
10 minute read
KOMENTAR
Menghirup Kemudaratan Batu Bara
Tanpa disadari, mudarat batu bara lebih banyak kita rasakan ketimbang manfaatnya. Padahal masih banyak alternatif lain yang dapat diterapkan.
Advertisement
Oleh : Fauzi Farid M. *)
Pemakaian batu bara tidak bisa dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Batu bara menjadi motor perkembangan industri sebuah negera. Hampir semua negara memulai perkembangannya dengan menggunakan batu bara, karena harganya yang memang murah. Tapi tidak semurah dampak negatif yang dihasilkan.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) contohnya. RRT merupakan negara dengan tingkat konsumsi batu bara tertinggi di dunia. Pada saat bersaman RRT juga menghasilkan polusi batu bara terbesar di dunia. Polusi dari pemakaian batu bara bercampur dengan kabut membentuk smoke fog (smog)/ kabut asap (asbut) tebal yang melingkupi kota-kota dan kawasan industri RRT.
Asbut dapat terbentuk selama beberapa jam hingga beberapa hari. Di dalamnya terkandung berbagai polutan dan partikulat (partikel halus) berbahaya. Umumnya, korban yang menghisapnya akan mengalami ISPA atau gangguan saluran pernafasan lain hingga kondisi terburuknya, dapat menyebabkan kematian. Laporan Greenpeace mengatakan bahwa di tahun 2011, setidaknya terdapat 9000 jiwa yang terkena dampak ISPA di tiga kota di RTT, yakni Beijing, Tianjin dan Hebei.
Kondisi seperti ini tidak hanya dialami oleh RRT. Beberapa kejadian lain yang tekenal karena dampak asbut ini adalah New York City Smog dan London Great Smog.
New York City Smog tercatat terjadi tiga kali, tahun 1953, 1963 dan 1966. Memang polusi dari batu bara tidak menjadi satu-satunya faktor dalam peristiwa ini. tapi polusi sulfur dioksida (SO2) yang dihasilkan tetap menjadi faktor penting dalam peristiwa ini. Pada tahun 1953 sebanyak lebih dari 200 jiwa meninggal. Di tahun 1963 meningkat menjadi 400 jiwa meninggal dan sebanyak lebih dari 150 jiwa meninggal di tahun 1966.
Sedangkan London Great Smog terjadi pada 5-9 Desember 1952. Asbut ini yang merupakan kombinasi polutan SO2, emisi kabut-asap rumah berpemanas batu bara, asap kendaraan bermotor, dan industri lainnya. Asbut tersebut terjebak oleh inversi udara dan merambat ke dalam bangunan-bangu-
nan di kota London. Selama lima hari, dari kejadian ini diperkirakan ada 4000 jiwa meninggal, dan 8000 lainnya meninggal pasca peristiwa ini karena efek beracun jangkan panjang dari asbut tersebut.
Batu bara berasal dari material organik yang terperangkap dan terendapkan bersama-sama dengan material batuan sedimen. Semakin tebal sedimen penutup material pembentuk batu bara, maka tekanan dan suhu pun perlahan-lahan akan naik dan mengubah material ini menjadi batu bara.
Batuan yang mengandung batu bara pada saat bersaman mengandung mineral sulfida. Mineral sulfida memiliki sifat asam dan mudah larut dalam air. Kontak mineral sulfida dengan air, baik dalam bentuk uap air atau hujan akan membentuk Air Asam Tambang (AAT).
AAT memiliki nilai pH yang rendah (< 4). Cairan dengan ber pH rendah memudahkan terjadinya proses pelarutan logam-logam tertentu yang terkandung di dalam tanah. Infiltrasi dari AAT ke dalam tanah akan menyebabkan terlarutnya logam yang terkandung di dalam tanah dan akan mencemari kandungan air tanah. Pencemaran AAT ke badan air secara langsung akan mengakibatkan kematian dan kerusakan ekosistem perairan tersebut.
