5 minute read

1. Lencau Kila

Tersebutlah kisah seorang anak muda bernama Lencau Kila. Ia sangat gemar berburu ayam hutan. Demi kegemarannya, terkadang ia harus masuk ke hutan untuk beberapa hari lamanya. Suatu ketika, ia memasang jerat sepanjang satu pematang gunung atau sekitar dua kilometer panjangnya. Melihat hal itu, Pelusat Encuk ayahnya, memberi pesan, “Engkau harus periksa jerat itu setiap dua hari sekali.” Lencau Kila mematuhi pesan itu. Maka, ia rajin menengok jeratnya. Dua hari pertama, ia susuri seluruh jerat yang sudah dibuatnya. Ia berangkat seorang diri, berharap ada ayam hutan masuk dalam jeratannya. Kerja kerasnya belum membuahkan hasil. Tak seekor ayam hutan atau hewan terperangkap. Hanya beberapa potongan kayu dan daun yang berjatuhan menutupi jeratnya. Lencau Kila pulang dengan tangan hampa. Pada hari keempat dan keenam ia kembali lagi. Hasilnya masih tetap sama. Tidak ada seekor ayam hutan yang terperangkap. “Mengapa tidak ada seekor ayam hutan atau binatang lain yang masuk dalam jerat ini?” pikir Lencau Kila sambil berjalan pulang. Maka ia putuskan akan menengok jeratnya dua hari lagi. Tibalah hari kedelapan. Ia susuri kembali jeratnya. Kali ini tampak ada hasilnya. Seekor binatang besar terperangkap. Lencau Kila lalu mendekat dan melihatnya. Seekor babi besar meringkuk dalam perangkapnya. Namun ia biarkan babi itu dan segera ia menceritakan hasil tangkapannya pada bapaknya. Pelusat Encuk mendengarkan dengan saksama apa yang disampaikan anaknya. Lalu ia memberi nasihat, “Anakku, bawalah bujaq ini esok hari. Tombaklah babi itu, lalu bawalah pulang.” Lencau Kila mengikuti perintah bapaknya. Ia sudah persiapkan bujaq yang akan dibawa

esok harinya. Pagi-pagi benar ia berangkat menuju tempat babi terkena jerat. Begitu tiba di tempat yang dituju, ia mengamati babi tangkapannya. Tidak lama setelah itu, ia tombak babi itu tepat mengenai pantatnya. *** “Aduh….,” teriak babi itu sambil berlari membawa bujaq yang tertancap di pantatnya. Lencau Kila tampak kebingungan dengan suara babi itu. Ia bergegas pulang dan menceritakan kejadian yang dialami pada bapaknya. Pelusat Encuk memerintahkan agar Lencau Kila segera mengejar babi itu dan mengikutinya ke mana babi itu pergi. Konon babi jadi-jadian itu akan berubah wujud menjadi manusia jika tiba di kampung. Lencau Kila mengikuti anjuran bapaknya. Ia segera berlari mengejar babi itu lalu menelusuri jejak kaki babi yang masih tampak di tanah. Tidak lama setelah itu, ia tiba di satu kampung. Ia melihat seseorang sedang berbaring di beranda rumah. “Maaf, Amai, apakah ada babi yang lewat di sini?” tanya Lencau Kila. “Aku tidak melihatnya. Tadi hanya ada orang tua berambut putih yang lewat jalan ini,” jawab orang itu. “Ke mana perginya orang itu, Amai?” tanya Lencau Kila. Orang tua itu menunjuk ke arah seberang sungai. Lalu Lencau Kila berjalan menyeberang sungai. Bekas jejak kaki babi itu masih tampak. Tibalah ia di kubangan berlumpur. Tampak beberapa hewan seperti rusa, kera, kerbau, beruang, sapi sedang berkumpul di situ. Sebelum rasa herannya terjawab, tiba-tiba tampak seekor babi sedang mandi di kubangan itu. Terdengar suara saling mentertawakan dari hewan-hewan itu, karena yang lain tidak bisa ikut mandi. “Aneh betul suara itu. Mengapa hewan bisa tertawa seperti manusia?” pikir Lencau Kila. Ia benar-benar heran dengan kejadian yang Ia alami. Tidak lama setelah itu, babi itu naik dan berkumpul dengan hewan-hewan lainnya. Lencau Kila terus

