tersedia (pada saat penelitian ini dilakukan) Disnaker (Di dalam MPP terdapat BPJS TK, Imigrasi, dan Disdukcapil, tetapi pelayanannya umum. Yang dirujuk sebagai LTSA hanya Disnaker)

Banyuwangi (tergabung dengan Mal Pelayanan Publik)

Layanan untuk PMI dibuka 2017 (diresmikan 2018)

Peraturan Daerah No. 15 tahun 2017 tentang Perlindungan TKI Kabupaten Banyuwangi di Luar Negeri

Karawang (menggunakan nama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pekerja Migran Indonesia)

Diresmikan sebagai LTSA sejak 2018; PTSP membuka layanan sejak Desember 2016

Peraturan Bupati BP2MI Karawang No. 69 Disnaker Tahun 2009 tentang Imigrasi PTSP; Raperda Kabupaten Karawang No. Tahun 2021 tentang Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Asal Daerah Kabupaten Karawang

Lombok Timur

2018

Peraturan Bupati Lombok Timur No. 14 Tahun 2017 mengenai LTSP-P2TKI

Jarak/waktu tempuh dari desa terjauh ke LTSA

Jarak LTSA kota Banyuwangi dari Desa Sarongan dan Kalibaru (dua desa terjauh) adalah sejauh 95 km dengan waktu tempuh dapat mencapai 2.5 jam Jarak LTSA dari ujung pesisir daerah Desa Muara Baru, Kecamatan Cilamaya Wetan kurang lebih 40 km

BP2MI Disnaker Dinkes (petugas layanan kesehatan) Disdukcapil Imigrasi BPJS Ketenagakerjaan

3.2.2 Penggunaan LTSA oleh PMI Dari paparan yang dirangkum Tabel 3.7, menarik untuk diamati bahwasanya banyak dari responden PMI yang telah mengakses LTSA pun tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka sudah melakukan proses prakeberangkatan di sebuah

53


layanan terpadu. Dari total 33 responden di tiga wilayah, terdapat 17 orang yang melalui LTSA, hanya 6 orang yang menyadari keberadaan LTSA. Secara lebih terperinci dapat dicermati, bahwasanya di Karawang, dari 7 orang yang melalui LTSA, hanya 1 orang yang menyadari adanya layanan terpadu tersebut (lihat Tabel 3.7b), sementara di Lombok Timur, dari 6 orang yang sebenarnya melalui LTSA, tidak ada satu pun yang mengetahui mereka telah mengakses layanan tersebut (lihat Tabel 3.7c). Seringkali para responden hanya mengetahui bahwa yang telah mereka akses adalah layanan Dinas Ketenagakerjaan. Mengafirmasi temuan dalam survei kuantitatif, survei kualitatif juga mendapati bahwasanya jarang sekali (calon) PMI mengakses LTSA secara mandiri. Mayoritas responden yang pernah menggunakan LTSA datang ke LTSA dengan didampingi oleh petugas P3MI ataupun sponsor. Sebagaimana terilustrasikan dalam subbab sebelumnya, 3.1.3. Potret layanan terpadu di tiga LTSA, khususnya dalam kasus Banyuwangi dan Karawang, proses yang berlaku menunjukkan peran perantara yang dominan. Pengurusan dokumen dilakukan oleh PT, yang diwakilkan oleh petugas atau calo. Alur yang berjalan kemudian tidak tampak mendukung kemandirian PMI untuk melakukan proses pemberkasannya sendiri. Tabel 3.6 juga mengetengahkan persoalan jarak/waktu tempuh ke LTSA. Dalam Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Kemudahan dan keterjangkauan ini dapat diartikan bahwa tempat/ lokasi sarana pelayanan memadai dan mudah terjangkau oleh masyarat dengan menggunakan berbagai metode, misalnya memanfaatkan metode daring dan luring. Ditinjau dari metode luring, jarak/waktu tempuh dari titik/desa terjauh ke LTSA masih cukup signifikan. Selain implikasi biaya dan waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi LTSA, jarak yang jauh ini juga membuka ruang untuk aktor-aktor perantaraan seperti broker untuk hadir dan mengambil peran dalam proses prakeberangkatan.

54


Tabel 3.7 Potret penggunaan LTSA Jumlah (calon & purna) Jumlah yang PMI yang diwawancarai mengetahui tentang Perempuan Laki-laki LTSA

Jumlah yang melalui LTSA

Jika melalui LTSA, apakah diantar oleh calo/sponsor atau pihak PT?

Banyuwangi

6

3

5

4

Ya, mayoritas oleh pihak PT

Karawang

13

1

1

7

Ya, mayoritas oleh sponsor

Lombok Timur

4

8

Tidak ada

6

Mayoritas iya (satu orang tidak didampingi calo karena sudah pernah bermigrasi sebelumnya)

Tabel 3.7a. Penggunaan LTSA di Banyuwangi (LTSA hadir sejak 2018) No Nama

Tahun keberangkatan

Sesudah/ sebelum ada LTSA

Mengetahui ada layanan terpadu

Menggunakan sponsor

Didampingi ketika mengakses LTSA

1.

DNK

2019

Sesudah

Hanya tahu mengakses layanan Disnaker di MPP

Ya

Ya, oleh orang PT

2.

IR

2020

Sesudah

Hanya tahu mengakses layanan Disnaker di MPP

Ya

Ya, oleh orang PT

3.

MF

2019

Sesudah

Tidak (tidak menggunakan LTSA Banyuwangi tetapi Jakarta)

Ya

Tidak melalui LTSA Banyuwangi, tetapi Jakarta

4.

MU

2020

Sesudah

Hanya tahu mengakses layanan Disnaker di MPP

Ya

Ya, oleh suami, dan orang PT

55


5.

RU

2020

Sesudah

Hanya tahu mengakses layanan Disnaker di MPP

Tidak

Ya, oleh orang PT

6.

SR

2020

Sesudah

Hanya tahu mengakses layanan Disnaker di MPP

Ya

Ya, oleh sponsor

7.

SU

2017

Sebelum

Tidak

Tidak jelas

8.

AS

2017

Sesudah

Tidak

Ya

Tidak

9.

JM

2017

Sesudah

Tidak

Ya

Tidak

Tabel 3.7b Penggunaan LTSA di Karawang (PTSP hadir sejak 2016) No

56

Nama

Tahun keberangkatan

Sesudah/ sebelum ada PTSP

Mengetahui ada layanan terpadu

Berangkat dengan sponsor

Didampingi ketika mengakses LTSA

1.

FJ

2017

Sesudah

Tidak

Ya

Tidak

2.

RA

2017

Sesudah

Tidak

Ya

Tidak

3.

YA

2014

Sebelum

Tidak

Tidak jelas

Tidak mengakses LTSA

4.

NU

2018

Sesudah

Tidak

Ya

Tidak

5.

IJ

2018

Sesudah

Tidak melalui PTSP (PT melakukan penempatan ilegal di masa moratorium ke Timur Tengah)

Ya

Tidak mengakses LTSA

6.

YP

2018

Sesudah

Tidak melalui PTSP (PT melakukan penempatan ilegal di masa moratorium ke Timur Tengah)

Ya

Tidak mengakses LTSA

7.

ET

2018

Sesudah

Tidak melalui PTSP (berangkat lewat Jakarta)

Tidak jelas

Tidak mengakses LTSA

8.

DO

2018

Sesudah

Ya

Ya

Ya


9.

WE (+ 2 orang CPMI lainnya yg diwawancarai bersamaan dg ybs)

Belum berangkat

Sesudah

Tidak (datang ke LTSA bersama sponsor, tetapi baru tahu itu LTSA ketika diberi informasi oleh SBMI Karawang)

Ya

Ya

10. SW

Belum berangkat

Sesudah

Tidak (datang ke LTSA bersama sponsor, tetapi baru tahu itu LTSA ketika diberi informasi oleh SBMI Karawang)

Ya

Ya

11. RI

Belum berangkat

Sesudah

Tidak (datang ke LTSA bersama sponsor, tetapi baru tahu itu LTSA ketika diberi informasi oleh SBMI Karawang)

Ya

Ya

12. AP

2015

Sebelum

Tidak

Tidak

Tidak mengakses LTSA

57


Tabel 3.7c Penggunaan LTSA di Lombok Timur No

Nama

Tahun keberangkatan

Sesudah/ sebelum ada LTSA

Mengetahui ada layanan terpadu

Mengguna- Didampingi ketika kan mengakses layanan sponsor pemerintah

1.

MA

2016

Sebelum

Kurang tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

2.

MAM

2016

Sebelum

Kurang tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

3.

JA

2018

Sesudah

Kurang tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

4.

SA

2018

Sesudah

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

5.

MLR

2018

Sesudah

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

6.

BSK

2018

Sesudah

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

7.

AA

2016

Sebelum

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

8.

YU

2016

Sebelum

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

9.

SH

2018

Sesudah

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

10. MH

2015

Sebelum

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

11. AR

2017

Sebelum

Tidak tahu

Ya

Semua langsung diurus oleh calo

12. MT

2018

Sesudah

Tidak tahu

Ya

Tidak (karena sudah pernah menjadi pekerja migran sebelumnya, dianggap sudah tahu)

3.3. Temuan-temuan utama • Kurang memadainya payung hukum/regulasi yang menaungi LTSA sejauh ini Salah satu kendala utama yang teramati sejak awal adalah belum memadainya payung hukum bagi LTSA. Yang paling mendasar, di tingkat nasional pun belum

58


terbit PP yang spesifik mengenai LTSA sebagai salah satu aturan turunan dari UU No. 18 Tahun 2017 sebagai panduan untuk menerjemahkan amanat perundangan secara lebih terperinci. Mengingat belum adanya juga peraturan turunan dari UU (PP yang digariskan oleh Pasal 38 ayat 4 UU No. 18 Tahun 2017), banyak peraturan yang berkembang di daerah sebagai dasar pembentukan LTSA masih merujuk pada UU sebelumnya, yakni UU No. 39 Tahun 2004. Tak dapat dipungkiri, belum adanya payung hukum di tingkat nasional, juga membuka ruang bagi daerah untuk berdalih bahwa mereka belum mengembangkan peraturan di tingkat daerah karena masih menunggu peraturan di tingkat nasional dirampungkan. Dalam pengamatan kami, juga masih belum tampak harmonisasi antara regulasi di tingkatan provinsi dan kabupaten kota. Adanya peraturan daerah terkait pembentukan LTSA di level provinsi yang sudah mengikuti UU No. 18 Tahun 2017, belum tentu menjamin peraturan di level berikutnya (kabupaten/kota) juga merujuk ke UU No. 18 Tahun 2017, atau peraturan di level provinsi yang sudah menginduk ke UU tersebut. Di sini, kasus Lombok Timur menarik untuk ditelisik dengan lebih teliti. Saat ini di tingkat provinsi sudah ada Peraturan Gubernur No. 40 Tahun 2019 tentang Layanan Terpadu Satu Atap: Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, akan tetapi peraturan di Lombok Timur belum sertamerta sinkron dengan aturan di level provinsi tersebut. Peraturan Bupati Lombok Timur No. 14 Tahun 2017 mengenai LTSP-P2TKI masih merujuk ke UU lama. Meski dilakukan perubahan terhadap Perbup setelah adanya UU No. 18 Tahun 2017, perubahan yang dilakukan tidak mencerminkan semangat pelindungan sebagaimana tertuang dalam UU baru tersebut. Perubahan yang dilakukan hanya sebatas penulisan daftar elemen yang hadir di LTSA. Dalam pengamatan kami sepanjang penelitian, aturan-aturan yang kini berlaku sebagai payung hukum penyelenggaraan LTSA belum tentu memuat asas-asas yang berorientasikan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU No. 18 Tahun 2017. Dampak yang paling jelas terlihat, dalam penelitian ini adalah bagaimana proses yang berlangsung di LTSA masih mengikuti logika penempatan sesuai dengan perundangan sebelumnya. Sementara itu, Karawang baru-baru ini mengesahkan Perda tentang Penempatan dan Pelin-dung¬an Pekerja Migran Indonesia Asal Daerah Kabupaten Karawang. Meski sudah mengikuti kon-sideran baru UU No. 18 Tahun 2017, Perda ini memuat pasal tentang LTSA dalam Pasal 31, tetapi ma¬sih menyisakan amanat perincian penyelenggaraan LTSA berdasarkan peraturan bupati. Hingga saat ini di Karawang, peraturan bupati yang menjadi rujukan masih mengikuti konsideran lama.

59


Di Banyuwangi, LTSA tergabung dalam MPP, dan yang menjadi dasar Perda pembentukan MPP di Banyuwangi adalah Peraturan Bupati Banyuwangi No. 59 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Mal Pelayanan Publik. Tentunya, UU No. 18 Tahun 2017 kemudian tidak ikut tersebut sebagai konsideran yang menjadi rujukan penyelenggaraan layanan. Menjadi diskusi di sini kemudian apakah ideal untuk menggabungkan LTSA dengan MPP. Perangkat LTSA Banyuwangi sendiri dalam catatan penelitian kami, menyayangkan status LTSA yang tergabung dalam MPP. Di tingkat nasional, Kemendagri memang mendorong dimasukkannya LTSA ke dalam MPP, kemungkinan untuk memperingan beban anggaran yang harus dialokasikan oleh Pemerintah Daerah. Namun diperlukan pembahasan lebih lanjut terkait adakah dan apa yang menjadi implikasi dari penggabungan LTSA ke layanan yang lebih besar. • Dominannya pemahaman terhadap posisi LTSA sebagai layanan administratif Dalam diskusi-diskusi yang berkembang dengan aktor-aktor pemerintah di berbagai level sepanjang penelitian ini, beberapa kali kami menemui pernyataan yang menggarisbawahi natur LTSA sebagai layanan administratif. Penekanan ini dapat dipahami karena LTSA berkenaan dengan pengurusan dokumen. Namun, dalam percakapan dengan beberapa pemangku kepentingan pemerintah, seolah kemudian muncul dikotomi antara LTSA dengan sebagai layanan administratif dengan layanan pelindungan. Pernyataan tentang pemisahan fungsi ini utamanya muncul ketika tim peneliti mempertanyakan, mengapa tidak ada mekanisme pengaduan yang terlembaga di LTSA (lihat Poin (7)). Jawaban yang kami terima dari BP2MI adalah karena pengaduan masuk ke ranah pelindungan, dan ini ditempatkan di UPT. Memahami LTSA semata dan utamanya sebagai layanan administratif, dan memisahkannya dari pelindungan tentunya keliru karena tidak sesuai dengan amanat perundangan—UU No. 18 Tahun 2017 sendiri memberi penekanan pada LTSA sebagai pelindungan sebelum bekerja. Memahami proses administratif juga sebagai sebuah bentuk pelindungan ini penting, mengingat perantaraan hadir karena adanya kesempatan untuk mengambil keuntungan dari kalangan pekerja berupah rendahan yang seringkali tidak memahami cara menavigasi koridor-koridor administratif-birokratis di Indonesia. Dalam konteks masyarakat Indonesia, broker informal yang merekrut untuk perusahaan hadir mengisi celah-celah administratifbirokratis tersebut, dan mendapatkan rasa percaya rasa percaya (“trust”) dari calon pekerja migran (Lindquist 2012).

60


• LTSA belum terpadu Tidak lengkapnya layanan LTSA menandakan setidaknya dua hal. Pertama, tidak terpenuhinya amanah keterpaduan yang sebagai pelanggaran terhadap pelindungan teknis minimum yang digariskan dalam Pasal 8 UU No. 18 Tahun 2017. Sebagaimana dapat dilihat pada rekapitulasi yang tertuang dalam Tabel 3.6, dari tiga LTSA yang kami ketengahkan dalam studi ini, tidak ada yang sudah memiliki layanan lengkap sebagaimana yang seharusnya diadakan. Di MPP Banyuwangi yang dipahami sebagai LTSA adalah Disnaker, sementara di PTSP Karawang hanya tersedia 3 instansi, yaitu BP2MI, Disnaker dan Imigrasi. LTSP-P2TKI Lombok Timur memiliki lebih banyak layanan dibandingkan dengan dua LTSA lainnya, tetapi tetap belum memenuhi syarat kelengkapan keterpaduan yang seharusnya. Tercatat Kepolisian (penerbitan SKCK) dan perbankan belum hadir. Meski Dinkes hadir, akan tetapi tidak ada sarana kesehatan di LTSP-P2TKI, dan pemeriksaan medis tetap dilakukan di luar LTSA. Umumnya, pengadaan sarana/ fasilitas kesehatan untuk kebutuhan pemeriksaan medis masih sulit di LTSA. Selain di Lombok Timur, layanan ini juga belum ada di Banyuwangi, sempat ada di Karawang, akan tetapi sekarang sudah tidak ada. Ada bermacam alasan untuk belum lengkapnya layanan di LTSA. Yang umum ditemui adalah alasan kendala sumber daya, baik dari segi anggaran, maupun SDM. Tercatat dalam kasus Karawang, ketika dipertanyakan mengapa belum Disdukcatpil belum hadir, jawaban yang diberikan adalah karena yang ditugaskan harus PNS, dan mereka belum dapat mengadakan SDM tersebut. Pada kasus LTSA yang lain, seperti misalnya di Lombok Timur, yang banyak dikerahkan sebagai perangkat LTSA adalah pegawai honorer, yang kemungkinan berdampak juga pada performa layanan kepada (calon) PMI. Belum lengkapnya layanan di LTSA tentu berdampak pada pengurusan dokumen yang ke sana kemari dan berimplikasi dan pemborosan waktu dan bertambahnya biaya yang dikeluarkan oleh (calon) PMI. Pada kasus Banyuwangi misalnya, untuk pengurusan SKCK masih diarahkan ke Kantor Polres Banyuwangi yang lokasinya 20 menit dari gedung MPP, pengurusan paspor harus dilakukan di Kantor ULP Imigrasi Jember kelas II di Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro yang lokasinya 30 menit dari MPP. Yang lebih parah, pelaksanaan PAP tidak dapat dilakukan di MPP Banyuwangi, dan harus bertempat di Surabaya. Dalam praktik yang saat ini berjalan, layanan terpadu yang disediakan untuk pekerja migran juga masih banyak mengambil format satu pintu, yang mengikuti logika yang berbeda dengan integrasi layanan di bawah satu atap.