Pada dasarnya pemanfaatan batu bara sendiri selalu berdampak negatif. Dampak negatif ini bahkan muncul pada saat proses penambangan batu bara dilakukan. Seperti rusaknya vegetasi akibat open mining (penambangan terbuka), terbentuknya AAT akibat kandungan mineral sulfida, atau dapat juga berasal dari pembakaran batu bara yang menghasilkan polusi udara dalam bentuk CO, CO2, SOx dan NO x .
Jumlah polusi yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara untuk polusi CO dan CO2 bergantung kepada panjang rantai kimia dari batu bara yang dibakar. Semakin panjang rantainya, maka akan semakin banyak polusi yang dihasilkan. Sedangkan polusi SOx dan NO x bergantung kepada kadar sulfur dan nitrogen pada batu bara yang dibakar. Semakin tinggi kadarnya, maka semakin besar pula polusi yang dihasilkan.
Dilihat dari dampak yang dihasilkan, gas CO2, SOx, NOx dan beberapa gas lainnya dikenal sebagai gas rumah kaca. Disebut gas rumah kackarena keberadaan gas-gas ini di atmosfer memiliki fungsi layaknya rumah kaca. Secara alami keberadaan gas ini akan membuat bumi tetap hangat. Tapi bila dalam jumlah berlebih akan menimbulkan peningkatan suhu bumi yang kita kenal dengan fenomena pemanasan global.
Peningkatan jumlah gas ini di udara dapat menyebabkan peningkatan suhu bumi, karena akumulasi gas yang berada di udara menghalangi lepasnya radiasi/energi matahari ke ruang angkasa ketika dipantulkan oleh permukaan bumi. Semakin sedikit energi matahari yang dilepaskan ke ruang angkasa, maka suhu bumi akan terus meningkat.
Peningkatan suhu bumi akan berakibat kepada perubahan iklim dan mencairnya es abadi. Es abadi sendiri merupakan es yang tidak pernah mencair. Mencairnya es abadi yang terdapat di Antartika, Artik, Greenland serta pengunungan tinggi seperti Himalaya, Alpen, dan Andes, menyebabkan naiknya permukaan laut. Naiknya permukaan laut akan menyebabkan tenggelamnya kawasan pesisir. Diprediksi dengan tingkat polusi saat ini, permukaan laut akan mengalami penaikan hingga 5 meter pada 2100.
Mencairnya es abadi juga berarti bertambahnya jumlah air dimuka bumi. Pertambahan air ini akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Efek perubahan iklim sudah bisa kita rasakan saat ini. Perubahan musim semakin sulit untuk diprediksi, cuaca ekstrem pun terjadi dimana-mana.
Sementara itu keberadaan gas SO2 dan NO2 di udara dapat menghasilkan hujan asam. Lebih dari 70 persen gas SO2 dan NO2 berasal dari pembakaran stasioner bahan bakar fosil, contohnya adalah batu bara. Gas tersebut akan terikat dengan uap air sehingga menjadi H2SO4 dan HNO3 yang memiliki pH rendah. Uap air ini akan membentuk awan dan menimbulkan hujan. Hujan inilah yang dikenal dengan hujan asam.
Hujan asam memiliki nilai pH rendah sehingga dapat berefek pada matinya organisme akuatik karena turunnya pH
air serta menghambat pertumbuhan tanaman serta melemahkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama. Hal ini disebabkan karena tingkat keasaman yang lebih rendah dapat menyebabkan kematian langsung pada tanaman. Selain itu paparan hujan asam pada manusia dapat menyebabkan iritasi hingga luka bakar pada kulit dan kerusakan mata.
Hujan asam pasti akan terjadi selama SO2 dan NO2 terus terproduksi, yang membedakan adalah jumlah SO dan NO yang dilepaskan, semakin besar yang dilepas maka semakin sering dan asamnya hujan asam. Lebih rumitnya lagi siklus iklim dan cuaca dimana pergerakan angin yang tidak dapat dibatasi, membuat persebaran hujan asam menjadi sangat luas. Maka bukan hal yang aneh bila pelepasan SO2 dan NO2 terjadi di Jawa tetapi hujan asam terjadi di Sulawesi.
