11 minute read

3. Jalung dan Bungan

Tersebutlah kisah seorang anak bernama Jalung. Sejak kecil ia selalu bersama bapaknya yang bernama Bo’ Paren. Ia selalu diajak ke ladang maupun berburu binatang sejak ia kecil. Bo’ Paren melihat Jalung sudah tumbuh dewasa. Saatnya ia mencari pendamping hidup. Maka Jalung diminta pergi ke kampung hulu untuk menemui gadis bernama Bungan Paren. Jalung setuju dengan saran bapaknya. Ia panggil keempat sahabatnya, Asang Lawai Ingan, Suwit Lirung, Uyeau Anyiq Tukeng Nyampeq Mekelunan, dan Uyeau Moq untuk menemaninya pergi ke hulu. Mereka bersepakat pergi, lalu mereka mempersiapkan perahu dan perbekalan, karena perlu waktu tiga hari untuk sampai di kampung Bungan Paren. Perjalanan dimulai. Mereka bergantian mendayung. Setelah tiga hari dua malam menyusuri sungai berkelok, mereka berjumpa seorang bapak yang sedang mencari ikan. Lalu, Jalung menyapa seraya bertanya, “Kami mau berkunjung ke rumah Bungan Paren. Berapa jauh jaraknya dari sini?” Orang itu menjelaskan sekitar dua jam lagi, ia mengajak mereka jalan bersama. Jalung dan sahabatnya mengikutinya dari belakang dengan perahunya. Tidak lama kemudian mereka tiba di kampung. Bapak itu mengantar Jalung sampai di depan rumah Bungan. Jalung langsung naik ke rumah. Terlihat Bungan sedang duduk bersama mamak-nya. Melihat Jalung datang, mamak-nya berujar pada Bungan, “Jika pemuda itu nanti duduk di atas gong, maka ia berniat untuk melamarmu. Kalau ia duduk di atas kura-kura, berarti tidak.” Ketika mereka dipersilakan masuk, Jalung langsung duduk di atas gong. Melihat hal itu, mamak Bungan

langsung meminta seorang pemuda untuk memberitahu warga kalau ada pemuda yang akan melamar Bungan Paren. Malam pun tiba. Orang-orang mulai berkumpul di rumah Bungan Paren untuk melihat Jalung. MamakParen meminta Jalung dan empat sahabatnya menari. Warga kampung minta Jalung menari sendiri terlebih dahulu yang dalam tradisi adat tarian itu disebut kancet lasan lake, kemudian diikut empat orang sahabatnya secara bergantian. Musik sampeq sudah berbunyi. Jalung mulai menari seorang diri. Ia tampil penuh percaya diri. Gerakan tarinya sangat lincah dan mempesona. Orang-orang terpukau melihatnya. Tak terasa, bangan yang dihidangkan habis. Empat orang sahabatnya kemudian menyusul menampilkan tarian yang sama indahnya. Tiba giliran Bungan Paren dan teman-temannya unjuk diri. Bungan mulai menari kancet lasan letto sendirian lemah gemulai dengan gerakan yang sangat indah. Jalung dan empat sahabatnya sangat terpesona. Tiga orang sahabatnya, Urei Beluluk Lu’ai, Asung Beluluk Lung dan Bungan Sakai tampil bergantian setelah Bungan Paren selesai menari. Tarian mereka sama indahnya. Orang-orang yang hadir merasa puas terhibur. Tatkala dini hari tiba, pesta adat diakhiri. Salah seorang tetua adat mengumumkan rencana Jalung melamar Bungan. Hari baik sudah ditentukan. Jalung diminta kembali dua minggu lagi. Jalung dan sahabatnya beristirahat semalam di kampung Bungan. Pada esok harinya, pulang dengan perasaan bahagia. Setelah tiba di rumah, Jalung menceritakan peristiwa bahagia itu. Kemudian Bo Paren memberitahu warga mengenai rencana pernikahan Jalung. ***

