
61 minute read
lAPORAN kHUSUS
M. Nadhif Fuadhi | HIMMAH
Genap sudah 50 tahun Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah Universitas islam Indonesia (UII) kini berkarya. Menginjak usia yang terbilang tak lagi muda, tentu banyak peristiwa yang secara tak langsung berefek di masa sekarang. Penting atau tidak, kami yakin tiap cuplikannya pasti menarik untuk dibahas.
Advertisement
Tak banyak yang tahu bahwa ternyata Himmah dulunya bernama Muhibbah. Bahkan kami para pengurus Himmah pun, tak betul-betul mengetahui alasan dari perubahan nama tersebut dan bagaimana kronologinya.
Lalu di tengah pergerakan orde baru, Himmah berperan dalam pembentukan sekaligus menjadi tuan rumah kongres pertama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
Persma ini pun pernah dibredel dua kali di masa orde baru, dan di tahun 2007 sempat mengalami konflik dengan lembaga legislatif di dalam kampus yang berujung pada pembungkaman.
Kinerja para pengurus dalam dapur keredaksian juga selalu mengalami perkembangan. Mulai dari orientasi pemberitaan yang keislaman hingga mengkritisi isu negara, serta perkembangan teknik penulisan pascareformasi.
Satu hal yang kami tahu, semakin berkembangnya zaman, produk-produk Himmah yang terdiferensiasi membuat para pengurus harus berpikir lebih keras agar kualitasnya tak menurun dengan pemberitaan yang tetap menjunjung tinggi hak kaum tertindas.
Maka dari itu laporan khusus mengenai 50 tahun Himmah ini sengaja kami tampilkan untuk sedikit banyak menjawab beberapa keraguan di atas sekaligus menyambung sejarah yang mungkin mulai terlupakan.
Sayangnya, dari sekian banyak cerita tak semua terdokumentasikan dengan rapi. Membuat kami sedikit kewalahan mencari tahu lebih dalam sejarah persma yang telah berdiri sejak 1967 ini. Alhasil, majalah edisi 20 tahun Himmah yang terbit 1987 menjadi patokan kami. Keterbatasan akses ke narasumber di awal tahun 1967 membuat kami membatasi liputan hanya berkisar pada narasumber di kepengurusan Himmah tahun 1990-an hingga saat ini.
Hanya saja beberapa narasumber agaknya sulit untuk mengingat kisah di periodenya karena jangka waktu yang terlampau lama, serta beberapa lagi lebih memilih untuk tutup mulut. Dokumen yang kami temukan pun tak banyak. Penelusuran produk terbitan lembaga, arsip laporan pertanggungjawaban pengurus di tahun 1983 hingga 2013 serta berbagai buku pendukung menjadi data sekunder peliputan kami.
Sebagaimana ungkapan Soekarno mengingatkan kita untuk “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, juga seperti apa yang menjadi slogan Himmah bahwa “Yang terucap akan hilang bersama angin dan yang tertulis akan abadi”, maka inilah sajian khusus dari kami.
Rekonstruksi peristiwa masa lampau Muhibbah sejak berganti nama menjadi Himmah hingga saat ini. Selamat membaca!


Kami menemui Iman Masfardi di Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Dua jam sebelum check in dan terbang pulang menuju Jakarta, Iman menyempatkan untuk menerima kami. Sore itu bandara sedang diguyur hujan. Ia lalu mengajak kami ke Horizon Cafe yang berada di dalam bandara.
Iman merupakan redaktur majalah Muhibbah periode 1982. Majalah Muhibbah dikelola dan diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LPM UII) sejak 1967. Iman juga menjadi saksi kematian majalah tersebut sebelum berubah nama menjadi Himmah.
Pada buku Api Putih Di Kampus Hijau, Gerakan Mahasiswa UII Dekade 1980an, di bagian “Kilas Balik Pers Mahasiswa UII”, Iman menulis tentang Muhibbah. Baginya Muhibbah bukan hanya sebagai tempat latihan menulis mahasiswa UII. Muhibbah juga dengan garang menggariskan diri dalam orientasi redaksionalnya sebagai alat kontrol dan kritik terhadap kebijakan penguasa yang mengkhianati rasa keadilan dan merusak peradaban.
Masih menurut Iman, majalah Himmah yang lahir setelahnya merupakan hasil kompromis aktivis pers mahasiswa dengan rektorat dan pemerintah. Hal tersebut berdampak terhadap polarisasi aktivis mahasiswa UII saat itu. Iman menyebutnya sebagai “politik belah bambu”, yang satu diinjak, yang lainnya diangkat.
“Jadi kenapa Muhibbah dibredel?” Iman seolah bertanya kepada kami. “Karena pemberitaan yang dilakukan Muhibbah mengkritik dengan keras kebijakan pemerintahan Soeharto.” ***
Muhibbah pernah diberedel atau dilarang terbit dua kali. Pertama, menjelang Pemilihan Umum Presiden pada tahun 1978. Kala itu di kota kota besar memang banyak terjadi aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Mahasiswa kecewa dengan pemerintahan Soeharto.
Muhibbah bersama sebelas media massa lainnya juga dilarang terbit.
Surat Tanda Terdaftar (STT) Muhibbah dicabut oleh Menteri Penerangan (Menpen) dan sekretariatnya sempat disegel.
Kemudian pengurus menerbitkan tabloid Detente untuk mengisi asupan berita kepada mahasiswa, hingga pada tahun 1980, Muhibbah dihidupkan kembali oleh Pemimpin Umum (PU) Syarif Hans. Sayang, tabloid Detente beserta arsip-arsipnya belum kami temukan sampai sekarang.
Pemberedelan itu datang kembali satu periode setelah Muhibbah dihidupkan. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Dari Muhibbah Sampai Himmah, Periode 1982-1983 menuliskan bahwa menjelang akhir tahun, tepatnya pada 8 Desember 1982 pengurus mendapat Surat Keputusan (SK) pemberedelan kembali. SK itu datang dari Menpen yang disampaikan melalui rektorat. Direktur Jenderal Penerbitan, Pers dan Grafika, Soekarno, menandatangani SK tersebut dua hari sebelum diberikan, yakni enam hari setelah edisi terakhir Muhibbah terbit dan didistribusikan.
SK ini pada diktumnya berisi larangan bagi LPM UII untuk menerbitkan, mencetak dan mengedarkan majalah Muhibbah. Saat itu, politik luar negeri Indonesia dan doktrin bebas aktif menjadi laporan utama pungkasan Muhib-
Dok. HIMMAH

bah setelah menerbitkan sembilan edisi pada periode kepengurusan LPM UII 1982.
Kesalahan atau pelanggaran Muhibbah menurut SK itu terbagi dalam dua model. Pertama adalah kesalahan administratif, karena kala itu Muhibbah disebarkan di toko-toko maupun kioskios dengan sistem penjualan bebas seperti usaha komersil. Satu hal yang oleh Peraturan Menpen tak dibolehkan bagi penerbitan khusus. Kedua, alasan politis, karena Muhibbah telah memuat banyak berita, tulisan atau gambargambar yang mengarah pada kegiatan politik praktis.
Pemberedelan dari Menpen tersebut melegitimasi organisasi di bawahnya, yaitu Rektorat dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) UII— lembaga legislatif kemahasiswaan UII saat itu—untuk menghentikan penerbitan Muhibbah.
Rektor mengeluarkan surat pada 10 Desember 1982 dan secara singkat dapat dikategorikan sebagai surat pembekuan LPM UII. Enam hari kemudian, BKK mengeluaran SK yang berisi penyetopan keuangan, penyitaan serta pembekuan kegiatan sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
BKK di luar garis kewenangannya telah memberedel LPM UII. Seharusnya, pemberedelan hanya bisa dilakukan oleh Musyawarah Anggota LPM UII. Sebab menurut Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga Keluarga Mahasiswa UII, wewenang BKK terhadap LPM hanya terbatas pada soal keuangan. Hal ini dikarenakan LPM UII merupakan lembaga otonomi sejak 1974.
Pengurus menolak SK dari rektorat maupun BKK tersebut serta sempat mengadakan beberapa kali audiensi. Namun, rektor menegaskan bahwa jika pada saatnya LPM UII hendak menerbitkan kembali sebuah majalah selain Muhibbah, maka susunan redaksi harus diganti. Hal ini dikemukakan pada konsultasi pertama pascapemberedelan. ***
Mohammad Mahfud MD duduk di atas sofa ruang tamunya, mengenakan batik berwarna coklat, peci, juga kacamata. Ia memiliki rambut pendek ikal yang tertata rapi. Ruang tamunya cukup luas bersebelahan dengan garasi. Saat itu, ia baru selesai siaran dengan Jogja TV.
Kami disuguhi teh hangat dan pisang goreng. Sambil mencicipi jamuan yang sudah dihidangkan kami bertanya tentang pemberedelan Muhibbah sampai proses pembentukan Himmah kepada Mahfud yang sekarang merupakan guru besar Fakultas Hukum (FH) UII.
Mahfud terpilih sebagai PU pada musyawarah anggota LPM UII yang