Di samping itu, saluran pernafasan manusia juga sangat rentan terhadap polusi SOx dan NOx. Gas NOx bila terhirup dapat menyebabkan pembengkakan pada paru-paru sehingga penderita akan mengalami kesulitan bernafas yang dapat menyebabkan kematian. SOx bila terhirup akan menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan. Gas ini akan menyerang selaput lendir pada hidung dan menyebabkan iritasi pada tenggorokan dan paru-paru. Pada kadar tinggi dapat meyebabkan kejang pada otot pernafasan yang akan berujung pada kematian.
Iritasi pada sistem pernafasan manusia juga dapat diakibatkan oleh partikulat hasil dari pembakaran batu bara. Partikulat ini dikenal dengan nama fly ash. Disebut fly ash karena ukurannya yang sama atau lebih kecil dari debu dan mudah untuk terbawa angin. Dengan ukuran tersebut fly ash dapat dengan mudah menembus serat masker dan masuk ke dalam paru-paru manusia, dan bisa berujung pada banyak penyakit pernafasan seperti kanker paru-paru. ***
Batu bara biasa digunakan sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan cara dibakar. Batu bara yang telah dibakar tersebut nantinya akan menghasilkan panas untuk mengubah air menjadi uap. Proses pembakaran ini sudah pasti akan membuat mensinya mengalami overheat atau kepanasan. Maka media pendingin diperlukan untuk menghindari terjadinya overheat. Media pendingin yang digunakan adalah air.
Air yang telah digunakan untuk proses pendinginan akan dikeluarkan kembali ke perairan lepas. Hal ini dimaksudkan untuk mendinginkan air sebelum kembali digunakan untuk proses pendinginan. Masalah yang timbul adalah air yang dikeluarkan tentunya memiliki suhu yang lebih tinggi dari pada suhu air normalnya. Kondisi ini umumnya dikenal dengan polusi termal. Polusi termal diartikan sebagai kondisi turunnya kualitas perairan akibat perubahan suhu normal air, umumnya berupa naiknya suhu perairan.
Maka dari itu semua PLTU berada di tepi laut atau sungai berdebit besar yang airnya bisa digunakan sebagai pendingin. Adanya polusi thermal ini mempengaruhi ekosistem perairan karena menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut di dalam air sehingga suplai oksigen organisme akuatik terganggu. Bahkan dalam kondisi ekstrem dapat menyebabkan kematian massal organisme laut.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan bleaching (pemutihan) pada terumbu karang yaitu kondisi di mana terumbu karang berubah warna menjadi putih dan mati.
Karena beberapa dampak tersebut, kini kebanyakan negara maju sudah mulai berencana untuk menutup semua PLTU batu bara di negara mereka dan mulai beralih ke pembangkit terbarukan. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa banyak efek buruk dari pembakaran dan eksploitasi bahan bakar fosil seperti batu bara tersebut. Kesadaran tersebut tidak datang begitu saja, tapi karena peristiwa-peristiwa yang berkaitan langsung dengan efek pemanfaatan batu bara, seperti yang disebutkan di awal.
Kita tidak perlu merasakan bencana-bencana seperti itu untuk sadar akan bahaya dari batu bara. Cukup belajar dari kesalahan dan pengalaman mereka. Jika tidak maka kondisi kita perlahan-lahanakan seperti Cina saat ini. Kondisi Beijing saat ini tidak jauh berbeda dengan London 50 tahun yang lalu.
Di luar sana ada banyak pilihan yang lebih aman dan ramah lingkungan. Indonesia sendiri memiliki kemampuan dan sumber daya baik manusia dan alam untuk itu. Ada banyak pembangkit terbarukan yang dapat diterapkan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Angin/Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya/ Radiasi Matahari (PLTS).
Dari semua jenis alternatif ini, PLTA lah yang paling banyak digunakan. Teknologinya yang sudah dikenal sejak lama, yaitu dengan pembuatan bendungan. Walaupun dengan biaya investasi yang cukup mahal, biaya operasional yang lebih rendah membuat pembangkit ini banyak di pilih. Tetap saja pilihan ini ada sisi negatifnya. Diperlukan lahan sebagai lokasi genangan air yang membuatnya nyaris tidak ramah lingkungan. PLTA cocok untuk kawasan dengan sumber air yang besar dan/atau daerah yang bergunung-gunung.
