18 minute read

Gambar 1.6. FGD Online dgn pemangku kepentingan di tingkat Kab. Lotim

layanan pemerintah dan memutuskan rantai intermediasi/praktik percaloan yang selama ini membengkakkan biaya perekrutan.

Penelitian ini mencatat bahwa dari segi indikator proses, salah satu penentu utama dalam memastikan adanya layanan yang baik melalui LTSA adalah dukungan pemerintah daerah. Namun, dalam UU No. 18 Tahun 2017, serta PP No. 59 Tahun 2021 yang mengikutinya, klausul-klausul terkait pembentukan LTSA kerap menggunakan redaksi penulisan yang mengesankan bahwa hal ini tidak wajib diadakan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Klausul-klausul tentang tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah kerap menggunakan kata “dapat” ketika berbicara tentang pembentukan layanan terpadu—“(pemerintah daerah) dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat (provinsi/kabupaten/kota).

Advertisement

Peraturan di tingkat daerah yang mumpuni, serta penganggaran yang suportif, berperan besar dalam menjamin pengadaan layanan terpadu yang baik. Profil ketenagakerjaan daerah Banyuwangi, Karawang dan Lombok yang sudah diperlihatkan pada Bab II menunjukkan keterbatasan pendanaan yang memprihatinkan. Terkait dengan pembiayaan LTSA, salah FGD yang kami adakan dalam penelitian ini, yakni dengan pemerintah daerah Lombok Timur, menghadirkan diskusi yang menarik mengenai faktor pembiayaan dalam kaitannya dengan prioritas daerah.

Gambar 1.6. FGD Online dgn pemangku kepentingan di tingkat Kab. Lotim

Dilimpahkannya pembentukan dan penyelenggaraan LTSA oleh Undang-undang kepada pemerintah daerah mengisyaratkan adanya asumsi bahwa ada penggunaan sumber daya (resources) yang lebih efisien apabila urusan ini dilakukan oleh daerah

provinsi/kabupaten/kota. Namun, belum seberapa pasti kita mengetahui persetujuan pemerintah daerah terhadap hal ini. Tantangan terbesar dalam tata kelola migrasi berbasis daerah saat ini adalah memastikan komitmen pemerintah daerah dalam melindungi PMI. Banyak isu lain yang masih lebih menjadi prioritas, khususnya pembangunan infrastruktur. Belum tampilnya pelayanan dan pelindungan pekerja migran sebagai prioritas tercerminkan secara jelas dalam minimnya penganggaran danaan untuk LTSA, misalnya terkait keperluan sosialisasi.

Tentunya, belum banyak dikedepankannya pelayanan pelindungan PMI sebagai prioritas oleh provinsi dan daerah disayangkan, mengingat manfaat yang dihadirkan oleh migrasi kepada daerah. Setidaknya, meski tidak dipandang sebagai sesuatu yang ideal (sebagaimana tampak dalam berbagai pandangan yang menginginkan PMI untuk tidak terus melakukan re-migrasi), migrasi ketenagakerjaan memberikan jalan keluar ketika lapangan kerja tidak tercipta di daerah.

Saat ini, PP No. 59 Tahun 2021 telah memberikan arahan yang lebih jelas mengenai anggaran, termasuk untuk LTSA. Pasal 30 salah satunya memuat tugas dan tanggung jawab gubernur atau bupati/wali kota dalam mengalokasikan anggaran operasional LTSA Pekerja Migran Indonesia. Meski demikian, dari pembicaraan mengenai penganggaran yang kami lakukan dengan pemerintah daerah Lombok Timur, kami mencatat pentingnya juga melihat peran legislatif di tingkat daerah. Walau penentuan program prioritas banyak ditentukan oleh visi eksekutif, DPRD memiliki wewenang dalam penganggaran. Mengingat banyaknya program yang harus dijalankan oleh daerah, perlu upaya dalam juga meyakinkan legislatif untuk mendukung LTSA melalui penganggaran. Dua hal yang agaknya perlu didalami dalam mengadvokasi pelindungan yang lebih baik bagi PMI ke depannya adalah: (1) Mencari peluang untuk melakukan alignment antara isu pelindungan PMI dengan prioritas pemerintahan konkuren sebagaimana yang digariskan oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Mendorong perencanaan pembangunan yang lebih strategis di tingkat daerah, agar dapat mengakomodasi program-program pelayanan pelindungan PMI, termasuk dalam kaitannya dengan dukungan terhadap LTSA. Di sini, kami menggarisbawahi pentingnya meningkatkan keterlibatan Bappeda ke depannya. Sebagai lembaga yang berperan dalam ranah perumusan strategis, Bappeda seharusnya menjadi salah satu aktor tata kelola migrasi yang penting karena dalam kapasitasnya lembaga ini seharusnya dapat mengatur perencanaan daerah secara komprehensif dan mengidentifikasi bagaimana pelindungan pekerja migran dapat diintegrasikan ke dalam agenda dan prioritas daerah.

