9 minute read

MEDIA

Next Article
ABUNAWAS

ABUNAWAS

Pers Mahasiswa,Riwayatmu Kini

Pembungkaman pers mahasiswa (persma) di Indonesia terbanyak dilakukan oleh pihak rektorat universitas. Sedangkan isu pendidikan merupakan isu yang paling banyak diangkat oleh persma.

Advertisement

Oleh: Sirojul Khafid

Siang itu, sekitar akhir April 2016, Lalu Bintang Wahyu Putra, Pemimpin Umum (PU) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tidak sengaja berpapasan dengan Abdul Fadlil yang menjabat sebagai Wakil Rektor III UAD bidang Kemahasiswaan. Pada pertemuan singkat itu, Fadlil mengungkapkan kekecewaannya atas buletin yang diterbitkan Poros seminggu sebelumnya.

Buletin yang dianggap mengecewakan itu mengangkat isu pembangunan gedung Fakultas Kedokteran (FK) UAD. Tertulis bahwa UAD belum siap membangun fakultas baru. Hal ini dilihat dari fasilitas umum mahasiswa yang masih belum terpenuhi secara baik. “Poros sekarang sudah dibekukan,” kata Bintang menirukan salah satu percakapannya dengan Fadlil.

Pembekuan dilakukan secara lisan, tanpa Surat Keputusan (SK) pembekuan. Esoknya, Bintang berkunjung ke ruangan Fadlil untuk meminta penjelasan. Dalam pertemuan itu, tidak ada alasan jelas perihal alasan pembekuan Poros oleh pihak Rektorat UAD. Tidak ada juga keberatan dalam kerja jurnalistik yang Poros lakukan pada buletin. Keberatan lebih terhadap isu yang diangkat. Bahkan Poros sudah memberikan hak jawab kepada pihak rektorat UAD.

“Rektorat sudah beberapa tahun yang lalu merencanakan pembangunan gedung FK. Takutnya dengan terbitnya buletin Poros tersebut, Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi bisa membatalkan izin pengadaan FK yang sudah didapat,” tutur Bintang yang berperawakan tinggi dan berambut keriting.

Dampak dari pembekuan secara lisan ini terasa dari kegiatan-kegiatan Poros yang terhambat. Salah satu contohnya perizinan Poros dalam melakukan kegiatan. Peminjaman ruang tidak diperbolehkan oleh Rektorat UAD. Bintang mengatakan saat media lokal menanyakan hal ini kepada rektorat UAD, mereka berdalih tidak ada SK pembekuan. “Memang secara administratif Poros tidak dibekukan. Namun secara kegiatan, Poros dibekukan,” papar Bintang.

Kejadian Poros ini mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Aliansi Jurnalis Independen, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Unit Kegiatan Mahasiswa UAD serta perseorangan baik dalam maupun luar UAD. Saat saya mengirim surat untuk mengklarifikasi hal tersebut, tidak ada respon dari pihak rektorat UAD.

Pemimpin Redaksi Poros saat itu, Fara Dewi Tawainella, mencoba mengingat-ingat pembungkaman yang mereka alami tersebut. Fara menyatakan bahwa kemungkinan pembungkaman atas buletin yang mengangkat isu FK tersebut juga ada andil akumulasi kebencian karena Poros pada periode sebelumnya memang sering mengkritik kebijakan kampus.

Namun Fara juga tak memungkiri bahwa kesalahan kerja jurnalistik yang pernah dilakukan pada pemberitaan sebelumnya. Berita Poros pernah ada yang tidak berimbang dan datanya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Dulu Poros kritiknya lebih banyak ke kampus, tapi sekarang mulai mengkritik di tataran mahasiswa juga. Solusinya sih lebih hati-hati lagi dalam penulisan, soalnya kadang reaksi datang cuman dari baca judulnya saja,” jelasnya sedikit menyarankan.