Ada pula jenis PLTA yang memiliki ukuran lebih kecil dan bisa dibangun hanya dengan swadaya masyarakat, yaitu PLTA mikrohidro (PLTAM). PLTAM adalah PLTA dengan ukuran dan kapasitas kecil yang memanfaatkan sungai kecil pegunungan. PLTAM dirancang untuk sungai dengan debit kecil tapi dengan terjunan yang besar. Biasanya PLTAM manfaatkan di pemukiman pegunungan yang tidak bisa dicapai jaringan listrik PLN.
Setelah PLTA, ada PLTB yang memanfaatkan aliran udara/angin yang konstan pada kecepatan tertentu. Tidak ada polusi yang dihasilkan dan sangat ramah lingkungan.
Pembangkit ini cocok untuk area yang berangin tetap. Cukup dengan kincir dan motor/generator, maka PLTB dapat digerakkan untuk menghasilkan listrik. Di Jerman dan Denmark misalnya. Terdapat ladang angin yang berisikan ratusan kincir angin berukuran besar untuk meningkatkan efektifitas listrik yang dihasilkan. Sedangkan di Indonesia, PLTB baru digunakan dalam jumlah kecil dan tersebar di beberapa pulau seperti di Pulau Selayar dan Pulau Sumba.
Alternatif selanjutnya adalah PLTP. Pembangkit listrik ini memanfaatkan panas yang dihasilkan oleh bumi. Proses produksinya yang tidak menghasilkan emisi apapun, dan hanya sejumlah kecil sulfur dan methan dari sumur panas bumi, yang mana tidak akan memiliki arti apapun jika dibandingankan polusi dari PLTU batu bara. Pemangkit ini cocok untuk daerah yang memiliki gunung api dan sumber panas bumi, seperti di pulau Jawa dan Sumatera. Apalagi Indonesia memiliki ratusan gunung api otomatis memliki sumber panas bumi yang melimpah, di mana setidaknya 40% cadangan panas bumi dunia ada di Indonesia.
Terakhir, adalah PLTS, pembangkit yang memanfaatkan energi dari radiasi cahaya matahari. PLTS memerlukan panel surya yang akan mengubah energi radiasi matahari menjadi listrik. Untungnya, Indonesia yang secara geografis berada di garis khatulistiwa otomatis memiliki sinar matahari yang melimpah. Ironisnya negara yang memanfaatkan energi matahari kebanyakan adalah negara yang secara astronomis berada di lintang 30 ke atasseperti Jepang, Korea, Amerika, Kanada dan negara-negara Eropa. Padahal, jumlah sinar matahari yang mereka terima justru tak sebanyak negara Indonesia.
Panel surya juga sangat ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan polusi apapun saat menangkap radiasi matahari. Hanya saja pemanfaatan ini biasanya menggunakan lahan yang luas dan biasa disebut ladang surya. Pemanfaatan dalam skala kecil umumnya berupa pemasangan panel surya di atap bangunan untuk memanen sinar matahari menjadi tenaga listrik. Kelebihan dari pembangkit ini ialah tidak ada batasan geografis yang bisa menghalangi pemanfaatan panel surya, baik di pulau-pulau terluar/terpencil maupun di kota-kota besar.
Dari sekian banyak pemaparan mengenai batu bara tersebut, setidaknya Indonesia, sebagai salah satu negara yang juga menghasilkan batu bara mulai mempertimbangkan sisi positif dan negatif yang dihasilkan dari PLTU batu bara.
Pada hakikatnya batu bara memang memberikan manfaat, namun sayang hanya sejenak. Berbagai kejadian yang dipaparkan di awal menjadi bukti kerugian yang banyak dihasilkan oleh batu bara dan imbasnya berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Padahal ada banyak pilihan yang lebih baik daripada batubara dengan lebih memanfaatkan sumber daya alam yang tiada habisnya, sebut saja cahaya, air, udara, dan panas bumi. Tinggal bagaimana kesadaran kita sendiri untuk menilai dan memilih yang mana lebih baik.q