Menjadi catatan bahwasanya tata kelola migrasi yang berbasis daerah tidak

menafikan peran pemerintah pusat. Dukungan dari pemerintah pusat tetap menjadi hal yang krusial. Salah satu area di mana peran pemerintah pusat menjadi krusial adalah penyediaan informasi. UU No. 25 Tahun 2009 memuat bahwa dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang bersifat nasional, yang pengelolaannya berdasarkan sistem elektronik dan nonelektronik.

4.3. Indikator hasil Dampak positif dari LTSA, jumlah (C)PMI yang terlayani

Sukar untuk menilai dampak positif dari LTSA. Sebagaimana terlihat dalam survei kuantitatif, mayoritas (C)PMI belum pernah mengakses layanan LTSA. Karena minimnya sosialisasi, banyak dari mereka ragu/segan untuk mengakses LTSA— alasan yang dikemukakan beragam, mulai dari faktor jarak LTSA yang jauh, hingga kekhawatiran akan adanya pengenaan biaya yang berlebih. Banyak juga dari PMI yang disurvei baru mengetahui informasi tentang LTSA ketika sudah berada di luar negeri. Lebih jauh, temuan kuantitatif sebagaimana terilustrasikan dalam Grafik 3.5 juga mengindikasikan minimnya hasil, mengingat responden tidak bisa merasakan perbedaan antara keadaan sebelum adanya LTSA dengan sesudah. Artinya keberadaan, LTSA sejauh ini tidak membawa dampak perbaikan ke arah lebih baik dan tata kelola yang lebih ramah HAM. Penelitian ini juga menunjukkan bagaimana angka penempatan/jumlah PMI yang sudah melalui LTSA (sebagaimana yang sering dipakai oleh LTSA sebagai indikator) sulit dijadikan ukuran untuk menilai dampak positif dari LTSA, karena pada faktanya, banyak pengguna LTSA yang bahkan tidak menyadari dirinya telah mengakses layanan tersebut. Seringkali mereka tidak tahu bahwa yang telah mereka lalui adalah sebuah layanan terpadu, dan mengira layanan yang diakses adalah layanan Dinas Ketenagakerjaan. Ketidaktahuan yang fundamental ini mengindikasikan minimnya pencapaian LTSA berdasarkan indikator hasil.

Ditinjau secara lebih substantif lagi, terkait indikator hasil ini, kita perlu mempertanyakan seberapa jauh LTSA telah dimaknai, dikerangkakan dan tercapai hasilnya sebagai suatu mekanisme pelindungan. Dalam konteks tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia, tujuan yang sering digaungkan adalah pencegahan migrasi nonprosedural—maknanya, upaya-upaya yang dikembangkan adalah memastikan migrasi yang berjalan berada dalam kerangka prosedural. Penting untuk dicatat bahwa baik UU No. 18 Tahun 2017 maupun PP No. 59 Tahun 2021 sendiri tidak memuat istilah ini, dan dengan sendirinya tidak memberikan definisi terkait apa

yang dimaksud dengan nonprosedural tersebut.

Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah, apakah migrasi prosedural dapat disamakan dengan migrasi yang adil dan aman? Pemahaman terhadap LTSA sebagai sebuah proses administratif, dan masih dominannya logika penempatan membuka penafsiran bahwa pemaknaan migrasi prosedural lebih mengarah pada migrasi yang teratur, atau orderly. Evaluasi ini mencatat bahwa sejauh ini LTSA lebih dapat menjamin migrasi yang teratur, tetapi tidak bisa memastikan proses migrasi yang berlaku aman bagi (C)PMI yang menjalaninya. Penelitian ini mencatat bagaimana Eva (pseudonim, bukan nama sebenarnya), seorang PMI purna yang dalam proses keberangkatannya telah mengakses LTSA, akan tetapi kemudian mengalami perlakuan buruk di tangan majikannya di Singapura. Eva diberangkatkan pada April 2019, melalui PTSP Karawang berdiri.

Penempatan Eva penuh masalah, karena banyak informasi yang disampaikan tidak akurat. Misalnya, majikannya mengaku bahwa tempat tinggalnya merupakan kondominium, padahal pada kenyataannya kediaman majikannya merupakan HDB (dari housing & development board, maksudnya hunian tersebut merupakan fasilitas perumahan publik yang lebih terbatas sarananya). Salah satu implikasi dari hal ini adalah kurangnya kemampuan majikannya untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi pekerja rumah tangganya. Selain itu Eva harus menjaga ayah majikan yang mengidap dementia dan mendampinginya dari jam 06:00 pagi hingga tengah malam, yang berarti jam kerjanya melebihi standar 8 jam sehari. Ia juga diberikan makan hanya seadanya, tidak diperkenankan membuka kulkas dan sering dituduh mencuri. Eva juga tidak diperbolehkan mempergunakan HP, yang berarti terjadi pelanggaran yang jelas atas haknya berkomunikasi. Di samping itu, ia mengalami pemotongan gaji selama enam bulan, di mana ini berarti biaya penempatan masih dibebankan kepadanya. Majikannya juga menahan gajinya dan mengatakan bahwa sebaiknya ia hanya menerima gaji setiap 5 bulan sekali.

Dari kasus tersebut, dapat kita simpulkan bahwasanya hasil yang diberikan LTSA masih terbatas pada menjamin kesesuaian dokumen-dokumennya berdasarkan persyaratan administratif yang digariskan. Namun LTSA tidak menjamin adanya pelindungan dan migrasi yang aman bagi Eva. Di sini kita melihat dengan lebih jelas bagaimana LTSA belum sepenuhnya berpihak pada pekerja migran karena seleksi yang diberlakukan pada pekerja, tidak dibarengi dengan mekanisme yang jelas untuk juga menyaring pemberi kerja.

4.4. Indikator norma hak asasi manusia

4.4.1 Nondiskriminasi dan kesetaraan

Perlu diingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional PBB mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya tanpa reservasi. Konvensi tersebut antara lain memuat klausul bahwasanya setiap pekerja migran dan setiap anggota keluarganya memiliki hak untuk dikenali di (jurisdiksi) mana pun sebagai seseorang di mata hukum. Hak ini bersifat absolut, dan sangat dekat dengan prinsip nondiskriminasi. Rekognisi di mata hukum mengisyaratkan bahwa hukum, kebijakan serta pelayanan publik terkait migrasi tidak boleh mendiskriminasi.

Dalam rangkaian kegiatan penelitian yang kami lakukan, sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian temuan, juga terdapat indikasi-indikasi di mana yang lebih dipentingkan oleh perangkat LTSA adalah P3MI. Dalam praktik pelaksanaan LTSA yang saat ini berjalan, posisi (calon) pekerja migran yang selalu didampingi, mengesankan perlakuan terhadap mereka sebagai obyek yang dianggap tidak mampu. Artinya, asas kesetaraan belum terpenuhi dalam penyelenggaraan LTSA. Jarang sekali PMI yang mengakses LTSA secara mandiri, dan alih-alih dibekali agar berdaya dalam melakukan proses-proses secara mandiri, pola-pola ketergantungan yang eksploitatif justru dibiarkan. Asas kesetaraan mengamanatkan dibukanya fasilitasi akses bagi semua orang. Jika diidentifikasi kelompok tertentu mengalami kendala aksesibilitas, maka perlu ada mekanisme khusus yang bersifat membisakan (enabling) dan membawa semangat emansipatoris. Perlu ditambahkan di sini, bahwa dalam UU No. 18 Tahun 2017 sendiri terdapat klausul yang mengundang polemik, di mana Pekerja Migran Indonesia Perseorangan hanya dapat bekerja ke luar negeri pada Pemberi Kerja berbadan hukum. Hal ini kemudian menutup kemungkinan pekerja sektor domestik untuk melakukan migrasi mandiri (autonomous migration). Mereka harus menggunakan jasa P3MI, yang mana ini memperkecil kemungkinan pekerja migran sektor domestik untuk mengakses LTSA secara mandiri.

