3 minute read

Gambar 1.1 Loket LTSA di dalam Mal Pelayanan Publik Kab. Banyuwangi

pentingnya pengurusan terpusat di satu tempat dengan kehadiran seluruh instansi (LTSA); (3) adanya loket pengaduan kasus, sehingga PMI/keluarga dapat mengadu ke LTSA; (4) sosialisasi keberadaan LTSA oleh Pemda—lokasi LTSA yang jauh dari kantong asal para PMI menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak tahu tentang LTSA, tidak memahami manfaatnya dan tidak tahu bagaimana mengaksesnya. Terakhir PMI juga meminta agar dapat mengurus persyaratan kerja secara mandiri/ individual di LTSA dan adanya transparansi job order.

3.2. Temuan kualitatif

Advertisement

Dalam bagian ini, kami menyarikan data primer yang menjadi temuan kualitatif penelitian ini, dimulai dengan potret layanan terpadu di tiga LTSA, penggunaan LTSA di kalangan PMI, yang kemudian dilanjutkan dengan paparan temuan-temuan menarik yang diperoleh dari komponen penelitian kualitatif.

3.2.1 Potret LTSA di tiga wilayah

• Banyuwangi

Di Banyuwangi, LTSA telah hadir sejak tahun 2018, dan diintegrasikan ke dalam Mal Pelayanan Publik. Dasar hukum untuk hadirnya mal pelayananan publik ini adalah Permenpan No. 23 tentang Penyelenggaraan Mal Publik dan juga Peraturan Bupati No. 59 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Mal Publik di Banyuwangi. Dalam penyelenggaraannya, MPP Banyuwangi masih melakukan pelayanan secara luring, dan belum bisa daring, meski dalam situasi pandemi saat ini sekali pun. Jumlah PMI yang mengakses layanan belum banyak, dengan rerata yang mereka laporkan sejumlah 2-5 orang per hari kerja.

Pihak LTSA Banyuwangi menyatakan bahwa secara rutin Disnaker setempat telah

Gambar 1.1 Loket LTSA di dalam Mal Pelayanan Publik Kab. Banyuwangi Peneliti lokal, Miftahul Jannah (kiri) dan Agung Subastian (kanan) sehabis melakukan wawancara dengan petugas LTSA Banyuwangi (tengah)

mengadakan rapat koordinasi internal. Dari keterangan yang kami dapatkan dari pihak LTSA Banyuwangi, terdapat beberapa evaluasi kritis yang mereka sampaikan, antara lain: (1) Belum dapat berjalannya Sisnaker; (2) Belum optimalnya fungsi sarana kesehatan, di mana pihak LTSA Banyuwangi kemudian menyatakan bahwa sejauh ini PMI masih memilih untuk menjalani pemeriksaan medis di sarana kesehatan di luar LTSA; (3) Layanan Imigrasi belum hadir di LTSA Banyuwangi, dan PMI harus melalui proses layanan paspor di Jember; (4) Sebagaimana terjadi juga di LTSA yang lain, di LTSA yang tergabung dalam MPP Banyuwangi belum ada loket untuk pengaduan.

Terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut dalam pernyataan-pernyataan yang terlontar saat proses wawancara. Yang pertama, terkait dengan status LTSA yang terintegrasi dalam MPP. Sebagian dari perangkat yang bertugas di LTSA Banyuwangi menyayangkan keadaan di mana LTSA sebagai layanan yang terspesialisasi masih berada di satu lokasi dengan mal pelayanan publik. Diskusi mengenai tepat/tidaknya integrasi LTSA ke dalam MPP, yang merupakan sesuatu yang didukung oleh Kementerian Dalam Negeri, akan kami elaborasi dalam subbab selanjutnya.

Observasi kedua, yang juga perlu untuk dianalisis lebih lanjut adalah alur proses di LTSA Banyuwangi, sebagaimana yang dipaparkan sebagai berikut oleh salah satu perangkat di LTSA yang diwawancarai oleh tim peneliti,

“Alurnya, buruh migran yang datang di LTSA, yaitu CPMI melihat PT yang recommended yang punya ijin untuk merekrut CPMI yang telah dikeluarkan oleh Kemenaker. Website-nya ada. Petugas yang beroperasi di Banyuwangi namanya PL yang membawa surat tugas resmi dan mencari secara door-to-door yang kemudian diselesaikan dan dibantu mengurus hingga selesai. Alurnya dibantu mulai dari bawah RT/RW hingga sampai masuk di MPP.”

Kutipan pernyataan langsung mengenai alur proses mengindikasikan masih besarnya peran PL (petugas lapangan) sebagai perantara, yang melakukan “layanan” dari pintu ke pintu (membantu alur mulai dari bawah, RT/RW, hingga masuk ke MPP). Besarnya peran mereka, sebagaimana tercermin dalam pernyataan di atas, membuka pertanyaan mengenai apakah kemudian terjadi pergeseran yang nyata dari tata kelola sebelumnya, di mana pekerja migran diposisikan sebagai sebagai obyek.

• Karawang

Layanan terpadu bagi pekerja migran yang berasal dari kabupaten Karawang beroperasi sejak Bupati Cellica Nurachadiana mengesahkan Peraturan Bupati Karawang No. 69 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu