11 minute read

1. Lencau Sang Ksatria

Tersebutlah kisah seorang yang terkenal kehebatannya. Ia mampu menyemburkan api untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Ia berumah di atas pohon Beran Tanyit. Orang itu bernama Tamen Bungan Apui Jupan. Namun banyak orang tidak surut untuk mencoba kehebatannya atau menaklukannya. Salah satunya adalah Tamen Awing Jiwen. Ia berencana melakukan serangan kepada Bungan Apui. Suatu ketika, Tamen Awing menyampaikan keinginannya itu kepada istrinya yang sedang hamil. “Tundalah rencanamu sampai aku melahirkan. Apalagi dalam tradisi, ada pantangan suami tidak boleh pergi perang ketika istrinya hamil,” kata Tinen Awing. Peringatan itu tak mampu menggoyahkan keinginan Tamen Awing. Ia tetap bersikeras melakukan peperangan secepat mungkin, meski istrinya terus berusaha menghalanginya. “Kalau engkau tetap berniat pergi, mintalah nasihat terlebih dahulu kepada Pampoq Umpen Atan. Pergilah ke rumahnya untuk meminta nasihat,” ujar Tinen Awing. Setelah didesak terus menerus, hati Tamen Awing luluh juga. Beberapa hari kemudian, Ia pergi ke rumah Pampoq Umpen Atan tetua adat di kampung. Setelah mendengar maksud Tamen Awing, berkatalah Pampoq, “Baiklah kalau itu maksudmu. Aku akan mencari petunjuk dahulu. Pulanglah kamu sekarang, besok kembali lagi ke sini.” Pampoq segera menggelar ritual meminta petunjuk para dewa. Ia mepersiapkan sesaji dan mulai meminta petunjuk. Pada hari berikutnya, datanglah Tamen Awing untuk mendengarkan hasil ritual yang telah dilakukan Pampoq.

“Menurut petunjuk yang kudapatkan, tundalah keinginanmu sampai istrimu melahirkan. Akan ada kabar buruk jika engkau melakukan peperangan saat ini,” ujar Pampoq. Tamen Awing tampak kecewa mendengar nasihat yang disampaikan. Namun ia tidak goyah sedikitpun. “Aku akan tetap melakukan penyerangan. Kamu tidak perlu ikut campur urusanku,” sahut Tamen Awing sambil meninggalkan Pampoq Umpen Atan. Setiba di rumah, Tinen Awing sudah menunggu. Ia ingin segera mendengar kabar dari suaminya tentang nasihat yang diberikan Pampoq. “Apa yang disampaikan Pampoq?” ujar istrinya. “Ia meminta aku untuk menunda terlebih dahulu. Namun aku akan tetap melakukan penyerangan,” ujar Tamen Awing. Mendengar jawaban itu betapa kesal istri Tamen Awing. Maka ia terus berusaha agar suaminya berubah pikiran. “Jika Pampoq bilang seperti itu, tidak seharusnya engkau nekat pergi. Ikuti nasihat dia!” ujar Tinen Awing. “Tidak, aku tetap mau pergi, ” jawab Tamen Awing sambil meninggalkan sang istri. Namun Tinen Awing tetap tidak putus asa. Ia kejar suaminya dan meminta bertemu kembali dengan Pampoq esok harinya. Meskipun dengan berat hati, Tamen Awing mengikuti keinginan sang istri. Kali ini Pampoq dipanggil ke rumah. Mereka bertiga membicarakan rencana kepergian Tamen Awing. “Ambilkan satu ekor ayam jantan warna hitam. Ketika ayam itu aku sembelih dan darahnya tidak berhambur kemana-mana, engkau tidak boleh pergi,” kata Pampoq. Tamen Awing memenuhi permintaan Pampoq. Dibawalah ayam jantan hitam dihadapannya. Pampoq langsung mengadakan ritual sebelum memotongnya. Ayam itu segera disembelih. Ternyata darahnya tidak berhambur ke mana-mana ketika pisau Pampoq memotong leher ayam itu.