Belum tersedianya mekanisme penempatan lainnya bagi pekerja migran sektor domestik merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan mengingat berdasarkan berbagai hasil kajian dan data pengaduan yang telah dilakukan oleh serikat/ organisasi masyarakat sipil yang peduli isu PMI, kebanyakan kasus yang menimpa perempuan PMI justru terjadi ketika mereka ditempatkan oleh P3MI.

4.4.2 Partisipasi

Penelitian ini menunjukkan bahwasanya pihak nonpemerintah yang tingkat

partisipasinya paling tinggi di LTSA adalah aktor swasta (P3MI). Mereka sangat berperan di LTSA walaupun amanat perundangan telah menentukan pembatasan peran mereka dalam skema prakeberangkatan yang sekarang berlaku. Di LTSA, seharusnya peran mereka terfokus hanya pada penyeleksian akhir. Namun pada kenyataannya, P3MI melalui karyawannya/broker informal, berperan besar dalam proses pengurusan dokumen, yang hingga sampai ke level lingkungan terdekat (C) PMI (mengantar dari kelurahan hingga sampai ke LTSA). Terdapat juga regulasi yang mengatur keanggotaan perusahaan penempatan secara resmi dalam LTSA, sebagaimana yang teramati dalam kasus perbup di Lombok Timur.

Partisipasi aktor swasta yang besar berbanding terbalik dengan partisipasi PMI (C)PMI, yang sebagaimana telah diuraikan, belum tampil sebagai subyek. Selain itu, yang juga rendah peran aktor organisasi masyarakat sipil, yang tidak banyak dilibatkan dalam mekanisme LTSA, khususnya di level keseharian sebagaimana yang berlaku dengan aktor swasta. LTSA juga tak banyak menggandeng organisasi masyarakat sipil dalam melakukan sosialisasi keberadaannya. Praktik baik penyelenggaraan LTSA yang berorientasi HAM seharusnya memperhatikan norma partisipasi ini. Dalam Artikel 42, Konvensi Internasional PBB mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, prosedur atau lembaga yang merespons kebutuhan khusus dan aspirasi pekerja migran seharusnya memungkinkan mereka untuk memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. Saat ini, pekerja migran Indonesia tidak memiliki pilihan perwakilan, kecuali PT yang melaksanakan penempatan mereka.

4.4.3 Akses terhadap pemulihan

Belum adanya mekanisme pengaduan yang terlembaga di LTSA mengisyaratkan minimnya perhatian pada akses terhadap pemulihan, yang harusnya menjadi krusial dalam penyelenggaraan LTSA, mengingat keterlibatan swasta yang dominan di dalamnya. Tanpa adanya loket pengaduan di LTSA, artinya tidak ada mekanisme untuk langsung menanggapi kemungkinan pelanggaran oleh P3MI. Dalam pengamatan peneliti komunitas kami, keberadaan kepolisian di LTSA seharusnya juga dapat dioptimalkan, ketimbang hanya menyediakan layanan pengurusan SKCK, kepolisian dapat diperbantukan juga untuk memperkuat mekanisme pengaduan. Dalam praktiknya, organisasi penggiat advokasi pelindungan pekerja migran lebih sering menjadi tempat pengaduan (C)PMI yang menghadapi permasalahan (termasuk dalam tahap prakeberangkatan).

Penting untuk menjadi catatan, kata “pengaduan” disebutkan sebanyak 79 kali dalam UU No. 25 Tahun 2009, mengindikasikan pentingnya pengadaan akses pemulihan dalam layanan publik.

4.4.4 Akuntabilitas

Pendekatan berbasis HAM merujuk pada pentingnya akuntabilitas, yakni penjaminan akan adanya sistem untuk memonitor standar-standar HAM. Saat ini tidak jelas bagaimana perangkat LTSA mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya sebagai duty bearer dan kepada siapa mereka akuntabel. Dalam perjalanannya sejauh ini, evaluasi LTSA cenderung hanya dilaksanakan secara internal, dan tidak menggunakan pendekatan HAM. Relatif tidak banyak pengawasan yang bisa dilakukan oleh pihak eksternal terhadap penyelenggaraan layanan mengingat LTSA juga kurang bersedia menampilkan data secara transparan, termasuk kepada para peneliti komunitas dalam kajian ini.

