Media Brief : Advokasi Jaringan Buruh Migran

Page 1

MEDIA BRIEF

Kasus dan Kerentanan PMI Dalam delapan tahun terakhir, tidak tercatat penurunan angka pengaduan kasus PMI yang signifikan setiap tahunnya. Data BP2MI dalam rentang tahun 20132020 menunjukkan bahwa terdapat 38.246 pengaduan kasus. Dari jumlah tersebut, 53 persen pengaduan kasus justru terjadi dalam rentang waktu setelah UU PPMI disahkan (2017-2020). Sedangkan sebelum UU PPMI disahkan (20132016), pengaduan kasus yang terdata sebanyak 47 persen. Bahkan, pada tahun 2019, tercatat peningkatan angka pengaduan kasus yang luar biasa bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 4.779 pengaduan menjadi 9.377 pengaduan. Jenis kasus yang mengalami pelonjakan kasus tertinggi antara lain gaji tidak dibayar, PHK sebelum masa perjanjian kerja berakhir, hingga overstay. Meskipun terdapat penurunan angka pengaduan kasus pada tahun 2020, diperkirakan bahwa jumlah kasus yang dialami oleh PMI tetap tinggi, terutama dalam kaitannya dengan kerentanan baru yang muncul selama pandemi COVID-19. Tidak sedikit PMI yang tidak mau mengadukan kasusnya, atau bahkan tidak memiliki akses pengaduan sama sekali selama pandemi COVID-19. Bagaimanapun, Kemlu RI mencatat bahwa, kasus WNI, termasuk PMI yang ditangani oleh Perwakilan RI di luar negeri justru mengalami peningkatan pada tahun 2020. Lebih lanjut, selama tahun 2020, terdapat arus kepulangan PMI yang cukup besar dan mendadak. Terdapat tiga sumber data kepulangan masa pandemi COVID-19. Pertama, SISKOP2MI yang terintegrasi dengan SIMKIM mencatat setidaknya 49.211 kepulangan PMI prosedural. Kedua, Sistem Kepulangan Online dari Perwakilan RI dan informasi berbagai pihak mencatat 53.200 kepulangan PMI yang mayoritas adalah non prosedural. Ketiga, Data Laporan Petugas 1 Januari hingga 24 April 2020 yang dilakukan secara manual karena masifnya arus kepulangan PMI mencatat setidaknya 75.424 kepulangan PMI. Survei yang dilakukan oleh JBM bersama anggota koalisi, Human Rights Working Group (HRWG) dan Serikat Buruh Migarn Indonesia (SBMI) April tahun lalu memperlihatkan bahwa 54 persen responden PMI di Arab

Saudi sudah tidak digaji dan 34 persen merasa takut untuk memerika kondisi mereka ke fasilitas kesehatan karena khawatir ditangkap oleh pihak keamanan terkait status imigrasi mereka. Responden PMI di Singapura dan Hong Kong yang banyak bekerja di sektor rumah tangga umumnya masih bekerja dan menerima gaji bulanan, hanya saja mengalami kesulitan seperti perampasan hak libur, depresi, hingga tidak bisa mengirim uang ke keluarga di Indonesia. Survei lainnya, yang dilakukan oleh JBM pada Desember 2020 hingga Februari 2021 juga memperlihatkan bahwa mayoritas responden PMI mengatakan kondisi pelindungan tetap sama dan tidak ada perubahan signifikan. Banyak dari para responden PMI mengalami permasalahan selama pandemi COVID-19, di antaranya kesulitan untuk berorganisasi, beban kerja bertambah, pemotongan gaji, hingga harus bekerja selama tujuh hari dalam seminggu. Sedangkan menurut data pengaduan kasus SBMI, dalam 10 tahun terakhir (2010-2020), terdapat 3.099 pengaduan kasus dengan tahun 2020 sebagai tahun dengan jumlah pengaduan kasus tertinggi, yaitu sebanyak 643 pengaduan kasus. Berdasarkan negara tujuan, Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura merupakan negara tujuan penyumbang pengaduan kasus tertinggi. 53,7 persen dari jumlah pengaduan kasus yang diterima SBMI selama tahun 2020 berasal dari perempuan PMI. Lebih lanjut, 36 persen, atau pengaduan kasus terbanyak, diadukan oleh perempuan PMI yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Data ini menunjukkan pola tertentu, yaitu bahwa perempuan PMI, terutama yang bekerja di sektor informal, adalah kelompok paling rentan.