61


• Minimnya sosialisasi tentang LTSA Hasil survei, baik kuantitatif maupun kualitatif memperlihatkan tingkat pengetahuan (calon) PMI yang sangat minim tentang LTSA. Sangat kurangnya pemahaman akan LTSA ini mengindikasikan tingkat sosialisasi yang masih jauh dari optimal kepada (C)PMI sebagai pengguna prospektif. Padahal, sosialisasi ikut menjadi amanah peraturan yang sudah ada bagi LTSA—misalnya, sebagaimana tertuang dalam Perbup Lombok Timur No. 14 Tahun 2017. Gambar 1.4 Tampak Depan LTSP-P2TKI Kab. Lombok Timur Peneliti lokal, Usman (kiri) dan Kusmayanti (kanan) saat sedang mengunjungi LTSPP2TKI Kab. Lombok Timur untuk mengumpulkan data penelitian

Selain kurang menjalankan sosialisasi kepada (calon) PMI, pemerintah juga belum maksimal melakukan sosialisasi terkait keberadaan LTSA ke desa-desa sebagai lingkungan terdekat (calon) PMI. Studi yang tengah dijalankan oleh IOM, UNDP dan SBMI (2021) menengarai bahwa hampir 80% desa di Indonesia tidak mengetahui adanya LTSA. Di Karawang, Dinas Ketenagakerjaan telah mencoba mengusahakan sosialisasi tahunan, paling tidak di tingkat kecamatan. Pada tahap ini, per tahunnya Dinas Ketenagakerjaan baru berhasil menjangkau 5 kecamatan per tahunnya, yang dipilih secara acak. Keterbatasan anggaran menjadi kendala dalam menjalankan sosialisasi. Pemerintah daerah Karawang, Sosialisasi terkait LTSA juga sudah diusahakan secara lebih informal melalui forum minggon kecamatan. Sementara itu, pihak LTSA Banyuwangi menyatakan sudah melakukan penyuluhan kepada para camat dan lurah sekabupaten Banyuwangi, dan menegaskan bahwa peran sosialisasi itu kini berlokus pada pemerintah desa. Seperti halnya dengan Karawang, sosialisasi LTSA oleh Disnaker di Banyuwangi juga terbatas, hanya dilakukan dua kali dalam setahun. Menjadi pertanyaan seberapa efektif kemudian proses tersebut, dan apakah cukup untuk mengembangkan kapasitas desa sebagai pihak utama yang harus mensosialisasikan LTSA lebih lanjut ke warganya.

62


Dari pengamatan yang dilakukan oleh para peneliti komunitas kami, secara umum tata kelola migrasi yang berjalan saat ini terlihat masih mengabaikan peran pemerintah desa. Sementara itu, pemerintah desa sendiri juga belum mengembangkan kepekaan terhadap isu migrasi tenaga kerja. Hal ini tercermin misalnya dalam masih sepinya pendataan oleh pemerintah desa tentang warga desa yang bekerja di luar negeri. Status keberadaan penduduknya yang sedang berada di Luar Negeri itu hanya dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang keperluannya pada masa pemilihan saja. Dalam pendataan tersebut, informasi keberadaan penduduk juga dituliskan hanya secara sangat sederhana pada kolom keterangan LN (Luar Negeri) atau LD (Luar Daerah). Menarik juga untuk diamati, bahwa peraturan di tingkat daerah yang sudah mengikuti UU No. 18 Tahun 2017, belum tentu memuat tanggung jawab pemerintah desa untuk memberikan informasi tentang migrasi aman—antara lain terkait keberadaan LTSA. Dalam Perda Karawang, misalnya, yang diketengahkan hanya penyampaian informasi mengenai peluang kerja. Satu temuan yang juga sangat menarik dari studi ini adalah bagaimana dalam kecenderungannya, sosialisasi justru dijalankan kepada P3MI. Ini misalnya terjadi di Karawang, di mana strategi sosialisasi BP2MI justru lebih ditujukan kepada P3MI. Menjawab tentang masih maraknya praktik perantaraan oleh calo, pihak Kementerian mengemukakan bahwa solusi yang dimiliki oleh Kementerian saat ini adalah mengoptimalkan kinerja pengantar kerja atau petugas antar kerja. Namun tentunya hal ini masih menemui tantangan juga dengan masih terbatasnya jumlah mereka, dan khususnya dengan natur mereka yang tidak memberikan layanan yang sifatnya door-to-door. Di sini, kita mengenali keterbatasan yang sangat mendalam dalam upaya pemerintah untuk menandingi jaringan broker dan sistem “antarjemput” (escort) yang menjadi basis infrastruktur penempatan pekerja migran yang telah mengakar kuat di Indonesia selama ini (lihat Lindquist, 2018). Legitimasi calo kukuh karena bepergian (termasuk untuk keperluan mengakses layanan pemerintah dari satu instansi ke instansi lainnya), bermigrasi atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan mobilitas dianggap berbahaya jika dilakukan sendirian. • Kedekatan relasi antara LTSA dengan pihak swasta & masih langgengnya praktik perantaraan Dalam perkembangan penelitian ini, pernyataan-pernyataan dari aktor pemerintah yang mengesankan LTSA lebih ditujukan untuk memfasilitasi perusahaan penempatan, cukup konsisten ditemui, baik di level pemerintah daerah maupun nasional. Ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan urgen mengenai keberpihakan:

63


bagaimana pemerintah memosisikan LTSA dalam relasinya dengan pihak swasta dan PMI. Siapa dimaksudkan untuk menjadi beneficiary dari LTSA? Jika pengadaan LTSA lebih ditujukan untuk memfasilitasi P3MI ketimbang PMI, bukankah ini bertentangan dengan maksud UU yang menggariskan LTSA sebagai bagian dari pelindungan teknis? Relasi dekat antara LTSA dan pihak swasta terindikasikan dalam berbagai temuan yang telah diketengahkan sebelumnya, antara lain: • keberadaan perusahaan perekrut di LTSA yang dipayungi regulasi hukum, sebagai contoh di Lombok Timur, kerangka hukum yang melembagakan keterlibatan swasta di LTSA adalah berupa peraturan bupati; • pengadaan layanan yang lebih tergantung pada kepentingan perusahaan, sebagaimana tercermin dalam pengalaman Karawang, di mana beberapa layanan ditutup karena penggunaan oleh perusahaan terbatas; • munculnya mekanisme komunikasi dan koordinasi khusus antara LTSA dengan P3MI, sebagaimana terlihat dalam sosialisasi yang lebih dilakukan kepada P3MI, juga dengan adanya praktik seperti pembuatan grup di aplikasi WhatsApp yang keanggotaannya terbatas antara LTSA dengan karyawan P3MI, sebagaimana yang teramati di Banyuwangi. Besarnya pelibatan swasta di LTSA berbanding terbalik dengan pelibatan organisasi masyarakat sipil, khususnya yang bergiat dalam advokasi pelindungan pekerja migran Indonesia. Poin (5) ini bertalian erat dengan poin (6) tentang kemandirian PMI, yang diterangkan berikutnya. • PMI cenderung tidak mengakses LTSA secara mandiri Salah satu temuan terbesar dalam penelitian ini adalah adanya peran P3MI yang dominan di LTSA, di mana kebanyakan PMI, khususnya perempuan pekerja migran, jarang mendapatkan kesempatan mengakses layanan secara mandiri. Dalam pakem yang ada, kebanyakan perempuan PMI mengakses LTSA dengan didampingi oleh pihak perusahaan. Mekanisme yang berlaku ini menimbulkan tanda tanya terkait fungsi LTSA. Sebagaimana sudah disampaikan dalam pembukaan laporan ini, sesuai semangat yang diusung oleh UU No. 18 Tahun 2017, LTSA seharusnya dimaksudkan sebagai inovasi pelindungan. Potensi utama LTSA khususnya adalah dalam memotong rantai intermediasi yang selama ini merugikan PMI karena mendorong terjadinya praktik-praktik eksploitatif dan pembengkakan biaya (pemungutan biaya untuk “jasa” para calo mengantar ke berbagai tempat untuk pengurusan dokumen di masa prakeberangkatan. Keterlibatan P3MI yang sangat dominan di LTSA, 64


Gambar 1.5 Proses Pengumpulan Data Penelitian di Kab. Karawang Peneliti lokal, Sakri Chaerudin (kiri) sedang mewawancarai purna PMI asal Kab. Karawang yang telah mengetahui keberadaan LTSA

menandakan praktik intermediasi yang selama ini ada tetap berjalan. Petugas lapangan terus mendampingi PMI sejak level RT/RW hingga masuk ke LTSA, sehingga tidak jelas bagaimana praktik LTSA yang sekarang berjalan mengubah pola-pola buruk sebelumnya yang didasarkan pada logika penempatan. PMI terus diposisikan sebagai obyek, bukan subyek yang memiliki political agency sendiri. Sistem perantaraan oleh calo yang telah membudaya berpuluh-puluh tahun mengindikasikan lebih jauh bagaimana konteks Indonesia ditandai dengan politik koneksi dan hubungan antara patron dengan klien (patronage) ketimbang sistem politik/ kemasyarakatan yang berbasis hak (Lindquist 2018). Khususnya dalam konteks pembangunan desa, secara historis proyek-proyek pemerintah kerap melibatkan infantilization, di mana masyarakat desa diperlakukan sebagai anak kecil (infant). • Tidak adanya mekanisme pengaduan di LTSA Dari perspektif HAM, ketiadaan saluran pengaduan merupakan sebuah cacat besar, karena mengisyaratkan ketiadaan mekanisme pemulihan. Mekanisme pemulihan khususnya menjadi krusial ketika ada aktor swasta yang terlibat dalam sebuah sistem. Sistem penempatan pekerja migran Indonesia yang dalam perundangan baru UU No. 18 Tahun 2017, meski memberlakukan pembatasan peran terhadap P3MI, masih memberikan ruang kepada swasta, dan selama ini terjadi, maka pemerintah perlu memastikan adanya akses terhadap pemulihan. Sebagaimana yang umum diketahui, PMI memiliki berbagai kerentanan, khususnya dalam relasinya terhadap P3MI. Eksploitasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor swasta dalam migrasi ketenagakerjaan Indonesia sudah banyak didokumentasikan, dan telah tercatat terjadi di semua tahapan migrasi. Indonesia sendiri telah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM yang diterbitkan pada tahun 2017. Secara eksplisit, RAN tersebut mengambil acuan Prinsip-prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Bisnis dan HAM yang mensyaratkan komitmen negara dalam menangani dampak HAM dari kegiatan

