12 minute read

Tabel 2.17 Pendanaan Sejumlah Program Prioritas Ketenagakerjaan di Kab. Lombok Timur Tahun 2019-2021 Menurut RPJMD

energi, irigasi, air bersih, serta perumahan; 2) Meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berdaya saing dengan biaya terjangkau; 3) Menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada pengembangan potensi lokal melalui sinergi fungsi-fungsi pertanian, peternakan, perdagangan, perikanan, kelautan, pariwisata, dan sumber daya lainnya; 4) Memperkuat pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial, politik, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan anak serta meningkatkan pembinaan kepemudaan dan olahraga; 5) Menciptakan keamanan dan ketertiban harmonis dalam masyarakat dengan meningkatkan pembangunan kehidupan keagamaan yang lebih baik dan religius; dan 6) Meningkatkan reformasi birokrasi melalui pemekaran wilayah pemerintahan desa, kecamatan, dan Kab. untuk menuju aparatur yang bersih dan berorientasi kepada pelayanan publik.

Pemkab Lombok Timur memiliki beberapa program prioritas dalam bidang ketenagakerjaan, di antaranya program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, program perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan, hingga program peningkatan kesempatan kerja.

Advertisement

Tabel 2.17 Pendanaan Sejumlah Program Prioritas Ketenagakerjaan di Kab. Lombok Timur Tahun 2019-2021 Menurut RPJMD

No Program Prioritas

1 Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja

2 Program Peningkatan Kesempatan Kerja

Indikator Kinerja Program Pendanaan (dalam rupiah)

2019 2020 2021

% (Juta) (Juta) (Juta)

Persentase peserta didik terampil kerja yang diterima kerja 1.691,3 0,14 1.775,8 0,14 1.864,6 0,13

Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas 594,6 0,05 624,3 0,05 655,5 0,05 Rasio penduduk usia angkatan kerja yang bekerja

3 Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenagakerjaan Persentase lembaga ketenagakerjaan yang mengikuti aturan perundangundangan

Alokasi Pendanaan Program Prioritas Bidang Ketenagakerjaan1 174,9 0,015 183,7 0,014 192,9 0,014

3.456,9 0,29 3.629,7 0,28 3.811,2 0,27

Alokasi Pendanaan Program Prioritas 1.204.793,5 100 1.295.497,4 100 1.419.340,5 100

Sumber: RPJMD Kab. Lombok Timur Tahun 2018-2023

Berdasarkan tabel di atas, sebagai salah satu penyumbang PMI terbesar di Provinsi NTB dan Indonesia, Kab. Lombok Timur tidak memiliki program prioritas pembangunan dengan indikator kinerja yang secara khusus menyasar kelompok PMI. RPJMD yang ada belum memiliki analisis permasalahan PMI, sehingga isu tersebut tidak masuk ke dalam isu-isu strategis. Sedangkan secara umum, alokasi pendanaan program prioritas di bidang ketenagakerjaan secara persentase masih terbilang sangat rendah, berada di kisaran 0,27-0,29 persen dalam satu tahun.

Provinsi NTB maupun Kab. Lombok Timur, keduanya merupakan kantong PMI yang ada di Indonesia. Di tingkat nasional, Provinsi NTB merupakan provinsi penyumbang PMI terbesar ke-4 dan Kab. Lombok Timur merupakan kabupaten/kota penyumbang PMI terbesar ke-2, hanya berada di bawah Kab. Indramayu.

Data penempatan yang dikeluarkan oleh BP2MI menunjukkan bahwa meskipun angka penempatan dari tahun ke tahun cenderung menurun, angka penempatan PMI asal Kab. Lombok Timur masih tergolong tinggi dibandingkan dengan daerahdaerah lain, termasuk jika dibandingkan dengan angka penempatan dari Kab. Banyuwangi dan Kab. Karawang yang telah tercantum di bagian sebelumnya.