4.5 Indikator responsif gender

Penelitian yang diadakan oleh Pusat Kajian Wanita dan Gender (PKWG-UI) (2018/2019) menunjukkan bahwasanya UU No. 18 Tahun 2017 sebagai rujukan utama tata kelola pelindungan pekerja migran saat ini masih buta gender. Artinya, secara struktural, juga belum ada kerangka standar untuk pelaksanaan LTSA yang responsif gender. Dalam kaitannya dengan aspek responsif gender, beberapa hal yang spesifik terkait dengan konteks prakeberangkatan menurut Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women, CEDAW), mencakup hal-hal berikut yang secara langsung bersifat relevan bagi penyelenggaraan LTSA: • Pentingnya pemahaman bahwa perempuan seringkali tidak memiliki akses yang independen dan setara dengan laki-laki ke dokumen-dokumen identitas diri, kependudukan dan perjalanan; • Pentingnya pengadaan informasi mengenai migrasi yang adil dan aman secara publik, dan secara khusus, pengadaan sosialisasi yang ditargetkan pada perempuan untuk menghindari direkrutnya mereka melalui jalur-jalur migrasi yang nonprosedural dan mengarah ke praktik perdagangan manusia; • Secara khusus, diperlukan pengadaan informasi dan sosialisasi yang lebih terperinci kepada calon pekerja migran yang tertarik untuk/akan bekerja di sektor domestik; • Pentingnya mengadakan pengaturan khusus dan pengawasan terhadap P3MI untuk memastikan penghormatan mereka pada perempuan; • Perlunya memastikan bahwa tes dan pemeriksaan kesehatan bersifat nondiskriminatif, sensitif budaya, dan memajukan penghormatan terhadap hak perempuan;

• Perlunya memastikan bahwa program praberangkatan memberikan materi/ muatan pembekalan yang menjelaskan kerentanan spesifik pekerja migran perempuan, terlebih di sektor domestik; hak-hak mereka dalam konteks hukum, khususnya di negara/tujuan penempatan; serta informasi penyedia layanan/bantuan yang dapat mereka akses, baik di negara/tujuan penempatan, maupun di Indonesia; • Perlunya pengarusutamaan gender di LTSA, dengan memastikan bahwa perangkat LTSA telah mendapatkan pelatihan responsif gender, dan mendorong pendataan, perencanaan serta penganggaran berbasis gender oleh LTSA.

Dari pengamatan yang kami lakukan di tiga LTSA yang menjadi fokus penelitian ini, standard-setting seperti ini belum muncul, dan gender belum tampil sebagai pakem tolok ukur performa LTSA. Artinya, pemenuhan aspek responsif gender ini masih sangat jauh dari realitas yang ada di lapangan. Catatan pengamatan para peneliti komunitas yang terlibat dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa pelayanan di LTSA bahkan memperlihatkan kemungkinan hak-hak perempuan dilanggar dalam proses yang berjalan, misalnya dalam wawancara dengan Disnaker, biasanya mereka diwawancarai secara rombongan, dan harus menjawab pertanyaanpertanyaan yang mungkin bersifat pribadi. Besar kemudian peluang di mana hak atas kerahasiaan data tidak diperhatikan.

Bab 5

Rekomendasi kebijakan

1. Mendorong dipercepatnya penerbitan aturan turunan terkait LTSA sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2017. Tahun 2021 ini menandai sudah empat tahun UU

No. 18 Tahun 2017 disahkan. Namun berbagai aturan turunan, yang seharusnya dikeluarkan paling lambat 2 tahun sesudah perundangan, belum juga kunjung tiba. Kelompok masyarakat sipil tetap mendorong aturan turunan yang mengatur

LTSA ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP) dan bukan Peraturan

Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker).

2. Mendorong dihadirkannya (revisi) aturan di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) yang mengatur tentang pembentukan LTSA agar sesuai dengan orientasi pelindungan yang diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2017. Logika penempatan tidak seharusnya masih dipakai dalam tata kelola migrasi. Dukungan anggaran dari pemerintah daerah perlu mendapatkan perhatian khusus dalam aturan-aturan terkait LTSA.

