6 minute read

Tabel 3.7c Potret Penggunaan LTSA di Lombok Timur

Tabel 3.7c Penggunaan LTSA di Lombok Timur

No Nama Tahun keberangkatan Sesudah/ sebelum ada LTSA Mengetahui ada layanan terpadu Menggunakan sponsor Didampingi ketika mengakses layanan pemerintah

Advertisement

1. MA 2016 Sebelum Kurang tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

2. MAM 2016 Sebelum Kurang tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

3. JA 2018 Sesudah Kurang tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

4. SA 2018 Sesudah Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

5. MLR 2018 Sesudah Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

6. BSK 2018 Sesudah Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

7. AA 2016 Sebelum Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

8. YU

9. SH 2016 Sebelum Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

2018 Sesudah Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

10. MH

11. AR

12. MT 2015 Sebelum Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

2017 Sebelum Tidak tahu Ya Semua langsung diurus oleh calo

2018 Sesudah Tidak tahu Ya Tidak (karena sudah pernah menjadi pekerja migran sebelumnya, dianggap sudah tahu)

3.3. Temuan-temuan utama • Kurang memadainya payung hukum/regulasi yang menaungi LTSA sejauh ini

Salah satu kendala utama yang teramati sejak awal adalah belum memadainya payung hukum bagi LTSA. Yang paling mendasar, di tingkat nasional pun belum

terbit PP yang spesifik mengenai LTSA sebagai salah satu aturan turunan dari UU No. 18 Tahun 2017 sebagai panduan untuk menerjemahkan amanat perundangan secara lebih terperinci.

Mengingat belum adanya juga peraturan turunan dari UU (PP yang digariskan oleh Pasal 38 ayat 4 UU No. 18 Tahun 2017), banyak peraturan yang berkembang di daerah sebagai dasar pembentukan LTSA masih merujuk pada UU sebelumnya, yakni UU No. 39 Tahun 2004. Tak dapat dipungkiri, belum adanya payung hukum di tingkat nasional, juga membuka ruang bagi daerah untuk berdalih bahwa mereka belum mengembangkan peraturan di tingkat daerah karena masih menunggu peraturan di tingkat nasional dirampungkan.

Dalam pengamatan kami, juga masih belum tampak harmonisasi antara regulasi di tingkatan provinsi dan kabupaten kota. Adanya peraturan daerah terkait pembentukan LTSA di level provinsi yang sudah mengikuti UU No. 18 Tahun 2017, belum tentu menjamin peraturan di level berikutnya (kabupaten/kota) juga merujuk ke UU No. 18 Tahun 2017, atau peraturan di level provinsi yang sudah menginduk ke UU tersebut. Di sini, kasus Lombok Timur menarik untuk ditelisik dengan lebih teliti. Saat ini di tingkat provinsi sudah ada Peraturan Gubernur No. 40 Tahun 2019 tentang Layanan Terpadu Satu Atap: Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, akan tetapi peraturan di Lombok Timur belum sertamerta sinkron dengan aturan di level provinsi tersebut. Peraturan Bupati Lombok Timur No. 14 Tahun 2017 mengenai LTSP-P2TKI masih merujuk ke UU lama. Meski dilakukan perubahan terhadap Perbup setelah adanya UU No. 18 Tahun 2017, perubahan yang dilakukan tidak mencerminkan semangat pelindungan sebagaimana tertuang dalam UU baru tersebut. Perubahan yang dilakukan hanya sebatas penulisan daftar elemen yang hadir di LTSA.

Dalam pengamatan kami sepanjang penelitian, aturan-aturan yang kini berlaku sebagai payung hukum penyelenggaraan LTSA belum tentu memuat asas-asas yang berorientasikan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU No. 18 Tahun 2017. Dampak yang paling jelas terlihat, dalam penelitian ini adalah bagaimana proses yang berlangsung di LTSA masih mengikuti logika penempatan sesuai dengan perundangan sebelumnya.

Sementara itu, Karawang baru-baru ini mengesahkan Perda tentang Penempatan dan Pelin-dung¬an Pekerja Migran Indonesia Asal Daerah Kabupaten Karawang. Meski sudah mengikuti kon-sideran baru UU No. 18 Tahun 2017, Perda ini memuat pasal tentang LTSA dalam Pasal 31, tetapi ma¬sih menyisakan amanat perincian penyelenggaraan LTSA berdasarkan peraturan bupati. Hingga saat ini di Karawang, peraturan bupati yang menjadi rujukan masih mengikuti konsideran lama.

Di Banyuwangi, LTSA tergabung dalam MPP, dan yang menjadi dasar Perda pembentukan MPP di Banyuwangi adalah Peraturan Bupati Banyuwangi No. 59 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Mal Pelayanan Publik. Tentunya, UU No. 18 Tahun 2017 kemudian tidak ikut tersebut sebagai konsideran yang menjadi rujukan penyelenggaraan layanan. Menjadi diskusi di sini kemudian apakah ideal untuk menggabungkan LTSA dengan MPP. Perangkat LTSA Banyuwangi sendiri dalam catatan penelitian kami, menyayangkan status LTSA yang tergabung dalam MPP. Di tingkat nasional, Kemendagri memang mendorong dimasukkannya LTSA ke dalam MPP, kemungkinan untuk memperingan beban anggaran yang harus dialokasikan oleh Pemerintah Daerah. Namun diperlukan pembahasan lebih lanjut terkait adakah dan apa yang menjadi implikasi dari penggabungan LTSA ke layanan yang lebih besar.

• Dominannya pemahaman terhadap posisi LTSA sebagai layanan administratif

Dalam diskusi-diskusi yang berkembang dengan aktor-aktor pemerintah di berbagai level sepanjang penelitian ini, beberapa kali kami menemui pernyataan yang menggarisbawahi natur LTSA sebagai layanan administratif. Penekanan ini dapat dipahami karena LTSA berkenaan dengan pengurusan dokumen. Namun, dalam percakapan dengan beberapa pemangku kepentingan pemerintah, seolah kemudian muncul dikotomi antara LTSA dengan sebagai layanan administratif dengan layanan pelindungan. Pernyataan tentang pemisahan fungsi ini utamanya muncul ketika tim peneliti mempertanyakan, mengapa tidak ada mekanisme pengaduan yang terlembaga di LTSA (lihat Poin (7)). Jawaban yang kami terima dari BP2MI adalah karena pengaduan masuk ke ranah pelindungan, dan ini ditempatkan di UPT.

Memahami LTSA semata dan utamanya sebagai layanan administratif, dan memisahkannya dari pelindungan tentunya keliru karena tidak sesuai dengan amanat perundangan—UU No. 18 Tahun 2017 sendiri memberi penekanan pada LTSA sebagai pelindungan sebelum bekerja. Memahami proses administratif juga sebagai sebuah bentuk pelindungan ini penting, mengingat perantaraan hadir karena adanya kesempatan untuk mengambil keuntungan dari kalangan pekerja berupah rendahan yang seringkali tidak memahami cara menavigasi koridor-koridor administratif-birokratis di Indonesia. Dalam konteks masyarakat Indonesia, broker informal yang merekrut untuk perusahaan hadir mengisi celah-celah administratifbirokratis tersebut, dan mendapatkan rasa percaya rasa percaya (“trust”) dari calon pekerja migran (Lindquist 2012).

• LTSA belum terpadu

Tidak lengkapnya layanan LTSA menandakan setidaknya dua hal. Pertama, tidak terpenuhinya amanah keterpaduan yang sebagai pelanggaran terhadap pelindungan teknis minimum yang digariskan dalam Pasal 8 UU No. 18 Tahun 2017. Sebagaimana dapat dilihat pada rekapitulasi yang tertuang dalam Tabel 3.6, dari tiga LTSA yang kami ketengahkan dalam studi ini, tidak ada yang sudah memiliki layanan lengkap sebagaimana yang seharusnya diadakan. Di MPP Banyuwangi yang dipahami sebagai LTSA adalah Disnaker, sementara di PTSP Karawang hanya tersedia 3 instansi, yaitu BP2MI, Disnaker dan Imigrasi.

LTSP-P2TKI Lombok Timur memiliki lebih banyak layanan dibandingkan dengan dua LTSA lainnya, tetapi tetap belum memenuhi syarat kelengkapan keterpaduan yang seharusnya. Tercatat Kepolisian (penerbitan SKCK) dan perbankan belum hadir. Meski Dinkes hadir, akan tetapi tidak ada sarana kesehatan di LTSP-P2TKI, dan pemeriksaan medis tetap dilakukan di luar LTSA. Umumnya, pengadaan sarana/ fasilitas kesehatan untuk kebutuhan pemeriksaan medis masih sulit di LTSA. Selain di Lombok Timur, layanan ini juga belum ada di Banyuwangi, sempat ada di Karawang, akan tetapi sekarang sudah tidak ada.

Ada bermacam alasan untuk belum lengkapnya layanan di LTSA. Yang umum ditemui adalah alasan kendala sumber daya, baik dari segi anggaran, maupun SDM. Tercatat dalam kasus Karawang, ketika dipertanyakan mengapa belum Disdukcatpil belum hadir, jawaban yang diberikan adalah karena yang ditugaskan harus PNS, dan mereka belum dapat mengadakan SDM tersebut. Pada kasus LTSA yang lain, seperti misalnya di Lombok Timur, yang banyak dikerahkan sebagai perangkat LTSA adalah pegawai honorer, yang kemungkinan berdampak juga pada performa layanan kepada (calon) PMI.

Belum lengkapnya layanan di LTSA tentu berdampak pada pengurusan dokumen yang ke sana kemari dan berimplikasi dan pemborosan waktu dan bertambahnya biaya yang dikeluarkan oleh (calon) PMI. Pada kasus Banyuwangi misalnya, untuk pengurusan SKCK masih diarahkan ke Kantor Polres Banyuwangi yang lokasinya 20 menit dari gedung MPP, pengurusan paspor harus dilakukan di Kantor ULP Imigrasi Jember kelas II di Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro yang lokasinya 30 menit dari MPP. Yang lebih parah, pelaksanaan PAP tidak dapat dilakukan di MPP Banyuwangi, dan harus bertempat di Surabaya.

Dalam praktik yang saat ini berjalan, layanan terpadu yang disediakan untuk pekerja migran juga masih banyak mengambil format satu pintu, yang mengikuti logika yang berbeda dengan integrasi layanan di bawah satu atap.