Dok. HIMMAH

Dok. HIMMAH
diselenggarakan di akhir tahun 1981. Sementara posisi pemimpin redaksi (pemred) diisi oleh Anang Eko Priyono atau biasa dipanggil AE.
Mahfud, Irwansyah Nasution, Syarief Hans, Mochdiar Yunit dan John Pieter Nazar saat itu menjadi tim formatur yang membentuk susunan pengurus LPM UII periode 1982/1983.
Sebelum menjadi Pemimpin Umum Muhibbah, Mahfud juga pernah menjadi Pemred majalah Keadilan LPM Fakultas Hukum UII dan AE sebagai PU. AE dan Mahfud juga merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sebagai orang nomor satu di Muhibbah saat itu, Mahfud masih mengingat bahwa ia pernah mendapat surat dari Kejaksaan Yogyakarta. Ia diminta membawa semua majalah Muhibbah yang berisi tentang “Bola Salju dari Jogja”.
Dalam edisi tersebut, Muhibbah berusaha mengampanyekan Sultan Hamengkubuwono ke-IX untuk menggantikan Soeharto sebagai presiden. Namun sampai saat ini, arsip majalah tersebut tidak ditemui keberadaannya.
Ia menemui Mawardi, Kepala Intelijen Kejaksaan Negeri. “Dia (Mawardi-red) menegur, itu majalah Muhibbah nya sudah dibawa semua?” kata Mahfud menirukan apa yang ditanyakan Mawardi padanya. “Besok jangan terbit lagi ya, kamu kok berani sekali menulis seperti itu?”
“Tapi dia nanya lagi,” kata Mahfud. “Itu majalah-majalah yang lama kamu masih punya enggak?” tanya Mawardi seperti yang dikatakan Mahfud.
“Kenapa pak?” tanya Mahfud lagi. “Saya ingin punya juga itu, bagus majalahnya,” ia tertawa terkekeh.
“Mungkin pada waktu itu saya dianggap terlalu pro-rektor, terlalu ikut rektor. Tetapi kalau tidak ikut rektor nanti tidak jalan dong, tidak diperbolehkan terbit,” ucap Mahfud menceritakan bagaimana lobinya dengan rektor untuk menerbitkan majalah baru saat itu.
Selain itu setelah datangnya surat pemberedelan Muhibbah, AE mengatakan suasana pengurus tidak kondusif lagi. Sementara Mahfud menanggapi bahwa mungkin yang dimaksud tidak kondusif tersebut disebabkan perbedaan pendapat akan dibawa kemana majalah LPM UII ini.
Pada LPJ dijelaskan pascapemberedelan diadakan rapat pleno tanggal 28 Maret 1983 untuk mengurus penerbitan baru. Rapat pleno memutuskan untuk mengutus tim. Isinya Mahfud, Asep Ruchwahyudin, Irwansyah Nasution yang disertai Amir Husen Ramli, Wakil Ketua BKK serta Dahlan Thaib, Pembantu Rektor III saat itu. Mereka berangkat ke Jakarta untuk mengurus Surat Izin Terbit majalah baru.
Permintaan itu diterima, namun belum mendapat kejelasan dari pihak kementerian sampai kepengurusan Mahfud berakhir. Saat itu, semua urusan perizinan penerbitan pers ditanggung penggarapannya sampai dengan keluarnya petunjuk dan pelaksanaan tentang Surat Izin Untuk Penerbitan Pers (SIUPP) dan Undang-undang (UU) Pokok pers yang baru. Sampai periode selanjutnya, surat izin itu tak kunjung keluar dan Himmah terbit hanya berdasarkan SK Rektor.
“Pokoknya terbit dulu deh, kalau di musyawarah anggota jadi permasalahan ya bisa saja dibubarkan,” kata Mahfud. “Yang penting ketika saya turun jabatan itu ada produk yang bisa diteruskan. Nama majalahnya Himmah.”
Awalnya disepakati untuk majalah baru LPM UII bernama Hikmah. Tujuan penyajian materinya yaitu pening-
katan kualitas imani dan mentalitas Islami serta masalah-masalah almamater UII, dan menghindar dari isu politik praktis. Nama ini mengalami perubahan karena majalah Hikmah sudah pernah ada di tahun 1950-an, yaitu nama majalah Masyumi yang kemudian mati seiring bubarnya Masyumi. Demikian akhirnya nama itupun menjadi Himmah yang bisa diterjemahkan sebagai cita-cita atau tekad.
Sebagai PU, Mahfud juga membenarkan telah merombak struktur keredaksian untuk menghindari apa yang dilarang oleh Menpen dan hasil lobi dengan Rektor. Selain itu, kebijakan dan orientasi keredaksian majalah juga turut diubah. Konten Himmah hanya ditekankan pada nilai-nilai keislaman saja.
Hal tersebut dapat dilihat dari laporan utama lima edisi yang diterbitkan Himmah. Dari “Membumikan Alquran” sampai “Menuju Kampus Islami”. Tidak lagi membicarakan hal-hal yang berbau politik sebagaimana Muhibbah.
“Maka dari itu di bidang keredaksian dirombak. Di bidang kelembagaan kan tidak. Mungkin saya baru tahu sekarang. Ada beberapa orang yang menganggap itu serius. Tapi bagi saya tidak,” kata Mahfud. ***
Orientasi Keredaksian Muhibbah
“Kami mengevaluasi Muhibbah sebelumnya. Ini jurnalistik standar saja, hanya isu kampus dan tidak mendalam,” ucap AE yang kami temui di JCO Malioboro Mall. Ia duduk di kursi bagian luar dekat dengan pintu masuk lobi timur mall.
Malam itu di hari kedua di tahun ini. Suara kendaraan sepanjang Jalan Malioboro serta orang-orang yang masuk dan keluar mall terdengar ramai. AE memakai kemeja abu-abu bergaris kecil hitam dengan lengan yang tergulung sampai siku.
Evaluasi produk menghasilkan bahwa isu yang diangkat dalam majalah Muhibbah selanjutnya akan tematik pada setiap edisinya.
Tema besar dalam kebijakan dan orientasi keredaksian ditentukan pada rapat kerja awal kepengurusan. Tema tersebut ialah keislaman, politik nasional, dan kemahasiswaan atau perguruan tinggi. Sedangkan kasus yang diangkat ditentukan di setiap rapat redaksi pada setiap seminggu sekali.
Sebagai pemred, pengaruh AE cukup besar dalam menentukan kebijakan dan orientasi redaksi Muhibbah. ”Saat itu ada upaya depolitisasi pemerintah terhadap mahasiswa,” jelas AE. Pemerintah mulai memberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus atau lebih dikenal NKK/BKK.
Selain isu nasional, Muhibbah juga tak jarang mengkritik kampus. “Tahuntahun itu baru dimulai wacana pembangunan kampus terpadu, kita ikut memantau,” lanjut AE yang sekarang bekerja sebagai co-founder Public Virtue Institute.
Pengaruh pemred ini juga yang turut mempengaruhi Iman sebagai staf redaksi sekaligus redaktur Muhibbah dalam proses penggodokan isu. Misalnya dalam rubrik luar negeri harus menyoroti negara-negara adidaya dengan sajian yang sangat sinis.
Iman juga menjelaskan pada rapat redaksilah segalanya diperhitungkan. Dari pemilihan kasus, pemilihan narasumber, sampai kemungkinan mendapat teguran bahkan sampai pemberedelan.
Menurut Iman, Muhibbah mencoba mengungkap hal-hal yang tidak mungkin diungkap oleh pers umum. Misalnya soal ketimpangan pendapatan, ketidakadilan sosial, kebebasan berpendapat, apalagi soal partai. “Itu kita ungkap dengan sangat keras. Itu yang menyebabkan diberedel,” tegas Iman.
Hal ini bisa dillihat dari beberapa laporan utama yang disajikan Muhibbah. “Menggugat Parpol Islam” menghadirkan narasumber yang berasal dari anggota petisi 50 yang kontra dengan Soeharto saat itu.
“Rezim Militer Kita” mengkritik dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sedang berada di puncak kekuasaan. “Posisi Kita Dimana” juga membahas doktrin bebas aktif politik luar negeri.
Namun, dari sembilan edisi yang diterbitkan pada periode kepengurusannya hanya terarsip lima edisi terakhir.
Kami menemui AE kedua kalinya di depan Stasiun Pondok Cina, Depok untuk meminta beberapa arsip yang hilang. Namun, bundel arsip yang dibawanya merupakan majalah yang sama dengan yang sudah ada di Himmah saat ini.
Akhirnya ia memberikan kontak Irwansyah Nasution, temannya yang juga pengurus Muhibbah. Kami menghubungi Irwansyah via WhatsApp dan memang ia masih menyimpan arsip majalah tersebut. Kendalanya, ia tinggal di Medan, dan sampai saat ini kami masih belum bisa mengambilnya.
Idris Shaleh, pelanggan dan pembaca Muhibbah dari Situbondo dalam suara pembaca Muhibbah nomor 8 Th. XVI/1982 menulis:
“Kami sangat salut kepada Bapak Redaktur penampilan yang dimuat sangat licin dan halus. Namun di sini kami pesankan kepada Bapak Redaktur kalau

Dok. HIMMAH
masalah kejadian yang memang ada, jangan takut untuk memuatnya, agar rakyat yang ada di sisi ini mengetahui hal tersebut. Jangan takut kepada penguasa, takutlah kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena bila takut kepadanya, semua yang ada di alam ini ikut takut semua.”
Konten kritis itu pula yang membuat Muhibbah sering mendapat teguran dari Menpen, rektorat, Komando Daerah Militer (Kodam), dan Komando Resort Militer (Korem), baik melalui lisan maupun surat. Bahkan terdapat penulis-penulis yang sudah dicatat sebagai pembangkang.
Beberapa teguran terekam dalam Muhibbah. “Muhibbah Dijewer Lagi”, LPM UII mendapat surat teguran dari Kantor Wilayah Departemen Penerangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam majalah nomor 10 Th. XVI/1982. Tertulis pula pengurus yang sedang melakukan studi banding ke Jawa Timur terus diikuti intel pada majalah nomor 12 Th. XVI/1982 “Catatan Pengembaraan Jurnalistik: Tujuh Hari Dikuntit Intel”.
“Saya termasuk pengurus yang diblacklist oleh rektor. Waktu saya ketemu pak Ace saya dimarahin,” kata AE. Ace Partadiredja merupakan Rektor UII saat itu. “Gara-gara kamu ini majalah diberedel,” kenang AE mengingat apa yang dikatakan Ace padanya.
Saat kepengurusan Muhibbah di periodenya berjalan sempat terjadi pergantian Rektor UII dari GBPH Prabuningrat ke Ace Partadiredja. Prabuningrat tutup usia pada Selasa, 31 Agustus 1982 di umurnya yang ke 72 tahun. Jabatan rektor kemudian diganti oleh Ace.
Suasana duka ini terekam dalam majalah Muhibbah nomor 10 Th. XVI/1982. Muhibbah yang semula sudah siap cetak terpaksa ditangguhkan untuk bergabung dalam suasana duka. Padahal satu bulan sebelumnya pengu-
rus LPM UII sempat melakukan audiensi dengan Rektorat. Pada kesempatan itu juga Prabuningrat berpesan kepada Muhibbah:
“Saya bangga bahwa Muhibbah kini banyak digemari mayarakat, Muhibbah silahkan melontarkan kritik kepada si-apapun, jangan takut, asal obyektif dan tidak terlalu kasar. Kami juga siap untuk dikritik oleh Muhibbah, sebab kami juga manusia biasa yang tak luput dari kekurangan-kekurangan,” halaman 10, Muhibbah nomor 11 Th. XVI/1982.
AE membandingkan kepemimpinan Ace yang berbeda dengan Prabuningrat. Menurut AE, Prabuningrat adalah sosok rektor yang sangat mengayomi dan melindungi mahasiswanya.
“Zaman pak Ace itu, kan dia penakut. Dia ditelpon aja marah-marahnya ke kami. Pak Prabu itu sangat memback up mahasiswanya. Contohnya, setiap sidang Maqdir dia datang ke pengadilan,” kata AE. Maqdir Ismail merupakan salah satu akivis UII yang ditangkap oleh pemerintah karena ikut menghadiri perkumpulan Dewan Mahasiswa di Bandung.
Selain AE, Iman juga termasuk pengurus yang di-blacklist dan pernah mendapat ancaman. “Saya beberapa kali diancam mau dipecat oleh dekan dan rektor,” kata Iman. “Saya pernah mengungkap jual beli kursi untuk masuk FH.”
Iman menuturkan bahwa terakhir kali mendapat ancaman, ia dibela oleh Artijo Alkostar, dosen di FH UII kala itu. “Artijo bilang: dia dipecat, saya berhenti,” kenang Iman.
Sebelumnya Iman sudah memperhitungkan peringatan, kalau majalah yang terakhir keluar akan diberedel. Menurutnya, itu sudah wajar dalam pers mahasiswa. “Yang akan dilakukan adalah bagaimana terbit lagi dan bukan dengan cara berkompromi dengan rektor. Kalau dibredel lagi, ya sudah kita terbit lagi. Selama ini begitu pers mahasiswa itu,” kata Iman.
Pascapemberedelan dan terbitnya Himmah, AE dan Iman direposisi dari bidang redaksi ke bidang studi Himmah sebagaimana tertera dalam boks redaksi Himmah. Iman menyangkal aktif di Himmah karena pada saat yang bersamaan juga menjabat sebagai PU Keadilan. Begitu pula AE.
“Saya tidak aktif setelah (pemberedelan-red) itu. Saya keluar kampus,” ucap AE. Setelah Muhibbah dibredel, AE lebih aktif berkegiatan di luar kampus dan menyangkal aktif lagi di LPM UII.
Kami melanjukan pertanyaan pada Iman tentang pemberedelan sampai terbitnya Himmah, juga latar belakang tulisan yang ia beri judul “Muhibbah Menolak Jalan Melingkar” pada buku Api Putih di Kampus Hijau.
“Orang kan enggak tahu saya menulis dalam keadaan apa, saya harus menghitung itu juga,” kata Iman. “Makanya saya tulis seperti itu, dan menurut saya, cukup dingin ya saya menulisnya, walaupun substansinya persis seperti yang saya omongin ini.”
“Anda bacalah itu. Judulnya saja sudah jelas. Teknis tulisan itu straight to the point,” tegas Iman.
Iman juga mengomentari perubahan struktur yang tidak diketahui oleh beberapa pengurus yang lain.
“Jadi salah satu syaratnya itu, saudara AE Priyono harus didepak. Saya juga begitu. Siapa satu lagi ya, lupa saya. Kayaknya ada lagi deh,” kata Iman. “Lihat saja di boks redaksinya. Bahkan kita sebagai anggota Lembaga Pers Mahasiswa, itu enggak tahu Muhibbah jadi Himmah.”
Iman mengatakan sampai saat ini ia masih bersahabat dengan teman-teman pengurus Muhibbah, termasuk Mahfud. Ia pernah saling bertemu di Universitas Gadjah Mada. Kala itu sedang dihelat pernikahan putra kawannya sesama alumni UII. Mereka juga masih saling berhubungan melalui media elektronik. Namun, tentang Muhibbah Iman tetap bersikukuh: Himmah adalah hasil pengkhianatan.
“Jadi bagi saya Himmah itu monumen penghianatan dari aktivis pers mahasiswa. Yang kalian lestarikan itu ya hasil penghianatan,” ucap Iman sambil tertawa kecil namun yakin. Kami sedikit terperanjat mendengarnya.
Sikap Iman terkait majalah pers mahasiswa UII tergambar dalam paragraf terakhir tulisan di buku yang terbit pada tahun 2013 itu.
“Jika benar pemberedelan Muhibbah ketika itu hanyalah disebabkan kebrutalan rezim Soeharto, maka akal sehat kita akan mengatakan...setelah rezim Soeharto itu runtuh, tentu Muhibbah akan segera terbit kembali,” halaman 221.
Tulisan Iman sebenarnya menjadi salah satu alasan diangkatnya laporan ini. Sekaligus mengambil perspektif lain peristiwa sejarah yang sebelumnya diangkat dalam majalah Himmah edisi 20 tahun. Kami ingin merekam bagian penting peristiwa dari yang pernah terjadi pada masa Muhibbah-Himmah yang sekarang sudah berumur setengah abad di tahun ini.q
Reportase bersama: Sirojul Khafid, Novita Dwi K., Dian Indriyani, Wean Guspa U.
HIMMAH DI PENGHUJUNG ORDE BARU
Di era 90-an Himmah kembali mengangkat persoalan struktural dan berperan dalam pembentukan PPMI.
Oleh : Novita Dwi K.
“Karena terbunuhnya Slamet Saroyo di tahun 1989, situasi kampus saat itu jadi belum seratus persen stabil,” tutur M. Sholeh UG. Obrolan kami dibuka dengan ingatan Sholeh terkait dinamika kampus Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1990-an.
Slamet Saroyo merupakan salah satu mahasiswa yang berani membentuk tim guna mengungkap dugaan korupsi proyek Kampus Antara, yang lebih dikenal sebagai kampus Fakultas Ekonomi UII saat ini. Ia terbunuh akibat perkelahian dengan orang tak dikenal. Mahasiswa pemberani ini mati tertusuk pedang.
Dinamika kampus yang ramai kritik lembaga kemahasiswaan membuat aparat militer ikut andil meredam kisruh di UII. Perlu diketahui, beberapa keterangan mengatakan birokrasi kampus memang mengajak pihak militer guna menyadarkan mahasiswa. Hal ini diperparah dengan keadaan politik nasional yang era itu berada di bawah kekuasaan orde baru (orba). Mereka kerap mengundang militer untuk membungkam gerakan internal kampus yang tidak ada hubungannya dengan politik orba.
Rezim orba sudah masuk ke saraf nadi. Semua wilayah di Indonesia dikuasai pemerintahan Soeharto. Bukan hanya pejabat publik saja, bahkan rektor dan dekan harus tunduk pada orba. Terlebih apabila mahasiswa turun aksi, intel-intel sudah siap menjaga kampus.
Di masa orba, perlu adanya izin rektor dan tembusan ke pemerintah jika hendak melaksanakan kegiatan. Hal ini mengakibatkan timbulnya konflik antara mahasiswa dengan pihak rektor. Rezim ini pun banyak memberi tekanan pada pergerakan mahasiswa. Tak terkecuali pers mahasiswa (persma).
Buktinya, Menteri Penerangan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Penerangan (SK Menpen) No. 146/ Kep/Menpen/1975 di mana pemerintah tidak mengakui segala bentuk perkumpulan yang mengatasnamakan pers, yang ada hanyalah penerbitan. Hal ini membuat persma menjadi tidak bebas. Aktivitasnya pun dipantau bahkan beberapa dibredel.
Adanya SK tersebut, juga berdampak pada nama organisasi perkumpulan persma kala itu. Awalnya organisasi ini masih gamang mengangkat nama PPMI dengan singkatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia sebagai sebutannya. Akhirnya organisasi ini menamakan dirinya sebagai Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia.
Namun seiring berjalannya waktu, pada Kongres PPMI ke-II di Jember, istilah “penerbitan” berubah menjadi “pers”. Singkatan PPMI pun berubah menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
Dikutip dari buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia,

