6 minute read

INSANIA

Perempuan Tangguh Beringharjo

Mereka membawa beban berat lebih dari 70 kilogram. Bekerja mengangkut barang setiap hari. Namun, mereka diupah sangat murah.

Advertisement

Oleh: Rabiatul Adawiyah

Mbah Seneng. Semua orang memanggilnya begitu. Di mana-mana dia selalu dipanggil begitu. Perempuan tua berumur 65 tahun ini bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. Dia sudah menjadi buruh gendong selama 35 tahun. Dia bahkan sudah tak ingat, dulu dia sudah menikah atau belum ketika bekerja sebagai buruh gendong. “Lupa,” katanya sambil tertawa.

Istilah buruh gendong merupakan profesi gendong menggendong barang yang dilakukan oleh buruh perempuan. Biasanya dalam menggendong, buruh perempuan menyandang selendang kain. Istilah ini berbeda dengan buruh laki-laki yang biasanya disebut kuli.

Mbah seneng tinggal di Sentolo, Kulon Progo. Jarak yang jauh tak menjadi halangan baginya untuk bekerja. Buruh gendong sudah menjadi pekerjaan utamanya. Dia bekerja dari jam 04.00 pagi hingga pasar tutup sekitar jam 16.00. Hal tersebut membuatnya jarang pulang ke rumah. “Paling pulangnya 3 atau 4 hari dalam sebulan,” katanya sambil tersenyum.

Ketika pasar sudah tutup, Mbah Seneng biasanya menunggu azan Magrib di pasar. Setelah menunaikan ibadah salat Magrib, kemudian keluar untuk mencari tempat tidur. Dia biasanya tidur di depan pelataran toko, bank, ataupun yang lainnya bersama dengan buruh gendong yang lain. Katanya ada sekitar 40 buruh gendong. “Tidurnya ya di sana, kan diizinkan juga,” tuturya. Sebenarnya para buruh gendong biasanya tinggal di dalam pasar, namun sejak Gunung Merapi meletus pada tahun 2010 lalu, pihak pasar mewanti-wanti terjadinya bencana lagi. Sehingga, buruh gendong harus tidur di luar pasar atau sekitar pasar.

“Ada juga yang tinggal di kos,” tambahnya. Namun, Mbah Seneng memang tidak ingin tinggal di kos selama masih diizinkan untuk tidur di sekitar pasar. Dia menyukai rutinitas para mahasiswa yang membawakannya makanan setiap malamnya. “Mereka mau bantu,” ujarnya sambil tertawa senang.

Dulu, menjadi buruh gendong memang merupakan pilihan terakhir bagi Mbah Seneng. Tetapi sekarang, buruh gendong sudah menjadi pekerjaan yang dicintainya. Sebelum menjadi buruh gendong, dia sempat mencoba berdagang. Namun, karena tidak mendapatkan keuntungan, dia beralih menjadi buruh gendong. Menurutnya, buruh gendong adalah pekerjaan yang sederhana, pekerjaannya hanya mengangkat barang, kemudian dibayar. Sesederhana itulah pemikirannya tentang buruh gendong. Dia tak pernah memikirkan masalah upah yang sedikit. “Iya cuma bawa barang aja, gak terlalu berat, sekarang mbah menyesuaikan dengan

|INSANIA|

tenaga, ngangkut sehari paling 3 atau 4 kali,” katanya.

Mbah seneng biasanya mendapatkan upah Rp 5.000 sekali gendong, namun tak jarang dia hanya diberikan Rp 2.000 saja dan paling banyak Rp. 10.000. Biasanya dia mendapatkan Rp 35.000 per hari. Uang tersebut dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan mandi. Kemudian, sisanya digunakan untuk hal lain atau sekadar ditabung untuk diberikan kepada cucunya. Meskipun hanya mendapatkan upah yang sedikit Mbah Seneng tetap bersyukur.

Selain menjadi buruh gendong, untuk mengisi waktu saat tidak ada lagi barang angkutan, Mbah Seneng mengiris cabai untuk pedagang makanan. Satu kilogram cabai dihargai sebesar Rp 2000. “Yah, kalau enggak ada angkutan, kerja sampingannya mengiris cabai seperti ini,” katanya sambil mengangkat cabe yang sedang diirisnya.

Buruh gendong lain di Pasar Bringharjo adalah Mbah Pariyem. Dia adalah rekan kerja Mbah Seneng. Perempuan tangguh berusia 50 tahun ini sudah menjadi buruh gendong sejak umur 21 tahun. Bagi Pariyem buruh gendong merupakan pekerjaan yang bebas, tidak tertekan. “Daripada ikut orang lain, gajinya setelah satu bulan, tapi kalau jadi buruh gendong tiap hari langsung dapat bayaran, ” tuturnya.

Berbeda dengan Mbah Seneng yang membatasi berat gendongannya, Mbah Pariyem masih mampu mengangkut barang dengan berat ratarata 30 kilogram bahkan hingga 70 kilogram. “Mbah masih kuat,” katanya dengan bangga. Selama sehari ia bisa mengangkut barang sebanyak sepuluh angkutan.

Mbah Pariyem biasanya menggendong sayur-sayuran seperti gori, laos, kunir, dan sere. Upah yang didapatkan tak jauh berbeda dengan Mbah Seneng. Selama sehari, Mbah Pariyem mendapatkan upah paling sedikit Rp 20.000. Selain menggendong sayursayuran,Mbah Pariyem juga menggendong gula jawa yang memiliki berat sekitar 60 kilogram. “Mbah angkut dari lantai bawah ke atas, dikasih upah 5000. Yah mau gimana kalau enggak kerja berat enggak dapat uang,” ceritanya.

Upah yang didapatkan Mbah Pariyem selain digunakan untuk kebutuhan ekonomi, juga digunakan untuk kegiatan di lingkungan sosialnya. Apabila di sekitar pasar terdapat hajatan atau orang meninggal, Mbah Pariyem akan turut menghadiri dan memberikan uang paling sedikit Rp. 50.000. “Tradisi di sini sama dengan di kampung”.

Mbah Seneng dan Mbah Pariyem memiliki langganan masing-masing dalam mengangangkut barang. Upah yang diberikan pun tergantung dari langganan masing-masing. Mbah seneng hanya memiliki beberapa langganan sedangkan, Mbah Pariyem memiliki tujuh lebih langganan. “Karena Mbah sudah tidak kuat lagi, makanya barang langganannya yang ringan saja, kayak lombok,” tutur Mbah Seneng.

Meskipun mendapatkan upah yang sedikit, dua perempuan tangguh itu tak pernah berpikir untuk berhenti menggendong. Mbah Pariyem tidak ingin mencari pekerjaan lain meskipun menjadi buruh gendong merupakan pekerjaan yang berat. Menurutnya, upah yang sedikit akan banyak jika dikumpulkan.

Mengenai upah mereka yang sedikit atau tidak sesuai dengan berat gedongan, mereka tak bisa melakukan apa-apa. “Kalau protes nanti teman yang lain juga bilang kalau upahnya ya cuma segitu,” tutur Mbah Pariyem. Dia melanjutkan bahwa jika mereka protes, maka barang angkutannya akan diambil oleh buruh gendong yang lain. Langganan pun akan marah dan mengancam untuk tidak menggendong barang mereka lagi.

Keadaan pasar yang sepi juga turut memberikan andil pada upah yang sedikit. Menurut Mbah Pariyem pasar sekarang memiliki pengunjung yang sedikit dibandingkan dengan pasar yang lama. Dulu, pasar hanya ada satu, namun sekarang pasarnya sudah ban-

|INSANIA|

yak seperti pasar Giwangan, Gamping, Sentul, dan Kranggan. Sehingga, pengunjung dapat mengunjungi pasar yang lain, tidak berfokus pada satu pasar. Faktor lain pengunjung sepi adalah banyaknya penjual yang barangnya langsung di anatar ke rumah. Sehingga, mengurangi pekerjaan buruh gendong. “Buruh gendong jadi tidak laku,” katanya dengan mimik wajah sedih.