Advertisement

Warga kampung menyambut gembira rencana pernikahan itu. Banyak sekali orang yang akan ikut menjemput Bungan Paren sehingga perahu yang tersedia tidak cukup. Jalung meminta bantuan sahabatnya untuk memecahkan masalah ini. Mereka berunding, kemudian bersepakat untuk membuat jalan darat agar semua orang bisa ikut. Jalung dan empat sahabatnya kemudian membuat jalan yang dapat menembus kampung. Mereka juga membuat pondok dan pancuran air untuk tempat beristirahat. Mereka telah bekerja sekuat tenaga dan pekerjaan itu berhasil diselesaikan selama tiga hari. Sejak saat itulah, tersedia jalan tembus yang menghubungkan kampung Jalung dengan Bungan Paren. Sementara itu warga di kampung sibuk mempersiapkan berbagai perlengkapan adat. Tidak lupa pula membuat makanan untuk bekal di jalan. Pada hari yang sudah ditentukan, mereka berangkat serentak. Kampung yang biasanya ramai, sejenak menjadi sepi tanpa penghuni. Rombongan berjalan beriringan sejak pagi dan beristirahat menjelang malam di pondok. Rombongan itu tiba di kampung Bungan setelah menempuh perjalanan selama tiga hari. Setelah beristirahat sejenak, rombongan itu menuju ke rumah Bungan. Mereka disambut dengan meriah dan menyantap berbagai hidangan seperti pitoh, lemang, daging payau, daging babi, buah ngelamun, belong, setau, isau, dan minuman jakan yang telah dipersiapkan keluarga Bungan. Pada malam hari, digelar acara tari-tarian. Mereka menari sampai pagi. Keesokan harinya, pernikahan dilaksanakan. Bungan tampak cantik luar biasa mengenakan kain ta’ah, dihiasi kalung manik, baju manik dan tapung peq. Begitu juga dengan Jalung yang mengenakan baju adat berhiaskan sarung perang (tabit sua),bulu burung enggang

(beluko) yang menambah kegagahannya. Semua orang yang hadir tampak kagum dan terpesona akan kecantikan dan kegagahan kedua mempelai. Sesuai tradisi, Kepala Adat memberikan petuah diikuti tokoh kampung lainnya. Kedua mempelai memperhatikan secara saksama berbagai nasihat yang diberikan. “Cukup satu kali kalian menikah untuk seumur hidup. Jangan pernah berpaling kepada yang lain. Gangguan hidup pasti akan ada, namun keteguhan hati akan mengatasinya dengan cinta yang sudah kalian buktikan hari ini,” ucap Kepala Adat memberi nasihat. Acara pernikahan berakhir. Sebelum warga pulang, mamak Bungan bertutur kepada orang-orang yang masih berada di rumahnya, “Mereka sudah menjadi suami-istri. Besok Bungan akan dibawa pulang. Sebaiknya ada teman Bungan yang ikut mengantarnya,” Namun Bungan tampak tidak berkenan dengan mamak-nya, karena merasa khawatir merepotkan sahabatnya. “Jika nanti ada yang ikut, siapa yang akan mengantar pulang. Aku tidak perlu diantar,” ujar Bungan pada mamak-nya. Dalam rombongan Jalung ada seorang perempuan muda bernama Utup Taup Balaluang. Ia mencoba menengahi masalah ini kemudian berkata “Cukup saya yang menemani. Tidak perlu ada yang mengantar Bungan.” Mamak Bungan dan orang-orang yang hadir setuju usulan itu. *** Keesokan harinya, rombongan Jalung pulang ke kampung. Dalam perjalanan itu, mereka beristirahat di pondok seperti sebelumnya. Pada saat itu Bungan berkehendak mandi di pancuran yang terletak tidak jauh dari pondok. Utup Taup Balaluang juga punya keinginan yang sama. Pancuran hanya ada satu sehingga Bungan dan Utup harus saling bergantian. Utup mendapat giliran