Advertisement

“Lihatlah, tidak satu setetes darah pun keluar dari leher ayam ini. Itu pertanda, engkau harus menunda rencanamu,” ujar Pampoq menasihati. Tamen Awing sudah menduga apa yang akan disampaikan Pampoq. Keinginannya tidak bisa dibendung lagi. Tamen Awing tetap akan melakukan penyerangan. Pampoq berpikir Tamen Awing tidak bisa melakukan penyerangan sendiri. Ia harus ditemani karena jika terjadi sesuatu tidak ada orang yang memberi kabar pada istri Tamen Awing. Pampoq memanggil semua laki-laki yang ada di kampung untuk membicarakan hal ini. Rapat digelar pada malam hari dengan pembicaraan yang tampak seru. Pendapat warga terbelah dua, antara yang setuju menunda dan setuju berangkat. Pagi pun tiba. Warga yang setuju melakukan penyerangan, ikut pergi dengan menggunakan perahu. Tidak ketinggalan Pampoq. Ia merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan warganya. Tubuh Pampoq sangat besar, sehingga perahu selalu tenggelam ketika ia naik. Ia telah berusaha beberapa kali, tapi selalu gagal. Maka orang-orang kemudian menggabungkan lima perahu menjadi satu. Setelah itu, Pampoq baru bisa menaikinya. Berangkatlah rombongan Tamen Awing menuju kampung Tamen Bungan Apui. Tiga hari dua malam mereka menempuh perjalanan menyusuri sungai. Saat tiba, mereka langsung mendirikan tenda tepat di bawah rumah Bungan Apui. Penyerangan mulai dilakukan. Orang-orang termasuk Tamen Awing bergegas memanjat pohon dengan peralatan perangnya. Namun Bungan Apui mengetahuinya. Ia langsung mengeluarkan kekuatannya. Disemburkanlah api ke arah orang-orang itu. Mereka berjatuhan seperti semut terbakar api, bergelimpangan.

Pampoq juga ikut melakukan penyerangan, namun ia masih berada di bawah ketika Bungan Apui menyemburkan api. Pampoq terjatuh namun tidak terluka. Ia langsung lari menceburkan diri ke sungai karena kepanasan, sehingga air di bagian hilir kering sedang di bagian hulu banjir. Sedangkan mereka yang terjatuh karena semburan api, sebagian besar langsung mati. Bahkan yang terluka tidak lama kemudian meninggal karena terluka parah. Hanya tersisa enam orang yang selamat, salah satunya Pampoq. Tubuhnya yang terlalu besar menjadi masalah bagi orang-orang yang selamat untuk membawanya pulang. Mereka harus bekerja keras membawanya naik perahu. Sesampai di kampung, Pampoq langsung menemui Tinen Awing. “Tamen Awing tidak kembali. Ia mati, hanya kami berenam yang tersisa,” ujar Pampoq penuh kesedihan. Tinen Awing sungguh berduka mendengar kabar itu. Ia menangis sejadi-jadinya sambil mengelus-elus perutnya yang berisi jabang bayi, buah kasih sayangnya dengan Tamen Awing. “Aku sudah katakan agar menunda penyerangan. Apa yang aku takutkan sekarang benarbenar terjadi,” ujarnya tersedu. Pampoq pun tak kuasa menahan tangis. Namun ia tetap berusaha tegar memberi nasihat kepada Tinen Awing. “Apa boleh buat, sabar saja. Nanti ada waktunya untuk membalas.”

*** Beberapa bulan setelah peristiwa duka itu, Tinen Awing melahirkan seorang anak laki-laki. Selaku Kepala Adat, Pampoq melakukan ritual pemberian nama. Bayi itu diberi nama Lencau. Tinen Awing tidak pernah memberitahu Lencau mengenai nasib bapaknya. Ia selalu mengatakan,

