
12 minute read
lensa
Belum Beroperasi
Danca Prima R.| HIMMAH
Advertisement


Hanifah Puja P.| HIMMAH
Menarik Timba

Wean Guspa U.| HIMMAH
Santai Sejenak
Perjudian “Emas Hitam”
Deru mesin diesel bersahutan memecah keheningan perbukitan Desa Wonocolo, Kota Cepu, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Mesin-mesin itu mengerek timba minyak dari 700 sumur berkedalaman sekitar 300 meter. Setiap hari, puluhan barel minyak mentah mereka muntahkan dari perut bumi Wonocolo.
Sumur-sumur minyak bumi itu merupakan salah satu warisan penjajahan Belanda yang berlokasi di wilayah Daerah Operasi Hulu PT. Pertamina Cepu. Area yang menjadi salah satu objek vital Pertamina ini juga sering disebut ladang minyak Wonocolo-Hargomulyo. Jika ditempuh dari pusat Kota Cepu, jaraknya sekitar 25 kilometer arah timur laut, melalui bukit-bukit hutan jati.
Di tahun 1986, penambangan minyak Wonocolo tersebut diserahkan sepenuhnya kepada warga setempat. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara Pertamina dengan warga. Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan produksi minyak bumi dengan cara timba tradisional yang dirasa lebih ekonomis, tidak menggunakan mesin tambang seperti yang Pertamina lakukan. Maka kini minyak bumi itu ditambang oleh para penambang yang merupakan warga Wonocolo sendiri.
Hasil penambangan minyak bumi tersebut berbeda-beda di masing-masing sumur. Tidak setiap hari juga sumur-sumur itu ditambang. Minyak dari dalam sumur akan habis sehingga

Bertaruh Nyawa
HIMMAH | Hanifah Puja P.

Terpapar
HIMMAH | Hanifah Puja P.

Hanifah Puja P.| HIMMAH
Dilindungi

penambang akan menunggu lagi sampai sumur berisi minyak dan bisa ditambang lagi. Ada yang ditambang 2-3 kali seminggu, ada pula yang ditambang seminggu sekali.
Sumur-sumur dengan produktivitas kecil (kurang dari 1 ton) biasanya ditambang selama 3-4 jam sehari, dilakukan dari pukul 5 hingga pukul 9 pagi atau sore hari pukul dua siang sampai pukul 5 sore.
Sedangkan sumur yang produktivitasnya 2-3,5 ton per hari akan ditambang mulai pukul 5 hingga 8 pagi. Kemudian para penambang dapat beristirahat turun gunung dan mengerjakan pekerjaan lainnya, dan pada pukul 2 siang mereka kembali bekerja menimba minyak sampai pukul 5 sore.
Berbeda lagi dengan sumur yang memiliki produktivitas tinggi tetapi juga menyimpan kadar air yang besar. Sumur tersebut akan ditambang dengan sistem shift. Operator shift pertama mulai pukul 5 hingga 8 pagi, dilanjutkan operator shift kedua dari pukul 12 siang hingga pukul 2 siang.
Sayangnya, hasil penambangan tak melulu sesuai dengan pengorbanan para penambang, Para penambang harus mengeluarkan biaya pengeboran yang tergolong cukup tinggi. Setiap kali membuka sumur baru, satu kelompok tambang harus mengeluarkan sedikitnya Rp 300-400 juta, belum tentu sebanding dengan hal yang mereka dapatkan.
Hal itu kemudian membuat para penambang mengibaratkan kegiatan tambang minyak ini ibarat judi, karena bisa saja
mereka tidak memperoleh apa-apa karena sumur yang mereka tambang mungkin tidak menghasilkan minyak.
Umumnya para penambang menjual minyak setiap satu minggu sekali. Besarannya pun tak tentu. Hasil minyak mentah ada yang dijual ke Pertamina, pada pengecer dan pengepul dengan menggunakan bull (wadah kotak minyak yang berisi 1000 Liter). Penambang biasa menyebutnya trading.
Namun tidak semua hasil tambang tersebut dijual. Sebagian dari produksi itu disuling secara tradisional oleh para penambang untuk dijadikan Bahan Bakar Minyak. Minyak tanah, minyak gas, dan solar hasil sulingan secara tradisional kemudian dijual kepada pengecer yang kemudian diteruskan kepada pengepul untuk dijual kembali ke pangkalan-pangkalan. Konsumen dari minyak-minyak ini adalah kalangan atau rekan-rekan penambang sendiri. Termasuk juga para sopir bus dan truk yang sudah mereka kenal.
Penambang juga harus mengemban risiko lain. Mereka bisa saja terpapar bahan kimia dan asap yang membahayakan kesehatan. Anehnya ketika bekerja, para penambang tak terlihat menggunakan alat pengaman dan penambangan secara lengkap sesuai standar. Tak memakai helm, kacamata pelindung, masker, sarung tangan, baju wearpac, ataupun sepatu tambang. Mereka hanya berpakaian ala kadarnya seperti orang bekerja di sawah. Bedanya, bukan tanah yang mengotori baju mereka tetapi lumpur yang tecampur minyak mentah.
Perilaku lain yang dapat membahayakan keselamatan dapat terlihat ketika pekerja sambil merokok saat berada di lokasi tambang. Risiko percikan api dari punting rokok ini dapat menyebabkan ledakan dari sumur minyak yang ada.
Ini adalah ancaman yang serius. Namun banyak dari mereka tak mengindahkannya. Padahal akibatnya memang tak dapat mereka rasakan secara langsung, melainkan pada 10-15 tahun mendatang baru kemudian. q

Hasil Olahan

Mulai Distribusi
HIMMAH | Wean Guspa U.

HIMMAH | Wean Guspa U.

Tak Kenal Waktu
HIMMAH | Wean Guspa U.

Karena Asap
HIMMAH | Nalendra Ezra A.

HIMMAH
Tsania Faza| sambungan dari hal. 57
mandang sekitar. Sejenak kemudian ia berdiri dan mengangkat ranselnya. Ia tampak kelelahan. “Saya baru sampai setelah lima jam perjalanan dari Surokonto Wetan,” katanya.
Hasan Bisri adalah salah satu petani dari Surokonto Wetan. Ia juga merupakan anggota dari Perkumpulan Petani Surokonto Wetan (PPSW), motor perlawanan petani Surokonto Wetan terhadap Perhutani. Ia adalah salah satu warga Surokonto Wetan yang bolak-balik melakukan aksi massa di PN Kendal.
Hari itu ia datang ke LBH Yogyakarta untuk bertemu petani-petani dari beberapa provinsi di Indonesia yang juga terlibat konflik agraria. Hari itu mereka berencana mengadukan nasib mereka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mengirim petisi. Pertemuan itu merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh mereka setelah berbagai upaya yang dilakukan menemui kegagalan.
Pertemuan tersebut juga upaya untuk membangun solidaritas sesama petani yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Pada pertemuan tersebut, mereka menuntut Jokowi untuk bertindak menghentikan perampasan ruang hidup yang terjadi di seluruh Indonesia. Mereka juga meminta Jokowi segera mewujudkan reforma agraria.
Para petani yang berkumpul di LBH Yogyakarta sudah merasa bosan dengan perampasan ruang hidup yang terjadi pada mereka. Mereka ingin permasalahan tersebut cepat selesai. Begitu pun dengan Hasan. Ia bercerita bahwa warga di Surokonto Wetan tak tenang semenjak Perhutani “masuk” ke desanya.
“Sejak dulu petani Surokonto Wetan hidup dari lahan pertanian yang digarap secara turun-temurun. Banyak juga makam leluhur kami di tanah tersebut,” ungkap Hasan lirih. “Kami mau tetap bertani. Kami mau permasalahan ini cepat selesai,” lanjutnya.q
Reportase Bersama: Tsania Faza, Adilia Tri H., dan Haninda Luthfiana U.
Administratur Perhutani KPH Kendal, Sunarto:

Tsania Faza| HIMMAH
Perusahaan Umum (Perum) Perhutani bertugas mengelola seluruh kawasan hutan yang terhampar di pulau Jawa dan Madura. Pada 2014, Kementrian Kehutanan menetapkan lahan yang telah puluhan tahun digarap oleh warga Desa Surokonto Wetan. Penetapan itu mendapatkan penolakan dari warga.
Penolakan itu juga didukung oleh aktivis lingkungan, akademisi, dan mahasiswa. Mereka menilai, proses penetapan kawasan hutan tersebut janggal (baca: Tergusur dari Tanah Leluhur). Selain itu, penetapan kawasan hutan tersebut dinilai merampas ruang hidup warga.
Akibat penolakan tersebut, tiga orang warga desa Surokonto Wetan, Nur Aziz, Mujiono, dan Sutrisno Rusmin, dilaporkan ke polisi oleh Perhutani. Di Pengadilan Negeri Kendal mereka divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider enam bulan penjara.
Di ruangan kantornya, Sunarto, Administratur Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kendal mengatakan kepada HIMMAH bahwa ia telah melakukan berbagai cara dalam persoalan tukar-menukar kawasan tersebut. Katanya, ia hanya mau warga itu manut dengan Perhutani. Hal itu pula lah yang membuat ia memerintahkan anak buahnya, Rovi Tri Kuncoro, untuk melaporkan tiga orang warga desa Surokonto Wetan ke kepolisian.
Berikut wawancara lengkap Sunarto dengan tim reportase Himmah, Nurcholis Ainul R.T. dan Tsania Faza yang dilakukan pada pada 16 Januari 2017.
Awal tahun 2015 Perhutani pernah melakukan kajian sosial di balai desa. Bagaimana keadaannya pada saat itu?
Kita hanya sosialisasi saja dengan memberitahu bahwa kita punya program bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Di sana kita juga memberi tahu bahwa lahan itu sudah ditukar menjadi kawasan hutan, hanya itu saja. (Nur Aziz, warga Desa Surokonto Wetan mengatakan bahwa pada saat sosialisasi, Perhutani tidak memberi tahu bahwa lahan seluas 127,821 hektar di Surokonto Wetan telah ditetapkan sebagai kawasan hutan).
Apa saja programnya?
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Di sosialisasi itu Perhutani memberi tahu bahwa sudah ada surat keputusan penetapan kawasan hutan?
Iya dong kita tunjukan. Semacam sosialisasi bahwa kawasan itu sudah ditukar menjadi kawasan hutan.
Berapa orang warga yang hadir saat sosialisasi?
Wah saya lupa, tapi yang jelas banyak. Cuma memang pada saat itu ada masyarakat yang pro dan kontra. Tapi kita biasa dengan pro-kontra. Karena kita menganggap itu baru tahap awal sosialisasi.
Alasan penolakan warga apa?
Tidak tahu pasti. Tapi yang jelas mereka menolak keberadaan penetapan kawasan hutan. Akibatnya Perhutani tidak bisa melakukan pengelolaan di sana. Kami dihalangi oleh warga.
Dihalangi?
Iya, mereka menghambat pekerjaan kami. Misalnya, ketika Perhutani datang kesana malah diancam.
Diancam seperti apa?
Macam-macam. Itu kan tidak boleh. Perhutani keberadaannya tidak boleh ada konflik sedikit pun. Kita harus menghormati mereka. Jika ada masalah, harus di-clear kan dulu. Kebetulan di dalam prospek penetapan kawasan hutan itu memang masih ada kewajiban PT Semen Indonesia (PT SI) untuk melakukan reboisasi pada tahun pertama. Jadi dalam proses reboisasi, Perhutani sifatnya hanya masuk pelanpelan. Saat reboisasi itu kita juga mengalami kesulitan. Kalau kita memaksakan reboisasi nanti kita ditakuti.