pertama. Pada saat Utup mandi, Bungan melepaskan pakaiannya. Setelah selesai mandi, Utup secara sengaja mengenakan baju Bungan. Lalu ia tinggalkan Bungan sendirian. Setelah selesai mandi, Bungan kebingungan karena pakaiannya sudah tidak ada lagi. Hanya baju Utup yang tertinggal dan langsung ia kenakan. Bungan langsung menyusul ke pondok menemui Utup. “Utup, baju yang kamu pakai itu bajuku!” teriak Bungan. “Bukan, ini bajuku!” sergah Utup. Pada saat mereka memperebutkan baju, Jalung tiba-tiba masuk dan berkata “Sudah istriku, engkau pakai baju Utup saja dahulu.” Bungan setuju dengan saran suaminya. Ia mengenakan baju Utup dan segera beristirahat untuk melanjutkan perjalanan. Pada esok harinya, rombongan kembali berjalan seharian penuh. Saat hampir tiba di pondok kedua, Jalung berkata pada Bungan. “Istriku, kita sudah hampir sampai di pondok kedua. Kita nanti beristirahat dan bermalam.” Begitu sampai di pondok, Bungan dan Utup kembali ingin mandi. Di pondok yang kedua ini, pancuran juga hanya satu, seperti di pondok yang pertama. Utup dan Bungan harus bergantian untuk mandi. Pada saat itu terpikir oleh Bungan untuk mengganti baju yang tertukar. “Aku mandi dulu, ya?” ucap Bungan sambil mempersiapkan diri untuk mandi. “Baik, Bungan. Aku tunggu di sini,” jawab Utup. Bungan segera melepas baju dan mandi. Sambil menunggu Bungan mandi, Utup juga melepas bajunya dan diletakkan di samping baju Bungan. Siasat Bungan berhasil. Ia pakai kembali baju yang sudah tertukar setelah selesai mandi. Utup juga mengenakan bajunya sendiri. Perjalanan dilanjutkan esok harinya dan rombongan tiba di kampung pada sore hari. Jalung dan Bungan memulai hidup baru dengan rasa bahagia. Tidak lama berselang Bungan mengandung.

Jalung semakin mencintai istrinya. Ia selalu membawakan sayur-sayuran dan buah dari hutan untuk istrinya. Usia kandungan Bungan sudah hampir sembilan bulan. Pesta syukur harus diadakan, namun tidak ada apa pun tersedia di rumah. Lalu, Bungan meminta agar Jalung pergi ke hutan mencari sayur dan berburu binatang. Jalung memenuhi permintaan istrinya. Pagi-pagi sekali Jalung sudah berangkat dan menitipkan istrinya pada Bo’ Paren, bapaknya.

*** Jalung sudah selama satu minggu berada di hutan, namun tak jua kembali ke kampung. Tibalah saat Bungan melahirkan, namun di rumah tidak ada siapa-siapa karena Bo’ Paren sedang di ladang. Utup datang tiba-tiba, lalu membantu Bungan melahirkan. Bungan melahirkan dengan selamat dan Utup berkata pada Bungan, “Ini anakku, bukan anakmu!” Bungan bingung dan tidak mengerti yang dimaksud Utup. Sementara itu kondisi kesehatan Bungan masih lemah, Utup bersikeras anak yang baru dilahirkan adalah anaknya, dan Jalung adalah suaminya. Perilaku Utup tidak berhenti di situ, dengan kasar ia mengusir Bungan. “Daripada aku mati di sini, lebih baik aku pulang ke kampung,” pikir Bungan dalam hati. Bungan memutuskan pulang kampung, meski kondisinya masih sangat lemah. Ia susuri kembali jalan darat dan hanya berbekal satu butir telur ayam. Ia pulang dengan derai air mata kesedihan. Tibalah ia di pondok yang dulu ia singgahi. Saat ia hendak mandi dan minum, pancuran itu sudah tidak ada lagi. Dalam kondisi haus dan lapar, telur ayam yang ia bawa tiba-tiba menetas. Seekor ayam jantan ke luar dari cangkangnya. Tidak seperti ayam lainnya, ayam jantan ini tumbuh sangat cepat. Ayam jantan ini tahu Bungan kehausan. Ia langsung terbang menuju sungai mengambil air dan memberikan