3. Akses ke LTSA harus dipermudah. Dalam hal ini, pemerintah perlu menetapkan aspek keterjangkauan jarak dan biaya dalam pertimbangan penentuan lokasi

LTSA. Selain itu, seiring dengan hadirnya konteks pandemi COVID-19, opsi pengadaan layanan secara daring menjadi urgen.

4. Inovasi lain yang juga sudah mulai menjadi pembicaraan adalah mengadakan layanan LTSA yang sifatnya mobile, melalui fasilitas yang berkeliling. Saat ini

Kementerian Ketenagakerjaan tengah menjajaki pengadaan mobil ketenagakerjaan. Meski tidak dikhususkan untuk PMI, melainkan juga untuk melayani pekerja dalam negeri, fasilitas ini dapat dipertimbangkan juga untuk membantu PMI memproses dokumen.

5. Mendorong dilakukannya sosialisasi yang intensif mengenai LTSA, terutama ke desa-desa kantong pekerja migran, dan memastikan bahwa yang menjadi target/ penerima manfaat sosialisasi adalah pencari kerja/calon PMI langsung. Tentunya, sosialisasi ke desa juga perlu dibarengi dengan upaya konkret untuk mendampingi

desa dalam meningkatkan kapasitasnya untuk dapat berperan dan mengemban tanggung jawabnya dalam tata kelola migrasi sesuai amanat Pasal 42 UU No. 18 Tahun 2017. Salah satu materi sosialisasi yang penting dikedepankan adalah mendorong calon PMI untuk mengakses LTSA secara mandiri. Calon PMI perlu mendapatkan pengetahuan mengenai manfaat dari melakukan mengurus dokumen sendiri.

6. Memastikan seluruh instansi penyelenggara LTSA, yakni 8 desk sebagaimana yang digariskan dalam PP No. 59 Tahun 2021, yang mencakup: a. ketenagakerjaan; b. pengaduan dan informasi; c. kependudukan dan pencatatan sipil; d. kesehatan; e. keimigrasian; f. kepolisian; g. perbankan; dan h. Jaminan Sosial.

7. Selain delapan desk tersebut, perlu dipastikan juga adanya meja layanan di kantor depan LTSA yang dapat menyediakan informasi mengenai migrasi aman yang berperspektif HAM dan gender. Informasi ketenagakerjaan juga perlu disampaikan secara akurat, dalam hal ini, transparansi mengenai job order menjadi perhatian khusus.

8. Terkait dengan biaya penempatan, penyelenggara LTSA harus memastikan adanya praktik layanan bebas pungli. LTSA harus menyediakan transparansi dan kepastian biaya pengurusan dokumen/pelayanan. dan memastikan pemohon

LTSA memiliki mekanisme untuk melaporan pembiayaan yang tidak seharusnya/ sewajarnya.

9. Memastikan bahwa SDM serta sarana dan prasarana LTSA mampu menunjang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di dalam LTSA. Kesejahteraan personel perlu menjadi perhatian untuk menghindarkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan cita-cita pembentukan LTSA.

10.Mendorong diadakannya penyelenggaraan pelatihan HAM dan wawasan gender kepada perangkat LTSA, dan menghimbau penyelenggara LTSA untuk menetapkan hak dan larangan pegawai pelayanan LTSA secara lebih spesifik yang berperspektif HAM dan gender yang menjabarkan apa saja hak dan larangan pegawai pelayanan LTSA dalam hubungannya dengan pemohon LTSA, baik (calon) PMI, keluarganya, maupun P3MI.

11.Mendorong dilembagakannya mekanisme pengaduan di LTSA sebagai jaminan dan penyediaan akses pemulihan bagi pekerja migran, yang hak-haknya sangat mungkin dilanggar oleh pihak swasta. Setiap LTSA seharusnya memiliki loket pengaduan kasus bagi (calon) PMI dan keluarganya, dan membuka mekanisme penanganan kasus dan bantuan hukum yang mudah diakses oleh CPMI/PMI dan

keluarganya. Harus dipastikan bahwa (calon) PMI dan keluarganya bisa mengakses informasi serta layanan konsultasi dan bantuan hukum secara cumacuma di LTSA.

12.Pelembagaan akses pemulihan ini mendesak mengingat kewajiban Negara memastikan adanya pelindungan dari dampak negatif perusahaan terhadap individu. Pelembagaan saluran pengaduan memperkokoh fungsi LTSA, yang tidak terbatas sebagai layanan administratif. Mekanisme pengaduan ini harus seluas mungkin, sehingga masyarakat umum juga dapat melakukan pengaduan mengenai permasalahan LTSA.