Advertisement

mengamati. Terdengar babi itu berbicara, “Jika nanti ada kilat, kita akan berubah menjadi manusia.” Tidak lama kemudian, terdengar bunyi kilat menggelegar. Tiba-tiba, berubahlah wujud hewan-hewan itu menjadi manusia. Lalu orang-orang itu memanggil babi yang sudah berwujud manusia dengan sebutan Pelaran. Lencau Kila gemetar karena takut luar biasa. Namun ia terus mengikuti pembicaraan mereka. Pelaran sedang menceritakan kejadian yang menimpa dirinya. Semua orang mendengarkan cerita Pelaran. Tidak seorang pun beranjak dari tempatnya. “Jika nanti ada orang menyembuhkanku, tak seorang pun boleh melihatnya,” ujar Pelaran. Semua mengangguk dan tidak ada yang berani membantah. Kemudian Lencau Kila memberanikan diri datang mendekati Pelaran. “Aku datang untuk menyembuhkanmu,” ucap Lencau Kila. Lencau Kila lalu mengambil tikar, dililitkan tikar itu ke badan Pelaran dan dirinya. Terdengar sekilas perbincangan di antara mereka. Tidak lama setelah itu, Lencau Kila langsung menarik bujaq yang menancap di pantat Pelaran. Terdengar suara lirih mengaduh kesakitan. Tiba-tiba terdengar suara kilat menggelegar kembali dan Lencau Kila menghilang tanpa bekas. Pelaran lalu keluar dari tikar dalam kondisi segar bugar. Orang-orang yang sedang berkumpul merasa heran dan penasaran Pelaran sembuh dengan cepat. Tatkala mereka bertanya siapa yang menyembuhkannya, Pelaran diam tidak menjawab. Setelah itu warga mengadakan pertemuan untuk menetapkan Pelaran sebagai Kepala Adat. Pesta adat digelar dengan meriah dan Pelaran memberi nasihat, “Jika nanti ada berbagai macam buah yang jatuh dari langit, janganlah kalian berebut.” Esok harinya banyak sekali buah yang berjatuhan seperti buing, palan, keramok, dan lain sebagainya.

Lencau Kila dapat menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di kampung itu. Kemudian ia bergegas pulang dan menceritakan peristiwa itu sambil menyerahkan bujaq kepada bapaknya. Pelusat Encuk menasihati agar Lencau Kila tidak membuat jerat lagi dan dianjurkan segera menikah. Pelusat Encuk kemudian bercerita tentang seorang gadis yang tinggal di hulu sungai. Gadis itu dirasa cocok untuk menjadi istri Lencau Kila. *** Sepekan sudah waktu berlalu. Bapak dan anak itu mudik ke hulu menggunakan perahu. Perjalanan ditempuh dalam waktu dua hari dua malam. Gadis dari kampung hulu itu bernama Ping Ule. Begitu tiba di kampung, mereka langsung menuju rumah Ping Ule. Ternyata di rumah itu mereka hanya menjumpai seorang nenek. Pelusat Encuk memperkenalkan diri dan perbincangan terjadi di antara mereka. Tidak lama kemudian Ping Ule datang membawa sayuran. Tubuhnya masih berkeringat. Melihat cucunya pulang, nenek itu langsung memperkenalkan Ping Ule kepada tamunya. Lencau Kila terpana dengan kecantikan gadis yang sederhana itu. “Aku rasa, Ping ini cocok untuk dijadikan teman hidup anakku,” ucap Pelusat Encuk pada nenek itu. Kemudian Lencau Kila dan Ping Ule saling bekenalan dan saling berbincang dengan ramah. Sementara itu, Pelusat Encuk memohon agar nenek itu bersedia menikahkah cucunya dengan Lencau Kila. Ternyata mereka sepakat mengenai hal itu. Rupanya Lencau Kila dan Ping Ule juga saling jatuh cinta. “Sesuai dengan adat, pernikahan harus di tempat laki-laki. Jika tidak ada halangan, dalam satu bulan ke depan pernikahan dapat digelar,” usul nenek itu. Lantaran telah terjadi kesepakatan, kemudian mereka beristirahat karena malam kian larut.

Keesokan harinya, bapak dan anak itu kembali ke kampung. Tidak lupa Ping memberikan makanan untuk bekal perjalanan. Saat itu sungai terlihat mengalir dengan deras karena hujan semalaman. Kampung mengalami kebanjiran, namun Pelusat Encuk dan Lencau Kila tetap berniat pulang. Peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Sebuah batu besar tak terlihat oleh mereka. Tanpa disadari perahu mereka menabraknya. Terdengar keras suara benturan. Perahu terguling. Pelusat Encuk dan Lencau Kila hanyut terbawa arus. Naas bagi Lencau Kila, ia tewas tenggelam, sedangkan bapaknya selamat. Jasad Lencau Kila ditemukan tiga hari kemudian. Pelusat Encuk dengan rasa sedih yang mendalam, membawa jasad anaknya untuk dimakamkan. Ping Ule dan neneknya semula tidak mengetahui peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, kabar itu diterima oleh mereka. Ping Ule dirundung kesedihan luar biasa. (*)