Sama halnya dengan Poros, LPM Pendapa Tamansiswa Universitas Serjanawiyata Tamansiswa (UST) juga pernah dibekukan oleh pihak rektorat pada pertengahan November 2016. Pemberitaan dalam buletin Pendapa menjadi biang keroknya. Di akhir tahun 2015, Pendapa menerbitkan buletin dengan isu ditahannya akreditasi institusi program studi (Prodi) Pendidikan Matematika oleh Koordinator Perguruan Tinggi Swasta DIY yang menyebabkan para mahasiswa yang

menempuh pendidikan di prodi tersebut tidak bisa wisuda. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut dari rektorat UST mengenai alasan pembekuan Prodi Pendidikan Matematika tersebut.

Menurut Peka Tariska (Pemimpin Umum LPM Pendapa), akibat dari pemberitaan tersebut dana kemahasiswaan Pendapa tidak diberikan. Selain itu, muncul pakta integritas dari pihak rektorat berisi kesepakatan bahwa Pendapa tidak boleh memberitakan hal-hal buruk mengenai universitas (UST-Red).

Setelah pemberitaan buletin Pendapa terkait isu Prodi Matematika, ada salah satu tanggapan dari pembaca. “Saya berterima kasih kepada Pendapa, karena teman-teman Pendapa bisa memberikan jawaban atau wacana soal alasan Prodi Matematika yang tidak bisa wisuda,” ujar Peka menirukan tanggapan pembaca yang juga dari Prodi Pendidikan Matematika UST.

Pembekuan ini pun bukanlah yang pertama kali. Di tahuntahun sebelumnya, Pendapa juga pernah dibekukan. Saat saya mengirim surat kepada Rektorat UST untuk mengklarifikasi, tidak ada tanggapan.

Permasalahan Poros dan Pendapa ini bukan yang pertama apalagi satu-satunya yang dialami oleh persma, khususnya dalam tiga tahun terakhir. Menurut kajian Badan Pengurus Penelitian dan Pengembangan (BP Litbang) Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Litbang PPMI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam kurun waktu 2013-2016, setidaknya terjadi 88 peristiwa pembungkaman yang dialami persma se-Indonesia.

Sebanyak 108 persma mengisi kuisioner yang disajikan.

Ada 84 persma dari Jawa dan 24 dari luar Jawa. Dari 108 persma tersebut, jenis pembungkaman yang paling banyak dialami berupa intimidasi dengan jumlah 66 kasus. Disusul dengan pembredelan 13 kasus, pelecehan 12 kasus, pembekuan 9 kasus, kriminalisasi 6 kasus dan pembubaran acara 2 kasus serta perusakan karya, pembatalan perizinan, dan fitnah masingmasing 1 kasus.

Dalam kajian ini tercatat bahwa isu pendidikan menempati urutan pertama isu yang paling sering diangkat. Sebanyak 73 isu pendidikan yang diangkat persma. Secara berturut nomor dua dan tiga adalah isu daerah atau kota sebanyak 68 serta isu keberagaman sebanyak 40. Hal ini selaras dengan kasus pembungkaman yang diterima Poros dan Pendapa, imbas dari isu pendidikan yang mereka usung. ***

Saat sedang melakukan kegiatan Malam Keakraban LPM Lentera pada pertengahan November 2015, Arista Ayu Nanda selaku PU dipanggil untuk menghadap pihak rektorat dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (Fiskom UKSW), Daru Purnomo. Hal tersebut merupakan dampak dari majalah yang diterbitkan dua minggu sebelumnya yang berjudul Salatiga Kota Merah (SKM). Dalam majalah edisi SKM tersebut berisi reportase pembantaian orang-orang yang terduga bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Ada delapan tulisan hasil reportase. Lima tulisan di antaranya menceritakan bekas tempat pembantaian orang yang diduga anggota PKI. Tiga tulisan lainnya menceritakan tokoh-tokoh yang terlibat.

Diadakanlah pertemuan tertutup antara pihak universitas yang terdiri dari Rektor UKSW John A. Titaley, Daru, dan beberapa pengurus Lentera. Hasilnya, pihak universitas menginstruksikan Lentera untuk menarik majalah yang sudah beredar di dalam maupun di luar kampus tersebut. “Majalah itu menimbulkan masalah dan gejolak dalam masyarakat, benih-benih komunis. Ada organisasi masyarakat (ormas) yang melaporkan dan majalah tersebut harus ditarik,” ujar Arista menirukan perkataan Titaley.