Dok. HIMMAH
sebutan penerbitan dianggap lebih lunak sebab orba tidak ingin nyala pena persma terlihat di kampusnya. Nampaknya rezim trauma dengan persma karena memang kala itu, label persma dianggap sebagai ancaman.
“Ketika pers mainstream hanya memberitakan yang baik, penggusuran dan penindasan tidak ada yang memberitakan. Nah, pers mahasiswa saja yang berani. Kami kira itu cermin atau puncak representasi karya pers mahasiswa terbaik,” papar Sholeh.
Sebelum lahir Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), wadah dialektika dan advokasi masalah persma ini bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). IPMI dibentuk pada 16-19 Juli 1958. Akan tetapi, lama kelamaan keberadaan dan gelagat IPMI mulai tidak terlihat, di mana seharusnya kala itu aktivis persma dari berbagai kampus memiliki wadah berkumpul dan berdiskusi bersama terkait isu nasional yang ada.
“PPMI ada setelah IPMI dibubarkan oleh pemerintah di masa orde baru, lalu pecah dan vakum,” kata Sholeh.
Sholeh merupakan aktivis mahasiswa di tahun 1990-an. Ia juga ikut andil dalam menghidupkan PPMI di masa itu. Di saat bersamaan, Sholeh juga menjadi Pemimpin Umum (PU) Lembaga Pers Mahasiswa Himmah UII periode 1991/1992 dan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Yorgyakarta (PPMY) 1990/1991.
Sembari mengangkat sebelah kaki dan mengepulkan asap rokoknya, Sholeh memaparkan pandangannya terkait perbedaan IPMI dan PPMI. Menurut Sholeh, di PPMI tidak terlihat apa yang dilakukan. Berbeda dengan IPMI yang berjuang menghidupkan persma.
Sholeh mengatakan bahwa ia tidak terlalu mengikuti perkembangan PPMI. Salah satu perkembangan PPMI yang paling diingatnya ialah diterbitkannya ‘buku putih’.
Adapun iklim demokrasi mahasiswa antara UII dengan universitas lain cukup baik saat itu. Menurut Sholeh, Himmah saat itu menjadi salah satu barometer pers nasional. Hal itu dikarenakan hanya UII yang memiliki kebebasan pers sedemikian baik. Kala itu, perguruan tinggi tertua di Indonesia ini relatif bebas. Bahkan di UII, entah disetujui atau tidak kegiatan mahasiswa tetap berjalan.
Melihat kondisi tersebut, Himmah kemudian memainkan dua perannya,

yakni sebagai penerbitan kampus dan sebagai gerakan mahasiswa. Di bawah periode Sholeh, Himmah tetap konsisten menerbitkan produk. Kemudian sebagai gerakan mahasiswa Himmah ikut melahirkan Perhimpunan Pers Mahasiswa, di mana Himmah turut andil dalam beberapa pertemuannya.
Sholeh tak sungkan berbagi cerita bagaimana geliat PPMI kala itu. “Ada pertemuan di Bandung, tapi diusir. Lalu pindah ke kebun binatang.”
“Itu ada kok beritanya di majalah Himmah,” lanjutnya.
Melihat majalah Himmah edisi JuliAgustus 1991, terdapat sebuah tulisan berjudul “Jalan Panjang Menuju Wadah Tunggal Pers Mahasiswa Indonesia”. Diceritakan di berita tersebut bahwa mendekati waktu sarasehan di Bandung, Direktur Kemahasiswaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat No. 547/ D5.5/U/1991. Surat itu berisi terkait tidak diberikannya rekomendasi atas pelaksanaan “Sarasehan Penerbitan Mahasiswa se-Indonesia.”
Adanya surat tersebut tentu membuat panitia panik. Pelaksanaan sudah dekat malah terhambat. Akhirnya, panitia mengirimkan telegram pembatalan kepada peserta yang telah mendaftar. Namun agaknya cukup sulit menyebar pembatalan kepada seluruh peserta.
Beberapa peserta dari Kalimantan, Sumatra, Jawa tengah dan Bali sudah menginjakkan kaki di kota “Lautan Api” tersebut. Satu hal yang menarik kala itu. Meskipun dilarang, peserta yang sudah hadir berkeyakinan untuk tetap melaksanakan sarasehan.
Dukungan pun datang dari pihak Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung. Pihak kampus tidak merasa keberatan dengana adanya acara tersebut. Akhirnya terbitlah surat izin No. 15/56/PT,25**3/0/91 yang dibubuhi tanda tangan Pembantu Rektor (PR) III. Ia mendukung untuk melanjutkan acara sarasehan dengan catatan ada pembatasan waktu.
Munculnya pembatasan waktu membuat peserta berfikir untuk pindah saja di luar kampus. Hal ini disebabkan terdapat pembahasan yang kiranya akan memperpanjang waktu. Perdebatan yang cukup alot membuat para peserta kemudian sepakat untuk melanjutkan forum di Kebun Binatang Bandung. Hasilnya, akan diadakan prakongres di Lampung dan kongresnya diadakan di Palu. Namun kedua rencana tersebut gagal.
Ruang gerak yang sempit dan penuh tekanan dari orba, tak menghentikan langkah PPMI untuk berkumpul. Baru pada akhir periode Sholeh menjabat sebagai PU Himmah, PPMI berhasil melaksanakan Kongres I PPMI di Kaliurang.
Hal ini diceritakan dalam buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, bahwa Himmah turut serta dalam pelaksanaan kongres pertama PPMI di Kaliurang. Penulis menceritakan alasan Himmah menjadi tuan rumah sebab ada beberapa kampus yang merasa memiliki nama besar enggan datang apabila kongres diadakan di kampus yang dianggap lawannya.
Kampus yang dimaksud di antaranya Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia. Mereka enggan datang jika yang menyelenggarakan kongres adalah Universitas Gajah Mada. Oleh karena itu, dipilihlah UII untuk menghindari kekosongan delegasi dari kampus-kampus tersebut.
Sholeh menambahkan bahwa sebenarnya Himmah yang memfasilitasi kongres tersebut. Hal ini karena pihak kampus mendukung dan tidak ada yang melarang.
Menurutnya, perkumpulan ini berhasil dilaksanakan pada tahun 1992/1993 di Kaliurang. Tersembunyi di balik acara Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Jurnalistik Mahasiswa seIndonesia yang diselenggarakan oleh Himmah. Tercantum di buku tersebut kongres dihadiri oleh 56 pers mahasiswa dari 33 perguruan tinggi.
Namun Sholeh beranggapan bahwa di buku putih tersebut tidak ditulis demikian. “Fakta ini sering dikaburkan ya, terutama di buku putih PPMI (buku Menapak Jejak Pers Mahasiswa Indonesia-red). Itu isinya bohong semua,” kata Sholeh menyayangkan tulisan di buku tersebut.
Sholeh pun menjelaskan bahwa penulis buku tersebut juga menyadari itu salah. “Entah mengapa mereka seperti ingin mengaburkan PPMI itu dibentuk di UII,” tandasnya.
Senada dengan Sholeh, Hilal AB pun mengungkapkan bahwa dahulu persma dianggap sebagai ancaman. Alasannya pun sama. Di masa itu yang berani mengkritik hanya persma. Akan tetapi di tahun 1990-an persma sempat dilarang dan tidak ada istilah pers mahasiswa. Persma dianggap kritis sehingga yang ada hanya istilah penerbitan.
Hilal adalah PU Himmah periode 1993/1994, setelah Sholeh lengser. Saat itu, Hilal ikut bersama Sholeh dalam sosialisasi Kongres PPMI ke beberapa persma di Indonesia, tak hanya Yogyakarta.
Ia pun menceritakan detail pelaksanaan kongres PPMI kala itu. Ingatannya agak kabur, “Sudah lama sekali soalnya, tapi yang saya ingat betul di dalamnya ada diklat,” terang pria
yang kini tengah mengurusi sebuah percetakan yang didirikannya di daerah Taman Siswa. Hilal menuturkan, “Tetap ada diklat, terus kalau keadaan aman, langsung dilanjutkan dengan kongres.”
Di kantor percetakan miliknya, Hilal masih memungut ingatan demi ingatannya. Hilal juga bersuara tentang pemilihan ketua PPMI, “Pada pemilihan ketua PPMI kita memang kalah, waktu itu harapannya memang dari Himmah tapi kalah.”
Hilal beranggapan bahwa Himmah yang menginisasi PPMI, berarti Himmah yang melaksanakannya. “Persma lain enggak memungkinkan dari segi birokrasi. UII waktu itu otonom sekali,” tuturnya.
Pada waktu dan tempat yang berbeda. Di rumah joglo sederhana, di ujung gang perkampungan, kami menemui Moh. Fathoni. Ia adalah penulis buku Menapak Jejak Pers Mahasiswa Indonesia. Penampilan sederhana dan penuh kehangatan menyambut kami.
Awal mulanya, Fathoni bercerita proses pembuatan buku tersebut. Dia bercerita, pembuatannya sudah dari beberapa periode. Sejak periode 1997-1998 sudah ada ide untuk membuat catatan-catatan tentang PPMI. Hanya saja kondisi PPMI saat itu belum memungkinkan. Kemudian tahun 2004-2006 program itu muncul kembali. Tapi, karena ada masalah akhirnya buku itu tidak terselesaikan.
“Jadi ini sebenarnya hanya melanjutkan program kerja sebelumnya. Ini kok menarik tapi enggak terealisasi,” tutur Fathoni. Ia adalah koordinator penelitian dan pengembangan (litbang) nasional PPMI periode 2008-2010.
Sebagai pengurus litbang, Fathoni membaca kondisi organisasi PPMI. Persoalan di organisasi PPMI ialah di setiap kepengurusan tidak ada hal yang dapat menyambungkan antar generasi. Hal ini membuat tiap awal periode memulai organisasi PPMI selalu dari nol.
“Ini kan persoalan besar. Mau ngapain organisasi kayak gitu terus. Bangun, habis, bangun lagi, habis lagi, begitu seterusnya,” ucap Fathoni sambil tertawa kecil. Fathoni juga berharap bahwa buku tersebut bisa menyambung antar periode. “Ini kan tentang sejarah,” lanjutnya.
Terkait penulisan buku ini, Fathoni mengakui bahwa penyusunan buku ini mengalami keterbatasan. Buku ini disusun tanpa data awal untuk memulai. Data primer yang menyusun buku ini ialah wawancara narasumber dan produk terbitan persma termasuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) persma yang membahas PPMI.
Sambil menyeruput kopinya, Fathoni memaparkan dari awal generasi tahun 1989-1990 banyak orang yang terlibat dalam PPMI. Hal ini bermakna banyak orang yang perlu dimintai klarifikasi. Akan tetapi, hanya orangorang tertentu yang bisa diperoleh aksesnya sebagai narasumber buku ini. Munculnya daftar nama narasumber tersebut diperoleh dari LPJ PPMI. Mereka adalah orang-orang yang terlibat di dalamnya, terutama di struktur kepengurusan.
“Jadi, kami kira sebenarnya buku itu perlu pembaharuan dan perlu diteruskan oleh pengurus berikutnya,” simpul Fathoni. Dia menambahkan bahwa dia dan timnya tidak melanjutkan mengedit bahkan menambah data lain setelah kepengurusan PPMI-nya usai. ***
Keredaksian
Menjelang tahun 1990, dunia kampus dan akademik dipengaruhi oleh isu pemikiran atau wacana Islamisasi ilmuilmu sosial. Oleh sebab itu, orientasi