65


operasional. Dalam tafsirnya terhadap Prinsip-prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM, RAN yang dikembangkan Indonesia bertumpu pada tiga pilar yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan bisnis yang peduli HAM. Pilar pertama, yakni perlindungan, menggariskan kewajiban negara untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk pelaku bisnis. Pilar kedua mengharuskan adanya penghormatan terhadap HAM oleh perusahaan pelaku bisnis. Sementara itu pilar ketiga, yakni pemulihan, mengamanatkan perluasan akses bagi korban dalam mendapatkan pemulihan yang efektif. Mekanisme pengaduan yang terlembaga di dalam LTSA dapat memberikan perluasan akses bagi PMI terhadap pemulihan yang efektif tersebut. • Belum munculnya perhatian kepada aspek responsif gender Secara garis besar, belum tampak pemahaman mengenai aspek responsif gender dalam penyelenggaraan LTSA sejauh ini. Padahal, dalam lingkup besarnya, Indonesia telah memiliki Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Dalam dokumen acuan dasar tersebut, Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Ini seharusnya diturunkan ke berbagai level pemerintahan, termasuk di LTSA. Meski gender tidak bisa disamakan dengan perempuan, dalam tata kelola migrasi perlu dilakukan langkah-langkah afirmatif bagi perempuan pekerja migran. Berbagai kajian telah menggarisbawahi migrasi ketenagakerjaan Indonesia yang berwajah perempuan, dan perlunya perhatian khusus pada kerentanan spesifik perempuan PMI yang berlipat ganda ditinjau dari tiga posisi marginalnya, sebagai perempuan, sebagai pekerja berupah rendahan, dan sebagai migran. Dalam praktiknya, walau sudah ada beberapa usaha untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan, secara lebih substansial, pengarusutamaan gender masih belum menjadi bagian intrinsik dari kinerja layanan publik. Sebagai contoh, misalnya MPP di Banyuwangi sudah menyediakan sarana berupa ruang menyusui (meski tidak spesifik di ruang yang dialokasikan untuk LTSA), akan tetapi perencanaan dan penganggaran MPP tidak menampakkan penggunaan aspek responsif gender sebagai indikator evaluasi performa layanan. Indikator Key Factor yang dipergunakan MPP Banyuwangi di juga bermasalah dari sudut pandang gender karena menyamakan istilah petugas layanan/sumber daya manusia dengan kata “man” (laki-laki), di mana hal ini menandakan masih kentalnya pemahaman yang menormalisasi dominasi peran laki-laki di ruang publik.

66


Pada penelitian ini, para peneliti komunitas di daerah tidak mendapatkan akses ke data LTSA, sehingga tidak dapat memeriksa apakah data telah terpilah gender. Tentunya lebih sulit lagi untuk mengetahui apakah perencanaan dan penganggaran di level LTSA sudah responsif gender sesuai amanat PUG. Juga sulit untuk memastikan, apakah perangkat pemerintah yang bertugas di LTSA sudah mendapatkan pembekalan atau pelatihan berbasis gender. Sebagaimana telah dikemukakan, banyak dari petugas LTSA berstatus honorer, bukan pegawai tetap. Kemungkinannya, mereka tidak mendapatkan pembekalan yang memadai tentang gender. Berdasarkan keterangan dari Kementerian Ketenagakerjaan, yang pasti telah mendapatkan pelatihan gender dari kementerian adalah pengantar kerja, yang berpotensi memainkan peran dalam melakukan sosialisasi ke desa-desa terkait keberadaan LTSA. Namun, dalam praktiknya, penugasan mereka kemudian berada bergantung pada pemerintah daerah, dan mereka bisa ditugaskan di unit kerja yang berbeda sesuai dengan diskresi/wewenang pemerintah daerah di bawah amanah desentralisasi.

67


Bab

4

D

Diskusi dan analisis: Evaluasi pemenuhan hak asasi manusia dan aspek gender

ari paparan yang sudah dikembangkan dalam bab sebelumnya, kita dapat melakukan simpulan evaluasi berbasis HAM sesuai indikator yang telah diuraikan dalam Bab I, yakni indikator struktural, proses, hasil, dan norma HAM. Evaluasi berbasis HAM urgen untuk diketengahkan, karena dalam tren globalnya, tercatat ada kemunduran kerangka HAM dalam wacana tata kelola migrasi. Saat ini, pembahasan isu migrasi lebih banyak dibingkai dalam kerangka neksus migrasi dan pembangunan. Wacana HAM banyak terpinggirkan, sebagaimana terlihat dalam marginalisasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya (1990). Menjadi catatan bahwa layanan publik di Indonesia memiliki rujukan perundangan, yakni UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang secara jelas ikut menyertakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) sebagai acuan. Kedua kovenan tersebut merupakan instrumen HAM internasional yang paling mendasar. UU No. 25 Tahun 2009 menyebutkan dalam Pasal 4 bahwa penyelenggaraan pelayanan publik didasarkan pada sejumlah asas, yang mencakup kesamaan hak, partisipasi, antidiskriminasi, dan dan akuntabilitas. Dengan demikian, indikator norma HAM secara jelas termaktub dalam aturan hukum yang memandu penyelenggaraan layanan publik. Lebih jauh, Pasal 5(7) dari perundangan ini menggariskan bahwa pelayanan administratif diorientasikan pada maksud pelindungan. Juga penting digarisbawahi, dalam Pasal 8(2), UU ini juga menegaskan bahwasanya penyelenggaraan pelayanan publik tidak terbatas pada pelaksanaan saja, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain yang mendukung pelaksanaan, yakni: pengelolaan pengaduan masyarakat; pengelolaan informasi; pengawasan internal; penyuluhan kepada masyarakat; dan pelayanan konsultasi.

68


4.1. Indikator struktural: Payung hukum dan orientasi hak asasi manusia Ditinjau dari indikator struktural, terlihat bahwa penyelenggaraan LTSA sejauh ini belum dapat dikatakan sudah sesuai/optimal. Jelas terlihat bahwa banyak aturan hukum yang menaungi LTSA belum diselaraskan dengan UU No. 18 Tahun 2017 yang berorientasikan HAM. Kendala yang paling menghambat tentunya ketiadaan aturan turunan di tingkat nasional yang dapat menjadi rujukan mengoperasionalisasikan LTSA. Banyak dari aturan yang menaungi LTSA kemudian masih mengikuti konsideran lama, yang berkontribusi pada masih lekatnya logika penempatan, ketimbang orientasi pelindungan, dalam penyelenggaraan LTSA. Tidak tampak komitmen terhadap norma HAM internasional yang relevan, dalam hal ini terkait pelindungan pekerja migran. UU No. 18 Tahun 2017 secara jelas menyebutkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 20l2 tentang Konvensi Internasional PBB mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Instrumen internasional memuat komitmen untuk melindungi berbagai hak asasi manusia yang seharusnya dinikmati oleh pekerja migran dan keluarganya. Artikel 42 dalam instrumen ini memuat bahwa: (1) Negara-negara pihak (baik negara asal maupun negara tempat bekerja migran) wajib mempertimbangkan penetapan prosedur-prosedur atau lembaga-lembaga yang dapat memberikan perhatian mengenai kebutuhan khusus, aspirasi dan kewajiban para pekerja migran dan anggota keluarganya, dan wajib merencanakan jika perlu, kemungkinan bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya untuk secara bebas memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. LTSA dapat kita posisikan sebagai prosedur yang memberikan perhatian terhadap kebutuhan khusus migran tersebut, khususnya dalam tahapan prakeberangkatan. Belum terpenuhinya indikator struktural berdampak langsung pada signifikansi dan efektivitas layanan. Regulasi yang tidak berkomitmen pada norma HAM tentunya tidak akan mendukung tercapainya tujuan pelindungan pekerja migran Indonesia sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2017. Tidak berkembangnya payung hukum yang tepat kemudian tercermin dalam belum tampaknya perubahan dalam tata kelola migrasi Indonesia, yang dalam pengamatan kami, masih berjalan sesuai logika penempatan di bawah perundangan sebelumnya. Dalam Pasal 38 UU No. 18 Tahun 2017 disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai layanan terpadu satu atap diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hingga saat ini, aturan turunan yang lebih spesifik memandu pengaturan LTSA sesuai mandat Pasal 38 belum diturunkan. Yang telah ikut hadir saat ini adalah PP No. 59 Tahun 2021 mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dari perkembangan