bapaknya sedang merantau dan akan pulang satu saat nanti. Seiring perjalanan waktu, Lencau telah tumbuh menjadi remaja. Pada saat ia pergi mencari burung menggunakan sumpit, beberapa anak laki-laki mengolokolok kalau ia sudah tidak memiliki bapak. Lencau merasa resah. Terlebih hampir setiap hari ia menerima olokan seperti itu. “Kenapa teman-temanku selalu bilang kalau amai sudah mati, ” tanya Lencau dengan wajah cukup serius. Namun, mamak-nya tetap menjelaskan kalau bapaknya sedang merantau. Lencau diminta untuk tidak menghiraukan hinaan teman-temannya. Pada suatu hari, Lencau kembali pergi berburu. Ia merasa kehausan. Ia melihat nenek Pasung sedang menjemur padi. “Puiada air kah? Aku haus,” ujar Lencau. “Ada, masuklah ke rumah dan ambillah,” ujar puiPasung. Lencau bergegas masuk rumah dan minum secukupnya, sambil masih penasaran dengan apa yang disampaikan teman-temannya dan jawaban mamak-nya. “Teman-temanku bilang aku sudah tidak punya amai lagi. Kata mereka, amai sudah mati dalam peperangan,” kata Lencau pada Pui Pasung. “Apakah mamak-mu tidak memberitahu hal itu?” tanya pui Pasung. “Weq bilang kalau amai sedang pergi merantau,” jawab Lencau. Nenek Pasung kemudian menjelaskan tentang peristiwa sesungguhnya. Rasa penasaran dalam diri Lencau terjawab sudah. Lencau segera pulang dan langsung bertemu mamak-nya. “Weq, Lencau baru saja berbicara denga Pui Pasung. Ia mengatakan kalau amai sudah mati dan bukan merantau,” kata Lencau. Mendengar hal itu, Tinen Awing sudah tidak bisa lagi menyembunyikan peristiwa yang sesungguhnya. Ia membenarkan apa yang sudah disampaikan PuiPasung.

Tak pelak rasa amarah Lencau mulai muncul. Ia berjanji akan menuntut balas ketika dewasa nanti. Tinen Awing sangat khawatir akan hal ini. “Lencau anakku, engkau tidak perlu membalas dendam. Hal itu memang menjadi nasibnya. Biarkan itu berlalu,” ujar Tinen Awing agar Lencau mengurungkan niatnya. *** Kini Lencau tumbuh dewasa. Keinginan untuk balas dendam segera diwujudkan. Lencau berpikir, Tamen Bungan Apui saat ini sudah tua sedangkan ia masih muda. Lencau menyampaikan keinginan itu kepada mamak-nya. Tinen Awing sangat khawatir nasib yang sama akan dialami Lencau. “Mintalah nasihat terlebih dahulu kepada Pampoq sebelum engkau pergi,” ujar Tinen Awing. Lencau segera pergi ke rumah Pampoq, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Melihat kehadiran Lencau tergopoh-gopoh, Pampoq sudah menduga apa yang hendak disampaikan. Pampoq mengajak Lencau duduk di serambi rumah. “Ada apa cucuku, Engkau datang tergopohgopoh?” tanya Pampoq basa-basi. Lencau langsung mengutarakan keinginannya. “Aku sudah tumbuh dewasa dan siap melakukan pembalasan atas kematian amai,” ujar Lencau penuh keyakinan. “Oh, baiklah. Engkau tunggu di rumah saja. Besok aku datang,” ujar Pampoq. Kemudian Lencau bergegas pulang, meski dengan perasaan resah menanti kedatangan Pampoq. Keesokan harinya, Lencau dan Tinen Awing sudah menunggu kedatangan Pampoq sejak pagi-pagi sekali. Tampak sosok seorang tua berjalan terseok-seok menuju rumahnya. Pampoq datang menjelang siang. Pampoq sudah mendapatkan petunjuk dari para dewa. Ia sampaikan petunjuk itu kepada Lencau dan Tinen Awing. “Sebelum engkau berangkat, ambillah satu ekor ayam putih. Mintalah dua gadis bangsawan Awing Tiling

dan Awing Nyanding untuk mengibas-ngibaskan sayapnya,” ujar Pampoq. Lencau segera memenuhi permintaan itu. Ayam putih sudah dipersiapkan dan ritual pun dilakukan. Dua orang gadis bangsawan diundang Lencau datang mengibas-ngibaskan sayap ayam putih. Peristiwa gaib terjadi. Lencau berubah menjadi lebih perkasa dari sebelumnya.