Dok. HIMMAH
keredaksian Himmah berfokus pada nilai-nilai Islam.
Sore itu, kami disambut resepsionis di Kantor Publica. Naik menuju lantai dua, di situlah kami bertemu Ifdhal Kasim. Ifdhal, begitu ia biasa disebut, menceritakan dinamika Himmah di masanya. Ifdhal merupakan Pemimpin Redaksi Himmah periode 1990/1991.
Ifdhal tidak menampik adanya pemberitaan tentang politik di masanya. Berdasarkan ceritanya, Himmah saat itu tetap meliput pemberitaan tentang politik nasional. Namun mencari dari segi Islaminya. “Ada subjektivitas Islam di dalamnya,” tegas Ifdhal.
Ifdhal Kasim menambahkan, “Himmah itu majalah Islam, tetapi tidak dibungkus dengan bentuk yang formalistik seperti majalah khotbah yang disebar saat Jumatan. Tetapi lebih ke bagaimana Islam sebagai nilai yang kita wujudkan dalam berita, bukan majalah dakwah.”
Begitu pula kampus UII yang terlihat warna Islamnya. Era itu, politik mahasiswa UII didominasi oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), lembaga eksternal kampus yang mempengaruhi kekuatan internal UII.
Zaman itu kampus sedang bergejolak, banyak protes kepada pemerintah. Organisasi mainstream mahasiswa seperti HMI berada di bawah kekuasaan pemerintah. Kondisi seperti itulah yang menimbulkan organisasi mahasiswa membentuk kelompok-kelompok studi. Berbeda dengan sekarang yang tidak lagi dikoordinasi oleh kekuatan politik negara. Keprihatinan yang dahulu dituangkan dalam kelompok studi sekarang berubah ke kekuatan di jalanjalan sehingga banyak demonstrasi terjadi.
Berbicara kelompok studi, Ifdhal memberi contoh satu kelompok yakni kelompok Rode. Lelaki berkacamata itu memiliki pandangan bahwa Rode merupakan kelompok studi yang biasanya berkumpul di luar kampus, tepatnya di sebuah kos di Gang Rode.
Tempat itu menjadi basis di mana para mahasiswa dari berbagai universitas bertemu. Agenda sebulan sekali mengadakan diskusi serta berbagi informasi. Di dalam pembahasannya banyak diajarkan kebebasan berpikir dan tidak melulu berbicara tentang Islam. Melalui cara berfikir struktural seperti ini orang menyangka Rode diajarkan sebagai orang-orang kiri.
Ifdhal pun memaparkan pendapatnya terkait istilah kiri. Dia mengatakan bahwa istilah kiri berasal dari Inggris. Di mana orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah selalu duduk di sebelah kiri, sedangkan yang menyetujui pemerintah duduk di sebelah kanan.
Melalui cerita itu, Ifdhal menyimpulkan, “Jadi, kiri sebenarnya tidak identik dengan Marxist Leninisme ya, tapi lebih ke mengkritik kemapanan. Bisa saja komunis, orang Islam, liberal, dan macam-macam. Tidak identik dengan Marxist, ya.”
Ifdhal sendiri diduga merupakan ikon kelompok Rode di akhir 1980-an. Begitu lah yang dituliskan Widiyanto di buku Api Putih di Kampus Hijau dalam judul “Periode 1990-an, Medium Pertarungan Kiri-Kanan”
Namun, ketika kami berbicara bersama terkait kelompok Rode, Ifdhal berceletuk, “Kami bukan representatif orang Rode, hanya dimintai pendapat saja.”
Selain pengakuan diri, Ifdhal juga mengaku bahwa di dalam Himmah tidak ada kumpulan orang Rode. Hal ini berbeda dengan hasil tulisan Widiyanto yang merupakan Pemimpin Redaksi Himmah 2003-2004. Ia menuliskan bahwa sekitar tahun 1993, di dalam Himmah terdapat dua kubu yang sangat kuat yakni golongan kanan dan

golongan kiri. Di mana golongan kanan diisi oleh HMI, sementara golongan kiri diduduki kelompok Rode.
Widiyanto pun menuliskan bahwa memang terdapat perseteruan di dua kubu tersebut. Hal ini terlihat dari model arah pemberitaannya. Ketika Himmah didominasi oleh golongan kanan maka pemberitaan yang muncul ialah tentang keislaman. Sedangkan keberadaan kelompok Rode seakan menjadi jalur progresif Himmah di tengah kentalnya keislaman. ***
Sholeh, yang termasuk aktivis lembaga ekstra UII memulai kisah kelembagaannya kala itu. Ia sempat menjadi Koordinator Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) UII periode 1990/1991. Lembaga ekstra ini diakui di kampus UII untuk mencetak kaderkader mahasiswa Islam. Di “kampus hijau” ini lah tempat pertama kali HMI terbentuk oleh penggagasnya, Lafran Pane.
Selanjutnya, di tahun 1986, HMI dibagi menjadi dua yakni HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) dan HMI Diponegoro (DIPO).
Adapun perbedaan HMI MPO dan DIPO terletak pada azas mereka. MPO berpegang teguh pada azas Islam sedangkan DIPO berpegang pada azas tunggal Pancasila dalam menjalankan roda organisasinya.
Menurut Sholeh, pada tahun 1966 UII mewajibkan mahasiswa yang tergabung di HMI memiliki kader-kader yang militan. Pria kurus yang dibalut baju berwarna kuning ini memiliki pandangan bahwa mahasiswa yang sudah diasah di dalam HMI, tidak takut senjata dan ancaman-ancaman ketika duduk di lembaga kemahasiswaan sehingga lembaga kemahasiswaan UII selalu solid dan tidak pernah terpecah belah.
Melihat kondisi ini, Sholeh berpendapat bahwa justru dengan tidak adanya sistem self control, membuat kondisi lembaga kemahasiswaan UII lemah. “Sekarang UII enggak pernah satu isu dengan DPM, kan? Kenapa? Karena tidak ada wadah untuk menggodok bareng-bareng. Kalau dulu digodok bareng-bareng di HMI,” tutur Sholeh tegas.
Alumnus Himmah yang juga alumnus HMI ini bercerita dinamika rapat di masanya, bahwa dahulu untuk memiliki satu suara dari forum, melempar meja adalah hal yang biasa terjadi. Tidak hanya itu, anggota rapat pun memegang badik dan celurit.
Namun Sholeh menyayangkan apa yang terjadi di zaman sekarang. Menurutnya, lembaga kemahasiswaan sekarang terlihat adem ayem ketika mengangkat isu Sidang Umum. Tetapi ketika ada permasalahan lain justru antar lembaga pecah. “Jadi, menurut kami secara keseluruhan lembaga kemahasiswaan UII harus saling introkpesi,” kata Sholeh. “Di masa kami termasuk lebih longgar, banyak yang bukan dari HMI. Tapi sekarang kalau dipikir-pikir salah juga jika tidak ada wadah tunggal seperti HMI itu,” keluhnya.
Meloncat pada pascareformasi, Sholeh melihat persma era sekarang mengalami anomali, dalam arti gagap terhadap situasi secara umum. Tanpa basa-basi, Sholeh memaparkan pandangannya terhadap persma saat ini.
Dia mengungkapkan bahwa berita persma saat ini tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa mereka adalah persma. Justru persma bertindak eksklusif, seolah-olah persma adalah makhluk tersendiri yang lepas dari realitas di kampusnya, tidak menjadi bagian gerakan mahassiwa di kampusnya.
Menambahi pernyataannya tadi, dia memberi contoh bahwa di beberapa universitas terjadi konflik antara persma dengan lembaga-lembaga kampus lainnya. Sambil mengerutkan dahi, Sholeh mengatakan bahwa ini adalah hal yang aneh.
Hal ini yang menurut Sholeh membuat persma kehilangan jati diri. Mulai mencari jati diri yang menurutnya kurang sesuai dengan heroik gerakan mahasiswa.
“Hal-hal buruk tentang lembaga lainnya (lembaga kemahasiswaan-red) kalian ekspos,” ujar Sholeh.
“Mungkin kalian masih berfikir bahwa persma sama seperti dulu, ingin mencontoh seperti dulu. Loh situasinya sudah berubah kok. Harus dipikirkan ulang peran persma saat ini apa,” tegur Sholeh.
Di akhir pembahasan terkait persma, Sholeh pun berpesan bahwa di usia Himmah yang sudah menginjak setengah abad, Himmah harus bisa merumuskan kembali apa arti persma dalam realitas sekarang.q
Repotase bersama: Sirojul Khafid, Fahmi Ahmad B., Dian Indriyani, dan Nurcholis Ma’arif
Kami Tak Mau Kompromi!
Majalah sempat karut-marut karena penahanan. Beginilah sepak terjang Himmah untuk melawannya.
Oleh : Dian Indriyani

Anugrah Pambudi Wicaksono, PU Himmah 2007 - 2009 ketika ditemui saat wawancara di ruang Nadim gedung Ilmu Komunikasi, Jum’at(05/05). Menurutnya pemberitaan Himmah bukanlah mencari - cari kesalahan akan tetapi bersifat mengkritisi untuk mengevaluasi isu tersebut.
Radix Sabili D.P | HIMMAH
Pambudi merasa lelah. Ia baru saja pulang dari rapat tahunan organisasi yang diikutinya, yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah Universitas Islam Indonesia (UII). Rapat itu diadakan di sebuah wisma di Kaliurang Yogyakarta, berhari-hari, dan biasanya menginap. Rapat musyawarah anggota (musang) namanya.
Musang merupakan agenda wajib pengurus LPM yang diadakan tiap akhir tahun. Saat musang, tiap pengurus harus memaparkan laporan pertanggungjawabannya dan memilih Pemimpin Umum (PU) untuk kepengurusan periode selanjutnya. Lelaki bernama panjang Anugrah Pambudi Wicaksono inilah yang terpilih menjadi PU Himmah kala itu. Pambudi menggantikan PU sebelumnya yang dijabat oleh Indiah Wahyu Andari untuk masa kepengurusan 2007-2009.
Sesekali Pambudi menghela napas dalam. Setelah musang berakhir, ia bersama pengurus lainnya tak bisa langsung beristirahat, sebab ada beberapa barang bawaan milik Himmah yang harus ditata. Barang-barang tersebut sengaja dipindahkan ke tempat musang kemarin diadakan dan harus dikembalikan lagi ke kantor sekretariat Himmah di Jalan Cik Di Tiro.
Pambudi membuka pintu kantor Himmah untuk meletakkan barang-barang tersebut. Belum sempat memasuki kantor, perhatiannya langsung tertuju pada satu lembar kertas yang tergeletak di bawah pintu. Ketika membacanya, ia seketika terkejut.
Surat tersebut dikirimkan oleh Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII (DPM U). DPM U memprotes pemberitaan Himmah di buletin KOBARKobari yang bertajuk “Lilitan Utang di Balik Student Centre”, dan meminta Himmah untuk menghadap DPM U. Pemberitaan ini ada sebelum Pambudi naik menjadi PU, saat masih digarap di masa kepemimpinan Andari. Tetapi karena sudah berganti kepengurusan, pemanggilan tersebut tentu dialihkan pada periode selanjutnya.
“Baru juga selesai musang, belum ada pengurus baru lah…” gumamnya. ***
Berdasarkan berita utama KOBARKobari edisi 123 //Thn ke-10 //Juli 2007 yang berjudul “Akhirnya, STUDENT CENTRE”, dikemukakan bahwa pembangunan Student Convention Center (SCC) direncanakan sebagai pusat kegiatan dan aktivitas mahasiswa. Bangunan ini terletak di bilangan Jalan Kaliurang km. 22, Pakem, Sleman, persis di kanan jalan sebelah utara loket masuk menuju kawasan wisata Kaliurang.
SCC sengaja berkonsep wisma, diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin menyewa tempat untuk melangsungkan kegiatan mereka dengan harga yang relatif lebih murah. Tak hanya mahasiswa UII, sekarang pun SCC disewakan untuk berbagai acara pernikahan atau kegiatan non-mahasiswa UII. Ini mendatangkan pemasukan tersendiri bagi Keluarga Mahasiswa (KM) UII yang hasilnya akan digunakan untuk pengelolaan gedung.
Menilik bagaimana proses pembangunannya, proyek pembangunan SCC tersebut menelan biaya Rp 3,6 miliar. Sebesar Rp 1,3 miliar didapat dari Badan Wakaf (BW), Rp 1,3 miliar dari rektorat UII, dan Rp 1 miliar ditanggung oleh lembaga kemahasiswaan. Sayangnya, lembaga kemahasiswaan baru mengantongi Rp 400 juta. Sedangkan sisa Rp 600 juta-nya, dipinjamkan oleh pihak rektorat serta BW. Dan untuk melunasinya, DPM U berjanji bahwa KM UII akan membayar cicilan Rp 100 juta per tahunnya.
Akibatnya, dengan alibi melunasi hutang, dana mahasiswa yang semula Rp 30 ribu per tahun dinaikkan menjadi Rp 45 ribu per tahun. Dari kenaikan Rp 15 ribu akan diambil Rp 7 – 8 ribu per mahasiswa untuk melunasi hutang KM. LPM Himmah UII pun menyebar kuesioner. Ditemukan sebanyak 81,7 persen dari 300 mahasiswa tidak setuju apabila dana pembangunan SCC tersebut dibebankan kepada mahasiswa. Ditambah lagi, sebanyak 65,7 persen tidak tahu-menahu tentang pembangunan SCC ini. Berita tentang SCC ini lengkap tertulis dalam KOBARKobari dan berujung pada pemanggilan Himmah oleh DPM U.
Tak hanya permasalahan SCC, sebelumnya pemberitaan KOBARKobari juga pernah mendapatkan tanggapan yang sama dari DPM U.
Penasaran, saya lalu menghubungi Pemimpin Redaksi (Pemred) Himmah periode 2005-2009, Zimam Al-Haq. Sayangnya Zimam sedang berada di Surabaya, jadi hanya melalui surel lah saya mencoba mengorek dalam peristiwa tersebut.
Sebagai pemred, Zimam merasa harus bisa mengambil keputusan memaksimalkan tiap potensi pengurus dengan penempatan formasi yang tepat, mengayomi semua bidang, termasuk melimpahkan perhatiannya pada produk, khususnya buletin KOBARKobari.
KOBARKobari dirancang secara ringkas, padat, efisien dan seaktual mungkin dengan menerapkan pengemasan tulisan berbentuk straight news.
Dok. HIMMAH