Kemlu. Malam Penganugrahan Hassan Wirajuda Perlindungan Award 2020: Di Tengah Pandemi, Negara Tetap Hadir Melindungi. https://kemlu.go.id/ portal/id/read/2000/berita/malam-penganugrahan-hassan-wirajuda-perlindungan-award-2020-di-tengah-pandemi-negara-tetap-hadir-melindungi 1

BP2MI. Refleksi Capaian 9 Program Prioritas Tahun 2020. https://bp2mi. go.id/uploads/pengumuman/images/data_11-01-2021_Refleksi_BP2MI_Capaian_9_Program_Prioritas_Th_2020.pdf 2


Kerentanan PM di Setiap Tahapan Migrasi Masalah yang dihadapi oleh PMI umumnya tidak hanya dirasakan ketika mereka berada di negara tujuan. Ketika masih berada dalam tahap pra penempatan, CPMI juga memiliki banyak masalah antara lain terlalu lama di penampungan, ancaman gagal berangkat, ketiadaan informasi yang resmi dan dapat dipertanggungjawabkan terkait bekerja ke luar negeri, hingga masalah-masalah lain seperti kekerasan seksual, pemalsuan identitas untuk pengurusan dokumen, tidak adanya kesempatan untuk memeriksa dokumen yang sedang diurus oleh calo/sponsor mereka, hingga permasalahan kompleks lainnya. Masa pra penempatan adalah fase yang krusial, karena berbagai macam permasalahan yang muncul dalam fase penempatan dan pasca penempatan banyak sekali yang berakar dari fase pra penempatan. CPMI memiliki kerentanan terhadap informasi palsu dan tidak resmi terkait migrasi ketenagakerjaan. Tidak sedikit CPMI yang mendapatkan informasi pertama terkait migrasi ketenagakerjaan melalui praktik intermediasi, yakni bahwa informasi disampaikan oleh calo/sponsor informal yang tidak bertanggung jawab. Kepalsuan dan ketidakresmian informasi yang mereka dapatkan selama masa pra penempatan berkontribusi terhadap ketidaktahuan mereka terhadap hak-hak yang mereka miliki selama pra

penempatan, penempatan, dan pasca penempatan. Misalnya dalam hal biaya penempatan, CPMI seringkali mengalami biaya berlebihan yang dapat berujung jeratan utang (debt bondage). Selama masa penempatan, PMI seringkali dituntut untuk melakukan pekerjaan di luar perjanjian kerja. Hanya saja, karena tidak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan informasi mengenai hakhak dan kesempatan untuk memeriksa dokumen perjanjian kerja, mereka terpaksa harus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak perlu dikerjakan. Selain itu, mereka rentan terhadap perampasan hak libur, gaji tidak dibayar atau dipotong, kekerasan fisik, psikis, dan seksual, maupun penahanan dokumen seperti paspor. Sedangkan pada tahap migrasi pasca penempatan, PMI rentan untuk dipekerjakan kembali secara paksa (forced rehiring) maupun terpapar COVID-19 selama pandemi. Reintegrasi sosial dan ekonomi juga menjadi permasalahan yang cukup kompleks bagi para purna PMI, sehingga banyak sekali purna PMI yang tidak mengalami perbaikan ekonomi atau peningkatan keterampilan setelah kembali ke Indonesia, meskipun rata-rata dari mereka bekerja ke luar negeri karena ingin memperbaiki kondisi ekonomi.


UU PPMI: Amanat Pelindungan PMI Melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) hadir sebagai usaha untuk merombak tata kelola migrasi ketenagakerjaan agar lebih berperspektif HAM dibanding UU sebelumnya, UU No. 39 Tahun 2004. Beberapa perubahan yang paling menonjol adalah terkait definisi PMI yang telah disesuaikan dengan Konvensi PBB 1990, pembagian peran pemerintah daerah yang diperluas, pendidikan dan pelatihan yang tadinya merupakan kewajiban perusahaan penempatan dialihkan menjadi kewajiban pemerintah daerah, hingga terkait rezim asuransi.

memantau perkembangan LTSA :

Penyelenggaraan layanan terpadu satu atap (LTSA) merupakan salah satu inovasi kebijakan yang termaktub dalam UU PPMI. Sesuai Pasal 38 Ayat 3, LTSA memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

3. LTSA tidak melibatkan CSO secara intensif atau bahkan tidak sama sekali;

a. Mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan pelindungan PMI; b. Memberikan efisiensi dan transparansi dalam pengurusan dokumen penempatan dan pelindungan CPMI dan/atau PMI; dan c. Mempercepat peningkatan kualitas pelayanan PMI. Sebagaimana telah tertulis di bagian sebelumnya, salah satu kerentanan terbesar CPMI adalah terkait praktik intermediasi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan informasi pertama terkait migrasi ketenagakerjaan secara tidak resmi dan tidak benar. Atas dasar tersebut, LTSA seringkali diperkenalkan sebagai respons terhadap permasalahan intermediasi atau praktik percaloan yang merupakan salah satu faktor dari langgengnya eksploitasi CPMI dan PMI selama fase pra penempatan, penempatan, hingga pasca penempatan. LTSA didirikan dengan harapan dapat memperkenalkan rekrutmen yang etis (ethical recruitment) dan memperkecil kerentanan-kerentanan PMI. Terkait mandat pembentukan LTSA, berdasarkan amanat yang tertuang dalam Pasal 40(i) dan Pasal 41(k), Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki tugas dan tanggung jawab dalam membentuk LTSA. Per April 2021, telah terbentuk sebanyak 45 LTSA yang tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. Meskipun LTSA dapat diapresiasi sebagai salah satu inovasi kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki tata kelola migrasi ketenagakerjaan di Indonesia, masih terdapat kelemahan dalam hal penyelenggaraan. Berikut merupakan beberapa kelemahan penyelenggaraan LTSA yang telah dapat diidentifikasi oleh anggota JBM dalam rangkaian diskusi