69


yang ada, sepertinya PP akan dicukupkan untuk pelindungan, dan tidak akan ada PP khusus untuk LTSA. Sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 59 Tahun 2021, pengaturan selanjutnya mengenai LTSA akan didetilkan dalam Peraturan Menteri. Di satu sisi, kehadiran PP Pelindungan tetap disambut, karena setidaknya terdapat tambahan penjelasan mengenai LTSA, dan setidaknya sebagian dari paparan yang ditawarkan PP ini memiliki potensi orientasi HAM lebih jauh. Dalam bagian ketentuan, misalnya terdapat penambahan wawasan akan LTSA, dalam fungsinya, yakni selain sebagai sistem layanan pemberian informasi dan pemenuhan persyaratan, LTSA juga mengadakan penanganan permasalahan Pekerja Migran Indonesia yang terintegrasi dalam pelayanan publik yang murah, mudah, dan cepat tanpa diskriminasi. PP No. 59 Tahun 2021 juga memberikan secercah titik terang tentang kewajiban sosialisasi oleh LTSA, praktik yang masih banyak lalai dilakukan dalam catatan penelitian kami. Penting digarisbawahi bahwa Pasal 7 ayat (1) memuat dengan jelas bahwa pemberian sosialisasi dan informasi kepada pencari kerja dilakukan oleh LTSA, dan bahwa pemberian informasi tersebut dilakukan dengan pelibatan pemerintah desa. PP ini juga mengakomodasi konteks baru yang dihadirkan oleh pandemi COVID-19 dengan pemberian informasi baik secara luring maupun daring. Namun demikian, organisasi-organisasi masyarakat sipil penggiat isu migrasi memberikan catatan-catatan kritis berikut ini: Pertama, terkait dengan fungsi LTSA, terdapat pembahasaan yang mengesankan fungsi-fungsi tertentu sebagai opsi, karena adanya penggunaan kata “dapat”. Pasal 31 ayat (3) memuat bahwa, “LTSA PMI dapat berfungsi sebagai penyelenggara OPP, tempat konsultasi, mediasi, advokasi, dan bantuan hukum bagi permasalahan CPMI/ PMI/keluarganya.” Penelitian ini mencatat pentingnya keberadaan mekanisme/ akses ke pemulihan, dan ini tidak dapat menjadi sesuatu yang sifatnya pilihan. Kedua, terkait pengawasan. PP No. 59 Tahun 2021 tidak menggariskan pengawasan proses di LTSA. Yang diatur hanyalah pengawasan terhadap P3MI/ kantor cabang, LPK swasta, fasilitas layanan kesehatan, lembaga psikologi, BPJS, dan seterusnya. Tidak adanya panduan mengenai pengawasan LTSA patut menjadi catatan terlebih karena PP Pengawasan belum dibuat oleh Pemerintah. Ketiga, yang menjadi kekhawatiran masyarakat sipil adalah klausul mengenai seleksi PMI sebagai tugas dan tanggung jawab P3MI, sebagaimana tertuang dalam Pasal 86 ayat (3c). Maksud dan lokus seleksi perlu diperjelas di sini, apakah mandat seleksi kemudian secara eksklusif diberikan kepada P3MI? Dalam pemahaman kami, pasal-pasal lain memberikan wawasan mengenai peran dan tugas seleksi yang sebenarnya juga dilakukan oleh LTSA dan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini

70


sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat (2f), di mana dikatakan bahwa LTSA diselenggarakan untuk mendekatkan layanan pendaftaran pencari kerja, serta Pasal 70 yang menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota melakukan pelindungan sebelum bekerja melalui pendataan dan verifikasi kelengkapan dokumen CPMI. Penyematan seleksi secara khusus sebagai tugas dan tanggung jawab P3MI dikhawatirkan dapat mengaburkan peran dan keikutsertaan LTSA dan pemerintah kabupaten/kota yang juga sebenarnya turut memfasilitasi penyeleksian PMI. Dalam pemahaman kami, layanan pendaftaran pencari kerja, pendataan, hingga verifikasi kelengkapan dokumen CPMI merupakan bagian dari keseluruhan proses seleksi PMI. Seleksi oleh P3MI kemudian menjadi hilir dari keseluruhan proses/mekanisme seleksi yang dijalankan oleh LTSA atau pemerintah/kota. Lebih lanjut, PP No. 57 Tahun 2021 masih menyisakan pertanyaan/kekhawatiran tentang siapa yang menjadi beneficiaries dari layanan LTSA. Sesuai temuan penelitian kami, salah satu pertanyaan utama yang muncul terkait dengan kepada siapa layanan didekatkan? Pasal 31 menyatakan bahwa diselenggarakan untuk mendekatkan fungsi pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, tetapi tidak secara eksplisit disebutkan bahwa layanan tersebut didekatkan langsung kepada (calon) PMI. Selain itu Pasal 30 ayat (4) mengenai pembentukan LTSA masih menyisakan peluang pembentukan LTSA berdasarkan kriteria lain di luar daerah basis dan perlintasan PMI, karena ada kriteria yang kemudian ditetapkan oleh Menteri. Tidak tertutup kemungkinan kemudian LTSA diadakan atau ditiadakan karena pertimbangan ada/tidaknya P3MI di suatu daerah, sebagaimana terindikasikan dalam pengalaman Kabupaten Karawang yang kami rekam dalam penelitian ini.

4.2. Indikator proses: Jumlah LTSA yang telah dibuka, fungsi layanan LTSA yang tersedia Ditelisik dari indikator proses, implementasi LTSA saat ini juga belum memenuhi standar HAM. Ketidaklengkapan layanan merupakan penanda utama belum maksimalnya layanan terpadu yang seharusnya diberikan. Dilihat khususnya dengan komparasi dengan sebelum LTSA diberlakukan, tidak tampak nyata bagaimana keterpaduan layanan sudah tercapai saat ini, karena belum ada LTSA yang memberikan layanan lengkap berupa 8 desk instansi sebagaimana digariskan oleh aturan. Dalam catatan penelitian kami, performa proses LTSA justru tampak memburuk. Seperti yang diilustrasikan oleh kasus Karawang, seiring berjalannya waktu, layanan di LTSA malah justru semakin berkurang, bukannya bertambah. Meninjau apakah tujuan-tujuan LTSA telah tercapai terpenuhi, yakni mendekatkan

71


layanan pemerintah dan memutuskan rantai intermediasi/praktik percaloan yang selama ini membengkakkan biaya perekrutan. Penelitian ini mencatat bahwa dari segi indikator proses, salah satu penentu utama dalam memastikan adanya layanan yang baik melalui LTSA adalah dukungan pemerintah daerah. Namun, dalam UU No. 18 Tahun 2017, serta PP No. 59 Tahun 2021 yang mengikutinya, klausul-klausul terkait pembentukan LTSA kerap menggunakan redaksi penulisan yang mengesankan bahwa hal ini tidak wajib diadakan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Klausul-klausul tentang tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah kerap menggunakan kata “dapat” ketika berbicara tentang pembentukan layanan terpadu—“(pemerintah daerah) dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat (provinsi/kabupaten/kota). Peraturan di tingkat daerah yang mumpuni, serta penganggaran yang suportif, berperan besar dalam menjamin pengadaan layanan terpadu yang baik. Profil ketenagakerjaan daerah Banyuwangi, Karawang dan Lombok yang sudah diperlihatkan pada Bab II menunjukkan keterbatasan pendanaan yang memprihatinkan. Terkait dengan pembiayaan LTSA, salah FGD yang kami adakan dalam penelitian ini, yakni dengan pemerintah daerah Lombok Timur, menghadirkan diskusi yang menarik mengenai faktor pembiayaan dalam kaitannya dengan prioritas daerah.

Gambar 1.6. FGD Online dgn pemangku kepentingan di tingkat Kab. Lotim

Dilimpahkannya pembentukan dan penyelenggaraan LTSA oleh Undang-undang kepada pemerintah daerah mengisyaratkan adanya asumsi bahwa ada penggunaan sumber daya (resources) yang lebih efisien apabila urusan ini dilakukan oleh daerah

72


provinsi/kabupaten/kota. Namun, belum seberapa pasti kita mengetahui persetujuan pemerintah daerah terhadap hal ini. Tantangan terbesar dalam tata kelola migrasi berbasis daerah saat ini adalah memastikan komitmen pemerintah daerah dalam melindungi PMI. Banyak isu lain yang masih lebih menjadi prioritas, khususnya pembangunan infrastruktur. Belum tampilnya pelayanan dan pelindungan pekerja migran sebagai prioritas tercerminkan secara jelas dalam minimnya penganggaran danaan untuk LTSA, misalnya terkait keperluan sosialisasi. Tentunya, belum banyak dikedepankannya pelayanan pelindungan PMI sebagai prioritas oleh provinsi dan daerah disayangkan, mengingat manfaat yang dihadirkan oleh migrasi kepada daerah. Setidaknya, meski tidak dipandang sebagai sesuatu yang ideal (sebagaimana tampak dalam berbagai pandangan yang menginginkan PMI untuk tidak terus melakukan re-migrasi), migrasi ketenagakerjaan memberikan jalan keluar ketika lapangan kerja tidak tercipta di daerah. Saat ini, PP No. 59 Tahun 2021 telah memberikan arahan yang lebih jelas mengenai anggaran, termasuk untuk LTSA. Pasal 30 salah satunya memuat tugas dan tanggung jawab gubernur atau bupati/wali kota dalam mengalokasikan anggaran operasional LTSA Pekerja Migran Indonesia. Meski demikian, dari pembicaraan mengenai penganggaran yang kami lakukan dengan pemerintah daerah Lombok Timur, kami mencatat pentingnya juga melihat peran legislatif di tingkat daerah. Walau penentuan program prioritas banyak ditentukan oleh visi eksekutif, DPRD memiliki wewenang dalam penganggaran. Mengingat banyaknya program yang harus dijalankan oleh daerah, perlu upaya dalam juga meyakinkan legislatif untuk mendukung LTSA melalui penganggaran. Dua hal yang agaknya perlu didalami dalam mengadvokasi pelindungan yang lebih baik bagi PMI ke depannya adalah: (1) Mencari peluang untuk melakukan alignment antara isu pelindungan PMI dengan prioritas pemerintahan konkuren sebagaimana yang digariskan oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Mendorong perencanaan pembangunan yang lebih strategis di tingkat daerah, agar dapat mengakomodasi program-program pelayanan pelindungan PMI, termasuk dalam kaitannya dengan dukungan terhadap LTSA. Di sini, kami menggarisbawahi pentingnya meningkatkan keterlibatan Bappeda ke depannya. Sebagai lembaga yang berperan dalam ranah perumusan strategis, Bappeda seharusnya menjadi salah satu aktor tata kelola migrasi yang penting karena dalam kapasitasnya lembaga ini seharusnya dapat mengatur perencanaan daerah secara komprehensif dan mengidentifikasi bagaimana pelindungan pekerja migran dapat diintegrasikan ke dalam agenda dan prioritas daerah. Menjadi catatan bahwasanya tata kelola migrasi yang berbasis daerah tidak

73


menafikan peran pemerintah pusat. Dukungan dari pemerintah pusat tetap menjadi hal yang krusial. Salah satu area di mana peran pemerintah pusat menjadi krusial adalah penyediaan informasi. UU No. 25 Tahun 2009 memuat bahwa dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang bersifat nasional, yang pengelolaannya berdasarkan sistem elektronik dan nonelektronik.