Tabel 2.18 Jumlah Penempatan PMI asal Kab. Lombok Timur Tahun 2017-2020

No. Wilayah

1 Indonesia

2017 2018 2019 2020

262.899 283.640 276.553 113.173

2 Provinsi NTB 34.994 32.557 30.706 8.261

3 Kab. Lombok Timur 15.232 12.832 12.284 3.019

Sumber: Data Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI

1 Jumlah alokasi pendanaan dari tujuh program prioritas di bidang ketenagakerjaan.

Angka penempatan PMI yang selalu tinggi setiap tahunnya didorong oleh berbagai faktor yang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah kantong PMI lainnya, seperti faktor indikasi kemiskinan, tingkat upah yang rendah, kesempatan kerja yang minim di dalam negeri, tingkat pendidikan yang rendah, dll. Berdasarkan profil demografi yang telah dituliskan di bagian sebelumnya, Kab. Lombok Timur memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah, bahkan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, termasuk Kab. Banyuwangi dan Kab. Karawang. Ketimpangan gender yang juga tercermin dalam beberapa data, misalnya tingkat pendidikan tentunya berpengaruh terhadap lazimnya penempatan perempuan PMI asal Kab. Lombok Timur yang mengisi sektorsektor informal di luar negeri.

SBMI Lombok Timur mencatat bahwa negara tujuan utama PMI asal Kab. Lombok Timur adalah Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi. Sedangkan berdasarkan sektor pekerjaan, umumnya PMI asal Kab. Lombok Timur bekerja sebagai PRT, pekerja ladang/perkebunan, dan pekerja konstruksi bangunan.

Sebagai daerah kantong PMI, Kab. Lombok Timur dirundung berbagai permasalahan. Permasalahan utama yang sering terjadi kepada PMI asal Kab. Lombok Timur adalah kasus PMI meninggal di luar negeri hingga penyiksaan oleh majikan. Selain itu, Kab. Lombok Timur menghadapi permasalahan yang cukup kompleks mengenai perdagangan manusia dan praktik penempatan PMI non prosedural oleh perusahaan-perusahaan perekrut yang melakukan pemalsuan identitas PMI. Untuk rentang waktu Januari hingga November 2020, terdapat 600 PMI non prosedural asal Kab. Lombok Timur dideportasi dari Malaysia. Melalui data yang dirilis oleh BP2MI, tercatat setidaknya 322 pengaduan kasus oleh PMI asal Kab. Lombok Timur pada tahun 2017-2020. Berikut merupakan beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemkab Lombok Timur sebagai daerah kantong PMI dengan segala kompleksitas permasalahan yang mengikutinya.

• Perda yang berlaku masih belum direvisi. Kab. Lombok Timur memiliki Perda No. 12 Tahun 2006 tentang Penempatan, Perlindungan, dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia asal Kab. Lombok Timur. Perda tersebut masih merujuk UU No. 39 Tahun 2004 dan bukan UU No. 18 Tahun 2017. Perda lama ini tentu berimplikasi terhadap berbagai hal, bahkan nomenklatur yang dipakai masih “Tenaga Kerja Indonesia” dan bukan “Pekerja Migran Indonesia.” Dalam aspek perlindungan PMI, tentu perda lama juga tidak memiliki potensi yang prospektif dalam menghadapi berbagai permasalahan migrasi ketenagakerjaan di Kab. Lombok Timur. SBMI Lombok Timur sempat

meminta agar perda tersebut dapat direvisi untuk menyesuaikan dengan UU

No. 18 Tahun 2017 dikarenakan perda yang ada tidak dapat menjalankan amanah UU No. 18 Tahun 2017, terutama dalam kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab Pemda dan pemerintah desa terkait perlindungan PMI. • Desmigratif. Desa Lenek Laut dan Desa Korleko merupakan desa yang menjadi sasaran program Desmigratif di Kab. Lombok Timur. Program ini bukan hanya ditujukan untuk memberdayakan purna PMI dan keluarganya, tetapi juga berusaha untuk mengurangi angka penempatan nonprosedural yang telah menjadi permasalahan pelik di Kab. Lombok Timur sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Catatan SBMI tentang program desmigratif: Meskipun memiliki tujuan spesifik, SBMI Lombok Timur mencatat bahwa desmigratif tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Desmigratif bahkan dikatakan tidak memiliki data penduduk desanya yang pergi bekerja ke luar negeri, sehingga menjadi paradoks bagi desmigratif yang bertujuan untuk merapikan pendataan dan menekan angka penempatan PMI nonprosedural.

