20 minute read

3. Sulimerang dan Ujung Tunan Arung

Tersebutlah kisah dua kakak beradik, Sulimerang sang kakak dan adiknya bernama Ujung Tunan Arung. Sejak kecil mereka hidup tanpa kedua orang tuanya. Mereka tinggal di hutan belantara yang sangat terpencil. Tidak ada satu manusia pun yang pernah mereka temui selama ini. Hanya sekumpulan binatang yang mereka kenal. Mereka berperilaku layaknya seekor hewan. Apa yang dimakan hewan, itulah yang mereka makan. Pada suatu hari, mereka terlibat dalam sebuah percakapan. “Mengapa tubuh kita berbeda dengan mereka?” ucap Sulimerang. “Ya, itu juga yang menjadi pertanyaanku dari dulu. Kita tidak pernah bertemu makhluk seperti kita di hutan ini,” jawab Ujung Tunan. Mereka gelisah dan ingin ke luar hutan untuk menemui manusia. “Ke mana kita harus pergi?” tanya Ujung Tunan. “Sebaiknya engkau pergi ke arah hulu dan aku akan pergi ke arah hilir,” usul Sulimerang. Sesuai waktu yang disepakati, mereka bersiap ke luar hutan belantara. Sebelum berpisah, Sulimerang memberi adiknya sebuah batu kecil seukuran ibu jari. “Bawalah batu ini ke mana pun engkau pergi. Jika nanti ada masalah, batu ini akan memberi tahu kepada kita lewat mimpi. Kelak jika aku menghadapi masalah, engkau akan datang kepadaku. Pun demikian sebaliknya. Semoga semesta merestui dan kita akan bertemu kembali,” pesan Sulimerang. “Baiklah,” jawab Ujung Tunan Arung sambil melihat dan memegang erat batu berkhasiat itu. Kakak dan adik yang tidak pernah terpisah itu pun ke luar dari hutan belantara menuju arah yang berlawanan. Sulimerang telah berjalan melintasi tujuh

ratus gunung dan lima belas sungai. Ia mampu melintasi tujuh gunung setiap harinya. Tibalah Sulimerang di gunung terakhir yang di bawahnya mengalir sungai yang besar. Pada saat berdiri, ia melihat kampung yang sangat ramai. Pada saat bersamaan, ia juga melihat sekumpulan orang di lapangan saling berlarian dan berebut benda bulat terbuat dari anyaman rotan. Sesekali terdengar tepuk tangan dan teriakan. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang itu. “Mengapa mereka saling berebut dan tidak bisa menangkapnya? Bodoh betul mereka,” pikir Sulimerang dalam hatinya. Sulimerang turun menuju tepi sungai. Segera ia lompati sungai itu dalam satu kali ayunan. Padahal sungai itu sangat lebar, memerlukan lima perahu untuk menyambungkan antara tepi sungai hingga orang bisa menyeberanginya. Pada saat bersamaan terlihat beberapa gadis sedang mandi. Sulimerang mendarat tepat di sisi mereka. Sontak mereka berhamburan. Diambilnya kain yang ada di dekatnya lalu mereka kenakan dengan tergesa-gesa. Mereka kagum melihat sosok laki-laki nan gagah perkasa berdiri di samping mereka. Warna kulitnya agak kusam tampak jarang mandi. Rambutnya panjang tidak terawat. Mereka belum pernah melihat Sulimerang sebelumnya. Pun demikian Sulimerang. Ia belum pernah melihat perempuan mandi telanjang. Sulimerang mendekati gadis-gadis cantik itu tanpa rasa bersalah. Sementara para gadis berdiri tertunduk malu berselimut kain yang menutupi sebagian tubuhnya. ”Mohon maaf jika aku membuat kalian terkejut. Bolehkah aku bertanya, siapakah pemimpin kalian?” tanya Sulimerang. “Engkau siapa, dari mana asalmu?” tanya salah seorang gadis. “Aku Sulimerang, berasal dari gunung sebelah sana.” Jawab Sulimerang sambil menunjuk ke arah

Advertisement

hilir. Para gadis itu pun berpikir, kampung mereka sedang kedatangan tamu istimewa dari kampung yang sangat jauh.

“Pemimpin kami Tamen Lampang Mening. Apakah engkau mau bertemu?” tanya salah seorang gadis berambut ikal mayang. “Ya, aku mau bertemu,” jawab Sulimerang. Sebelum gadis itu beranjak, Sulimerang melanjutkan pertanyaan. “Aku melihat orang saling berlari dan berebut benda bulat. Kenapa mereka tidak bisa menangkapnya saja?” tanya Sulimerang. Mereka saling tersenyum karena menganggap Sulimerang sedang bergurau.

*** Maka, untuk mengalihkan suasana, salah seorang dari gadis itu berkata “Ah, sudahlah, mari kami antar ke sana. Kebetulan tamen sedang berada di sana.” Lalu mereka berjalan beriringan. Beberapa gadis itu terlihat mencuri pandang karena mengagumi ketampanan Sulimerang. Begitu tiba di tempat, Sulimerang langsung masuk lapangan tanpa menghiraukan warga yang ramai menonton. Segera direbutnya benda bulat itu. ”Begini caranya menangkap benda ini,” teriak Sulimerang. Mereka yang sedang bermain dan warga yang menonton seketika terbengong-bengong melihat perilaku orang asing di hadapan mereka. Lalu mereka mengerumuni Sulimerang. “Mana pemimpin kalian?” tanya Sulimerang mereka. Salah seorang di antara mereka menunjuk ke satu tempat di mana Tamen Lampang Mening sedang berdiri. Sulimerang langsung datang menghampiri dan memberikan benda bulat itu kepadanya. “Aku kasihan melihat mereka saling berebut benda ini,” ucap Sulimerang. “Siapa namamu, nak, dan darimana asalmu?” tanya tamen Lampang Mening. Lalu Sulimerang memperkenalkan diri. Melihat tubuh Sulimerang yang sangat gagah, Tamen Lampang Mening berucap kepada

warga, “Kita kedatangan tamu istimewa hari ini. Sudah selayaknya kita menghormati tamu kita.” Tamen Lampang Mening kemudian mengajak Sulimerang pergi ke rumahnya. Sulimerang pun mengikuti ajakannya. Ia berjalan di belakangnya sambil melihat sekeliling dengan penuh keheranan. Sepanjang jalan yang dilalui, banyak orang terbengong melihatnya. “Gagah dan tampan benar anak ini. Sangat pantas jika menjadi kepala adat di sini,” ucap orang-orang yang melihatnya. Tibalah mereka di rumah. Saat itu, Lampang Mening, anak perempuan satu-satunya Kepala Adat, terlihat sedang membuat seraung. Ia menyambut kedatangan Sulimerang dengan menyorongkan tangan untuk bersalaman. Tak lama kemudian, menyusul mamaknya dari belakang yang juga menyambut dengan ramah kedatangan Sulimerang. “Engkau datang dengan siapa. Apa tujuanmu?” tanya teman Lampang Mening untuk mengetahui lebih jauh tentang Sulimerang. Lalu Sulimerang segera menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya. Kepala Adat itu mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Sulimerang. “Baiklah, sekarang sudah sore. Sebaiknya engkau istirahat. Malam ini akan ada tari-tarian untuk menghormati kedatanganmu. Nanti engkau bisa menari bersama warga di sini,” ucap Kepala Adat. Sulimerang tampak kebingungan ketika diminta untuk mandi. Tampaknya Kepala Adat cukup memahami situasi ini. Dibimbinglah Sulimerang mandi, satu kebiasaan baru bagi dirinya. Setelah mandi, Kepala Adat memberinya pakaian yang layak. Ia tampak gagah luar biasa. Kulitnya terlihat lebuh bersi. Rambutnya yang panjang terurai sangat elok. Kemudian mereka makan bersama. Pesta meriah penyambutan tamu segera digelar. Kepala Adat memerintahkan segera membunyikan gong

sebagai pertanda acara menari dimulai. Segera berdatanganlah warga ke rumah Kepala Adat. “Pada malam ini, tepat saat pesta panen, kita kedatangan tamu yang sangat luar biasa. Sulimerang namanya,” ucap Kepala Adat kepada warga yang hadir. Sulimerang kemudian berdiri dan warga bertepuk tangan untuknya. Ketika berdiri, tubuh Kepala Adat tidak sebanding dengan kegagahan Sulimerang. Warga berpikir, Sulimerang sangat layak sebagai kepala adat. “Sesuai dengan tradisi, kita harus menghormati tamu. Maka kita persilakan Sulimerang menari sepuasnya,” ucap Kepala Adat dengan lantang. Alat musik segera dibunyikan. Orang-orang tidak sabar menunggu Sulimerang menari. Ia membuka tariannya dengan berputar-putar hingga hampir menyentuh tanah. Sesekali ia melompat sangat tinggi. Warga yang menonton tampak terperangah hingga mulutnya ternganga. Mereka sangat mengagumi tarian Sulimerang. Tak terasa, dini hari mulai menghampiri. Terdengar suara ayam mulai berkokok. Sejak Sulimerang menari, orang-orang tidak beranjak dari tempat duduknya hingga akhir pertunjukkan. Warga bertepuk tangan riuh ketika Sulimerang mengakhiri tariannya. Melihat kehebatan tariannya, orang-orang berkeinginan mengambil Sulimerang sebagai menantunya. Begitu juga dengan Kepala Adat yang ingin menjodohkan dengan Lampang Mening anak perempuan satu-satunya. Kepala Adat kemudian berdiri dan berbicara ”Tidak pernah kita mendapatkan tamu sehebat ini. Kita akan adakan pesta besar-besaran. Aku akan menyembelih 10 ekor babi paling besar dan paling baik yang aku miliki.” Orang-orang saling bersahutan begitu mendengar penjelasan Kepala Adat. Mereka saling menyebut jumlah babi yang mau mereka korbankan. Terdengar suara