4.3. Indikator hasil Dampak positif dari LTSA, jumlah (C)PMI yang terlayani Sukar untuk menilai dampak positif dari LTSA. Sebagaimana terlihat dalam survei kuantitatif, mayoritas (C)PMI belum pernah mengakses layanan LTSA. Karena minimnya sosialisasi, banyak dari mereka ragu/segan untuk mengakses LTSA— alasan yang dikemukakan beragam, mulai dari faktor jarak LTSA yang jauh, hingga kekhawatiran akan adanya pengenaan biaya yang berlebih. Banyak juga dari PMI yang disurvei baru mengetahui informasi tentang LTSA ketika sudah berada di luar negeri. Lebih jauh, temuan kuantitatif sebagaimana terilustrasikan dalam Grafik 3.5 juga mengindikasikan minimnya hasil, mengingat responden tidak bisa merasakan perbedaan antara keadaan sebelum adanya LTSA dengan sesudah. Artinya keberadaan, LTSA sejauh ini tidak membawa dampak perbaikan ke arah lebih baik dan tata kelola yang lebih ramah HAM. Penelitian ini juga menunjukkan bagaimana angka penempatan/jumlah PMI yang sudah melalui LTSA (sebagaimana yang sering dipakai oleh LTSA sebagai indikator) sulit dijadikan ukuran untuk menilai dampak positif dari LTSA, karena pada faktanya, banyak pengguna LTSA yang bahkan tidak menyadari dirinya telah mengakses layanan tersebut. Seringkali mereka tidak tahu bahwa yang telah mereka lalui adalah sebuah layanan terpadu, dan mengira layanan yang diakses adalah layanan Dinas Ketenagakerjaan. Ketidaktahuan yang fundamental ini mengindikasikan minimnya pencapaian LTSA berdasarkan indikator hasil. Ditinjau secara lebih substantif lagi, terkait indikator hasil ini, kita perlu mempertanyakan seberapa jauh LTSA telah dimaknai, dikerangkakan dan tercapai hasilnya sebagai suatu mekanisme pelindungan. Dalam konteks tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia, tujuan yang sering digaungkan adalah pencegahan migrasi nonprosedural—maknanya, upaya-upaya yang dikembangkan adalah memastikan migrasi yang berjalan berada dalam kerangka prosedural. Penting untuk dicatat bahwa baik UU No. 18 Tahun 2017 maupun PP No. 59 Tahun 2021 sendiri tidak memuat istilah ini, dan dengan sendirinya tidak memberikan definisi terkait apa

74


yang dimaksud dengan nonprosedural tersebut. Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah, apakah migrasi prosedural dapat disamakan dengan migrasi yang adil dan aman? Pemahaman terhadap LTSA sebagai sebuah proses administratif, dan masih dominannya logika penempatan membuka penafsiran bahwa pemaknaan migrasi prosedural lebih mengarah pada migrasi yang teratur, atau orderly. Evaluasi ini mencatat bahwa sejauh ini LTSA lebih dapat menjamin migrasi yang teratur, tetapi tidak bisa memastikan proses migrasi yang berlaku aman bagi (C)PMI yang menjalaninya. Penelitian ini mencatat bagaimana Eva (pseudonim, bukan nama sebenarnya), seorang PMI purna yang dalam proses keberangkatannya telah mengakses LTSA, akan tetapi kemudian mengalami perlakuan buruk di tangan majikannya di Singapura. Eva diberangkatkan pada April 2019, melalui PTSP Karawang berdiri. Penempatan Eva penuh masalah, karena banyak informasi yang disampaikan tidak akurat. Misalnya, majikannya mengaku bahwa tempat tinggalnya merupakan kondominium, padahal pada kenyataannya kediaman majikannya merupakan HDB (dari housing & development board, maksudnya hunian tersebut merupakan fasilitas perumahan publik yang lebih terbatas sarananya). Salah satu implikasi dari hal ini adalah kurangnya kemampuan majikannya untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi pekerja rumah tangganya. Selain itu Eva harus menjaga ayah majikan yang mengidap dementia dan mendampinginya dari jam 06:00 pagi hingga tengah malam, yang berarti jam kerjanya melebihi standar 8 jam sehari. Ia juga diberikan makan hanya seadanya, tidak diperkenankan membuka kulkas dan sering dituduh mencuri. Eva juga tidak diperbolehkan mempergunakan HP, yang berarti terjadi pelanggaran yang jelas atas haknya berkomunikasi. Di samping itu, ia mengalami pemotongan gaji selama enam bulan, di mana ini berarti biaya penempatan masih dibebankan kepadanya. Majikannya juga menahan gajinya dan mengatakan bahwa sebaiknya ia hanya menerima gaji setiap 5 bulan sekali. Dari kasus tersebut, dapat kita simpulkan bahwasanya hasil yang diberikan LTSA masih terbatas pada menjamin kesesuaian dokumen-dokumennya berdasarkan persyaratan administratif yang digariskan. Namun LTSA tidak menjamin adanya pelindungan dan migrasi yang aman bagi Eva. Di sini kita melihat dengan lebih jelas bagaimana LTSA belum sepenuhnya berpihak pada pekerja migran karena seleksi yang diberlakukan pada pekerja, tidak dibarengi dengan mekanisme yang jelas untuk juga menyaring pemberi kerja.

75


4.4. Indikator norma hak asasi manusia 4.4.1 Nondiskriminasi dan kesetaraan Perlu diingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional PBB mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya tanpa reservasi. Konvensi tersebut antara lain memuat klausul bahwasanya setiap pekerja migran dan setiap anggota keluarganya memiliki hak untuk dikenali di (jurisdiksi) mana pun sebagai seseorang di mata hukum. Hak ini bersifat absolut, dan sangat dekat dengan prinsip nondiskriminasi. Rekognisi di mata hukum mengisyaratkan bahwa hukum, kebijakan serta pelayanan publik terkait migrasi tidak boleh mendiskriminasi. Dalam rangkaian kegiatan penelitian yang kami lakukan, sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian temuan, juga terdapat indikasi-indikasi di mana yang lebih dipentingkan oleh perangkat LTSA adalah P3MI. Dalam praktik pelaksanaan LTSA yang saat ini berjalan, posisi (calon) pekerja migran yang selalu didampingi, mengesankan perlakuan terhadap mereka sebagai obyek yang dianggap tidak mampu. Artinya, asas kesetaraan belum terpenuhi dalam penyelenggaraan LTSA. Jarang sekali PMI yang mengakses LTSA secara mandiri, dan alih-alih dibekali agar berdaya dalam melakukan proses-proses secara mandiri, pola-pola ketergantungan yang eksploitatif justru dibiarkan. Asas kesetaraan mengamanatkan dibukanya fasilitasi akses bagi semua orang. Jika diidentifikasi kelompok tertentu mengalami kendala aksesibilitas, maka perlu ada mekanisme khusus yang bersifat membisakan (enabling) dan membawa semangat emansipatoris. Perlu ditambahkan di sini, bahwa dalam UU No. 18 Tahun 2017 sendiri terdapat klausul yang mengundang polemik, di mana Pekerja Migran Indonesia Perseorangan hanya dapat bekerja ke luar negeri pada Pemberi Kerja berbadan hukum. Hal ini kemudian menutup kemungkinan pekerja sektor domestik untuk melakukan migrasi mandiri (autonomous migration). Mereka harus menggunakan jasa P3MI, yang mana ini memperkecil kemungkinan pekerja migran sektor domestik untuk mengakses LTSA secara mandiri. Belum tersedianya mekanisme penempatan lainnya bagi pekerja migran sektor domestik merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan mengingat berdasarkan berbagai hasil kajian dan data pengaduan yang telah dilakukan oleh serikat/ organisasi masyarakat sipil yang peduli isu PMI, kebanyakan kasus yang menimpa perempuan PMI justru terjadi ketika mereka ditempatkan oleh P3MI. 4.4.2 Partisipasi Penelitian ini menunjukkan bahwasanya pihak nonpemerintah yang tingkat