• Pemerintah daerah berinisiatif menetapkan kebijakan lewat menerbitkan

peraturan bupati. Pada awal tahun 2018, Kab. Lombok Timur meresmikan layanan terpadu satu pintu dan perlindungan TKI (LTSP-P2TKI) di Kecamatan

Selong. Penyelenggaraan LTSP-P2TKI diatur dalam Perbup Kab. Lombok

Timur No. 14 Tahun 2017 tentang Pembentukan, Tugas, Fungsi, Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Kab. Lombok Timur yang kemudian mengalami perubahan melalui Perbup Kab. Lombok Timur No. 44

Tahun 2018. • Evaluasi Kemnaker terhadap layanan satu pintu untuk pekerja migran.

Berdasarkan evaluasi oleh Kemnaker RI, LTSP-P2TKI Lombok Timur termasuk ke dalam kategori optimal karena beberapa hal, salah satunya kemampuan

LTSP-P2TKI dalam menerbitkan paspor dan angka penempatan yang berada di atas 1.000 PMI per tahun. Menurut data BP2MI, LTSP-P2TKI Lombok Timur telah memfasilitasi penempatan kepada 4.529 PMI pada tahun 2018 dan 5.837 PMI pada tahun 2019.

Bab 3

Temuan penelitian

Pada dasarnya survei ini hendak menyingkap bagaimana kondisi aktual LTSA sejauh ini dengan maksud agar kita dapat mengetahui perkembangan atau kemajuan dan situasi-situasi yang dihadapi para pihak sejauh terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia dari para pekerja migran. Adanya perkembangan baik dari pembentukan LTSA diharapkan memperkuat pelayanan dan pemenuhan hak pekerja migran. Sementara dari pengetahuan kita tentang kemunduran, kemandegan, hambatan atau situasi kurang mendukung LTSA diharapkan dapat mendorong untuk memacu perbaikan.

Namun, sebelum menjelaskan temuan-temuan yang didapat dari survei ini, kami ketengahkan terlebih dahulu catatan singkat tentang sejarah pembentukan LTSA. Catatan ini akan menjadi pembanding yang kiranya akan membantu pembaca untuk memahami hasil survei ini. Sebagaimana telah diketahui, UU No. 18 Tahun 2017 menetapkan mandat pelindungan yang lebih terperinci dibandingkan dengan perundangan sebelumnya. Dengan penekanan pada tata kelola migrasi yang berbasis daerah, untuk meningkatkan layanan migrasi yang aman dan mengurangi kasus yang dialami PMI, UU No. 18 Tahun 2017 menggariskan beberapa tugas dan peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, salah satunya dengan membuat layanan Terpadu Satu

Atap (LTSA). Dalam konfigurasi tata kelola migrasi berbasis daerah, LTSA merupakan salah satu pengejawantahan pelindungan. Selain LTSA juga ada bentuk-bentuk pelindungan lainnya, misalnya yang diselenggarakan oleh desa sebagai pemerintahan terkecil dan lebih memiliki akses untuk menjangkau PMI. Salah satu dasar bagi keberadaan LTSA di antaranya adalah adanya identifikasi bahwasanya masalah PMI terbesar adalah ketika di dalam negeri/sebelum berangkat, misalnya pemalsuan dokumen, informasi kerja yang tidak sesuai, minimnya penyiapan pendidikan dan pelatihan termasuk pendidikan hak PMI berkontribusi pada kasus yang dialami PMI di luar negeri. Untuk mengantisipasi permasalahan Pasal 38 dan Pasal 40-41 UU No. 18 Tahun 2017 memandatkan pentingnya dibentuk LTSA di tingkat kabupaten dan/atau Provinsi.