mereka saling bersahutan “Saya dua ekor.... saya tiga ekor.... saya lima ekor.” Kepala Adat langsung berbicara pada Sulimerang yang tampak kebingungan. ”Kita akan adakan pesta syukur. Aku akan menikahkan engkau dengan anak perempuanku Lampang Mening,” ucap Kepala Adat. Namun, Sulimerang tidak mengerti apa yang disampaikan Kepala Adat. ”Apa itu menikah?” tanya Sulimerang. Kepala Adat lalu menjelaskan dan Sulimerang memperhatikan dengan saksama. Ia mengangguk-angguk, meski tampaknya tidak sepenuhnya memahami. *** Lampang Mening adalah bunga desa di kampung. Kulitnya putih, tubuhnya langsing, hidung mancung, suaranya lembut. Banyak laki-laki yang mengharapkan bisa menikah dengannya. Kecantikan Lampang Mening sudah menyebar ke kampung lainnya. Kabar tentang rencana pernikahan Sulimerang dan Lampang Mening cepat menyebar. Kabar itu menjadi pembicaraan di antara para gadis yang saling memperebutkan Sulimerang. Ketampanan Sulimerang telah membuat banyak gadis terpikat olehnya. Selain secara fisik ia tampak sempurna, kepandaianya menari menjadi salah satu pertimbangan tersendiri. Setiap orang yang melihat tariannya pasti akan jatuh hati. “Sudahlah Lampang Mening, buat aku saja Sulimerang. Engkau yang lain saja,” ungkap salah seorang gadis. “Amai sudah menjodohkan. Aku hanya mengikuti apa keinginannya,” jawab Lampang Mening. Tibalah saat pernikahan. Pesta sudah diadakan beberapa hari sebelumnya. Tamu undangan terus berdatangan bak air yang mengalir tanpa henti. Sulimerang dan Lampang Mening duduk di atas gong. Sulimerang tampak gagah memancarkan aura keperkasaan, Lampang Mening tampak anggun

memesona. Di hadapan mereka tergelar tikar rotan untuk meletakkan tajau. Sejak saat itu, Sulimerang resmi menjadi suami Lampang Mening. Malam pertama yang ditunggu-tunggu tiba. Tidak seperti layaknya suami istri pada umumnya, Sulimerang tidak melakukan apa pun kepada istrinya. Begitu juga dengan malam kedua dan ketiga. Sulimerang tampak dingin. Padahal Lampang Mening sudah sangat menginginkan keturunan. Lampang Mening lalu menceritakan hal itu pada bapaknya. “Suamimu memang tidak tahu tentang hal itu. Selama tinggal di hutan, ia tidak pernah bertemu dengan satu manusia pun. Ajarilah ia agar mengerti dan mengetahui tugas dan tanggung jawabnya. Jika ia diam saja, engkaulah yang harus memulainya,” begitu nasihatnya. Malam ke empat pun tiba. Lampang Mening mengikuti saran bapaknya. Diraba-rabalah tubuh Sulimerang dari atas sampai bawah agar merasakan kenikmatan. “Mening, jangan pegang-pegang. Aku panas,” sergah Sulimerang. Lampang Mening terus menggoda untuk membangkitkan gairah. Berbagai upaya ia lakukan agar Sulimerang menyentuhnya. “Kenapa engkau bangunkan aku, ini masih belum pagi,” hardik Sulimerang yang merasa tidurnya terganggu. Keesokan harinya Sulimerang mengadukan perilaku Lampang Mening kepada bapaknya. “Aku mau pergi dari rumah ini. Lampang Mening menggangguku terus,” ucap Sulimerang. “Engkau mau pergi ke mana? Bukankah kau sudah menikah. Engkau tidak bisa pergi tanpa dengan istrimu,” ujar Kepala Adat. Sulimerang masih tetap belum memahami hidup sebagai pasangan suami-istri. Keinginannya meninggalkan kampung, sudah tidak bisa dicegah lagi. “Aku orang bebas yang bisa pergi ke mana