Reboisasi itu ada koordinasi dengan pihak PT SI berarti?
Ada, karena reboisasi merupakan kewajibann PT SI. Kewajiban itu dilakukan sampai pohon yang ditanam itu tumbuh. Kira-kira dua sampai tiga tahun.
Mengapa saat penanaman simbolik mendatangkan banyak aparat keamanan?
Oh itu kan hanya prosedur saja. Kedatangan polisi bertujuan memberikan rasa nyaman dan ketertiban. Bukan untuk ini-itu—intimidasi. Misalkan seperti hari raya, jika tidak ada polisi yang jaga, bayangkan keadaannya seperti apa? Nah persoalan jumlah polisi yang diterjunkan itu tanya Kapolres. Jumlah polisi itu kan tergantung dari situasinya, yang penting memberikan rasa aman pada masyarakat.
Pada saat itu ada warga yang datang?
Banyak.
Respon mereka seperti apa?
Ada yang kontra, ada yang pro. Nur aziz dan gerombolannya pasti protes. Tapi ada yang mendukung juga kok. Perhutani tidak ikut bertanggung jawab dalam proses reboisasi itu. Perhutani hanya bertugas mengelola kawasan hutan. Lambat atau cepat kita harus mengelola. Kalau begini kan jadinya tugas Perhutani adalah negara.
Terkait penolakan warga. Ada laporan dari Perhutani KPH Kendal ke pusat?
Oh ya iya dong. Saya laporkan perkembangannya ke pusat.
Bagaimana respon Perhutani pusat?
Ya, Perhutani pusat dan KPH Semarang sama saja. Mereka hanya bertugas mengelola kawasan hutan.
Berarti laporan penolakan tersebut harusnya dilaporkan ke Kemenhut?
Soal itu pihak provinsi yang tahu. Kalau saya kan dari sini ke KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Semarang.
Kenapa Perhutani melaporkan tiga orang warga desa ke Polisi?
Ketika ada pendudukan kawasan hutan tanpa izin, itu sudah tugasnya Perhutani untuk melaporkan ke polisi. Pe-
laporan ke kepolisian sebenarnya jalan terakhir ketika warga tidak bisa diajak berunding. Saya sampai kerjasama dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kendal karena pak Nur Aziz pengurus ranting NU di Surokonto Wetan. Sampai gurunya Nur Aziz, Pak Kiai Arifin, pun saya datangi. Semua jalan telah saya tempuh.
Sebenarnya ketika kawasan hutan itu digarap Perhutani kan mereka tidak kita usir. Mau kita tertibkan saja supaya jelas siapa yang mengelola kawasan hutan. Kenapa mereka (warga Desa Surokonto Wetan) ini berat? Dengan adanya Perhutani, warga malah akan dijamin dengan bantuan-bantuan. Bantuan pupuk misalnya. Penolakan mereka itu tidak masuk akal.
Sikap PCNU Kendal seperti apa?
Saat kita sampaikan aturannya, mereka bisa paham. Kalau tidak cocok dengan keputusan Kemenhut, silahkan tempuh jalur hukum.
Jalur perdata?
Iya, lewat jalur Pra TUN (Tata Usaha Negara).
Perhutani mau menanam pohon jati di sana?
Kalau soal pohon masih bisa dibicarakan lagi nanti. Namun yang saya sayangkan, mereka sudah menutup diri. Kalau kita itu selalu terbuka. “Ayo nanti kita tanamnya satu baris buah-buahan, satu baris jati, itu kan bisa.” Jadi nanti kita bikin jarak yang tidak mengganggu lahan pertanian. Pohon pun kita bikin yang berfungsi untuk warga. Misalnya ditanami petai, itu kan nanti buat mereka juga.
Berarti soal tanaman yang ingin ditanam di kawasan hutan itu bisa didiskusikan dengan warga?
Bisa dong. Itu namanya program PHBM. Jarak tanamannya pun kita diskusikan supaya tidak mengganggu tanaman pertanian.
Apa yang warga tidak bisa lakukan di kawasan hutan?