Dilihat dari sejarah adanya LTSA, pengaturan mengenai layanan terpadu satu pintu sudah dituliskan didalam Permenaker No 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksana Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri pasal 10 dan pasal 51. Pada pasal 10 dijelaskan mengenai layanan rekrut penempatan dan perlindungan pekerja migran dilakukan oleh dinas provinsi melalui layanan terpadu satu pintu yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi tenaga kerja luar negeri. Sedangkan pasal 51 menjelaskan mengenai mekanisme layanan data dan informasi migrasi kerja dilakukan secara terpadu dengan menggunakan sistem online. Sayangnya dalam Permen tersebut, tidak dijelaskan dalam penjelasan pasal 10 mengenai mekanisme dinas provinsi dalam melakukan layanan terpadu satu pintu tersebut.

Satu tahun kemudian, pada 2015, Kemnaker melalui Permenaker No 30 tahun 2015 membuat Pedoman Pembentukan dan Penyelenggaraan Layanan Terpadu Satu Atap Tenaga Kerja Indonesia. Dalam peraturan tersebut, diatur mengenai layanan berbasis satu atap yang dipergunakan tidak hanya untuk pekerja migran Indonesia tetapi juga pekerja dalam negeri/lokal. Hal ini terlihat dari definisi PTSA, pelaksana layanan, bidang kerja dan jenis layanan yang diberikan. Menurut definisi, PTSA dalam Permenaker ini mengatur mengenai pelayanan yang dilaksanakan di satu tempat dengan memadukan beberapa jenis pelayanan dan atau beberapa satuan kerja penyelenggara secara bersama dari tahap permohonan sampai dengan penyelesaian produk pelayanan. Pelaksana dari kegiatan ini disebut UPT (Unit Pelayanan Teknis) yang merupakan organisasi yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional tertentu/penunjang Kementerian Ketenagakerjaan (pasal 1 Permenaker No 30/2015). PTSA sendiri meliputi 6 bidang dengan jenis layanan yang mengikuti bidang-bidang ini yakni: a) bidang pelatihan dan produktivitas, b) bidang penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, c) bidang hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja, d) bidang pengawasan ketenagakerjaan dan keselamatan dan kesehatan kerja, e) bidang perencanaan dan pengembangan ketenagakerjaan dan f) kesekretariatan (pasal 4 ayat 1).

Pada 2016 berdasarkan laman BP2MI, BNP2TKI (nama pada saat itu) telah membuat peraturan mengenai layanan terpadu dengan konsep Layanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), melalui Perka Badan No 54 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Nusa Tenggara Barat. Dalam Perka tersebut diatur mengenai (a) lokasi enam PTSP di wilayah Provinsi NTB; (b) unsur yang melakukan pelayanan terpadu satu pintu yakni instansi pemerintah pusat dan daerah di bidang administrasi kependudukan,

ketenagakerjaan, kesehatan, kepolisian dan imigrasi; (c) pendanaan dalam penyelenggaraan PTSP yang dibebankan kepada ABPN Kementerian/instansi terkait dan ABPD. Selain membuat aturan PTSP di Nusa Tenggara Barat, BP2MI juga membuat dua peraturan kepala badan yang lain yakni Perka BNP2TKI No 55 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI di Kalimantan Barat dan Perka BNP2TKI No 56 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Layanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI di Kepulauan Riau. Di dalam kedua peraturan itu juga disebutkan mengenai kedudukan, tugas, fungsi dan keanggotaan dari PTSP akan diatur dalam aturan perka badan yang lain.

Pada 2017 dengan diundangkannya UU PPMI, istilah “satu pintu” kini sudah tidak ada lagi. Pasal 38 dalam UU PPMI menetapkan kebijakan pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Dalam pasal tersebut, ada tiga tujuan pembentukan LTSA yakni untuk (1) mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan perlindungan PMI; (2) efisiensi dan transparansi pengurusan dokumen (C)PMI; dan (3) mempercepat peningkatan kualitas pelayanan PMI. Sedangkan untuk pelaksana dari LTSA berdasarkan UU PPMI dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pasal 40) dan Pemerintah kabupaten/kota (Pasal 41) UU PPMI.