76


partisipasinya paling tinggi di LTSA adalah aktor swasta (P3MI). Mereka sangat berperan di LTSA walaupun amanat perundangan telah menentukan pembatasan peran mereka dalam skema prakeberangkatan yang sekarang berlaku. Di LTSA, seharusnya peran mereka terfokus hanya pada penyeleksian akhir. Namun pada kenyataannya, P3MI melalui karyawannya/broker informal, berperan besar dalam proses pengurusan dokumen, yang hingga sampai ke level lingkungan terdekat (C) PMI (mengantar dari kelurahan hingga sampai ke LTSA). Terdapat juga regulasi yang mengatur keanggotaan perusahaan penempatan secara resmi dalam LTSA, sebagaimana yang teramati dalam kasus perbup di Lombok Timur. Partisipasi aktor swasta yang besar berbanding terbalik dengan partisipasi PMI (C)PMI, yang sebagaimana telah diuraikan, belum tampil sebagai subyek. Selain itu, yang juga rendah peran aktor organisasi masyarakat sipil, yang tidak banyak dilibatkan dalam mekanisme LTSA, khususnya di level keseharian sebagaimana yang berlaku dengan aktor swasta. LTSA juga tak banyak menggandeng organisasi masyarakat sipil dalam melakukan sosialisasi keberadaannya. Praktik baik penyelenggaraan LTSA yang berorientasi HAM seharusnya memperhatikan norma partisipasi ini. Dalam Artikel 42, Konvensi Internasional PBB mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, prosedur atau lembaga yang merespons kebutuhan khusus dan aspirasi pekerja migran seharusnya memungkinkan mereka untuk memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. Saat ini, pekerja migran Indonesia tidak memiliki pilihan perwakilan, kecuali PT yang melaksanakan penempatan mereka. 4.4.3 Akses terhadap pemulihan Belum adanya mekanisme pengaduan yang terlembaga di LTSA mengisyaratkan minimnya perhatian pada akses terhadap pemulihan, yang harusnya menjadi krusial dalam penyelenggaraan LTSA, mengingat keterlibatan swasta yang dominan di dalamnya. Tanpa adanya loket pengaduan di LTSA, artinya tidak ada mekanisme untuk langsung menanggapi kemungkinan pelanggaran oleh P3MI. Dalam pengamatan peneliti komunitas kami, keberadaan kepolisian di LTSA seharusnya juga dapat dioptimalkan, ketimbang hanya menyediakan layanan pengurusan SKCK, kepolisian dapat diperbantukan juga untuk memperkuat mekanisme pengaduan. Dalam praktiknya, organisasi penggiat advokasi pelindungan pekerja migran lebih sering menjadi tempat pengaduan (C)PMI yang menghadapi permasalahan (termasuk dalam tahap prakeberangkatan). Penting untuk menjadi catatan, kata “pengaduan” disebutkan sebanyak 79 kali dalam UU No. 25 Tahun 2009, mengindikasikan pentingnya pengadaan akses pemulihan dalam layanan publik.

77


4.4.4 Akuntabilitas Pendekatan berbasis HAM merujuk pada pentingnya akuntabilitas, yakni penjaminan akan adanya sistem untuk memonitor standar-standar HAM. Saat ini tidak jelas bagaimana perangkat LTSA mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya sebagai duty bearer dan kepada siapa mereka akuntabel. Dalam perjalanannya sejauh ini, evaluasi LTSA cenderung hanya dilaksanakan secara internal, dan tidak menggunakan pendekatan HAM. Relatif tidak banyak pengawasan yang bisa dilakukan oleh pihak eksternal terhadap penyelenggaraan layanan mengingat LTSA juga kurang bersedia menampilkan data secara transparan, termasuk kepada para peneliti komunitas dalam kajian ini.

4.5 Indikator responsif gender Penelitian yang diadakan oleh Pusat Kajian Wanita dan Gender (PKWG-UI) (2018/2019) menunjukkan bahwasanya UU No. 18 Tahun 2017 sebagai rujukan utama tata kelola pelindungan pekerja migran saat ini masih buta gender. Artinya, secara struktural, juga belum ada kerangka standar untuk pelaksanaan LTSA yang responsif gender. Dalam kaitannya dengan aspek responsif gender, beberapa hal yang spesifik terkait dengan konteks prakeberangkatan menurut Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women, CEDAW), mencakup hal-hal berikut yang secara langsung bersifat relevan bagi penyelenggaraan LTSA: • Pentingnya pemahaman bahwa perempuan seringkali tidak memiliki akses yang independen dan setara dengan laki-laki ke dokumen-dokumen identitas diri, kependudukan dan perjalanan; • Pentingnya pengadaan informasi mengenai migrasi yang adil dan aman secara publik, dan secara khusus, pengadaan sosialisasi yang ditargetkan pada perempuan untuk menghindari direkrutnya mereka melalui jalur-jalur migrasi yang nonprosedural dan mengarah ke praktik perdagangan manusia; • Secara khusus, diperlukan pengadaan informasi dan sosialisasi yang lebih terperinci kepada calon pekerja migran yang tertarik untuk/akan bekerja di sektor domestik; • Pentingnya mengadakan pengaturan khusus dan pengawasan terhadap P3MI untuk memastikan penghormatan mereka pada perempuan; • Perlunya memastikan bahwa tes dan pemeriksaan kesehatan bersifat nondiskriminatif, sensitif budaya, dan memajukan penghormatan terhadap hak perempuan;

78


Perlunya memastikan bahwa program praberangkatan memberikan materi/ muatan pembekalan yang menjelaskan kerentanan spesifik pekerja migran perempuan, terlebih di sektor domestik; hak-hak mereka dalam konteks hukum, khususnya di negara/tujuan penempatan; serta informasi penyedia layanan/bantuan yang dapat mereka akses, baik di negara/tujuan penempatan, maupun di Indonesia; Perlunya pengarusutamaan gender di LTSA, dengan memastikan bahwa perangkat LTSA telah mendapatkan pelatihan responsif gender, dan mendorong pendataan, perencanaan serta penganggaran berbasis gender oleh LTSA.

Dari pengamatan yang kami lakukan di tiga LTSA yang menjadi fokus penelitian ini, standard-setting seperti ini belum muncul, dan gender belum tampil sebagai pakem tolok ukur performa LTSA. Artinya, pemenuhan aspek responsif gender ini masih sangat jauh dari realitas yang ada di lapangan. Catatan pengamatan para peneliti komunitas yang terlibat dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa pelayanan di LTSA bahkan memperlihatkan kemungkinan hak-hak perempuan dilanggar dalam proses yang berjalan, misalnya dalam wawancara dengan Disnaker, biasanya mereka diwawancarai secara rombongan, dan harus menjawab pertanyaanpertanyaan yang mungkin bersifat pribadi. Besar kemudian peluang di mana hak atas kerahasiaan data tidak diperhatikan.

79


Bab

5 Rekomendasi kebijakan

1. Mendorong dipercepatnya penerbitan aturan turunan terkait LTSA sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2017. Tahun 2021 ini menandai sudah empat tahun UU No. 18 Tahun 2017 disahkan. Namun berbagai aturan turunan, yang seharusnya dikeluarkan paling lambat 2 tahun sesudah perundangan, belum juga kunjung tiba. Kelompok masyarakat sipil tetap mendorong aturan turunan yang mengatur LTSA ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP) dan bukan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker). 2. Mendorong dihadirkannya (revisi) aturan di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) yang mengatur tentang pembentukan LTSA agar sesuai dengan orientasi pelindungan yang diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2017. Logika penempatan tidak seharusnya masih dipakai dalam tata kelola migrasi. Dukungan anggaran dari pemerintah daerah perlu mendapatkan perhatian khusus dalam aturan-aturan terkait LTSA. 3. Akses ke LTSA harus dipermudah. Dalam hal ini, pemerintah perlu menetapkan aspek keterjangkauan jarak dan biaya dalam pertimbangan penentuan lokasi LTSA. Selain itu, seiring dengan hadirnya konteks pandemi COVID-19, opsi pengadaan layanan secara daring menjadi urgen. 4. Inovasi lain yang juga sudah mulai menjadi pembicaraan adalah mengadakan layanan LTSA yang sifatnya mobile, melalui fasilitas yang berkeliling. Saat ini Kementerian Ketenagakerjaan tengah menjajaki pengadaan mobil ketenagakerjaan. Meski tidak dikhususkan untuk PMI, melainkan juga untuk melayani pekerja dalam negeri, fasilitas ini dapat dipertimbangkan juga untuk membantu PMI memproses dokumen. 5. Mendorong dilakukannya sosialisasi yang intensif mengenai LTSA, terutama ke desa-desa kantong pekerja migran, dan memastikan bahwa yang menjadi target/ penerima manfaat sosialisasi adalah pencari kerja/calon PMI langsung. Tentunya, sosialisasi ke desa juga perlu dibarengi dengan upaya konkret untuk mendampingi

80


desa dalam meningkatkan kapasitasnya untuk dapat berperan dan mengemban tanggung jawabnya dalam tata kelola migrasi sesuai amanat Pasal 42 UU No. 18 Tahun 2017. Salah satu materi sosialisasi yang penting dikedepankan adalah mendorong calon PMI untuk mengakses LTSA secara mandiri. Calon PMI perlu mendapatkan pengetahuan mengenai manfaat dari melakukan mengurus dokumen sendiri. 6. Memastikan seluruh instansi penyelenggara LTSA, yakni 8 desk sebagaimana yang digariskan dalam PP No. 59 Tahun 2021, yang mencakup: a. ketenagakerjaan; b. pengaduan dan informasi; c. kependudukan dan pencatatan sipil; d. kesehatan; e. keimigrasian; f. kepolisian; g. perbankan; dan h. Jaminan Sosial. 7. Selain delapan desk tersebut, perlu dipastikan juga adanya meja layanan di kantor depan LTSA yang dapat menyediakan informasi mengenai migrasi aman yang berperspektif HAM dan gender. Informasi ketenagakerjaan juga perlu disampaikan secara akurat, dalam hal ini, transparansi mengenai job order menjadi perhatian khusus. 8. Terkait dengan biaya penempatan, penyelenggara LTSA harus memastikan adanya praktik layanan bebas pungli. LTSA harus menyediakan transparansi dan kepastian biaya pengurusan dokumen/pelayanan. dan memastikan pemohon LTSA memiliki mekanisme untuk melaporan pembiayaan yang tidak seharusnya/ sewajarnya. 9. Memastikan bahwa SDM serta sarana dan prasarana LTSA mampu menunjang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di dalam LTSA. Kesejahteraan personel perlu menjadi perhatian untuk menghindarkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan cita-cita pembentukan LTSA. 10. Mendorong diadakannya penyelenggaraan pelatihan HAM dan wawasan gender kepada perangkat LTSA, dan menghimbau penyelenggara LTSA untuk menetapkan hak dan larangan pegawai pelayanan LTSA secara lebih spesifik yang berperspektif HAM dan gender yang menjabarkan apa saja hak dan larangan pegawai pelayanan LTSA dalam hubungannya dengan pemohon LTSA, baik (calon) PMI, keluarganya, maupun P3MI. 11. Mendorong dilembagakannya mekanisme pengaduan di LTSA sebagai jaminan dan penyediaan akses pemulihan bagi pekerja migran, yang hak-haknya sangat mungkin dilanggar oleh pihak swasta. Setiap LTSA seharusnya memiliki loket pengaduan kasus bagi (calon) PMI dan keluarganya, dan membuka mekanisme penanganan kasus dan bantuan hukum yang mudah diakses oleh CPMI/PMI dan