Berbeda dengan majalah yang menganut teknik in depth reporting. Orientasinya pun berlainan. Produk majalah Himmah membahas isu nasional yang digarap mayoritas oleh pengurus senior. Sedangkan KOBARKobari didesain sebagai medium latihan penulisan pertama bagi para pengurus untuk meliput peristiwa yang lebih terpusat di internal kampus.
Dari satu pemberitaan buletin inilah konflik dengan DPM U mulai mencuat. “Masalah diawali oleh sentimen kelembagaan di lingkungan KM UII. DPM U saat itu memprotes pemberitaan KOBARKobari terkait transparansi pengelolaan dan distribusi jas almamater,” Zimam mengungkapkan bahwa pemicu awal adalah berita KOBARKobari edisi 121//Thn ke-9//31 Maret 2007 berjudul “Lagi, Jas Almamater,” lengkap dengan komik jurnalistik (kojur) bertema serupa. Berita ini diliput anggota magang Himmah di saat Andari juga masih menjadi PU.
Permasalahan dipicu oleh kojur yang diterbitkan Himmah. Kojur tersebut menggambarkan jas almamater yang terlalu lama diproduksi hingga akhirnya mahasiswa baru malas untuk mengambilnya.
Kojur sendiri merupakan hasil reportase yang dituangkan dalam bentuk komik dan mulai ada di pertengahan tahun 2007. Harapannya, kojur dapat menggiring pembaca agar lebih memahami berita yang sedang diangkat dan bertujuan membangun. Salah satunya adalah berita mengenai jas almamater tersebut.
Berita tersebut ternyata membuat DPM U panas. Ketua DPM U saat itu, Jaan Pamuji, langsung meminta audiensi dengan Himmah. Ada tiga orang yang menghadap. Andari, Rama Patryaksa, dan Bambang Tri Sutrisno. Rama adalah pemred KOBARKobari saat itu. Sedangkan Bambang adalah penulisnya dan masih berstatus anggota magang Himmah.
Hasilnya, Himmah akan memberikan ruang untuk memuat hak jawab DPM U terhadap pemberitaan. Namun sampai jangka waktu yang ditetapkan DPM U tak kunjung memberikan hak jawabnya. Lebih-lebih, DPM U meminta agar distribusi KOBARKobari edisi jas almamater ditarik dan menagih Himmah untuk meminta maaf.
Dalam penjelasannya, alumni program studi Ilmu Hukum UII ini mengamini bahwa perlakuan DPM U terhadap dua pemberitaan KOBARKobari tersebut benar terjadi dan dampaknya berbuntut pada kasus penahanan dana Himmah selama satu periode. Tiap pengurus kemudian iuran untuk membeli kebutuhan operasional Himmah. Alumni pun ikut menyumbang. Akibat penahanan dana itu pula, tak ada majalah yang terbit selama kepengurusan Pambudi. “Rupanya di peralihan periode Andari ke Pambudi, Himmah dibredel halus oleh DPM U dengan penahanan anggaran. Keadaan Himmah yang lagi bokek pada saat itu membuat majalah terancam tidak terbit. Tetapi di tengah situasi sulit, kami berusaha agar dapur redaksi Himmah tetap ngebul,” lanjut pria yang saat ini tengah melakoni pekerjaannya sebagai corporate commercial lawyer di PT. HM Sampoerna International Tbk.
Ingin tahu lebih dalam kasus penahanan dana DPM U tersebut, saya lalu bertemu Pambudi di Ruang Nadim, Gedung Prodi Ilmu Komunikasi UII lantai tiga. Perawakannya tinggi besar, berambut agak keriting, dan memakai baju koko berwarna kuning.
“Jadi ini lanjutannya setelah almamater, ada berita tentang SCC. Covernya ‘Lilitan Utang di Balik Student Centre’,” jelasnya sambil mencoretcoret sebuah kertas. Saya pikir mungkin Pambudi lebih nyaman menceritakan kronologinya ketika divisualisasikan.
Isi berita tersebut saat itu membuat DPM U geram. Sedangkan
Dok. HIMMAH
Pambudi bersikeras mempertahankan berita tersebut. “Jika kamu menjadi pemimpin, secara idealisme, kalau kita salah mengaku lah. Tapi kamu mengerti anggotamu benar, ya kalau kita diinjak, kita harus lawan!” sentaknya.
DPM U seakan menentang dan mengintervensi Himmah. Pambudi bercerita bahwa sebenarnya DPM U lewat pembangunan SCC ini secara heroik ingin memberikan ruang berorganisasi untuk mahasiswa. Tetapi menurut DPM U, Himmah malah tidak mendukung dengan adanya pemberitaan tersebut. Sementara Pambudi merasa berita tersebut valid dan sesuai fakta. Semenjak itu kepengurusan periode Pambudi pun menolak kompromi dengan DPM U.
Sebetulnya, akar permasalahan muncul dari kesalahan prosedur yang diterapkan oleh DPM U hingga akhirnya melatarbelakangi isu pemberitaan SCC ini untuk diliput. Di mana faktanya, dana kelembagaan sebesar 400 juta tersebut merupakan dana yang diperoleh dari dana abadi. Sedangkan dana abadi menurut Peraturan Dasar Keluarga Mahasiswa (PDKM) UII merupakan dana yang diperoleh dari sisa anggaran kerja KM UII pada akhir periodesasi keuangan KM UII yang tidak terdistribusi atau bisa dibilang ‘dana sisa’ periode sebelumnya.
Alih-alih mengajak diskusi, pengalokasian dana abadi untuk membayar pembangunan SCC tidak melalui pembahasan atau keputusan bersama di lingkup KM UII. Termasuk sisa Rp 600 juta. Tanpa membahasnya terlebih dahulu dengan lembaga lainnya di UII, DPM U mengatasnamakan KM UII meminjam uang pada universitas.
“Nah kita kesalnya waktu itu adalah tanpa ngomong dulu ke KM. Ya, itu uang kita dong. Di PDKM juga enggak tertulis buat apa dana abadi itu nantinya bisa dipakai. Rawan banget kan dipakai untuk hal-hal yang tidak jelas. Harusnya dijelaskan dulu penggunaan dananya untuk apa. Mau enggak dihibahkan untuk SCC?” Pambudi sangat menyayangkan sikap DPM U saat itu.
Sebenarnya DPM U sempat mengadakan rapat sosialisasi di bulan Juni 2007. “Ya, tapi tau kan rapat sosialisasi logikanya seperti apa? Tidak bisa mengubah hasil sosialisasi, DPM U cuma mengemukakan saja, dan yang mendengar tidak bisa memberikan pendapat. Itu tidak demokratis,” lanjutnya.
Atas dasar tersebut, pemberitaan terkait SCC diliput, hingga kemudian terjadi sentimen antara DPM U dengan Himmah dan berujung pada penahanan dana. Penahanan dana berlangsung satu periode Pambudi, sejak bulan Agustus 2007 hingga akhir periode di tahun 2009. Padahal jika dana tersebut sudah didistribusikan ke lembaga-lembaga di bawahnya, terkhusus Himmah, majalah Himmah edisi No. 1/Th XL/2007 dengan Laporan Utama “Menguak Cacat Amdal” dapat didistribusikan karena sudah naik cetak.
Majalah edisi Amdal adalah garapan pengurus Himmah periode 2005-2007. Seharusnya majalah tersebut dapat terbit tepat waktu sebelum musang pergantian pengurus diadakan. Celakanya, kasus penahanan dana menyeruak.
DPM U sebagai lembaga legislatif di UII menyetop sementara kucuran dana mahasiswa terhadap Himmah sejak. Imbasnya, majalah Himmah periode 2005 – 2007 tertahan di percetakan dan tidak dapat diambil sebelum pembayaran dilunasi. Kasus ini meluas dan dianggap secara tidak langsung sebagai pembungkaman.
DPM U periode 2006-2007 dengan logika student government dirasa Pambudi sangat berusaha untuk mencari pengaruh dengan cara yang tidak ideologis dan merasa memiliki kewenangan lebih terhadap Himmah. Padahal menurut Pambudi tidak ada garis instruksi antara DPM U dan Himmah, hanya konsultatif.
Ini terlihat saat Himmah menagih kucuran dana mahasiswa yang harus disetor DPM U per triwulan. Mereka menolak dan berkilah dengan alasan teknis dan protokoler. Seperti metode pelaporan yang salah, tata cara penulisan yang keliru, dan kemudian harus direvisi. Aturan pengetikan surat haruslah mengikuti pedoman mereka. Laporan akhirnya direvisi, tapi dana tetap tak turun. Masalahnya, Himmah membutuhkan dana tersebut untuk operasional sehari-hari dan pembayaran sisa uang percetakan yang harus dilunasi di periode sebelumnya.
“Dari situ kita merasa ada yang salah. Laporannya berkali-kali kita perbaiki, tapi enggak diterima juga. Padahal Komisi III-nya bilang saat itu, laporan Himmah ini sebenarnya paling bersih, dan paling cepat dari seluruh KM. Kan enggak sah nahan duit kayak gitu,” terang Pambudi. Ternyata puncaknya, DPM U memakai alasan lain dengan pertimbangan dana tidak bisa diserahkan karena majalah Himmah tak kunjung terbit.
Muncul kabar, DPM U sengaja seperti ini untuk melatih Himmah agar tidak manja, untuk menguji Himmah apakah masih bisa menerbitkan produknya. Padahal Himmah masih produktif dengan adanya KOBARKobari.
“Ya, gimana mau terbit kalau uang percetakan masih di dia (DPM U-red). Majalah udah dicetak tinggal diambil tapi kan uangnya di mereka. Dia lupa enggak diturunkannya uang itu berarti semuanya enggak jalan. Duit honor mas Yanto (kepala kantor Himmah), tinta, kertas, penerbitan. Zalim kan,” Pambudi terlihat menggebu-gebu mengisahkannya.
Berbagai cara pun dikerahkan untuk menekan DPM U. Tiga undangan audiensi dan diskusi dikirimkan pada DPM U. Audiensi pertama dilaksanakan di Kampus UII di daerah Demangan pada tanggal 27 Agustus 2007. Namun audiensi dianggap gagal karena hanya ada satu orang perwakilan DPM U yang datang.
Langkah kedua, Himmah mengadakan diskusi publik bertemakan “Kebebasan Pers Mahasiswa versus Birokratisme Lembaga Mahasiswa”. Diskusi tersebut diadakan dua hari setelah audiensi pertama gagal dengan mengundang Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), DPM U se-kota Yogyakarta, Badan Eksekutif Mahasiswa se-kota Yogyakarta, media umum, serta internal dan alumni UII. Nahas, perwakilan DPM UII malah tak datang.
Langkah selanjutnya, Himmah melayangkan somasi terhadap DPM U agar segera mengeluarkan dana paling lambat pada 22 November 2007. Apabila dalam tenggat waktu tersebut DPM U belum menyerahkan dana kepada Himmah, maka kasus tersebut akan diajukan kepada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PPMI yang akan menyikapi secara nasional dan atau melalui jalur hukum yang berlaku.
DPM U masih acuh hingga pengaduan dikirimkan Himmah kepada PPMI Dewan Kota Yogyakarta dan AJI. Menurut Himmah, PPMI, dan AJI, masalah ini adalah upaya pembredelan secara halus. Ada tanda pemberangusan kebebasan pers di dalamnya. PPMI dan AJI lalu mendesak DPM U dengan tawaran memenuhi pertemuan ketiga kalinya atau jalur media dan hukum jadi pungkasan.
Akhirnya diadakanlah pertemuan ketiga dengan rektorat tertanggal 3 Desember 2007. Ada tiga poin kesepakatan tertulis yang disetujui antara Himmah dan DPM U dengan mediasi pihak rektorat.
Pertama, tanggung jawab dari kepengurusan Pambudi harus menerbitkan dan mendistribusikan majalah periode Andari. Kedua, pelunasan biaya penerbitan (keluar percetakan) ditanggung oleh Himmah (misal, melalui peminjaman). Ketiga, setelah majalah Himmah periode Andari didistribusikan, maka DPM U wajib menurunkan anggaran untuk periode Pambudi. Kesepakatan ditandatangani oleh Pambudi dan Ketua DPM U, Jaan Pamuji serta disaksikan oleh pihak rektorat.
Bidang Perusahaan akhirnya menjadi lebih giat lagi menawarkan iklan. Kamera, scanner, komputer, televisi dijadikan jaminan untuk berhutang ke mana-mana. Termasuk meminjam dana Rp 11 juta pada beberapa LPM fakultas dengan mengandalkan surat formalitas menggadaikan barangbarang Himmah. Akhirnya, setelah beberapa upaya dilakukan, biaya percetakan majalah “Menguak Cacat Amdal” dapat dilunasi dan keluar dari percetakan.
Belakangan Pambudi baru mengetahui intrik DPM U yang mengusung rencana dengan percetakan. DPM U ternyata sudah membayar lunas majalah Himmah sebesar Rp 7 juta. Pelunasan tersebut menggunakan dana Himmah yang ditahan, dan tanpa persetujuan Himmah. Tetapi percetakan harus berbohong dan mengatakan kepada Himmah bahwa pembayaran belum lunas.
“Ini pembelajaran buat Himmah katanya, nanti kalau Himmah sudah bayar, dibalikin ya. DPM U bilang gitu ke percetakannya,” papar Pambudi.
Ketika ingin memverifikasi peristi-
wa ini kepada Jaan selaku Ketua DPM U saat itu, yang bersangkutan tak sempat menjawab dan menyerahkan semua jawaban untuk dapat ditanyakan langsung kepada Pambudi, PU Himmah di masa itu. Begitu pun dengan anggota DPM U yang lain. Sekitar lima orang yang saya hubungi hanya membaca pesan singkat saya via WhatsApp dan selebihnya menolak memberikan penjelasan. Saya akhirnya beralih pada anggota Komisi III DPM U yang bisa dimintai keterangan, yang bertugas khusus menangani dana mahasiswa. ***
Pagi itu, sekitar pukul sembilan, Restiana sudah menunggu saya di sebuah ruangan lantai tiga, Gedung Biro Hukum Setda Daerah Istimewa Yogyakarta. Perempuan bernama lengkap Restiana Puspitarini ini dulunya adalah alumni Ilmu Hukum UII yang juga merupakan anggota Komisi III DPM U bidang Administrasi Keuangan.
“Ya biasalah, intrik-intrik belajar politik itu kan dari mahasiswa. Ada kepentingan yang harus kami tutupi dan terekspos. Mungkin lalu berdampak negatif, tapi itu juga kan untuk pembelajaran mahasiswanya,” terang Restiana saat saya mencoba mengonfirmasi perihal kasus penahanan dana DPM U yang pernah terjadi dengan Himmah.
Restiana harus sudah berangkat ke bandara dalam penerbangan menuju Jakarta. Jadi kami tak bisa berbincang lama. Dalam obrolan singkat itu, Restiana mengaku tidak terlalu tahu banyak sebab perempuan yang kini bekerja di Direktorat Jenderal Kementrian Dalam Negeri ini sudah lulus saat masih menjabat di kepengurusan DPM U.
“Cuman memang benar kalau kita menahan dana teman-teman Himmah. Cerita itu benar,” tanggapnya.
Tetapi Restiana mengelak jika penahanan dana didasarkan dari dua berita yang pernah diangkat Himmah dalam buletin KOBARKobari. “Dari sisi kami, kami enggak akan ngomong kalau kami masih singgung masalah jas almamater dan SCC ya, kita enggak akan singgung itu. Tetapi kami mempertanyakan kerja teman-teman Himmah. Buletin KOBARKobari kan selingan, yang utama majalah Himmah itu, nah itu yang kita tanyakan,” terangnya panjang.
Lalu ketika ditanyai perihal berita almamater, Restiana memaparkan bahwa persoalan tersebut sudah selesai. “Sempat ada rapat dan ada permohonan maaf dari PU-nya waktu itu (Andarired) di edisi setelahnya. Jadi menurut saya itu sudah selesai,” katanya.
Dalam kojur diceritakan bahwa pembuatan almamater terkesan lama. Restiana sendiri beralasan bahwa lamanya produksi almamater bukanlah tanpa sebab. Pada tahun itu, produksi almamater terhambat karena lamanya pengukuran jas alamamater tiap mahasiswa. Jika sebelumnya tiap mahasiswa sudah langsung meminta ukuran jas almamater saat pendaftaran ulang