Itu yang saya tidak tahu. Karena setelah adanya Perhutani, tidak ada yang berubah. Cuma nanti kita akan tata karena itu lahan negara. Ada aturan mainnya, tidak boleh
preman-premanan.
Tuduhan terhadap warga yang dilaporkan ke kepolisian apa?
Mereka menduduki lahan tanpa izin.
Sampai sekarang kelanjutannya seperti apa?
Sampai proses pengadilan.
Sudah ada lahan yang Perhutani tanam di sana?
Belum, kita belum bisa menanam di sana.
Kenapa?
Kita tidak ingin bentrok. Kita masih menunggu proses pengadilan. Kalau nanti Nur Aziz kalah, kita kan harus menghormati proses pengadilan.
Terkait pohon yang direboisasi ditanam di lokasi mana?
Baru di pinggir jalan.
Pohon apa saja?
Macam-macam pohon jenis rimba. Setahu saya yang banyak mahoni. Ada juga yang lain, tapi saya lupa.
Ada banyak kasus pelaporan warga ke kepolisian oleh perhutani. Tidak hanya di Surokonto Wetan. Sebenarnya seperti apa pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan oleh Perhutani?
Intinya, apapun kalau tanpa izin sudah pasti kita laporkan ke polisi, mengacu ke dalam undang-undang (UU) nomor 18 (UU nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan). Kalau ada yang melakukan kejahatan di dalam hutan, Perhutani sebagai pengelola harus melapor ke polisi. Kalau kita tidak melapor, kita kena pasal pembiaran.
Saat sekarang sedang ada persidangan. Perhutani masih komunikasi dengan warga?
Iya, kita lakukan komunikasi terus. Perhutani sebenarnya tidak suka ikut peradilan. Kita itu melakukan proses pendekatan dari tahun 2014 dengan melibatkan banyak pihak. Seperti DPR, Bupati, dan lainnya. Makannya, saya tidak habis pikir dengan mereka, apa sebenarnya yang memberatkan mereka.
Kehadiran Perhutani tidak seperti—pembangunan—PT Kereta Api Indonesia yang mengusir warga. Saat Perhutani datang, warga menggarap seperti biasa. Kalau sekarang apa yang dilakukan warga itu malah ilegal. Penolakan-penolakan warga sebenarnya hanya melelahkan saja. Kalau tidak cocok dengan SK penetapan kawasan hutan tersebut, digugat saja lewat jalur perdata.
Bagaimana kondisi tiga orang petani yang Pehutani laporkan ke Polisi?
Sekarang Mujiono dan Sutrisno Rusmin sudah mengaku salah. Dia minta maaf di peradilan. Dia juga mundur dari jaringannya Nur Aziz. Kita tidak memaksa Mujiono dan Rusmin loh.
Mereka bicara itu di pengadilan?
Iya di pengadilan. Dia bikin surat pernyataan kalau dia bersalah.
Ada komunikasi juga dengan mereka di luar?
Tidak ada.
Jika di pengadilan nanti warga yang menang, apa langkah Perhutani kedepannya?
Kalau itu saya tidak bisa menjawab. Tapi saya hanya tidak habis mengerti saja dengan mereka. Apa sebenarnya yang dirugikan? Mereka merasa kalau nanti ada Perhutani, mereka tidak bisa menanam. Padahal tidak. Nanti bisa kita buatkan pola tanam yang tidak menggusur lahan pertanian.
Nanti pohonnya kita pilih yang bisa dimanfaatkan oleh mereka. Misalnya pohon Durian, Jambu Monyet, Petai. Terus nanti tanaman jagungnya, kita buatkan pola tanam pohon yang lebar-lebar. Yang plong-plongan. Satu plong 10 meter. Saya sudah jamin tidak ada yang keluar dari lahan jika mereka ikut aturan mainnya. Sekarang yang penting warga itu manut.
Perhutani sudah lihat hasil kajian tim terpadu?
Saya tidak tahu karena itu ranah Dinas Kehutanan Provinsi. Kalau di sini kita ikut aturan yang di atas saja, bukan sebagai penentu.q