*** Satu hari kemudian, Lencau berangkat menuju rumah Bungan Apui. Ia pergi sendirian. Keinginan membalas dendam kematian bapaknya sangat kuat. Sampailah ia di rumah Bungan Apui. Lencau berdiri tepat di bawah pohon besar yang sangat rimbun. “Inikah rumah Bungan Apui itu?” pikir Lencau. Lencau masih belum yakin. Ia berjalan mengitari pohon itu. Sesekali ia menengok ke atas untuk memastikan bahwa pohon ini memang rumah Bungan Apui sesuai petunjuk Pampoq. “Betul ini rumah Bungan Apui. Bagaimana saya harus berperang?” ujar Lencau dalam hati. Niat untuk segera membalas dendam semakin menggumpal. Lencau bergegas memanjat pohon. Saat hampir tiba di atas, Lencau mengeluarkan kekuatannya. Namun Bungan Apui mengetahui adanya serangan yang datang tiba-tiba. Ia segera membalas dengan mengeluarkan kekuatannya. Semburan api ia keluarkan untuk menghalau Lencau. Setelah berkali-kali mendapat serangan, satu baju penahan panas yang Lencau kenakan lepas. Lencau terluka. Ia kemudian turun dan menghentikan peperangan. “Pantaslah Bungan Apui disegani banyak orang. Kekuatannya sungguh luar biasa,” ujarnya dalam hati. Kemudian Lencau berlari pulang dan menceritakan peperangan yang ia alami pada mamak-nya.

“Sudah kukatakan, tidak perlu kau pergi membalas dendam. Bungan Apui orang kuat dan hebat. Biarlah hanya bapakmu yang menjadi korban,” ujar Tinen Awing. Namun, seperti bapaknya, Lencau tidak mudah menyerah. Ia panggil Pampoq untuk datang ke rumah. Ia ceritakan jalannya peperangan dan satu sisi baju anti panasnya yang terlepas. “Ambil ayam putih. Mintalah Awing Tiling dan Awing Nyanding datang untuk mengibaskan bulu ayam ke tubuhmu,” ujar Pampoq. Lencau menjalankan semua perintah. Ritual dilakukan lagi. Lencau memperoleh kekuatannya kembali. Satu hari kemudian, Lencau berangkat kembali mencari Bungan Apui. Begitu tiba, ia mengistirahatkan tubuhnya sesaat. Setelah dirasa kuat, ia mulai melakukan penyerangan. Lencau kembali naik pohon dan langsung melakukan serangan. Bungan Apui tidak tinggal diam. Ia membalas serangan Lencau dengan semburan api yang menjadi andalannya. Peperangan kali ini berjalan seimbang. Setiap kali Bungan Apui menyemburkan api, Lencau bergerak menghindar. Beberapa kali Ia berhasil menghindar. Pada serangan ke empat, Lencau lengah. Semburan api mengenai tubuhnya. Lencau jatuh dan terluka. Namun ia masih hidup. “Hebat benar Bungan Apui,” ucap Lencau sambil mengusap lukanya. Lencau menghentikan peperangan untuk bertemu kembali dengan Pampoq dan mamak-nya. Warga kampung tidak satupun mengetahui peperangan yang terjadi. Pampoq kembali diundang ke rumah. Seperti biasanya, ia minta disediakan ayam putih untuk ritual. Namun kali ini bukan untuk dikibas-kibaskan sayapnya, tapi disembelih. “Ayam ini akan aku potong. Jika nanti darahnya berhambur kemana-mana, engkau boleh berangkat,” ujar

Pampoq. Ritual segera dilakukan. Tatkala pisau memutus urat leher ayam, darah pun berhambur. “Segeralah pergi sekarang. Engkau pasti menang,” ujar Pampoq penuh keyakinan. Lencau merasa lega, namun tidak bagi Tinen Awing. Ia tetap khawatir, meskipun menurut ramalan Pampoq, anaknya akan menang. Kematian sang suami masih sangat membekas.