pun. Aku akan melanjutkan perjalanan ke kampung lain,” pikir Sulimerang. Rencana Sulimerang cepat menyebar. Lalu beberapa warga meminta agar Sulimerang membatalkan niatnya. Namun, tidak ada seorang pun yang mampu mencegah Sulimerang pergi. Sebelum pergi, tamen Lampang Mening berpesan “Kalau engkau tetap berniat pergi, buatlah tanda di rumah ini, agar kami terus mengingatmu.” Sulimerang mengambil bunga dan ia tanam tepat di samping pintu rumah, lalu mengambil payung yang dibuat dari daun biru yang diletakkan di samping bunga yang ia tanam. Kemudian ia berpesan pada Lampang Mening, “Ini bunga dan payung kuletakkan di sini. Kalau bunga ini layu, segeralah buka payung ini.” Lampang Mening sedih luar biasa. Ia menangis tiada henti karena harus berpisah dengan suaminya. Seolah tidak menghiraukan kesedihan istrinya, Sulimerang berjalan ke arah hilir. Kepergiannya diiringi derai air mata istri, orang tua, dan warga kampung. Ia berjalan terus hingga tidak terlihat. Orang-orang masih berdiri terpaku melihat kepergiannya.

*** Peristiwa yang dialami Sulimerang, juga dialami Ujung Tunan Arung. Setelah berjalan beberapa hari, sampailah ia di suatu kampung dan dinikahkan dengan anak Kepala Adat yang bernama Suling Baweq. Namun berbeda dengan kakaknya. Setelah menikah, Ujung Tunan Arung belajar tentang kehidupan berkeluarga. Ia mengerti tanggung jawab sebagai suami. Mereka hidup berbahagia. Suatu hari, kebahagiaan Ujung Tunan Arung dan Suling Baweq terganggu, tatkala tiga puluh perahu dari kampung hulu, Lepoq Tanyit datang. Mereka mengenakan pakaian adat dan senjata lengkap. Rombongan tersebut membawa anak kepala adat yang akan

dinikahkan dengan Suling Baweq. Konon ceritanya, telah ada kesepakatan antara mereka untuk menikahkan Suling Baweq dengan anak Kepala Adat dari Lepoq Tanyit. Rombongan ini datang untuk menagih janji yang sudah disepakati. Menyaksikan rombongan yang datang, tamen Suling Baweq ketakutan luar biasa. Ia sadar telah melanggar janji. “Bawalah istrimu pergi. Segeralah pergi ke hutan atau ke mana pun yang engkau mau. Kalian harus ke luar dari kampung secepatnya,” pesan Tamen Suling Baweq. Namun Ujung Tunan Arung belum mengetahui ancaman yang akan dihadapi. Kemudian Tamen Suling menjelaskan maksud kedatangan orangorang dari kampung Lepoq Tanyit. Orang-orang dari Lepoq Tanyit dikenal memiliki kekuatan yang sangat ditakuti oleh kampung-kampung lain. Mereka juga dikenal sebagai orang-orang kasar yang tak segan-segan membunuh. Ujung Tunan Arung menanggapi dengan tenang dan dingin. Tidak tampak rasa takut sedikit pun. “Amai tidak perlu takut. Aku tidak akan lari dari kampung ini. Aku akan hadapi mereka,” ujar Ujung Tunan. Meskipun mendapat jawaban seperti itu, rasa khawatir akan keselamatan anaknya terus menghantui pikirannya. Suling Baweq juga sangat ketakutan. Ia khawatir kepala suaminya akan dipenggal dan dibawa ke hulu. Selagi rasa takut masih menghantui, rombongan itu mulai berjalan menuju arah kampung. Alunan musik mengiringi langkah mereka. Anak Kepala Adat yang akan dijodohkan dengan Suling Baweq, dipanggul dengan tandu bak seorang raja. Sebelum rombongan masuk kampung, Ujung Tunan Arung dan mertuanya menghentikan mereka di tengah jalan. Warga bergerombol berdiri tegak di belakang Ujung Tunan Arung.