kepada Bungan untuk diminum. Malam itu Bungan beristirahat di pondok bersama ayam jantannya. Esok harinya, ia melanjutkan perjalanannya dengan ditemani ayam jantan itu. Bungan tiba di pondok kedua dan bermaksud istirahat. Namun ia mendapati pondok itu sudah rusak. Ia lalu berjalan mengelilingi pondok dan melihat asap membumbung di bawah sebuah jurang. Bungan minta ayam jantan itu mendatangi sumber asap. Ayam jantan itu melihat sumber asap berasal dari pondok yang terlindungi pepohonan yang dihuni kakek dan nenek. Ayam jantan itu kemudian memberitahu Bungan dan mengajak mengunjungi pondok itu. Setiba di pondok itu, nenek itu terkejut melihat kedatangan Bungan. Selama ini, mereka tidak pernah kedatangan tamu karena rumahnya jauh di tengah hutan. Bungan kemudian menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya. Nenek itu merasa sangat iba dan meminta Bungan beristirahat di pondoknya. Bungan menginap semalam dan tenaganya pulih kembali. Setelah dirasa cukup kuat, Bungan melanjutkan perjalanan. Kakek dan nenek itu melepas kepergian Bungan dengan berat hati. Setelah empat hari berjalan, Bungan tiba di kampung. Mamak-nya terkejut melihat Bungan sendirian. Bungan lalu bersimpuh di kaki mamaknya dengan derai air mata. Ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya dengan penuh kesedihan. “Aku sudah curiga sebetulnya, ketika Utup menawarkan diri menemanimu. Tapi tidak apalah, nanti kita selesaikan,” ucap mamak Bungan menenangkan hati anaknya. *** Sementara itu, anak Bungan yang tinggal bersama Utup menangis terus sepanjang hari. Ia tidak pernah mendapatkan air susu dan kasih sayang dari mamak-nya. Utup berpikiran membuang bayi itu karena telah

menyusahkannya. Maka, ia berencana membuang ke sungai. Utup kemudian mencari labu putih besar (urung) di hutan. Setelah dapat, ia belah dan mengeluarkan semua isinya. Bayi itu kemudian ia masukkan dan diikat dengan rotan, lalu bayi itu ia larutkan ke sungai. Utup kemudian pulang sambil menunggu Jalung datang. Tidak lupa ia memakai baju Bungan. Tidak lama setelah itu, Jalung datang. Ia melihat ada sesuatu yang berbeda pada perut “istrinya”. Ia berpikir istrinya telah melahirkan saat ia masih berburu di hutan. “Apakah engkau sudah melahirkan?” tanya Jalung. Utup kebingungan, ia berpikir sejenak untuk menjawab pertanyan itu. “Maafkan aku. Saat engkau pergi berburu, aku jatuh dari tangga rumah. Bayi yang ada di perutku tidak terselamatkan,” jawab Utup dengan terbata-bata. Jalung sedih mendengar penjelasan itu. Ia merasa bersalah telah pergi terlalu lama sehingga tidak bisa menjaga istrinya. Ia peluk erat-erat Utup, yang dikira istrinya, dan meminta maaf atas kejadian yang menimpanya. Ia menangis dipelukan Utup. Sementara itu, bayi yang dihanyutkan Utup ditemukan oleh Pebudaq tersangkut di jaring ikan (bading) miliknya. Ia melihat ada benda tersangkut di jaringnya, lalu diangkatnya dan dibawa pulang untuk diberikan kepada istrinya. Saat menerima benda itu, istrinya mendengar ada suara tangis bayi. Betapa terkejutnya mereka. Bayi itu kemudian digendong dan berusaha untuk mendiamkannya. Mereka langsung terpikir pada Jalung dan Bungan, karena saat itu ia ikut rombongan mengantar Jalung ke rumah Bungan. Meski benaknya masih diselimuti banyak pertanyaan, Pebudaq memberi nama bayi itu Lencau Jalung. Mereka mengasuh Lencau Jalung dengan penuh kasih sayang. Singkat cerita, Lencau Jalung tumbuh remaja. Pada suatu hari Lencau meminta izin untuk