Memang, salah satu ormas yang tidak terima atas isu majalah tersebut adalah Forum Umat Islam Salatiga (FUIS). Namun, permasalahan selesai setelah ada komunikasi antara pihak Lentera dengan ketua FUIS.

Saya menemui Arista di sekretariat Lentera. Sekretariat Lentera terpisah dari kampus terpadu UKSW. Lentera masih meminjam tempat dari Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi karena belum disediakan sekretariat oleh pihak UKSW. Saat itu, Arista menceritakan bahwa Daru geram mengetahui bahwa majalah belum ditarik seluruhnya.

Senada dengan pihak universitas UKSW, pihak Kepolisian Resor (Polres) Salatiga juga menginstruksikan untuk menarik majalah edisi SKM tersebut. “Polres (Salatiga) meminta majalah yang sudah diberikan, dijual atau apapun untuk ditarik kembali. Judul majalah menjadi alasan utama instruksi penarikan tersebut,” lanjutnya.

Pertimbangan Lentera memilih isu tragedi Gerakan 30 September (G30S) sendiri karena bertepatan dengan momentum 50 tahun tragedi tersebut. Minimnya pengangkatan isu G30S juga menjadi pertimbangan. Sementara karena mengangkat isu lokal (dalam hal ini Salatiga), distribusi majalah pun lebih tersegmen untuk masyarakat Salatiga.

Saya menemui Titaley akhir Januari lalu. Di ruangannya, ia bercerita bahwa alasan utama penarikan majalah Lentera edisi SKM tersebut karena dijual di luar kampus. Bukan terkait konten yang ada dalam majalah. Seharusnya majalah tersebut hanya beredar dalam kampus. “Ketika dijual di luar berarti itu sudah keluar kampus dan kebebasan akademik hilang. Karena ketika sudah keluar berarti harus taat pada ketentuan hukum perundang-undangan dan norma yang berlaku di luar,” kata Titaley.

Titaley sempat dipanggil oleh pejabat pemerintahan dan Polres Salatiga terkait majalah tersebut. Sekali lagi, pihak Polres mempermasalahkan judul majalah yang diterbitkan. Titaley pun meminta maaf karena penerbitan majalah SKM di luar sepengetahuan universitas. Terkait kerja jurnalistik, Titaley tidak mempermasalahkan, karena baru baca sekilas.

Pemaparan Rektor berbeda dengan Dekan Fiskom UKSW. Daru menerima saya di ruangannya saat sela-sela mengajar. Dosen Sosiologi ini menyatakan bahwa penerbitan majalah Lentera edisi SKM menyalahi prosedur. Sebagai salah satu organisasi Kegiatan Bakat Minat (KBM) yang berada di bawah koordinasi Lembaga Kemahasiswaan (LK), setiap penerbitan yang dilakukan Lentera haruslah dikoordinasikan terlebih dahulu.

Pada penerbitan sebelumnya ada koordinasi dengan LK dan Fakultas, sehingga tidak ada permasalahan. ”Kebetulan pada penerbitan majalah (Lentera edisi) SKM ini tidak ada koordinasi. Isu yang diangkat pun sensitif,” kata Daru. “Koordinasi hanya sebatas memberitahu isu apa yang akan diangkat. Tidak sampai detail. Kami pun hanya memberi masukan supaya berimbang dan ikuti kode etik yang ada. Tidak ada campur tangan dalam isu yang akan diangkat,” lanjut Daru.

Selain kesalahan prosedur, Daru juga menyatakan bahwa pemberitaan pada majalah SKM ini tidak berimbang. Narasumber hanya dari korban. Sementara dari tentara, yang notabene sebagai pihak yang “diserang” tidak ada. Ditambah dengan pengambilan judul “Salatiga” juga tidak tepat. “Kejadiannya itu di Bawen, Ampel, dan daerah lainnya yang secara administratif masuk dalam Kabupaten Semarang,” tuturnya.

Peristiwa terkait penerbitan majalah Lentera edisi SKM diselesaikan di internal fakultas melalui diskusi dengan pihak Lentera. Tidak ada sanksi yang diberikan kepada pihak Lentera atas kejadian ini. “Sebenarnya suatu kerugian apabila KBM Lentera ini tidak ada. Karena Lentera merupakan kebanggaan bagi kami juga,” kata Daru.