1. Berbagai layanan, seperti layanan imigrasi, layanan kependudukan dan pencatatansipil, layanan SKCK, layanan jaminan sosial, hingga layanan informasi mengenaimigrasi yang aman belum hadir/tidak tersedia di banyak LTSA; 2. LTSA justru melanggengkan praktik intermediasi, mempermudah calo/sponsor informal untuk mengurus dokumen persyaratan CPMI;

4. Terdapat masalah keberpihakan, yang mana LTSA masih menyasar P3MI sebagai target utama sosialisasi alih-alih CPMI dan keluarga mereka; 5. Lokasi LTSA tidak semuanya terjangkau dari daerah-daerah kantong PMI (sejumlah CPMI harus menempuh jarak di atas 20 km dan waktu tempuh 1 jam atau lebih); 6. Tidak adanya meja layanan dan mekanisme pengaduan kasus di LTSA; 7. Jumlah CPMI yang dapat dilayani oleh Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) masih terbatas, sehingga banyak dari CPMI harus ke daerah lain untuk melakukan PAP; hingga 8. LTSA masih hanya sebatas pelayanan administratif. Hal yang patut menjadi perhatian adalah permasalahan bahwa LTSA hingga kini justru melanggengkan praktik intermediasi dan belum mampu memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas di daerah-daerah kantong PMI, sehingga menjadi paradoks yang belum mampu mengatasi permasalahan PMI. Melalui penelitian untuk meninjau efektifitas LTSA yang dilakukan oleh Jaringan Buruh Migran (JBM), terdapat banyak kasus CPMI didampingi oleh petugas P3MI atau calo/sponsor informal dalam mengakses layanan di LTSA. Tidak sedikit dari mereka tidak tahu apa yang sedang mereka urus ketika berada di LTSA. Bahkan, tercatat beberapa CPMI tidak memiliki pengetahuan terhadap LTSA. Mereka hanya memahami bahwa mereka mengakses layanan di disnaker, meskipun mereka sebenarnya mengakses layanan disnaker yang berada di dalam LTSA.


Advokasi JBM: Rekomendasi

Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 28 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serta organisasi yang pemerhati isu PMI. JBM yang dahulu bernama JARI PPTKILN semenjak tahun 2010 telah aktif melakukan pengawalan terhadap proses pembahasan revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia hingga UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No. 18 Tahun 2017 telah disahkan. Kini JBM turut mengawal pembentukan aturan turunan UU PPMI dan pengimplementasian dari UU PPMI guna mendorong pemenuhan pelindungan kepada PMI. Advokasi JBM dengan tujuan memastikan pelindungan bagi PMI dilakukan utamanya melalui tiga arah. Pertama, advokasi kebijakan di tingkat nasional melalui pengawalan implementasi UU PPMI dan perancangan aturan turunan UU PPMI. Kedua, penanganan kasus dengan mekanisme rujukan. Ketiga, advokasi kebijakan di tingkat regional, yakni ASEAN. Pasca disahkannya ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW), JBM turut mengawal perencanaan aksi regional dan nasional untuk ACMW agar benar-benar dapat memberikan pelindungan bagi PMI di tingkat ASEAN. Sebagai bagian dari arah pertama, yakni terkait advokasi kebijakan di tingkat nasional. JBM turut memiliki fokus untuk mengawal implementasi dan perencanaan aturan turunan UU PPMI yang berkaitan dengan penyelenggaraan LTSA. Terdapat beberapa kegiatan yang sedang dijalankan oleh JBM terkait hal tersebut, yakni antara lain penelitian kualitatif dan kuantitatif, perumusan isu krusial dan policy brief LTSA, maupun diskusi-diskusi seputar LTSA yang dilakukan di daerah kantong PMI.

`Karena masih terdapatnya celah kelemahan dalam penyelenggaraan LTSA yang telah terjabarkan di bagian sebelumnya, JBM memiliki sejumlah rekomendasi sebagai berikut: 1. Mendorong dipercepatnya penerbitan peraturan turunan mengenai LTSA; 2. Mendorong pelembagaan mekanisme pengaduan kasus di LTSA; 3. Mendorong penerbitan atau revisi peraturan di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang mengatur tentang pembentukan LTSA dan disesuaikan dengan UU PPMI; 4. Mendorong sosialisasi yang lebih intensif kepada CPMI dan keluarga mereka di daerah-daerah kantong PMI dengan melibatkan pemerintah desa mengenai keberadaan dan fungsi LTSA; 5. Mendorong integrasi data LTSA mulai dari tingkat desa hingga ke Perwakilan RI di luar negeri; 6. Mendorong penyebarluasan informasi mengenai migrasi yang adil dan aman bagi CPMI melalui LTSA; 7. Mendorong inovasi LTSA mobile di kantor kecamatan untuk lebih mendekatkan layanan LTSA; dan 8. Mendorong pelibatan akar rumput, termasuk CSO dan serikat buruh migran dalam penyelenggaraan, peninjauan, dan pengawasan LTSA.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.