Bekerja sebagai buruh gendong membuat Mbah Seneng dan Mbah Pariyem sering mengalami masalah kesehatan. Dia harus menggendong barang, yang melebihi kapasitas tenaganya, sehingga membuat kaki dan panggulnya terasa pegal. Masalah pengobatan sendiri, Mbah Seneng menuturkan bahwa Yasanti memberikan obat sebulan sekali dan melakukan pemeriksaan kesehatan.

“Saya sakit-sakit, kadang kesel, dan kepala sakit,” tutur mbah Priyem.

Amin Muftiyanah dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) mengungkapkan bahwa berdasarkan kesehatan ketika menggendong tidak boleh melebihi beban fisik. Memang, pekerjaan menggendong merupakan pekerjaan yang mengandalkan fisik, tidak malu, dan tidak butuh modal. Meskipun demikian, tidak semua orang dapat melakukan itu. Persoalannya selain mengandalkan fisik, upah yang didapatkan tidak sesuai dengan beban yang digendong. “Mereka bisa menggendong 70-100 kilogram. Kebanyakan dari mereka menggendong melebihi beban fisik,” jelas Amin

Beban yang melebihi berat fisik sebenarnya sudah tidak layak. Namun, dari pihak yang memberi jasa menginginkan barangnya digendong banyak dengan upah murah. “Ini modelnya berbeda dengan yang sudah di-pack, ini seperti terong, ubi, buah semangka, itu pasti melebihi beban fisik,” tambah Amin.

Yasanti juga telah memberikan pemahaman kepada buruh gendong terhadap bagaimana dampak barang berat yang dibawa setiap harinya pada kesehatan sehingga, barang yang dibawa harus disesuakan dengan kapasitas tenaga buruh. Berat tersebut dapat menyebebkan terjadinya tekanan pada perut, sehingga mengganggu kesehatan rahim. “Buruh kan enggak tahu bagaimana bahayanya, berat yang mereka bawa enggak sesuai dengan upah yang diberikan. Makanya, buruh diberi tahu untuk tidak menerima upah di bawah Rp 5000,” ujar Amin.

Selain berpengaruh pada kesehatan fisik. Menurut Amin, sebagai seorang wanita, hal ini berdampak pada kesehatan reproduksi, dikarenakan rahim mengalami penurunan. ”Ya, walaupun belum ada penelitian yang membenarkan,” katanya.

Mereka menggunakan kain sebagai penahan beban berat. “Namun, karena alat reproduksi yang sensitif dan keadaan jalan pasar yang naik turun, kain tidak terlalu membantu,” cerita Amin.

Selain itu, keadaan pasar memang rawan terhadap kekerasan perempuan. Penjaga pasar yang ada pun tak mampu menjaga mereka. Buruh gendong adalah warga pasar, tapi mereka tidak diakui. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak memiliki toko. Mereka tidak memiliki tempat untuk beristirahat. Saat sakit pun mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan.

Selain masalah kesehatan, Yasanti juga memberikan pembelajaran mengenai pendidikan advokasi kepada para buruh. “Kita sudah mengadvokasi mereka agar mampu memperjuangkan hak sendiri”. Setidaknya mereka sebagai warga pasar juga diperhatikan ketika terdapat kebijakan pasar yang baru. Kini berkat perjuangan dari buruh gendong sendiri, di Pasar Beringharjo, buruh gendong sudah diakui melalui Surat Kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas Pasar.

Mbah Seneng mencintai pekerjaannya sebagai buruh gendong. Dia sudah terbiasa dengan beban yang digendongnya. Katanya dia senang memiliki banyak teman. Dia menolak jika disuruh berheni bekerja oleh anaknya. “Masih pengen kerja, sedih kalok ninggalin temen-temen,” tutupnya di akhir wawancara.q