5 minute read

6. Padiu

Tersebutlah kisah seorang anak laki-laki yang hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah meninggal ketika ia belum menginjak dewasa. Padiu nama anak itu. Selain hidup miskin, ia mengidap penyakit yang tak kunjung dapat disembuhkan. Padiu benarbenar menjadi anak yang malang sepanjang hidupnya. Padiu merasa tersiksa luar biasa oleh penyakitnya. Setiap kali mau buang air besar, Ia selalu kesakitan. Rasa nyeri juga terasa ketika ia sedang duduk. Pada saat Padiu dewasa, terpikir olehnya untuk pergi merantau agar nasib bisa berubah menjadi lebih baik. Keinginan Padiu merantau begitu kuat. Ia segera meninggalkan kampung dan hanya berbekal baju yang melekat di tubuhnya serta mandau peninggalan orang tuanya. Siang dan malam ia berjalan sendiri. Sesekali berhenti sekedar melepas lelah. Harapan akan nasib yang lebih baik membuatnya tidak merasa letih. Setelah beberapa hari berjalan, Padiu tiba di sebuah kampung. Ia lalu membuat rumah sederhana di ujung jalan. Ia mulai membuat lesung. Itulah keahlian yang diwarisi dari bapaknya. Hampir setiap hari Ia disibukkan dengan pekerjaan ini. Pada suatu hari, saat ia sedang membuat Lesung, Jalung beserta rombongannya melintas. Mereka sebenarnya satu kampung dengan Padiu yang sama-sama sedang merantau. Rombongan Jalung berhenti. “Sedang membuat apa, Engkau?” tanya Jalung. “Lesung laran,” jawab Padui. ”Balangian (babi besar)?” tanya Jalung. “Bukan, lesung laran,” jawab Padui. Tampaknya Jalung tidak mendengar jawaban Padiu. Berkali-kali Jalung selalu berucap seperti itu. Lantaran kesal, Padiu kemudian menjawab seperti yang disampaikan Jalung.

Jalung berpikir, Padiu telah mendapatkan tangkapan babi besar. Lalu, Jalung meminta sedikit bagian. “Tentu saja bisa. Nanti aku bungkuskan,” jawab Padiu ketus. Kemudian Padiu pergi ke belakang untuk buang air besar. Ia lalu membungkus kotorannya untuk diberikan pada Jalung. Tidak lama berselang, Ia langsung memberikan bungkusan itu sambil berujar, “Ambillah, dan makanlah dengan rombonganmu.” *** Setelah mendapat bungkusan, Jalung dan rombongannya melanjutkan perjalanan. Padiu berpikir, Jalung pasti akan marah, ketika melihat isi bungkusannya. Padiu segera melarikan diri. Sementara itu, Jalung dan rombongan berhenti sejenak untuk istirahat dan makan. Jalung meminta agar segera membuka bingkisan yang diberikan Padiu. Namun sebelum membuka bungkusan, tiba-tiba terdengar teriakan dari salah seorang anggota rombongan “Ah, di sini rasanya tidak enak. Ada bau kotoran manusia. Ayo kita pindah tempat lain saja.” Beberapa orang merasakan bau yang sama. Mereka kemudian pindah ke tempat lain untuk menghindari bau tersebut. Namun bau itu terus mengikuti. Jalung merasa penasaran dan jengkel dengan bau yang tidak mau pergi tersebut. Namun ia tetap memerintahkan rombongan untuk berhenti dan segera memasak walau bau terasa menyengat. Orang-orang mengikuti perintah Jalung. Ada yang mencari kayu bakar, mempersiapkan api, dan ada yang membuka bungkusan. Pada saat bungkusan dibuka, terdengar satu teriakan. “Ooooohhhh, ini rupanya sumber bau itu! Ini kotoran manusia bukan balangian.” Jalung terlihat sangat marah. Begitu juga dengan anggota rombongan lainnya. “Sudah, kita istirahat dan makan saja dulu. Nanti kita cari Padiu dan kalau ketemu kita beri pelajaran dia,” perintah Jalung. Mereka segera membuang bungkusan itu. Beberapa orang terlihat sibuk