Dalam implementasinya, menurut data dari BP2MI, suatu jenis layanan terpadu telah dibuat sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Pemprov NTB mendirikan Balai Pelayanan yang bekerja secara terpadu antar-instansi melalui kebijakan Perka BNP2KI No 333 Thn 2008. Sasaran dalam pembuatan balai ini untuk membentuk sistem pelayanan terpadu satu pintu untuk memproses dokumen pekerja migran sehingga dapat mempermudah pemberangkatan ke negara tujuan dan pemulangan ke daerah asal. Lokasi pendirian balai pelayanan terpadu ini berada di 13 lokasi debarkasi dan embarkasi. Pelaksana balai ini dalam bentuk UPT (Unit Pelayanan Teknis) dengan nama BP3TKI dan P4TKI dan bertanggungjawab kepada kepala BP2TKI.

Sedangkan LTSA sendiri (pada saat itu masih dalam masa transisi PTSP ke LTSA) dibangun sejak tahun 2016 hingga sekarang. Kesimpulan yang ditarik dari pergeseran layanan terpadu “satu pintu” yang diinisiasikan oleh BP2MI kepada layanan terpadu ke “satu atap” adalah memberikan ruang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melindungi PMI sebelum berangkat melalui penyediaan perlindungan di LTSA. Selain itu juga untuk mempermudah koordinasi antar-dinas di tingkat daerah dalam memberikan perlindungan PMI. Oleh karenanya, untuk memperkuat fungsi perlindungan PMI oleh pemerintah daerah, di dalam UU PPMI dimandatkan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten untuk menyelenggarakan

layanan LTSA. Perkembangan terakhir, dari data Kemnaker, telah terbangun LTSA di 45 Provinsi dan Kabupaten/kota. Yang mana kedepan diharapkan seluruh LTSA dapat melayani 8 desk yakni : 1. Desk Ketenagakerjaan meliputi : informasi pasar kerja dalam dan luar negeri, pengurusan kartu AK/I atau kartu kuning, rekomendasi pembuatan paspor. 2. Desk Dukcapil: pengurusan e-KTP, pengurusan surat keterangan pindah ke luar negeri. 3. Desk Imigrasi: pengurusan paspor. 4. Desk Dinas Kesehatan: rekomendasi pemeriksaan kesehatan, surat keterangan sehat. 5. Desk Kepolisian: pengurusan SKCK. 6. Desk BPJS Ketenagakerjaan: pengurusan asuransi sebelum, selama dan setelah bekerja. 7. Desk Perlindungan dan pengaduan. 8. Desk Perbankan.

3.1. Temuan kuantitatif

Temuan kuantitatif ini menyingkap karakter utama dari migrasi kerja dari Indonesia selama ini. Setidaknya tersingkap di sini: (1) sebaran negara-negara tujuan, (2) pola dominasi gender dari para pekerja migran dan implikasinya pada jenis pekerjaan, serta (3) siapakah pemeran utama dari pemberangkatan kerja para pekerja migran itu ke luar negeri.

3.1.1 Profil responden survei • Mayoritas PMI bekerja di negara Asia-Pasifik

Senada dengan data BP2MI selama periode 2010-2019, negara terbanyak menjadi negara tujuan bekerja PMI adalah Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Arab Saudi dan sisanya tersebar di berbagai negara baik itu di Asia Pasifik maupun Timur Tengah. Tingginya jumlah PMI yang bekerja di negara Asia Pasifik dikarenakan beberapa hal : 1) adanya kebutuhan pekerjaan yang lebih banyak di kawasan Asia Pasifik bila dibandingkan dengan negara Timur Tengah. Khususnya di Malaysia – terdapat sejarah panjang migrasi kerja Indonesia-Malaysia; 2) pengaruh faktor kebijakan penghentian dan pelarangan penempatan pekerja migran melalui Permenaker No 260 Tahun 2015 pada pengguna perseorangan di Kawasan Timur Tengah. Meskipun kebijakan bukan menjadi faktor penentu, namun data pemerintah memperlihatkan bahwa terjadi penurunan penempatan yang cukup signifikan ke negara-negara di Timur Tengah, sementara penempatan di negara-negara Asia Pasifik meningkat.