Dok. HIMMAH

Dok. HIMMAH Dok. HIMMAH

mahasiswa baru, di zaman Restiana pengukuran dilakukan setelah masuk kuliah. DPM U harus membentuk panitia wilayah dulu baru meminta daftar ukuran para mahasiswa baru. Sedangkan terkait berita mengenai SCC, Restiana tak banyak berkomentar.
Restiana agak terkejut ketika tahu bahwa pengurus Himmah harus meminjam dana dan iuran untuk membiayai pengeluaran operasional Himmah. Tapi tidak dengan kabar bahwa DPM memang sengaja melunasi biaya penerbitan majalah Himmah tanpa sepengetahuan Himmah.
“Iya itu ada. Kita bayar ke pihak percetakannya. Itu bentuk tanggung jawab kami untuk membayar percetakan,” jawabnya. Ditanyai alasan dari pembayaran yang dilakukan tanpa sepengetahuan Himmah, Rastiana hanya menjawab sebab Himmah belum memenuhi tanggung jawabnya menerbitkan majalah.
“Katanya biar Himmah belajar?” Saya langsung bertanya balik.
“Iya dong, Kami kan bagaimana pun kepalanya KM. Kami menyoalkan majalah Himmah yang enggak terbitterbit,” tuturnya lugas. ***
“Himmah juga ikut membangun Forum Komunikasi Pers Mahasiswa seUII pada 13 Desember 2008. Wadah ini adalah formalisasi dari sekian pertemuan yang telah digalakkan pers mahasiswa UII sejak pers mahasiswa di UII berdiri. Memang masifikasi gerakannya baru terlihat pada periode ini (2009) Itu juga terbangun dengan kondisi sosial politik kampus yang kondusif saat itu.” – tulis Pambudi dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Pemimpin Umum LPM Himmah UII Periode 2007-2009.
Setalah konflik penahanan dana yang berkepanjangan terjadi, muncul satu dampak positif di baliknya. Konflik Himmah dengan DPM U mela- tar belakangi terbentuknya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) UII pada tanggal 13 Desember 2008.
Ada tujuh LPM UII tingkat fakultas (LPM F) yang ikut saat pembentukan FKPM. PU dan perwakilan dari tiap LPM tersebut menggelar musang perdana. Salah satunya adalah LPM Keadilan FH UII. Rully
Juliardi Achmad—PU LPM FH Keadilan periode 2008-2010—yang juga ikut berperan.
Ditanyai kronik pembentukan forum ini, Rully mengatakan bahwa motif FKPM berdiri berasal dari obrolan informal para pimpinan LPM. “Saat itu kalau tidak salah LPM Himmah sedang mengalami kesulitan pendanaan. Nasib yang dihadapi Himmah ini dianggap bisa saja terjadi pada setiap LPM yang ada di UII,” terang Rully
Rully juga bercerita bahwa ada beberapa LPM fakultas di UII yang sudah tidak produktif lagi meskipun sebenarnya anggotanya masih bersemangat menghidupkan lagi. Dari motif persamaan nasib ini lah terbentuk pertemanan dan komunikasi yang cukup solid di antara pemimpin LPM di UII sehingga menginisiasi pembentukan FKPM.
Rully menekankan semangat pembentukan FKPM saat itu yang terpenting adalah untuk mengedepankan independensi dan kedaulatan setiap LPM F dan pusat untuk berkarya sesuai visi misi tiap LPM, tanpa adanya intervensi lembaga lain dan organisasi ekstra kampus. Selain itu juga untuk menghidupkan kembali sejumlah LPM F yang hampir mati suri dan tidak produktif. FKPM bagi Rully, lebih membuka jalan tiap LPM di UII untuk saling berbagi ilmu mengelola LPM dan menularkan semangat produktivitas anggota LPM.
Memang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) FKPM UII, dijelaskan dalam BAB III tentang Tujuan dan Usaha FKPM berdiri adalah untuk memperjuangkan kebebasan pers dan terciptanya demokrasi, meningkatkan mutu jurnalisme pers mahasiswa UII, dan meningkatkan solidaritas pers mahasiswa UII. Hal itu dicapai dengan usaha advokasi pemberangusan kebebasan pers. Minimalnya, setiap sebulan sekali diadakanlah pertemuan rutin anggota FKPM UII.
***
Akibat konflik yang berkepanjangan dengan DPM U, pengurus Himmah mulai kelelahan. Pengurus menjadi terfokus pada solusi menerbitkan majalah periode 2005-2007 dan bukan majalah khusus di periode 2007-2009. Alhasil tidak ada majalah di periode Pambudi.
“Zamanku ya berjuang untuk menerbitkan majalah periode Bunda (panggilan pengurus untuk Andari-red) karena sudah masuk cetak. Kita rapat hampir tiap hari. Siang ketemu DPM U, malamnya rapat Kokob, dan rapat lagi bagaimana menghadapi DPM U sampai uangnya keluar,” keluhnya ditanyai perihal solusi mendapatkan dana.
“Tapi sampai satu periode aku, uangnya tetap enggak keluar. Baru keluar sampai pergantian DPM U yang baru ,” lanjutnya.
Mulainya kepengurusan DPM U periode 2008-2009 ternyata tidak menjanjikan aliran dana Himmah kembali lancar. Selama enam bulan sebelum musang akhir periode Pambudi diagendakan, DPM U periode baru menahan kembali dana Himmah dengan alasan produk yang tidak berjalan dan molornya periodesasi. Namun alasan terbantahkan karena periode Pambudi menerbitkan satu buku, KOBARKobari, dan majalah periode sebelumnya yang nyaris tak terbit karena penahanan dana. Hal ini tertulis dalam LPJ PU LPM Himmah UII periode 2007-2009.
Dari tahun ke tahun, memang dalam satu periode, majalah selalu terbit setidaknya satu kali. Majalah seakan menjadi tolak ukur kesuksesan suatu periode Himmah, seberapa kuat dan pentingnya majalah untuk dapat diterbitkan, serta seberapa berarti majalah sebagai media pembelajaran dan diskursus awak-awak Himmah.
“Kalau enggak bisa menerbitkan majalah, kenapa kita enggak menerbitkan buku saja buat cari dana?” lanjut Pambudi. Meskipun majalah tidak terbit, setidaknya awak Himmah melalui kerjasamanya dengan UII Press dapat memproduksi buku ekspedisi jurnalistik berjudul Surga Kaldera Kawahijen akhir 2009.
Ada satu penekanan yang disimpulkan oleh Pambudi dan diucapkan dengan sangat tegas di hadapan saya. “Sering kan kita ditanya, Himmah kenapa sih enggak sering mengangkat yang baik-baik?” tanyanya dengan nada sedikit menaik.
“Kalau kita angkat yang baik, yang baik pasti akan tetap baik. Tapi ini bukan masalah baik dan buruknya. Ini menyangkut kepentingan publik, bukan hanya kepentingan satu orang. Jika ada suatu kesalahan, maka hal itu perlu diubah, perlu dikawal dan dievaluasi oleh Himmah,” ucapnya. Pambudi menegaskan bahwa kritik adalah konsultasi gratis, yang terpenting tujuannya adalah untuk membangun.q
Reportase bersama : Novita Dwi K., Fahmi Ahmad B.
Dok. HIMMAH