81


keluarganya. Harus dipastikan bahwa (calon) PMI dan keluarganya bisa mengakses informasi serta layanan konsultasi dan bantuan hukum secara cumacuma di LTSA. 12. Pelembagaan akses pemulihan ini mendesak mengingat kewajiban Negara memastikan adanya pelindungan dari dampak negatif perusahaan terhadap individu. Pelembagaan saluran pengaduan memperkokoh fungsi LTSA, yang tidak terbatas sebagai layanan administratif. Mekanisme pengaduan ini harus seluas mungkin, sehingga masyarakat umum juga dapat melakukan pengaduan mengenai permasalahan LTSA. 13. Membentuk sistem pangkalan data (database) tunggal LTSA yang terintegrasi dengan seluruh instansi terkait, termasuk Kemlu, BP2MI, P3MI, hingga rumah sakit rujukan tes kesehatan CPMI. LTSA perlu membangun sistem pendataan yang menjamin akurasi, akuntabilitas, dan perlindungan yang efektif. | Data PMI yang diarsip oleh LTSA juga harus meliputi: salinan kontrak kerja, salinan paspor, salinan KTP dan KK, salinan perjanjian penempatan P3MI yang memberangkatkan, nomor kontak anggota keluarga PMI yang dapat dihubungi, termasuk pengguna jasa/majikan, jenis kelamin dan usia, profil majikan/pemberi kerja, data jaminan sosial. 14. Mendorong pelibatan aktor organisasi masyarakat sipil dalam pengadaan LTSA untuk memperkuat akuntabilitas LTSA. Mandat pelibatan harus dimulai hari tahap perencanaan pembentukan/penentuan lokasi, hingga penyelenggaraan dan pengawasan layanan LTSA. | 15. Akses komunikasi dan kerja sama seluas-luasnya, terutama dengan kelompok masyarakat sipil di daerah harus difasilitas seluas-luasnya sebagai upaya memaksimalisasi sumber daya daerah dalam mewujudkan pelayanan LTSA yang sesuai prinsip awalnya. Pelibatan masyarakat sipil penting untuk memastikan adanya inkorporasi pendekatan berbasis hak dalam tata kelola migrasi di Indonesia. 16. Pelibatan masyarakat sipil juga dapat dipertimbangkan untuk mekanisme pelindungan/penanganan kasus. ILO bersama kelompok-kelompok masyarakat sipil tengah mengembangkan konsep Migrant Resources Center yang terkoneksi dengan desa, dan sedang dijajaki kemungkinannya untuk dilekatkan dengan LTSA. 17. Terkait pengawasan, perlu dipertimbangkan untuk membuka peluang pengawasan yang partisipatif dengan melibatkan stakeholders pemerintah yang

82


selama ini jarang diikutsertakan dalam pembahasan tata kelola migrasi, salah satunya yang paling penting tentunya Ombudsman selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga relevan untuk diikutsertakan sebagai pengawas, mengingat migrasi ketenagakerjaan Indonesia masih melibatkan P3MI dan mekanisme bisnis antarnegara yang hingga kini tidak pernah mendapatkan scrutiny secara khusus, dan karenanya rawan akan pelanggaran, termasuk pembebanan biaya penempatan pada pekerja. Pelibatan institusiinstitusi HAM nasional yakni Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga dapat menjamin adanya penegakan HAM dan inkorporasi wawasan gender yang lebih baik dalam penyelenggaraan LTSA. | Mekanisme evaluasi dan pengawasan juga harus bisa diakses dengan mudah oleh calon PMI, pendamping, hingga masyarakat secara luas dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas kinerja LTSA. 18. Masih berkaitan dengan pengawasan, secara khusus kita perlu mendukung aktor organisasi masyarakat sipil dalam upaya mereka membangun basis pengetahuannya mengenai tata kelola migrasi. Hal ini penting dalam menunjang kapasitas mereka untuk melakukan pengawasan terhadap LTSA.

83


Daftar Pustaka Cholewinski, Ryszard, et al., eds. (2009). Migration and human rights: the United Nations Convention on Migrant Workers’ Rights. Cambridge University Press, 2009. de Rijcke, Sarah, Wouters, Paul F., Rushforth, Alex D., Franssen, Thomas P. & Björn Hammarfelt. “Evaluation practices and effects of indicator use—a literature review,” Research Evaluation 25, Issue 2 (2016): 161-169. doi: 10.1093/reseval/rvv038 Guest, Greg, Namey, Emily & Kevin McKenna. “How many focus groups are enough? Building an evidence base for nonprobability sample sizes,” Field Methods (2016). doi: 10.1177/1525822X16639015 Lindquist, Johan. (2018). “Infrastructures of escort: Transnational migration and economies of connection in Indonesia.” Indonesia 105: 77-95. Lindquist, Johan. (2012). The elementary school teacher, the thug and his grandmother: informal brokers and transnational migration from Indonesia. Pacific Affairs 85, no.1: 6989. United Nations Human Rights Office of the Right Commissioner. 2012. Human rights indicators: a guide to measurement and implementation. Diakses dari: https://www.ohchr.org/ Documents/Publications/Human_rights_indicators_en.pdf Vedung, Evert. Public policy and program evaluation. Routledge, 2017. Wisnuwardhani, Savitri, et al. Evaluasi Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan Antara Aturan dan Pelaksanaan. Jakarta: Jaringan Buruh Migran a.n. The Institute for Ecosoc Rights, 2018. BP2MI. Data Penempatan dan Pelindungan PMI Tahun 2019. Diakses dari: https://bp2mi. go.id/uploads/statistik/images/data_19-02-2020_Laporan_Pengolahan_Data_ BNP2TKI____2019(2).pdf BPS Kab. Banyuwangi. Hasil Sensus Penduduk Kabupaten Banyuwangi 2020. Diakses dari: https://banyuwangikab.bps.go.id/pressrelease/2021/01/22/93/hasil-sensus-pendudukKab.-banyuwangi-2020.html BPS Kab. Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi dalam Angka 2021. Diakses dari: https:// banyuwangikab.bps.go.id/publication/2021/02/26/92c9d6985269031f62f278b4/Kab.banyuwangi-dalam-angka-2021.html BPS Kab. Karawang. Kabupaten Karawang dalam Angka 2021. Diakses dari: https:// karawangkab.bps.go.id/publication/2021/02/26/f135c5ef4205b2e953b54f33/Kab.karawang-dalam-angka-2021.html

84


BPS Kab. Lombok Timur. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka 2021. Diakses dari: https:// lomboktimurkab.bps.go.id/publication/2021/02/26/16598bcbc9b45c7cd5d5a15b/Kab.lombok-timur-dalam-angka-2021.html DPN SBMI. “Belum Harmonis, SBMI Banyuwangi Minta Perda Perlindungan TKI Ditinjau Ulang.” 5 Januari, 2020. https://sbmi.or.id/?p=10532 DPN SBMI. “Mungkinkah Perda Copas Bisa Melindungi PMI Karawang.” Agustus, 2020. https:// sbmi.or.id/?p=11447 Liputan Indonesia. “Disnakertrans dan Perindustrian Kabupaten Banyuwangi Concern Perkuat Program Desmigrati.” 22 Desember, 2020. https://liputanindonesianews.com/ detail/40820/disnakertrans-dan-perindustrian-Kab.-banyuwangi-concern-perkuatprogram-desmigratif.html Pemkab Banyuwangi. Perubahan RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2016-2020. Diakses dari: https://banyuwangikab.go.id/media/doc/transparansi/RPJMD_P_Kabupaten_ Banyuwangi-2016-2021-21012020.pdf Pemkab Karawang. RPJMD Kabupaten Karawang Tahun 2016-2021. Diakses dari: https:// www.karawangkab.go.id/dokumen/rpjmd-kabupaten-karawang-2016-2021-0 Pemkab Lombok Timur. RPJMD Lombok Timur Tahun 2018-2023. Diakses dari: https:// bapeda.lomboktimurkab.go.id/baca-berita-166-rencana-pembangunan-jangkamenengah-daerah-lombok-timur-tahun-2018--2023.html Radar Lombok. “600 TKI Ilegal Asal Lotim Dideportasi.” 15 November, 2020. https:// radarlombok.co.id/600-tki-ilegal-asal-lotim-dideportasi.html

85


Lampiran

86


Sumber: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/ meetingdocument/wcms_647497.pdf

87


88


Sumber: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/ meetingdocument/wcms_647497.pdf

89




Jaringan Buruh Migran a/n The Institute for Ecosoc Rights Jln. Tebet Timur Dalam VI C No 17 Jaksel Telp dan fax : (021) 8304153 Email : jaringan@buruhmigran.or.id | Fanpage : Jaringan Buruh Migran | FB : Jaringan Buruh Migran – jbm | twitter : @jariburuhmigran | IG : Jaringan Buruh Migran (JBM) | website : jaringanburuhmigran.org | YT : Jaringan BuruhMigran


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.