”Sudah cukup sampai di sini saja. Tidak perlu dilanjutkan masuk kampung. Anakku sudah menikah dengan laki-laki yang sekarang berdiri di hadapan kalian,” ujar taman Suling Baweq. Mendengar penjelasan itu, anak Kepala Adat langsung melompat dari tandu dengan wajah murka. Ia merasa telah dikhianati dan tidak dihormati. Tanpa berkata apa-apa, mandau langsung diayunkan ke arah leher Ujung Tunan Arung. Mendapat serangan mendadak seperti itu, warga berpikir Ujung Tunan Arung akan langsung mati. Ia tidak membawa perlengkapan perang apa pun. Namun secepat ayunan mandau, secepat itu pula tangan Ujung Tunan Arung menangkapnya. Mandau itu digulung-gulung seperti kain dan dilipat-lipat bak kertas hingga kecil sekali. Lalu ia kembalikan mandau itu pada pemiliknya. Anak Kepala Adat ternganga tidak mampu berbuat apa-apa. “Ini mandaumu kukembalikan. Jangan ganggu kami lagi. Aku tidak akan menyakiti kalian. Segera bawa rombongan pulang,” hardik Ujung Tunan. Semua orang tercengang. Mereka tidak mampu berkata apa-apa. Lalu mereka memutuskan pulang. Satu per satu mereka bergegas berjalan pulang. Namun, mereka akan kembali karena merasa terhina. Situasi kampung kembali tenang. Namun mereka tetap waspada akan terjadi serangan balas dendam. Mereka yakin cepat atau lambat perang pasti akan terjadi. ***

Waktu terus berlalu. Hampir satu bulan tidak ada gangguan sama sekali. Lalu terjadilah suatu peristiwa, tatkala Ujung Tunan Arung dan Suling Baweq sedang mandi di sungai. Pada saat itu sedang musim kemarau. Tidak tampak hujan di wilayah hulu. Air tiba-tiba meluap

dan datanglah banjir. “Oh, mengapa banjir datang tibatiba?” gumam Ujung Tunan dalam hati. Ujung Tunan Arung langsung melihat arah hulu. Ia tersontak kaget melihat perahu berderet seperti ular dalam jumlah yang sangat banyak. “Oh, inilah yang menjadi sebab terjadinya banjir,” pikir Ujung Tunan dan langsung berteriak memberi tahu warga. Ia segera minta istrinya pulang dan secepatnya memberi tahu bapaknya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi gong yang dipukul sebagai tanda bahaya. Warga yang mendengar suara itu ikut membunyikan gong dari rumah masing-masing. Jejak kaki orang berlari dari segala penjuru mulai terdengar. Sejurus waktu kemudian, warga sudah berkumpul lengkap dengan peralatan perang. Mereka sudah memperkirakan akan terjadi serangan. Rombongan dari hulu sudah mulai menyandarkan perahu di dermaga. Jumlah rombongan mencapai ribuan. Beberapa orang sudah mulai naik. Mereka mengenakan pakaian perang. Ibarat gerombolan semut, mereka terus bergerak masuk kampung. Perang besar bakal terjadi. Kepala Adat dari Lepoq Tanyit berdiri terdepan mengenakan baju kebesarannya. Ia memimpin rombongan penuh percaya diri. Selain membawa mandau, ia juga membawa temadau. Begitu melihat Ujung Tunan Arung, ia langsung berdiri di hadapannya. “Hidupmu sudah cukup sampai di sini!” ucap Kepala Adat sambil mengangkat temadau. Ujung Tunan Arung diam terpaku tak berdaya. Sorot matanya tertuju pada tangan Kepala Adat. ”Aku telah dikhianati,” ujar Ujung Tunan tiada daya. Temadau adalah tumbuhan yang menjadi pantangan Ujung Tunan Arung. Kehebatan dan kekuatan Ujung Tunan akan luruh dengan temadau. Tiba-tiba terdengar suara, “Prashhh…, ” satu tebasan mandau telah memotong temadau dalam satu ayunan di depan Ujung Tunan Arung. Ia langsung