*** Esok paginya Lencau siap berangkat. Penyerangan kali ini tidak dilakukan sendiri. Ia disertai beberapa orang kampung yang dipilihnya. Mereka hanya akan menyaksikan jalannya peperangan. Setiba di kampung Bungan Apui, Lencau langsung naik pohon dan melakukan penyerangan. Bungan Apui sudah mempersiapkan diri. Ia langsung menyemburkan api. Pertempuran kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Beberapa kali Bungan Apui melakukan serangan, tapi Lencau mampu menghadang dengan baju anti api yang mampu memadamkan serangan api yang datang bertubitubi.

Lencau terus bergerak naik mendekat. Kekuatan Bungan Apui tampaknya tidak mampu mengalahkan baju yang dipakai Lencau. Lencau semakin mendekat. Saat lengah, Lencau mengayunkan mandaunya. Bungan Apui jatuh terkapar dan mati. Warga kampung yang menyaksikan peperangan itu, terkagum dengan kekuatan yang dimiliki Lencau. Lencau tampak kelelahan setelah melakukan peperangan yang sangat menguras tenaganya. Ia beristirahat pada sebuah ranting yang mampu menopang tubuhnya. Ia berkehendak naik untuk mengambil kepala bapaknya. Lalu dengan sisa tenaga yang dimiliki, Lencau naik ke atas dan masuk rumah Bungan Apui. Ia

menemukan sangat banyak tengkorak kepala manusia. Hal ini menunjukkan keperkasaan Bungan Apui. “Aduh, mana kepala amai?” ujar Lencau. Ia kebingungan, tidak tidak tahu mana kepala bapaknya di antara sekian banyak tengkorak. Selama ini Ia belum pernah melihat bapaknya. Ia kemudian bersenandung untuk memanggil arwah bapaknya, “Oh, Amai, mana kepalamu, Lencau mau ambil. Lencau mau ajak amai pulang. Di mana tulang amai jatuh, beritahu aku, biar kupungut agar menjadi satu kembali.” Usai bersenandung, tulang-tulang bapaknya bergerak saling mendekat, kemudian saling menyambung menjadi satu tubuh. Raga bapaknya kembali utuh namun rohnya belum, karena masih disimpan Bungan Apui dalam kiran jangin. Lencau berusaha menemukannya. Ia berputar-putar mencari kotak penyimpan roh. Akhirnya, Lencau berhasil menemukannya. Ia segera mengguncangkan peti itu agar rohnya keluar. Tak lama kemudian roh Tamen Awing keluar dan langsung bersemayam dalam raganya yang sudah menyatu. Tubuh bapaknya kembali utuh seperti sediakala. Lencau kemudian membawanya turun untuk diajak pulang ke rumah.

Sementara itu, Tinen Awing sudah sangat gelisah. Tiga hari lebih Lencau belum pulang dan tidak ada kabar sama sekali. Ia terus menunggu di depan rumah. Tiba-tiba, terlihat dua sosok laki-laki dan beberapa orang di belakangnya datang dari arah hulu sungai. Ia langsung berdiri melihatnya. Warga kampung bersorak-sorai ketika rombongan Lencau lewat. Samar terlihat Lencau menggandeng seorang laki-laki. “Tamen Awing,” teriak Tinen Awing. Ia usap matanya berulang kali agar penglihatannya lebih jelas. “Ia betul Tamen Awing, suamiku,” ujarnya terbata-bata.

Melihat suaminya pulang, Tinen Awing terdiam tidak mampu berucap sepatah kata pun. Lalu, mereka berpelukan penuh rasa haru. Tinen Awing sangat bahagia karena Lencau berhasil membawa pulang bapaknya. Kemudian, pesta kemenangan digelar untuk merayakan kebahagiaan yang mendalam. Keluarga Lencau kini kembali utuh. Beberapa bulan kemudian, Lencau berencana mencari teman hidup. Ia sudah berkeliling kampung, namun tidak menemukan satu gadis pun yang diidamkan. Lencau kemudian datang ke rumah Pampoq untuk meminta nasihat. Pampoq menunjuk Awing Nyanding, gadis terakhir yang mengibas-ngibaskan sayap ayam sebelum Lencau pergi berperang, untuk dijadikan istri. Lencau pun setuju. Awing Nyanding juga berkenan ketika Lencau meminangnya. Kemudian, mereka menikah. Genaplah sudah kebahagiaan keluarga Tamen Awing. (*)