Setengah Abad Berlalu
Berbagai perubahan dilakukan untuk Himmah semakin berkembang. Bagaimana Himmah di usianya ke 50 tahun ini?
Oleh: Dian Indriyani
Kampus Pascasarjana Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) terasa hening siang itu. Hanya ada satu atau dua orang berseliweran di gedung berlantai empat tersebut. Di lantai pertama, terdapat satu ruangan yang langsung terlihat ketika hendak menaiki tangga. Letaknya pas di sebelah tangga. Di depannya terpampang sebuah papan nama bertuliskan “Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia”. Salah satu lembaga mahasiswa yang bernaung di bawah UII.
Masuk ke ruangannya, tampak berbagai bacaan berceceran di atas karpet. Terdapat tumpukan Harian Kompas, majalah Tempo, dan beberapa buletin dari media pers mahasiswa (persma) lainnya.
Ada juga beberapa cangkir kotor dengan sisa ampas kopi tergeletak. Lengkap dengan asbak berisi abu dan potongan puntung rokok di sampingnya.
Memang, semalam ruangan ini habis dipakai untuk rapat redaksi. Sambil sesekali menghisap rokok, sesama pengurus biasa saling bertukar pikiran ditemani secangkir kopi.
Terlihat pula hasil coretan rapat redaksi masih membekas di sebuah papan tulis kecil, disenderkan begitu saja pada sebuah pembatas dinding. Kadang, beberapa pengurus bersembunyi di baliknya jika ingin beristirahat sejenak. Apalagi di sela rapat, yang biasa dilakukan hingga tengah malam.
Namun malam ini berbeda. Tak ada debat hebat yang biasa terjadi ketika rapat. Sebab nanti malam, pemilik nama ruangan ini akan merayakan hari lahirnya ke-50, tepat pada 11 Maret 2017.
“Dulu ruangan Himmah itu masih di pinggir Jalan Cik Di Tiro, sebelahnya Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) itu loh, wah sampai televisi aja pernah hilang,” ungkap Widiyanto, Pemimpin Redaksi (Pemred) LPM Himmah UII tahun 2003-2005.
“Dulu juga wakil rektor III suka
berkunjung, terus bilang ‘Wah ruangan kalian ini kotor sekali.’ Nah itu biasanya pesan secara enggak langsung kalau mereka ingin menggusur Himmah untuk pindah ke kampus atas,” lanjut pria yang sehari-hari dipanggil Wiwid ini sembari mengingat hal-hal mengesankan di periodenya.
Sebelum menjadi pemred, Wiwid berkiprah sebagai redaktur pelaksana atau biasa disebut redpel. Gaya penulisan para reporter Himmah saat dipimpin Wiwid beralih jalur menjadi jurnalisme sastrawi. ***
Sejak terbentuk pada 1967, Himmah yang saat itu masih bernama Muhibbah sangat kritis membahas persoalan ekonomi, hukum, dan politik. Hal ini menyebabkan Muhibbah mengalami dua kali pembredelan di rezim Soeharto, yakni pada 1978 dan 1982. Menjelang Pemilihan Umum Presiden di tahun 1978, Surat Tanda Terdaftar Muhibbah bersama beberapa media massa lainnya dicabut oleh Menteri Penerangan. Sedangkan di tahun 1982, Muhibbah kembali mengalami pembredelan untuk kedua kalinya dengan alasannya yang sama, karena kekeh menerbitkan tulisan berbau politik praktis. Sehingga untuk menyiasatinya, Muhibbah lalu bangkit dengan nama lain, LPM Himmah UII.
Identitas baru, tampilan baru, dan muatan yang baru. Persma, termasuk Himmah semenjak itu tidak lagi boleh membahas persoalan politik, dan hanya boleh menyajikan tulisan menyangkut persoalan akademik atau ilmu pengetahuan.
Himmah pun mengikutinya. Pemberitaan terorientasi pada ilmu pengetahuan dengan konsep keislaman. Mengutip tulisan Wiwid dalam buku Api Putih di Kampus Hijau, diterangkan bahwa saat itu redaksi majalah seakan hendak menekankan bahwa urusan ritual agama adalah problem terbesar yang dihadapi umat. Hal ini didukung oleh pemikiran awak Himmah yang mayoritas merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga 1990-an. Dominasi kelompok HMI di Himmah membuat isu keislaman lebih banyak naik cetak dan isu-isu kekuasaan pemerintah minim dibahas.
Kemudian pada 1993, Himmah mulai berani kembali meliput pemberitaan bersifat kritis tentang politik kekuasaan negara. Hal ini ditandai dengan beredarnya majalah bertajuk “Konsensus bagi Kehadiran Oposisi”. Masih berdasarkan tulisan Wiwid, di dalamnya dijelaskan bahwa konteks pemberitaan yang mulai berubah kekirian didorong oleh munculnya kelompok Rode yang menguasai struktur redaksi Himmah pada 1995.
Kelompok Rode merupakan kelompok studi yang berdiri di tahun 1987 oleh para aktivis UII. Diskusinya tak jauh dari pembahasan tentang nasib rakyat, mengulas sejarah gerakan mahasiswa, dan mengkaji potensi-potensi gerakan rakyat dalam melawan pemerintahan orde baru kala itu. Mereka biasanya berkumpul di satu tempat di sebuah gang Taman Siswa, dekat dengan kampus Fakultas Hukum UII bernama Gang Rode. Dari situlah sebutan kelompok Rode muncul.
Pascareformasi 1998, kedua kelompok—Rode dan HMI—seperti menarik diri dari Himmah. Namun penulisan masih menjunjung tinggi realisme sosial dengan menekankan realitas objektif sebagai bagian dari persoalan struktural. Begitu yang disebutkan Wiwid dalam tulisannya.
Semua pemikiran pengurus saat itu disusun dari kumpulan-kumpulan artikel, jurnal atau bahan diskusi awak Himmah, juga reportase dengan beberapa pembicara yang ahli di bidangnya. Tidak seperti sekarang, di mana liputan tidak lagi seperti makalah yang mengutip banyak sumber seperti majalah Himmah di beberapa periode sebelumnya. Tetapi lebih berbentuk narasi lewat reportase mendalam, dan tentu saja tetap mengutamakan pembelaan terhadap kaum marginal.
Gaya penulisannya pun kemudian semakin berkembang dengan adanya jurnalisme sastrawi di tahun 2000-an, kala periode Wiwid berjalan. Dinamika di bawah kepemimpinan Wiwid sebagai pemred ini mempengaruhi Himmah dalam sisi redaksional dan mungkin banyak lagi pengaruh lainnya yang belum saya ketahui.
Ditemui di rumahnya di sekitaran daerah Depok, pria yang bekerja sebagai project manager Oxfam ini mengatakan bahwa memang di masa kepengurusannya, Himmah memiliki jejaring yang luar biasa untuk membantu penggarapan liputan awak-awaknya.
Gaya penulisan majalah Pantau lah yang banyak mempengaruhi redaksi Himmah saat itu. Pantau memperkenalkan Himmah pada genre baru jurnalisme. Wiwid menceritakan bahwa Pantau menampilkan gagasan produk jurnalistik yang baru untuk Indonesia dengan mengembangkan fungsi keberpihakan.
Himmah berusaha mengawinkan hal itu dengan liputan naratif dari sudut pandang orang pertama. “Jika LPMLPM lain menampilkan lebih banyak porsi untuk perampasan tanah, penggusuran, dan lainnya. Ya, kita melakukan hal yang sama, cuman dengan