roboh tepat di samping Kepala Adat. Matilah Ujung Tunan Arun di hadapan ribuan warga. Sosok yang begitu gagah dan dihormati itu, kalah tanpa melakukan perlawanan. Kekuatan yang ia miliki tak mampu menyelamatkannya. Usut punya usut, sepupu Suling Baweq telah membocorkan rahasia ini. Suling Baweq telah menceritakan pesan suaminya kepada saudara sepupunya. “Istriku, jika engkau menginginkan aku mati, potonglah temadau di depanku. Niscaya kekuatanku akan hilang dan aku akan mati,” begitulah pesan Ujung Tunan. Melihat kematian Ujung Tunan Arung, warga kampung tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyerah kalah. “Kalian urus mayat ini dalam tiga hari. Kami akan pulang terlebih dahulu dan datang kembali untuk mengawinkan anakku,” ujar Kepala Adat Lepoq Tanyit. Warga kampung segera mengurus mayat Ujung Tunan Arung. Beberapa orang membuat peti dari kayu arau untuk peti jenazahnya. Kesedihan menyelimuti seluruh warga, terlebih Suling Baweq. Ia menangis sepanjang hari sambil memeluk peti jenazah. Sementara itu, Sulimerang mendapat firasat buruk menimpa adiknya. Saat tertidur, ia terbangun dan berteriak ”Adikku Ujung Tunan Arung.” Ia langsung bangun dan bergegas mencari adiknya. Namun ia tidak tahu di mana adiknya berada. Ia terus berjalan mengandalkan firasat yang ia dapatkan. Berbagai gunung dan sungai telah ia lalui. Akhirnya, ia sampai di kampung Suling Baweq tempat di mana adiknya disemayamkan. Sulimerang melihat banyak orang berkerumun dengan wajah murung. Satu peti mati diletakkan tepat di tengah rumah. “Siapa yang ada di peti itu,” tanya Sulimerang kepada salah seorang warga yang ia temui. “Ujung Tunan Arung. Ia sudah meninggal tiga hari lalu. Sebentar lagi peti jenazah akan ditutup dan kami segera

menguburnya,” ucap orang itu dengan suara lirih. “Sudah kuduga sebelumnya, firasatku benar,” pikir Sulimerang. Ketika Sulimerang hendak mencari Kepala Adat, orang menunjukk pada seorang laki-laki yang sedang duduk tertunduk lesu disamping peti jenasah. Terlihat pula Suling Baweq lesu dalam isak tangis di samping bapaknya. “Siapa perempuan yang menangis itu? tanya Sulimerang. “Dia istri Ujung Tunan,” jawab orang itu. Lalu Sulimerang menghampiri Suling Baweq. Ia terlihat kaget melihat sosok laki-laki asing mirip suaminya. Pada saat itu Suling Baweq tengah mengandung anak pertamanya. Sejurus waktu kemudian Sulimerang berkata, “Tak usahlah kau bersedih. Ia hanya tertidur. Sebentar aku bangunkan. Aku kakak Ujung Tunan,” ucap Sulimerang menenangkan perasaan Suling Baweq. Pecahlah tangis Suling Baweq. Warga pun ikut larut dalam tangis. Sulimerang lalu bertanya tentang batu yang dibawa adiknya. Suling Baweq langsung berjalan menuju peti jenazah. Ia julurkan tangannya ke dalam peti. Tak lama kemudian batu itu pun ia dapatkan dan langsung menyerahkannya pada Sulimerang. Dua batu dengan ukuran dan warna yang sama sudah di tangan Sulimerang. Ia kemudian menjalankan ritual dan membaca mantra. Kedua batu itu saling didekatkan lalu digosok-gosokkan. Tangan Sulimerang tampak berair. Lalu diusaplah muka adiknya seraya berkata, ”Bangunlah, jangan engkau tidur terlalu lama.” Seketika itu mata Ujung Tunan Arung pelan-pelan terbuka. Ujung kakinya mulai bergerak-gerak diikuti ujung tangannya. Lalu bangkit dan bangunlah ia dari peti jenazah. Menyaksikan peristiwa itu, semua orang terbengong tidak percaya. Bahkan ada sebagian orang yang hampir lari karena ketakutan, sedangkan yang lain berdiri termangu melihat keanehan ini.

Tidak lama kemudian, Ujung Tunan Arung berkata “Janganlah kalian takut. Kakakku sudah datang.” Seketika itu pula dukacita berubah suka cita. Warga yang semula dirundung kesedihan, berubah menjadi kegembiraan. Kepala Adat kemudian memutuskan menggelar pesta adat untuk Ujung Tunan Arung dan menyambut kedatangan Sulimerang. Ia juga meminta warga bersiap-siap karena rombongan dari Lepoq Tanyit akan datang esok hari seperti yang mereka janjikan. Pesta adat langsung digelar. Ketika pesta usai, Kepala Adat langsung berdiri dan berkata, “Pesta sudah berakhir. Hari ini orang-orang dari hulu akan datang. Kita harus menghadapi mereka.” Sulimerang langsung berdiri dan berkata, ”Biarlah kami berdua menghadapi mereka. Kalian tetap tinggal saja di rumah seperti biasa, seolaholah tidak terjadi apa-apa.” Kemudian warga bergegas pulang mengikuti perintah Sulimerang. Mereka kembali ke rumah masing-masing sambil sesekali melihat ke arah sungai.