13.Membentuk sistem pangkalan data (database) tunggal LTSA yang terintegrasi dengan seluruh instansi terkait, termasuk Kemlu, BP2MI, P3MI, hingga rumah sakit rujukan tes kesehatan CPMI. LTSA perlu membangun sistem pendataan yang menjamin akurasi, akuntabilitas, dan perlindungan yang efektif. | Data PMI yang diarsip oleh LTSA juga harus meliputi: salinan kontrak kerja, salinan paspor, salinan KTP dan KK, salinan perjanjian penempatan P3MI yang memberangkatkan, nomor kontak anggota keluarga PMI yang dapat dihubungi, termasuk pengguna jasa/majikan, jenis kelamin dan usia, profil majikan/pemberi kerja, data jaminan sosial.

14.Mendorong pelibatan aktor organisasi masyarakat sipil dalam pengadaan LTSA untuk memperkuat akuntabilitas LTSA. Mandat pelibatan harus dimulai hari tahap perencanaan pembentukan/penentuan lokasi, hingga penyelenggaraan dan pengawasan layanan LTSA. |

15.Akses komunikasi dan kerja sama seluas-luasnya, terutama dengan kelompok masyarakat sipil di daerah harus difasilitas seluas-luasnya sebagai upaya memaksimalisasi sumber daya daerah dalam mewujudkan pelayanan LTSA yang sesuai prinsip awalnya. Pelibatan masyarakat sipil penting untuk memastikan adanya inkorporasi pendekatan berbasis hak dalam tata kelola migrasi di

Indonesia.

16.Pelibatan masyarakat sipil juga dapat dipertimbangkan untuk mekanisme pelindungan/penanganan kasus. ILO bersama kelompok-kelompok masyarakat sipil tengah mengembangkan konsep Migrant Resources Center yang terkoneksi dengan desa, dan sedang dijajaki kemungkinannya untuk dilekatkan dengan

LTSA.

17.Terkait pengawasan, perlu dipertimbangkan untuk membuka peluang pengawasan yang partisipatif dengan melibatkan stakeholders pemerintah yang

selama ini jarang diikutsertakan dalam pembahasan tata kelola migrasi, salah satunya yang paling penting tentunya Ombudsman selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga relevan untuk diikutsertakan sebagai pengawas, mengingat migrasi ketenagakerjaan Indonesia masih melibatkan P3MI dan mekanisme bisnis antarnegara yang hingga kini tidak pernah mendapatkan scrutiny secara khusus, dan karenanya rawan akan pelanggaran, termasuk pembebanan biaya penempatan pada pekerja. Pelibatan institusiinstitusi HAM nasional yakni Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga dapat menjamin adanya penegakan HAM dan inkorporasi wawasan gender yang lebih baik dalam penyelenggaraan LTSA. | Mekanisme evaluasi dan pengawasan juga harus bisa diakses dengan mudah oleh calon PMI, pendamping, hingga masyarakat secara luas dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas kinerja LTSA.

18.Masih berkaitan dengan pengawasan, secara khusus kita perlu mendukung aktor organisasi masyarakat sipil dalam upaya mereka membangun basis pengetahuannya mengenai tata kelola migrasi. Hal ini penting dalam menunjang kapasitas mereka untuk melakukan pengawasan terhadap LTSA.

Daftar Pustaka

Cholewinski, Ryszard, et al., eds. (2009). Migration and human rights: the United Nations Convention on Migrant Workers’ Rights. Cambridge University Press, 2009.

de Rijcke, Sarah, Wouters, Paul F., Rushforth, Alex D., Franssen, Thomas P. & Björn Hammarfelt. “Evaluation practices and effects of indicator use—a literature review,” Research

Evaluation 25, Issue 2 (2016): 161-169. doi: 10.1093/reseval/rvv038

Guest, Greg, Namey, Emily & Kevin McKenna. “How many focus groups are enough? Building an evidence base for nonprobability sample sizes,” Field Methods (2016). doi: 10.1177/1525822X16639015

Lindquist, Johan. (2018). “Infrastructures of escort: Transnational migration and economies of connection in Indonesia.” Indonesia 105: 77-95.