Advertisement

mempersiapkan masakan. Mereka sudah terburu-buru ingin segera mencari Padiu. Selesai makan, mereka langsung menuju rumah Padiu. Namun rumah terlihat kosong tidak ada tanda-tanda kehidupan. Padiu telah pergi. Padiu terus berlari agar rombongan Jalung sulit mengejarnya. Pada saat di tengah jalan, Ia menemukan satu lubang kepiting. Ia berencana sembunyi dan beristirahat di situ. “Wahai kepiting, tolong kamu masuk lagi. Aku mau sembunyi,” pinta Padiu kepada Kepiting. “Ah, mana mungkin, ini sudah paling ujung,” jawab Kepiting. Padiu tetap memaksakan diri masuk walau tempatnya sempit. Tubuh Padiu tidak bisa masuk seluruhnya. Hanya bagian kepala hingga pinggang yang bisa masuk, sedangkan pantat ke bawah berada di luar. Jalung dan rombongan terus mengejar. Mereka tiba di tempat persembunyian Padiu. Udara sangat gerah, sehingga mereka kehausan. “Kita istirahat di sini sebentar. Cepat cari air,” perintah Jalung. Pada saat bersamaan, salah satu anggota rombongan melihat sosok warna merah di lubang kepiting. “Ah, bunga apa itu? Ayo coba kita cicipi, siapa tahu bisa mengusir rasa haus,” ujar salah seorang di antara mereka. Satu persatu anggota rombongan menjilati. Mereka tidak tahu, kalau itu pantat Padiu yang terkena penyakit. Tiba giliran seorang rombongan yang giginya ompong menjilatinya. Padiu merasa geli tak tertahankan. Ditariknya benjolan itu ke dalam. “Kenapa engkau telan benda itu? Kami semua masih haus,” teriak salah seorang. “Aku tidak menelannya,” jawab lelaki ompong itu. Mereka tetap tidak percaya, kemudian mencoba memukul-mukul tengkuk lelaki ompong itu. Namun tetap saja tidak ada benda apa pun ke luar dari mulutnya. Rombongan Jalung

terheran-heran. Mereka segera bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Melihat rombongan sudah pergi, Padiu langsung ke luar. Padiu langsung berlari sekuat tenaga. Di tengah perjalanan, ia berjumpa beberapa anak bangsawan sedang bermain gasing. Pada saat itu, salah satu gasingnya terjatuh di sungai yang arusnya cukup deras. Mereka tidak bisa mengambilnya dan meminta tolong Padiu mengambilkan gasing. Padiu bersedia membantu, tapi ia meminta hadiah. “Aku akan memberikan anak burung enggang untukmu,” ujar anak bangsawan itu. Mendengar janji itu, Padiu sangat bersemangat. Ia langsung turun ke sungai. Pada saat itu, ia bertemu seekor berang-berang dan meminta bantuan mengambilkan gasing itu. Tak lama kemudian berang-berang itu datang dan memberikan gasing itu pada Padiu. Lalu ia segera menyerahkan gasing itu pada anak-anak yang sudah menunggunya. Sesuai janji, Padiu mendapatkan seekor anak burung enggang jantan. Padiu sangat senang mendapatkan hadiah itu. Ia menimang-nimang anak burung enggang itu, tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar. Ia sangat terkejut saat menatap ke langit, terlihat samar wajah kedua orang tua nya tersenyum. Padiu semakin terkejut tatkala melihat anak burung enggang itu berubah menjadi besar. Padiu berusaha naik ke punggung burung enggang. Ia pun berhasil. Burung enggang itu kemudian membawanya terbang dan meliuk-liuk berputar mengelilingi kampung. Hal itu menarik perhatian warga. Mereka bergegas ke luar rumah dan langsung mendongak ke atas. Warga sungguh takjub keheranan. Tak lama kemudian, burung enggang itu terbang menukik turun. Warga semakin terheran setelah melihat Padiu. Seketika itu, Padiu menjadi buah bibir pembi-

caraan. Warga kampung dalam tempo sekejap berbondong-bondong mengerumuninya. Tatkala ditanya mengapa hal itu dapat terjadi, Padiu hanya berkata, “Semesta pasti memberkahi, jika orang mau bekerja keras.” Beberapa waktu kemudian, rombongan Jalung menyusul tiba di kampung. Mereka telah mendengar cerita kehebatan Jalung saat berjumpa dengan warga yang tinggal di ujung kampung. Namun mereka masih merasa jengkel atas perbuatan Padiu, sehingga tetap berniat membunuhnya. Namun Padiu berusaha menghalangi dengan menawarkan agar mereka ikut merasakan terbang bersamanya. Mereka pun setuju, lalu mereka bersepakat membuat keranjang dari anyaman rotan untuk diikat di tubuh burung enggang. Kemudian mereka terbang bersama Padiu. Pada saat mereka terbang di atas sungai berbatu, Padiu memutuskan tali ikatan keranjang. Satu per satu keranjang itu jatuh ke sungai dan mereka hanyut ditelan derasnya arus sungai. (*)

Cerita Empat: Dongeng Fabel Lepoq Jalan