*** Hari mulai beranjak siang. Suara riuh terdengar dari arah sungai. Orang-orang dari hulu mulai datang. Satu per satu perahu mulai bersandar. Dermaga kampung terlihat penuh sesak dengan manusia. Mereka saling berhimpitan, karena terlalu banyak jumlahnya. Kepala Adat Lepoq Tanyit memimpin rombongan memasuki kampung. Namuk Sulimerang dan Ujung Tunan Arung sudah menunggu. Mereka terlihat kaget, melihat Ujung Tunan Arung hidup kembali. “Kalau begini, kita siap perang sekarang!” teriak Kepala Adat. Kakak beradik itu sudah berhadapan dengan Kepala Adat. “Lebih baik kalian pulang! Jika kalian tetap memaksakan diri, jangan salahkan kami jika tidak ada satu orang pun yang akan kembali!” hardik Sulimerang. Namun mereka tak gentar, malah berteriak dengan suara

lantang ”Kami tidak akan kembali, apa pun risikonya. Kami akan bunuh kalian berdua dan siap perang!” Lalu Sulimerang berkata, “Baiklah, jika itu yang kalian kehendaki.” Seketika itu pula ribuan orang dari hulu menghunus mandau masing-masing. Begitu pula Sulimerang dan Ujung Tunan Arung, juga sudah siap dengan mandaunya. Orang-orang langsung menyerang. Gerakan Sulimerang dan Ujung Tunan Arung sungguh sangat cepat. Sekali ayun, lima kepala langsung terpisah dari badannya. Belum sempat mata berkedip, tubuh para korban sudah terpotong menjadi empat bagian. Dalam waktu sekejap, korban terus berjatuhan. Melihat kehebatan kakak beradik ini, mereka memanggil orang-orang yang tersisa untuk ikut berperang. Perang sudah berlangsung selama empat hari tiga malam. Air sungai telah berubah berwarna merah darah. Begitu juga dengan tanah di sekitar dermaga. Sulimerang dan Ujung Tunan Arung tampak terlalu tangguh. Tinggallah Kepala Adat seorang diri. Sesuai janjinya berperang habis-habisan. Ia bersiap menghadapi Sulimerang dan Ujung Tunan Arung. Pada saat itu, Sulimerang meminta kepada warga untuk menyaksikan pertempuran terakhir. Namun warga tidak bisa mendekat karena terlalu banyak mayat bergelimpangan. Mereka hanya bisa berdiri dari rumah masing-masing. Sulimerang dan Kepala Adat sudah berhadapan. Masing-masing sudah memegang mandau siap hunus. Tiba-tiba dari atas terdengar suara tiling, “Merang...., merang..., merang.” Sulimerang berdiri terpaku mendengar suara itu. Pada saat bersamaan, Kepala Adat langsung lari menyerangnya. Tubuh yang biasanya gesit, lincah, menjadi lemah lunglai tidak berdaya. Dalam sekejap, mandaunya menghujam ke jantung Sulimerang.

Seketika Sulimerang rebah bersimbah darah dan mati. Suara tiling adalah titik kelemahan kesaktian Sulimerang. Melihat kakaknya meninggal, Ujung Tunan Arung langsung menyerang Kepala Adat. Secepat kilat, ia ayunkan mandau tepat di leher. Seketika itu pula matilah Kepala Adat itu. Lalu ia ambil kepalanya untuk diserahkan pada mertuanya dan disimpan di atas padoq yang lazim untuk menyimpan kepala manusia yang berhasil di-ayau. Warga kampung langsung berhamburan ke luar setelah melihat pertempuran berakhir. Ujung Tunan Arung mendekati jenazah kakaknya. Warga membantu mengangkat jenazah agar bisa segera dibersihkan dan disemayamkan. Selimerang kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah yang telah dipakai adiknya. Pada saat bersamaan, bunga yang ditanam Sulimerang di rumah Lampang Mening layu. ”Amai, bunga ini layu. Suamiku berpesan agar segera membuka payung jika bunga ini layu,” ucap Lampang. “Lakukan segera,” ujar tamen Lampang. Begitu dibuka, payung yang semula kecil lambat laun membesar. Ia pegangi erat-erat payung itu. Tubuhnya mulai terangkat. Semakin lama semakin tinggi. Lampang Mening terbang menuju kampung Suling Baweq. Pada saat itu orang-orang masih berkumpul di rumah Suling Baweq. Tiba-tiba terdengar suara teriakan “Hoi, ada apa di atas sana?” Mereka langsung melongok ke atas dan ternganga-nganga melihat benda kecil terbang di angkasa. Benda itu terus mendekat menuju rumah Suling Baweq. Semakin lama semakin tampak jelas. Ada seorang perempuan berayun-ayun di bawah payung. Mereka berpikir ada bidadari turun dari langit menjemput Sulimerang. Saat turun, payung langsung tertutup. Warga langsung berlarian mendekat. Dilihatnya tubuh Lampang Mening dari atas sampai bawah. Ada juga yang mencoba

