4 minute read

Gambar 1.4 Tampak Depan LTSP-P2TKI Kab. Lombok Timur

• Minimnya sosialisasi tentang LTSA

Hasil survei, baik kuantitatif maupun kualitatif memperlihatkan tingkat pengetahuan (calon) PMI yang sangat minim tentang LTSA. Sangat kurangnya pemahaman akan LTSA ini mengindikasikan tingkat sosialisasi yang masih jauh dari optimal kepada (C)PMI sebagai pengguna prospektif. Padahal, sosialisasi ikut menjadi amanah peraturan yang sudah ada bagi LTSA—misalnya, sebagaimana tertuang dalam Perbup Lombok Timur No. 14 Tahun 2017.

Advertisement

Selain kurang menjalankan sosialisasi kepada (calon) PMI, pemerintah juga belum maksimal melakukan sosialisasi terkait keberadaan LTSA ke desa-desa sebagai lingkungan terdekat (calon) PMI. Studi yang tengah dijalankan oleh IOM, UNDP dan SBMI (2021) menengarai bahwa hampir 80% desa di Indonesia tidak mengetahui adanya LTSA. Di Karawang, Dinas Ketenagakerjaan telah mencoba mengusahakan sosialisasi tahunan, paling tidak di tingkat kecamatan. Pada tahap ini, per tahunnya Dinas Ketenagakerjaan baru berhasil menjangkau 5 kecamatan per tahunnya, yang dipilih secara acak. Keterbatasan anggaran menjadi kendala dalam menjalankan sosialisasi. Pemerintah daerah Karawang, Sosialisasi terkait LTSA juga sudah diusahakan secara lebih informal melalui forum minggon kecamatan. Sementara itu, pihak LTSA Banyuwangi menyatakan sudah melakukan penyuluhan kepada para camat dan lurah sekabupaten Banyuwangi, dan menegaskan bahwa peran sosialisasi itu kini berlokus pada pemerintah desa. Seperti halnya dengan Karawang, sosialisasi LTSA oleh Disnaker di Banyuwangi juga terbatas, hanya dilakukan dua kali dalam setahun. Menjadi pertanyaan seberapa efektif kemudian proses tersebut, dan apakah cukup untuk mengembangkan kapasitas desa sebagai pihak utama yang harus mensosialisasikan LTSA lebih lanjut ke warganya.

Gambar 1.4 Tampak Depan LTSP-P2TKI Kab. Lombok Timur Peneliti lokal, Usman (kiri) dan Kusmayanti (kanan) saat sedang mengunjungi LTSPP2TKI Kab. Lombok Timur untuk mengumpulkan data penelitian

Dari pengamatan yang dilakukan oleh para peneliti komunitas kami, secara umum tata kelola migrasi yang berjalan saat ini terlihat masih mengabaikan peran pemerintah desa. Sementara itu, pemerintah desa sendiri juga belum mengembangkan kepekaan terhadap isu migrasi tenaga kerja. Hal ini tercermin misalnya dalam masih sepinya pendataan oleh pemerintah desa tentang warga desa yang bekerja di luar negeri. Status keberadaan penduduknya yang sedang berada di Luar Negeri itu hanya dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang keperluannya pada masa pemilihan saja. Dalam pendataan tersebut, informasi keberadaan penduduk juga dituliskan hanya secara sangat sederhana pada kolom keterangan LN (Luar Negeri) atau LD (Luar Daerah). Menarik juga untuk diamati, bahwa peraturan di tingkat daerah yang sudah mengikuti UU No. 18 Tahun 2017, belum tentu memuat tanggung jawab pemerintah desa untuk memberikan informasi tentang migrasi aman—antara lain terkait keberadaan LTSA. Dalam Perda Karawang, misalnya, yang diketengahkan hanya penyampaian informasi mengenai peluang kerja.

Satu temuan yang juga sangat menarik dari studi ini adalah bagaimana dalam kecenderungannya, sosialisasi justru dijalankan kepada P3MI. Ini misalnya terjadi di Karawang, di mana strategi sosialisasi BP2MI justru lebih ditujukan kepada P3MI.