Arista membenarkan bahwa tidak ada sanksi atas kejadian tersebut. Namun terkait kesalahan prosedur Arista kurang sependapat. Bahwa pada kenyataannya ada lepas tangan dari LK terhadap Lentera. “Dalam menulis berita harus lebih seimbang lagi. Dan harus mempertimbangkan isi berita. Jangan cuma karena berita bagus, tapi juga harus melihat dari perspektif lain,” ujar Arista saat saya tanya pelajaran apa yang ia dapat dari kejadian ini.

Lentera hanya satu dari berbagai persma yang bermasalah dengan birokrat kampus atas penerbitannya. Kajian BP Litbang Nasional dan Forum Litbang DIY mencatat ada 65 pelaku pembungkaman persma atau jumlah terbanyak oleh birokrat kampus. Urutan kedua sebanyak 21 pelaku dilakukan oleh organisasi mahasiswa. Sedangkan di urutan ketiga, dengan jumlah 12 pelaku, pembungkaman persma dilakukan oleh narasumber.

Ruang Lembaga Poros malam itu ramai. Di dindingnya banyak tempelan kata-kata mutiara. Ada pula pigura penghargaan Bronze Winner kategori gambar sampul terbaik nasional tahun 2014 dari Serikat Perusahaan Pers terpampang. Rak arsip mereka terlihat berantakan, namun rak buku bacaan tertata rapi di samping pintu. Papan tulis yang disandarkan di tembok pun masih menyisakan coretan rapat isu.

Saya mengobrol lama dengan mereka. Di dalam obrolan kami, Bintang menyatakan bahwa pihak universitas menganggap Poros hanya menjelek-jelekan universitas saja. Pihak universitas mengatakan bahwa seharusnya organisasi mahasiswa itu berprestasi. “Nah kalau buletin kami terbit kan, itu sudah merupakan prestasi,” kata Bintang menanggapi anggapan pihak universitas.

Namun yang terjadi adalah pembungkaman. Ada semacam benang merah, bahwa pembungkaman yang diterima oleh Poros, Pendapa dan Lentera sama-sama dilakukan oleh pihak rektorat universitas masing-masing. Akar dari pembungkaman juga sama-sama dari isu yang mereka terbitkan di produk mereka.

Pembungkaman yang diterima ketiga Persma tersebut berdampak pada kegiatan mereka. Pendapa misalnya, sejak peristiwa tersebut jumlah anggota mereka menurun. Tidak sampai dua belas anggota. Sedangkan Poros menyiasati pendanaan kegiatan pascapembungkaman dengan memaksimalkan iklan dan usaha lainnya. Pemasukan iklan dan usaha setelah pembungkaman meningkat dari waktu-waktu sebelumnya. Bahkan kegiatan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar untuk anggota baru Poros tidak menggunakan uang dari universitas seperti sebelumnya. Namun walaupun mendapat dampak yang berbeda, ketiga Persma tersebut tetap mengeluarkan produk jurnalistik baik buletin atau majalah.

Malam itu sekitar pukul sebelas malam. Deretan ruang lembaga di sebelah kanan dan kiri ruang lembaga Poros berangsur sepi. Ada aturan bahwa jam sebelas malam mahasiswa sudah harus keluar dari ruang lembaga. Hal tersebut dikarenakan gerbang utama gedung yang ditempati ruang lembaga mahasiswa UAD akan ditutup. Mahasiswa yang sedari tadi melakukan kegiatan masing-masing mulai bersiap untuk meninggalkan gedung tersebut. Termasuk anggota Poros. Poros tidak jarang ditegur oleh satpam saat sedang melakukan rapat melebihi jam sebelas malam. Akhirnya rapat yang belum selesai tersebut dilanjutkan di warung sekitar gedung ruang lembaga UAD. Malam itupun obrolan kami terhenti dan bergegas meninggalkan gedung ruang lembaga Poros.q

Reportase bersama: Novita Dwi K., Nurcholis Ma’arif, Dian Indriyani, dan Wean Guspa U.

This article is from: