
8 minute read
SOSOK
Muhidin M. Dahlan sedang membaca buku-buku miliknya di Yayasan Indonesia Buku, Sabtu (14/01). Dia lahir tanggal 12 Mei 1978 dan sekarang aktif di bidang literasi.
RB Radix Sabili D. P. | HIMMAH
Advertisement
Membaca, Menulis, Titik!
Berbeda dari penulis lainnya, Muhidin M. Dahlan sang penulis kontroversial mampu menguak sisi lain seorang muslim.
Oleh: Regita Amalia C.
Pria asal Donggala, Sulawesi Tengah itu memiliki perawakan tidak terlalu tinggi. Kulitnya sawo matang dan memiliki rambut keriting yang diikat. Ia ramah pada siapa saja. Hal itu tergambar ketika ia menyambut kedatangan saya di Gedung Bale Black Box, Pojok Barat Perpustakaan ISI, Sewon, Bantul. Dia adalah Muhidin M. Dahlan, seorang penulis esai dan cerita. Kiprahnya ia mulai sejak tahun 1998 sampai saat ini.
Sapaan akrabnya Gus Muh. Menjadi seorang penulis merupakan citacitanya dari awal kuliah. Gus Muh lahir 39 tahun silam di tengah keluarga yang sangat mendukung kemauan kerasnya. Ia kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah. Di kota tersebut ia berkhidmat pada dunia baca tulis dan total dalam melakoninya.
Gus Muh kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta jurusan Teknik Bangunan (1997-2000). Ia juga sempat kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil studi Sejarah Peradaban Islam (20002001). Namun keduanya tidak ia selesaikan. Gus Muh tetap memilih jalan menjadi seorang penulis.
Saat berhenti kuliah, orang tua tidak menuntut apa-apa. “Kalo saya lanjut kuliah mungkin saya sekarang kerja di Papua atau Sulawesi, menjadi orang kaya, menjadi kontraktor dan punya mobil banyak,” kata Gus Muh. “Tapi saya melepas semua kesempatan itu dan memilih yang lain.”
Di usia 19 tahun ia mulai belajar menulis secara otodidak dan banyak membaca karya tulisan orang lain. Karena suka menulis, saat masuk IKIP, ia langsung mendaftar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi IKIP Yogyakarta (1997-2000). “Motivasi saya masuk LPM bukan sekedar mencari kawan, tapi agar punya batu loncatan yang kuat untuk menjadi seorang penulis,” tuturnya.
Beberapa isu diangkat Gus Muh dalam tulisannya. Isu seperti politik, keislaman, sosial, budaya, pers, kebudayaan, ideologi, menghiasi setiap tulisannya. Karya Gus Muh sampai saat ini terkumpul 17 buku. Karyanya yang cukup terkenal yaitu Inilah Esai dan Ganefo. Novel yang berjudul Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur merupakan karya paling terkenal dan iden-
|SOSOK|
tik dengan sosok Gus Muh. Karya ini sampai melegenda dan paling banyak dicari dibanding karya lainnya. Total 3000 cetakan buku diproduksi untuk buku itu. Gus Muh biasa menulis esai di media cetak maupun online. Seperti esainya yang sering nangkring di laman Tirto.id.
Tahun ini, Gus Muh telah mempersiapkan karya esai dengan judul Amal Baik Orang Komunis. Gus Muh sedikit membocorkan bahwa buku tersebut bercerita tentang sisi lain dari komunis. Selain menulis, aktivitas Gus Muh yaitu mengelola perpustakaan, arsip dan Radio Buku. Penyuka makanan pedas itu juga suka membuat kliping di sela-sela aktivitasnya. Saat ini ia menjadi guru utama di program kelas menulis kreatif yang diselenggarakan Radio Buku.
Saat masuk pintu gedung Bale Black Box kita dapat merasakan sisi artistik yang unik dari setiap sudut ruangnya. Terdapat banyak koleksi buku dan arsip yang dipajang di setiap sisi sudut ruangan itu. Tempat itu biasa digunakan oleh anggota komunitas untuk belajar menulis esai. Terkadang menjalankan radio dan aktivitas lainnya. Tujuannnya, untuk mendirikan komunitas literasi yang hidup dan besar, bukan hanya sekedar ada.
Komunitas tersebut ialah Yayasan Indonesia Buku yang didirikan oleh Gus Muh dan beberapa temannya. Yayasan ini berdiri pada April 2006 sebagai lembaga riset tentang sejarah Indonesia lewat tradisi pers dan bahasa. Memfasilitasi sejumlah sejarawan dan periset muda untuk belajar bersama mengenali Indonesia. Tradisi riset itu melahirkan perpustakaan yang dipersembahkan untuk publik dengan nama Gelaranibuku. Tidak hanya membangun perpustakaan yang terpusat pada satu tempat di Alun-Alun Selatan Keraton Yogyakarta, tapi juga membangun beberapa perpustakaan seperti ini di beberapa desa di Indonesia.
Yayasan itu mendirikan Radio Buku pada april 2011 untuk melengkapi keluarga besar perbukuan Indonesia dengan slogan “Mendengarkan Buku Membuka Cakrawala”. Radio Buku adalah radio tentang dunia literasi berbasis internet, ditujukan untuk generasi baru yang mencintai buku dan merayakan literasi menggunakan teknologi. Radio Buku menjadi ruang persinggahan sekaligus perayaan dari siapapun dan dari manapun yang diikat oleh satu simpul yaitu cinta pada buku. Terakhir, Radio Buku membuat Warung Arsip dengan menampilkan benda-benda literasi yang memiliki nilai sejarah bagi perjalanan masyarakat Indonesia. Seperti terekam dalam buku, koran, kaset, maupun video.
Yayasan Indonesia Buku saat ini memiliki 30 anggota dan menerima anggota baru, mahasiswa dari kalangan universitas yang berbeda-beda. Yayasan ini juga memiliki 500 lebih alumni. Setiap satu tahun sekali antara bulan April atau Mei Yayasan ini biasanya mengadakan kegiatan festival besar. Menggelar wayang sekaligus mengundang masyarakat kampung biasanya diadakan untuk merayakan hari ulang tahunnya. Gus Muh bercerita bahwa respon masyarakat dengan adanya komunitas ini positif.
Prinsip Gus Muh dalam Menulis
Gus Muh memilih kuliah di Jogja tahun 1996, karena ia mendengar keajaiban bukan hanya dari buku tetapi kotanya sendiri. Semua buku ada, lengkap dan murah. Ditambah lagi bangunan yang masih tua dan jarang bertingkat. Awalnya ia masih kaget saat sampai di Jogja, karena menurutnya masih lambat perkembangannya. Itulah yang membuat ia bertahan, karena merasa cocok dan enjoy dengannya. “Masih bisa naik sepeda kemanapun,” katanya. Tahun 1998 beliau mulai membayar uang kuliahnya sendiri dengan menulis. Awal belajar menulis, tulisan pertamanya pun langsung dimuat di harian Kompas.
Sebagai penulis, tak jarang ia menerima pertentangan dalam setiap karyanya. Contoh dalam buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur yang diterbitkan tahun 2003. Buku ini ia tulis berdasarkan kisah nyata temannya yang masih menjadi mahasiswa di salah satu universitas. Seperti petikan tulisan dalam buku itu yang menarik untuk dibaca. Begini bunyinya:
“Dia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk sholat, baca al-qur’an dan berdzikir. Cita-citanya hanya satu: untuk menjadi muslimah yang beragama secara kaffah. Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Bahkan Tuhan yang selama ini dia agung-agungkan seperti “lari dari tanggung jawab” dan “emoh” menjawab keluhannya. Dalam keadaan kosong itulah dia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan mengkonsumsi obatobat terlarang.”
Dalam salah satu kutipan tulisan buku tersebut, saya dapat menilai bahwa Gus Muh memiliki cerminan dalam setiap tulisannya. Orang yang taat pada tuhan dan agamanya saja bisa melakukan hal buruk karena kekecewaan semata. “Jadi kita jangan menganggap bahwa orang baik akan selalu baik, pasti
|SOSOK|
ada sisi lainnya,” ucap Gus Muh.
Buku tersebut pernah diadili karena dianggap mencemarkan nama baik universitas, dengan terpaksa ia harus membuat pleidoi. Ujung-ujungnya buku itu diubah menjadi sebuah novel. Dihadapan 1500 orang dibacakan klarifikasi dengan tanda tangan diatas materai. “Saya terima untuk dijadikan novel karena saya khawatir mahasiswa tersebut tidak dapat diluluskan,” tambah Gus Muh.
Selain itu, judul buku lainnya yang menuai kontroversi adalah Adam dan Hawa. Gus Muh sempat dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Majelis Mujahidin karena dianggap menghina nabi. Namun akhirnya dapat diselesaikan secara damai. Alasan Gus Muh cukup berani mengobok-obok wilayah ketuhanan karena ia mempunyai keyakinan dan keteguhan. “Saya merupakan aktivis Islam dan sudah melihat kenyataan itu,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya tak jarang ia mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Gus Muh pantang menyerah karena ia sudah memilih jalan ini dengan banyak pertimbangan. Ditambah dukungan keluarga, sahabat yang selalu memotivasi dalam setiap tulisannya. Gus Muh ialah salah satu penulis yang memiliki pemikiran unik dibanding yang lain. Ia menerapkan nilai yang diperjuangkan dalam setiap tulisannya bahwa manusia yang kita pikir buruk, tidak selalu buruk, pasti ada sisi baiknya.
Gus Muh sangat konsisten dalam menjalani pekerjaannya itu. Sebagai penulis ia percaya bahwa buku dapat menghidupinya dan sudah ia praktekkan sejak awal. Terbukti di sebuah kawasan toko buku macam Shopping Buku saja, buku terus disuplai. Beliau yakin bahwa ada nilai ekonomi yang bekerja di dalamnya.
Gus Muh mengaku Pramoedya Ananta Toer atau yang lebih akrab disapa Pram merupakan sosok yang memotivasinya. Bahkan, mempengaruhi kultur dan produktivitas tulisannya. Ia mengagumi setiap karya-karya Pram. Itu juga yang menjadi permulaan kenapa ia jatuh cinta pada sastra. Ia bergerak dengan cekatan mengikuti apa yang Pram lakukan. Memburu setiap karya-karyanya, termasuk melakukan kerja-kerja kliping. Gus Muh menguraikan bahwa kerja arsip, melalui kliping adalah bagian dari kerja menyusun dan mengeja Indonesia.
Kerja kliping yang ia jalani sebagai wacana bagi dokumen sejarah yang pernah ada dengan mengikuti cara Pram. “Hasil dari kliping yang saya lakukan merupakan beberapa dari karya Pram,” ungkapnya. Ia dengan tekun melakukan kerja-kerja kliping. Buku-buku yang ia tulis menjadi sebuah gambaran bagaimana arsip-arsip dikelola dengan baik oleh Gus Muh. Sumber-sumber ia dapatkan, mulai dari terbitan koran, film, atau dokumen-dokumen lainnya.
Pram adalah sastrawan yang tersohor. Terkumpul banyak karya sumbangsih Pram, mulai dari novel, cerpen, artikel. Sebut saja Tetrologi Pulau Buru yang masyhur. Buku yang ditulis Pram dengan apik sekaligus berhasil menelanjangi kepongahan penjajah. Gus Muh memang mengakui bahwa ia mengenal keluarga Pram dengan baik. Gus Muh melibatkan diri dalam beberapa proses penerbitan buku Pram, termasuk mengelola tabloid khusus Pram.
Iswan Heriadjie adalah relawan di Radio Buku. Ia mulai ikut menjadi relawan sejak tahun 2016. Ia bercerita bahwa Gus Muh merupakan orang yang sangat konsisten di bidang literasi dan seorang idealis tulen. Bukti nyatanya dapat diihat lewat Warung Arsip yang ia kelola. “Rajin mengkliping koran-koran lama dan membuat wujud digitalnya jelas membutuhkan ketekunan dan tekad yang kuat,” kata Iswan. Ia menuturkan bahwa Gus Muh sangat peduli dengan penulis-penulis muda dan tidak pelit untuk membagi ilmu seputar kepenulisan. “Tidak banyak tokoh yang konsisten dalam membuat arsip media cetak di Indonesia. Gus Muh adalah salah satunya,” ungkap Iswan.
Agenda yang ia lakukan saat menjadi relawan diantaranya siaran, edit materi, live streaming literasi di Radio Buku, kelas menulis, dan diskusi. “Produk kelas menulis, nantinya berupa buku. Buku tersebut sebagai ijazah kelulusan kawan-kawan relawan,” kata Iswan. Ia menuturkan bahwa Gus Muh sendiri yang mengampu kelas menulis di Radio Buku. “Gus Muh dan beberapa pengurus lainnya membimbing dari awal penulisan naskah, editing, sampai jadi buku,” tambah Iswan.
“Penulis yang sukses, karyanya tetap diperbincangkan hingga penulisnya wafat, karya itu akan tetap dibaca dan dikaji orang,” ujar Gus Muh.
Motonya, “membaca, menulis. Titik!” Pesan-pesan pun ia sampaikan di sela obrolan kala itu. “Perbanyaklah membaca, seorang penulis penting untuk membaca, agar ia memiliki pengetahuan yang lebih dalam menulis,” pungkas Gus Muh.q