Lindquist, Johan. (2012). The elementary school teacher, the thug and his grandmother: informal brokers and transnational migration from Indonesia. Pacific Affairs 85, no.1: 6989.

United Nations Human Rights Office of the Right Commissioner. 2012. Human rights indicators: a guide to measurement and implementation. Diakses dari: https://www.ohchr.org/

Documents/Publications/Human_rights_indicators_en.pdf

Vedung, Evert. Public policy and program evaluation. Routledge, 2017.

Wisnuwardhani, Savitri, et al. Evaluasi Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan Antara Aturan dan Pelaksanaan. Jakarta: Jaringan Buruh Migran a.n. The Institute for Ecosoc Rights, 2018.

BP2MI. Data Penempatan dan Pelindungan PMI Tahun 2019. Diakses dari: https://bp2mi. go.id/uploads/statistik/images/data_19-02-2020_Laporan_Pengolahan_Data_

BNP2TKI____2019(2).pdf

BPS Kab. Banyuwangi. Hasil Sensus Penduduk Kabupaten Banyuwangi 2020. Diakses dari: https://banyuwangikab.bps.go.id/pressrelease/2021/01/22/93/hasil-sensus-penduduk-

Kab.-banyuwangi-2020.html

BPS Kab. Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi dalam Angka 2021. Diakses dari: https:// banyuwangikab.bps.go.id/publication/2021/02/26/92c9d6985269031f62f278b4/Kab.banyuwangi-dalam-angka-2021.html

BPS Kab. Karawang. Kabupaten Karawang dalam Angka 2021. Diakses dari: https:// karawangkab.bps.go.id/publication/2021/02/26/f135c5ef4205b2e953b54f33/Kab.karawang-dalam-angka-2021.html

BPS Kab. Lombok Timur. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka 2021. Diakses dari: https:// lomboktimurkab.bps.go.id/publication/2021/02/26/16598bcbc9b45c7cd5d5a15b/Kab.lombok-timur-dalam-angka-2021.html

DPN SBMI. “Belum Harmonis, SBMI Banyuwangi Minta Perda Perlindungan TKI Ditinjau

Ulang.” 5 Januari, 2020. https://sbmi.or.id/?p=10532

DPN SBMI. “Mungkinkah Perda Copas Bisa Melindungi PMI Karawang.” Agustus, 2020. https:// sbmi.or.id/?p=11447

Liputan Indonesia. “Disnakertrans dan Perindustrian Kabupaten Banyuwangi Concern Perkuat

Program Desmigrati.” 22 Desember, 2020. https://liputanindonesianews.com/ detail/40820/disnakertrans-dan-perindustrian-Kab.-banyuwangi-concern-perkuatprogram-desmigratif.html

Pemkab Banyuwangi. Perubahan RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2016-2020. Diakses dari: https://banyuwangikab.go.id/media/doc/transparansi/RPJMD_P_Kabupaten_

Banyuwangi-2016-2021-21012020.pdf

Pemkab Karawang. RPJMD Kabupaten Karawang Tahun 2016-2021. Diakses dari: https:// www.karawangkab.go.id/dokumen/rpjmd-kabupaten-karawang-2016-2021-0

Pemkab Lombok Timur. RPJMD Lombok Timur Tahun 2018-2023. Diakses dari: https:// bapeda.lomboktimurkab.go.id/baca-berita-166-rencana-pembangunan-jangkamenengah-daerah-lombok-timur-tahun-2018--2023.html

Radar Lombok. “600 TKI Ilegal Asal Lotim Dideportasi.” 15 November, 2020. https:// radarlombok.co.id/600-tki-ilegal-asal-lotim-dideportasi.html

Lampiran

Sumber: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/ meetingdocument/wcms_647497.pdf

Sumber: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/ meetingdocument/wcms_647497.pdf

Jaringan Buruh Migran a/n The Institute for Ecosoc Rights Jln. Tebet Timur Dalam VI C No 17 Jaksel

Telp dan fax : (021) 8304153

Email : jaringan@buruhmigran.or.id | Fanpage : Jaringan Buruh Migran | FB : Jaringan Buruh Migran – jbm | twitter : @jariburuhmigran | IG : Jaringan Buruh Migran (JBM) | website : jaringanburuhmigran.org | YT : Jaringan BuruhMigran