berburu ke hutan. Saat itu, usia Lencau dua belas tahun, sehingga ia dilarang berburu karena dianggap masih kecil. Namun Lencau bersikukuh untuk pergi berburu. Pebudaq akhirnya mengizinkan dengan syarat tidak boleh terlalu jauh masuk ke hutan. Pebudaq menyiapkan peralatan berburu sementara istrinya menyiapkan bekal makan. Pebudaq khawatir jika Lencau berburu sampai di kampung dan berjumpa Jalung. Lencau menyusuri hutan selama tiga hari dua malam. Pada perburuan pertama, ia membawa pulang seekor payau. Merasa berhasil, Lencau ingin kembali berburu. Pada perburuan kedua, Lencau berburu sampai hulu sungai melewati kampung. Ia telah masuk terlalu jauh ke dalam hutan. Setelah lelah berburu, ia beristirahat di sebatang pohon besar. Tiba-tiba mata Lencau melihat pondok di tengah ladang. Lencau lalu berjalan menuju pondok itu. Begitu sampai, ia memanggil orang yang ada di dalam pondok. Tidak lama kemudian, seorang perempuan berusia setengah tua ke luar pondok. Lalu, Lencau meminta air karena ia kehausan. Lencau langsung naik ke pondok dan minum segelas air yang diberikan untuknya. Kemudian Lencau memperkenalkan dirinya. Mamak itu terkejut mendengar nama Lencau Jalung. Ia termenung dalam diam dan tidak berbicara apa-apa. Lencau terus bercerita mengenai asal-usulnya dan orang yang mengasuhnya, sebagaimana Pebudaq menceritakan asal-usul Lencau. Mamak pemilik pondok mulai curiga, Lencau adalah anaknya karena ada nama Jalung dibelakangnya. Selain itu, wajah Lencau sangat mirip dengan suaminya. Pada saat pikirannya masih berkecamuk dengan banyak pertanyaan, tiba-tiba Lencau bertanya “Mohon maaf, nama Weq siapa?” Perempuan itu masih terdiam, kemudian berkata pelan “Bungan, Nak.” Lencau mengangguk sambil meneruskan kisahnya.

Bungan sangat penasaran dengan anak yang datang ke pondoknya. Tidak jauh dari tempat itu ada seorang peramal bergelar Laking Kiyoq. Bungan meminta agar Laking Kiyoq sudi datang ke pondoknya. Setiba di pondok, Bungan meminta agar Laking menujumkan riwayat dan nasib anak itu. Lencau hanya terdiam saja ketika Laking Kiyoq mengelus telapak tangannya dan menatap matanya. Sejurus waktu kemudian, Laking Kiyoq berkata “Menurut penglihatanku, ia anak Jalung dan Bungan. Ada seorang bernama Utup yang mengacaukan, karena ingin merebut Jalung. Utup mengambil bayi itu sewaktu lahir dan mengusir Bungan. Tetapi, Utup tidak bisa memeliharanya, lalu menghanyutkannya ke sungai.” Mendengar penjelasan itu, Bungan langsung memeluk Lencau dan menciumnya. Air mata bahagia membasahi pipinya. Lencau masih belum paham apa yang sedang terjadi. Ia hanya terdiam dan merasakan satu kedamaian. “Engkaulah anakku yang kurindu,” ucap Bungan

lirih.

Lencau terpukau sejenak. Lalu terdengar suara ayam jantan berkokok memecah kesunyian. (*)