Dok. HIMMAH
sudut pandang yang berbeda,” ungkapnya. Hasilnya, Himmah menjadi persma pertama yang menerapkan konsep jurnalisme sastrawi pada masa itu.
Jurnalisme sastrawi adalah satu dari sekian banyak nama dari genre tertentu dalam jurnalisme yang diperkenalkan oleh wartawan Amerika Serikat, Tom Wolfe, di tahun 1973. Ada juga yang memakai nama narrative reporting atau pasionate journalism. Genre ini mengawinkan disiplin jurnalisme dengan daya pikat sastra. Bahasanya lugas dan tidak mendayu-dayu.
Perbedaan jurnalisme sastrawi terletak pada penulisan dan teknik reportasenya. Genre ini mengandalkan dialog dan adegan dalam penulisannya. Reporter juga seakan-akan menyusup dalam cerita yang dikerjakannya. Teknik immerse reporting namanya.
Selain itu reportase tak hanya meliputi dua pihak, tetapi multi laporan dengan waktu reportase yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun agar hasilnya mendalam. Bentuk tulisan ini yang diterapkan Himmah.
Tiap reporter setidaknya menggunakan predikat ‘‘saya’’ dan sesedikit mungkin memakai predikat ‘’Himmah’’. Hal ini bertujuan sebagai bentuk pertanggungjawaban para reporter terhadap pembaca dan warga.
Keterangan ini dikuatkan oleh Ilmia Rahayu, Pemimpin Umum (PU) Himmah 2003-2005. Dari penjelasan perempuan yang lebih akrab disapa Mia ini, diketahui bahwa Himmah memutuskan untuk mulai menggunakan jurnalisme sastrawi karena dirasa lebih mudah diterima oleh generasi pascareformasi. Di mana pembaca tidak lagi menyukai gaya-gaya jurnalisme yang kaku dan keras sepeti bahasa pamflet.
“Prinsip jurnalisme sastrawi adalah bagaimana menampilkan wacana yang serius dengan gaya bercerita yang santai dan luwes, agar pembaca tidak capek,” tutur Mia yang kini bekerja sebagai bankir di Jakarta.
Karenanya, menurut Mia memberitakan fakta menggunakan bahasa sastrawi menjadi salah satu cara menyegarkan kemasan jurnalisme yang dianggap membosankan dan monoton.
Mia juga menuturkan bahwa proses reportase membuat pandangannya lebih terbuka terhadap kemanusiaan, terutama saat peliputan konflik petani teh Pagilaran dan konflik tanah di Jawa Tengah dalam menghadapi penguasa.
Selain itu menurut Wiwid, Himmah saat itu juga merasa perlu mengadopsi liputan investigasi yang membahas kejahatan publik. Sekarang liputan itu dirangkum pada satu rubrik tersendiri bertajuk ‘Lacak’ dalam majalah Himmah. Lacak pun sebenarnya pertama kali ada di tahun 2000, saat Ahmad Jaelani bersama Nuda Efendi menjabat sebagai PU dan pemred.
Liputan Lacak bagi Wiwid benarbenar berusaha mengawinkan prinsipprinsip jurnalisme investigasi, naratif, dan juga keberpihakan. Hal ini didukung oleh berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru, dan berganti ke era reformasi. Di zaman pemerintahan Habibie, kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin bersuara.
“Nah itu kuncinya Himmah pascareformasi. Berbeda dengan tahun 1980-an, Himmah masih kuat dengan budaya diskursus. Di mana untuk mengungkap kejahatan rasanya sulit dilakukan, dan untuk melakukan investigasi rasanya enggak mungkin karena dikekang,” tutur Wiwid sambil sesekali meladeni anak sulungnya yang sedang bermain.
Dalam obrolan kami, Wiwid menandaskan bahwa di zamannya, menyajikan laporan secara bagus dan mendalam adalah sebuah tantangan dalam era reformasi.
Berbeda dengan era sebelumnya yang identik dengan tindakan represif. Saat pembredelan persma terjadi di mana-mana, pembungkaman media digalakkan secara brutal dan gerakan persma benar-benar dibatasi.
Tak hanya dari segi redaksional, di tahun 2003 juga terjadi musyawarah anggota (musang) istimewa pergan-
tian PU Himmah periode 2003-2005. Musang istimewa adalah forum tertinggi anggota LPM Himmah UII yang diadakan ketika terjadi keadaan lembaga yang tidak bisa diatasi atau di luar perkiraan sehingga menyebabkan adanya pergantian PU.
Awalnya, PU terpilih periode 2003/2004 adalah IB Ilham Malik. Namun selang beberapa bulan setelahnya, Ilham—panggilan IB Ilham Malik— turun dan digantikan oleh Ilmia Rahayu pada 25 Desember 2003. Ilham turun tanpa ada majalah yang terbit.
“Sepertinya karena yang bersangkutan kurang aktif,” balas Ilmia Rahayu singkat melalui surel saat kami mencoba mengklarifikasi terkait hal ini. Saya memang tidak sempat menyambanginya, jadi melalui surel lah saya bertanya. Ingin mengetahui lebih lengkap, saya menyoalkan hal ini kepada Wiwid.
Wiwid menjadi ketua sidang saat itu. Dia memaparkan situasi lembaga yang tidak kondusif menjadi penyebab diadakannya musang istimewa. Dan lagi, ada perbedaan prinsip dalam kepengurusan. Awak redaksi dari awal sudah punya strategi untuk mengusung Mia menjadi PU. Namun ternyata Ilham membuat persetujuan dengan bidang Perusahaan (PH).
“Sehingga basis dukungan Ilham lebih banyak dari PH. Terus Ilham juga lebih aktif di luar Himmah,” tuturnya lugas.
Menurut Wiwid, Ilham adalah sosok yang sangat produktif tetapi mempunyai pemikiran yang agak berbeda dengan awak redaksi Himmah, terutama menyangkut persoalan keberpihakan dan manajemen penerbitan.
Ilham berpikir Himmah harus dibuat secara profesional, di mana produk diterbitkan rutin dan teratur, sesuai tenggat waktu percetakan. Sehingga banyak iklan masuk, pemasukan jalan, dan bidang PH puas. Tentu saja penghambat terbesar adalah awak redaksi yang menyusun tulisannya. “Misinya besar, cuma enggak didukung redaksi. Kita kan bukan mesin,” tegas alumnus program studi Ilmu Hukum UII lulusan 2006 ini. ***
Pergantian kepemimpinan dari Ilham ke Mia secara tidak langsung ternyata berimbas pada dinamika Sumber Daya Manusia (SDM) Himmah dan hubungan LPM se-UII. Hal ini diungkapkan oleh Indiah Wahyu Andari, PU Himmah periode 2005-2007, setelah Mia lengser.
Pertama, secara kuantitas jumlah pengurus berkurang. Saat musang istimewa diadakan, magang tidak menjadi prioritas pengurus. “Ya, karena pada konsentrasi ke musang dan lebih fokus ke penerbitan majalah. Dan sebenarnya yang paling terasas dari pergantian kepengurusan sih majalah jadi tertunda,” tukasnya.
Hingga akhirnya magang tidak terkontrol dan jumlahnya menjadi sedikit. Total pengurus yang diangkat di masa kepemimpinan perempuan bernama pendek Andari ini adalah 14 orang.
Kedua, SDM secara kualitas. Tidak ada program khusus bagaimana meningkatkan kualitas pengurus yang baru saja dilantik.
Semenjak musang istimewa juga, antara Himmah dengan LPM fakultas tidak lagi mempunyai hubungan hierarkis. Himmah yang awalnya berada di atas LPM-LPM fakultas, kini menjadi setara.
Begitu pun dari segi keuangan. Padahal sejak awal, Himmah menjadi pusat distribusi dana mahasiswa untuk LPM-LPM fakultas. Namun sekarang distribusi dana mahasiswa per fakultas dikerahkan langsung oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM Fakultas).
Selain itu, dahulu selain pengurus lama dan magang, delegasi LPM dari tiap-tiap fakultas di UII dapat diangkat menjadi pengurus Himmah melalui musang.
Namun sejak musang istimewa, tidak ada lagi kader dari tiap fakultas yang naik menjadi pengurus Himmah. Ilham sendiri merupakan kader terakhir dari LPM Fakultas yang diangkat menjadi pengurus Himmah. Tidak ada alasan jelas mengapa perubahan tersebut muncul.
Ada enam LPM Fakultas saat itu. LPM Profesi dari Fakultas Teknologi Industri (FTI), LPM Keadilan Fakultas Hukum (FH), LPM Ekonomika Fakultas Ekonomi (FE), LPM Pilar Demokrasi Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), LPM Kognisia Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB), dan LPM Solid Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), tempat Ilham bergiat sebelumnya.
Jika mewacanakan kembali Himmah di atas LPM-LPM fakultas, Andari khawatir Himmah akan terkesan menguasai sumber daya dikarenakan dana seluruh LPM fakultas dan kader-kader fakultas terpilih berada di Himmah.
“Kecuali jika ada alasan kenapa Himmah yang harus mendapat sumber daya ini, misalnya karena Himmah yang melatih kader LPM Fakultas, atau karena Himmah bertugas mem-back up kegiatan-kegiatan LPM Fakultas. Tinggal apa alasannya aja,” tutur Andari berpendapat panjang lebar tentang mana yang lebih baik dari dua kondisi kedudukan Himmah tersebut.
Andari kini bekerja sebagai konselor psikologi sekaligus manajer divisi pendampingan Rifka Annisa Yogyakarta. Sehari-hari perempuan berkacamata ini disibukkan oleh aduan para perempuan karena perlakuan tak adil yang mereka terima. Pekerjaannya terfokus pada isu gender. Ruang yang memperjuangkan hak kaum perempuan agar dihormati.
Sama hal nya dengan Himmah saat itu. “Sebelumku adalah eranya semangat perlawanan, apalagi wacana kiri. Dan dulu, ruang publik dikuasai oleh media massa. Apalagi media mahasiswa. Karena asumsinya, media adalah tempat menyuarakan apa yang dialami oleh kaum marginal,” terang alumni Psikologi UII angkatan 2003 ini.
Media massa mulai berkembang di tahun 2000-an. Saluran televisi saat itu makin menjamur. Informasi ditampilkan sangat apik lewat tayangantayangan televisi.
Tiap orang tak lagi memandang sebelah mata sebuah informasi jurnalistik. Persma di tahun 2000 juga masih menjadi rujukan kampus. Informasi terbaru tentang kampus disiarkan lewat produk persma, termasuk Himmah.
Tetapi karena perkembangan teknologi, informasi tak lagi sulit diperoleh. Informasi datang dari berbagai penjuru terlebih saat internet berkembang. Beragam jenis media sosial (medsos) diproduksi untuk memudahkan komunikasi personal.
Ruang publik yang sebelumnya dikuasai oleh media massa termasuk persma pun mulai beralih ke medsos. Lewat medsos, semua orang dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas. “Nah Himmah saat periodeku agak gagap juga menghadapi situasi seperti itu. Himmah sedang mencari bentuknya,” tandas Andari.
Maka dari itu jika di masa Mia dan Wiwid masih kental dengan semangat reformasi, maka Himmah di bawah kepemimpinan Andari justru lebih dekat dengan pengaruh tren media. Karenanya Himmah, menurut Andari harus dapat beradaptasi.
Hal ini didukung oleh kekuatan persma sendiri yang unggul dengan berita terverifikasi, beda halnya dengan medsos di mana tiap orang dapat asal berbicara.
Obrolan kami dengan Andari pun melantur hingga kemana-mana. Saking asyiknya, sambil tertawa Andari mulai mengenang masa-masanya di Himmah, terutama saat ospek universitas mahasiswa baru UII (Pesona Taaruf/Pesta). Baginya, Pesta menyimpan cerita unik tersendiri.
Saat Pesta, tiap Unit Kegiatan Mahasiswa dan Lembaga Khusus mendapat tenda sebagai basecamp sementara. Pesta berjalan, dan kegiatan persma disibukkan dengan liputan dengan ambisi KOBARKobari terbit sehari jadi.
“Liputan sehari, malam nulis, pagi langsung print dan fotokopi. Malammalam cari listrik, dapat di pos satpam, terus kita ngetik di situ bawa-bawa PC (Personal Computer). Niat banget. Kalau rapat aku SMS (Short Message Service) satu-satu, per sms 350 rupiah, sekarang mah gampang ada grup. Pokoknya telepon genggam apalagi laptop itu masih barang mewah!” ceritanya sambil terbahak-bahak.
“Ya keuntungan teman-teman Himmah selama 50 tahun ini nih, juga sudah menang nama. Tapi kalau kita tidak mempertahankan kualitasnya, bisa saja orang-orang beralih,” lanjut Andari. Menurutnya, Himmah perlu berfikir untuk tidak hanya memproduksi berita tapi juga bagaimana menjaga kualitasnya. ***
Itulah yang Himmah terapkan dari waktu ke waktu. Berbagai pengembangan dilakukan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Di awal 1990-an, dalam satu periode Himmah bisa menerbitkan empat majalah dan satu tabloid. Sekarang, setiap periode hanya menargetkan minimal menerbitkan satu majalah, yang didukung oleh penerbitan buletin dan media daring.
Dahulu biaya untuk mencetak majalah belum begitu besar. Hingga semenjak 1967—awal Muhibbah terbentuk—tiap pengurus yang terlibat dalam pembuatan majalah mendapatkan honorarium yang besarnya telah ditentukan. Akan tetapi pemberian honorarium tersebut berhenti di kepengurusan tahun 1993.
Selepas itu, sudah tidak ada honorarium bagi penulis Himmah. Terlebih

karena krisis moneter pada 1997-1998, oplah penerbitan yang berkisar 5000 eksemplar mengalami peningkatan biaya cetak yang secara tidak langsung membebani pengurus.
Selain majalah, terdapat buletin yang muncul pada kepengurusan 1991–1992 bernama Koran Himmah dan seterusnya menjadi buletin Pekik. Pekik adalah sarana pembelajaran di Himmah bagi pengurus baru hasil rekruitmen dan magang.
Mereka ditugaskan untuk membuat sebuah terbitan berbentuk buletin. Hal ini masih dilakukan sampai sekarang namun dengan nama yang berbeda, yaitu KOBARKobari.
Di periode 1998, Pekik berubah nama menjadi KOBARKobari, yang berarti koran selembar-selembar yang dibagi. Mengutip Laporan Pertanggungjawaban Himmah Bidang Redaksi Periode 1998-1999, disebutkan bahwa KOBARKobari adalah salah satu produk Himmah yang berbentuk koran selembar sebagai pionir dalam lingkungan LPM UII.
KOBARKobari awalnya terbit berbentuk fotokopian setiap dua kali seminggu yakni di hari Selasa dan Kamis. Namun kini, KOBARKobari dijadwalkan terbit tiap sebulan sekali dengan tampilan yang lebih tebal dan berwarna, tak lagi selembar-selembar.
Penerbitan KOBARKobari dimaksudkan sebagai wadah informasi dan komunikasi bagi seluruh civitas akademika UII. Beritanya meliputi permasalahan yang terjadi di lingkungan UII baik yang terjadi di tingkat universitas maupun tingkat fakultas.
Perkembangan teknologi pun tak luput dari perhatian Himmah. Semakin berkembangnya dunia teknologi juga membuat Himmah harus menyajikan laporan secara cepat dan terbarukan. Pada periode 2009, Himmah meluncurkan sebuah portal berita tatkala erupsi Merapi tahun 2010 terjadi.
Isinya lebih sebagai Pusat Informasi Bencana (PIB) setelah erupsi Merapi. PIB namun tidak bertahan lama dan dihidupkan kembali dengan nama Himmah Online pada 2013. Isi konten menyasar tidak hanya internal, namun juga berita eksternal UII yang akan mudah menjadi viral lewat perkembangan internet.
Pernak-pernik telah tergantung rapi di dinding hall kampus. Satu gerobak angkringan yang dipesan juga sudah siap menyajikan makanan dan minuman. Karpet pun digelar. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam dan itu berarti perayaan akan segera dimulai.
Satu per satu tamu undangan lalu berdatangan. Ada beberapa pengurus Himmah, LPM fakultas, dan tentu saja para alumni Himmah yang masih berdomisili di Yogyakarta.
Pembawa acara mulai membuka acara perayaan tersebut. “Mari kita buka acara ‘Milad LPM Himmah ke50 Tahun’ ini!” seru si pembawa acara. Tepuk tangan lalu bergemuruh. Benar, per tanggal 11 Maret 2017, LPM Himmah UII sudah berusia 50 tahun.
Acara dilanjutkan dengan berbagai sambutan, salah satunya adalah sambutan dari perwakilan alumni, Andari. “Terima kasih pernah menjadi tempat tumbuh dan belajar, menemukan pemikiran baru, persahabatan dan keluarga. Selamat ulang tahun LPM Himmah yang ke-50. Sukses selalu!” tukasnya.
Perayaan tersebut cukup sederhana. Hanya diadakan di ruang ter-

Dok. HIMMAH
buka, dengan hidangan angkringan dan duduk di lesehan. Tak lupa pula satu tampah tumpeng nasi kuning yang akan dipotong dan dibagikan. Pemotongan tumpeng memang sudah umum dilakukan dalam agenda semacam ini.
Walaupun sederhana, namun bermakna. Selama 50 tahun ini, Himmah selayaknya patut berlega hati. Sebab dibanding LPM lain, Himmah masih diberi keleluasaan menggunakan dan mendapatkan fasilitas yang memadai.
Sangat mudah mendapat bantuan komputer, printer, bahkan dana dari rektorat. Kantornya pun sepasang. Setidaknya dengan serba-serbi kemudahan ini, kualitas Himmah harus progresif, tak boleh keok dibandingkan periode lalu.q