Menjawab tentang masih maraknya praktik perantaraan oleh calo, pihak Kementerian mengemukakan bahwa solusi yang dimiliki oleh Kementerian saat ini adalah mengoptimalkan kinerja pengantar kerja atau petugas antar kerja. Namun tentunya hal ini masih menemui tantangan juga dengan masih terbatasnya jumlah mereka, dan khususnya dengan natur mereka yang tidak memberikan layanan yang sifatnya door-to-door. Di sini, kita mengenali keterbatasan yang sangat mendalam dalam upaya pemerintah untuk menandingi jaringan broker dan sistem “antarjemput” (escort) yang menjadi basis infrastruktur penempatan pekerja migran yang telah mengakar kuat di Indonesia selama ini (lihat Lindquist, 2018). Legitimasi calo kukuh karena bepergian (termasuk untuk keperluan mengakses layanan pemerintah dari satu instansi ke instansi lainnya), bermigrasi atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan mobilitas dianggap berbahaya jika dilakukan sendirian.

• Kedekatan relasi antara LTSA dengan pihak swasta & masih langgengnya praktik perantaraan

Dalam perkembangan penelitian ini, pernyataan-pernyataan dari aktor pemerintah yang mengesankan LTSA lebih ditujukan untuk memfasilitasi perusahaan penempatan, cukup konsisten ditemui, baik di level pemerintah daerah maupun nasional. Ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan urgen mengenai keberpihakan:

bagaimana pemerintah memosisikan LTSA dalam relasinya dengan pihak swasta dan PMI. Siapa dimaksudkan untuk menjadi beneficiary dari LTSA? Jika pengadaan LTSA lebih ditujukan untuk memfasilitasi P3MI ketimbang PMI, bukankah ini bertentangan dengan maksud UU yang menggariskan LTSA sebagai bagian dari pelindungan teknis?

Relasi dekat antara LTSA dan pihak swasta terindikasikan dalam berbagai temuan yang telah diketengahkan sebelumnya, antara lain: • keberadaan perusahaan perekrut di LTSA yang dipayungi regulasi hukum, sebagai contoh di Lombok Timur, kerangka hukum yang melembagakan keterlibatan swasta di LTSA adalah berupa peraturan bupati; • pengadaan layanan yang lebih tergantung pada kepentingan perusahaan, sebagaimana tercermin dalam pengalaman Karawang, di mana beberapa layanan ditutup karena penggunaan oleh perusahaan terbatas; • munculnya mekanisme komunikasi dan koordinasi khusus antara LTSA dengan P3MI, sebagaimana terlihat dalam sosialisasi yang lebih dilakukan kepada P3MI, juga dengan adanya praktik seperti pembuatan grup di aplikasi WhatsApp yang keanggotaannya terbatas antara LTSA dengan karyawan P3MI, sebagaimana yang teramati di Banyuwangi.

Besarnya pelibatan swasta di LTSA berbanding terbalik dengan pelibatan organisasi masyarakat sipil, khususnya yang bergiat dalam advokasi pelindungan pekerja migran Indonesia.

Poin (5) ini bertalian erat dengan poin (6) tentang kemandirian PMI, yang diterangkan berikutnya.

• PMI cenderung tidak mengakses LTSA secara mandiri

Salah satu temuan terbesar dalam penelitian ini adalah adanya peran P3MI yang dominan di LTSA, di mana kebanyakan PMI, khususnya perempuan pekerja migran, jarang mendapatkan kesempatan mengakses layanan secara mandiri. Dalam pakem yang ada, kebanyakan perempuan PMI mengakses LTSA dengan didampingi oleh pihak perusahaan. Mekanisme yang berlaku ini menimbulkan tanda tanya terkait fungsi LTSA. Sebagaimana sudah disampaikan dalam pembukaan laporan ini, sesuai semangat yang diusung oleh UU No. 18 Tahun 2017, LTSA seharusnya dimaksudkan sebagai inovasi pelindungan. Potensi utama LTSA khususnya adalah dalam memotong rantai intermediasi yang selama ini merugikan PMI karena mendorong terjadinya praktik-praktik eksploitatif dan pembengkakan biaya (pemungutan biaya untuk “jasa” para calo mengantar ke berbagai tempat untuk pengurusan dokumen di masa prakeberangkatan. Keterlibatan P3MI yang sangat dominan di LTSA,