memegang tubuhnya untuk memastikan bahwa yang datang adalah manusia. Mendengar keributan yang terjadi di luar, Ujung Tunan Arung dan Kepala Adat mendatanginya. Begitu melihat Ujung Tunan Arung, Lampang Mening langsung tahu kalau ini adik suaminya. Wajahnya sungguh sangat mirip, seperti yang pernah diceritakan suaminya. Maka ia segera berkata, “Aku Lampang Mening, istri kakakmu.” Ujung Tunan Arung langsung mengajaknya masuk melihat jenazah kakaknya. Ujung Tunan Arung langsung menceritakan ihwal kematian kakaknya. Wajah Lampang Mening terlihat tegar. Ia tidak menangis sedikit pun. “Apakah kakakmu pernah bercerita tentang batu yang kalian bawa masingmasing?” tanya Lampang Mening. “Ya betul. Sebelum kami berpisah, ia memberi satu batu, tapi ia tidak bercerita apa pun tentang batu itu. Pada saat aku mati, tiba-tiba aku hidup kembali dan kakak sudah ada di hadapanku,” jawan Ujung Tunan. “Kakakmu pernah berpesan kepadaku. Jika di antara kalian ada masalah, batu itu akan memberi firasat. Jika salah satu dari kalian meninggal, batu itu harus digosok-gosok dengan tangan, hingga keluar air. Setelah itu basuhlah mukanya dengan tangan, kelak akan hidup kembali,” begitu ungkap Lampang Mening. Mendengar hal itu, Ujung Tunan Arung langsung bergegas mengambil batu sakti itu. Ia pegang dua batu itu di kedua tangannya sambil membaca mantra. Tangannya kemudian bergerak ke atas dan ke bawah. tiba-tiba air ke luar dari tangannya. Kemudian ia dekati jenazah kakaknya, lalu diusaplah wajahnya sebanyak tiga kali. Tiba-tiba mata Sulimerang terbuka pelan-pelan. Ujung tangan dan kakinya mulai bergerak kemudian Sulimerang bangun. Warga terpana, karena untuk kedua kalinya

mereka telah menyaksikan peristiwa luar biasa di kampungnya. Sejurus waktu kemudian, Kepala Adat meminta warga menggelar pesta syukur. Namun sebelum pesta digelar, warga diminta segera menguburkan mayat yang masih bergelimpangan. Tak lama kemudian kampung sudah bersih kembali. Pesta syukur digelar selama berharihari. Pesta ini sungguh sangat meriah. Kemudian tamen Suling Baweq meminta Sulimerang dan Lampang Mening tinggal di kampungnya. Namun keduanya bersikukuh kembali ke kampung. Sekitar sepekan lamanya, Sulimerang tinggal bersama adiknya. Ujung Tunan Arung mengajarinya adat hidup berkeluarga. “Istriku sekarang sedang hamil dan ini menjadi tanggung jawabku. Kelak kalau ia melahirkan, keluarga kita akan bertambah banyak,” ujar Ujung Tunan. Sulimerang mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan adiknya. Akhirnya Sulimerang memahami adat istiadat dan aturan yang berlaku bagi manusia. Tatkala saatnya tiba, Sulimerang dan Lampang Mening bersiap-siap pulang. Warga berkumpul untuk mengantarnya. Suara alunan musik mengiringi perjalanan mereka. Terbanglah Sulimerang dan Lampang Mening dengan payung saktinya. Tibalah mereka ke kampung halaman. Banyak penduduk menyaksikan kedatangannya, mereka sangat gembira karena melihat Sulimerang kembali. Terlihat kedua orang tua Lampang Mening berdiri di depan rumah. Sulimerang langsung mendatanginya meminta maaf atas perilakunya selama ini. Sulimerang dan Ujung Tunan Arung hidup berbahagia. Suatu saat kelak, kedua kakak beradik ini diangkat menjadi Kepala Adat di kampung masing-masing. Mereka menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. (*)