Nunung WS: The Spirit Within

Page 1

8 — 26 Juni 2023

Gedung A

Galeri Nasional Indonesia

JIWA DA LAM MA NUNG GAL

Pengantar Kuratorial

Pameran Retrospektif

Nunung WS

Galeri Nasional Indonesia

Oleh CHABIB DUTA HAPSORO

4
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

NUNUNG WS adalah sebuah nama

untuk konsistensi, daya tahan, dan energi dalam seni lukis abstrak Indonesia.

Terlahir dengan nama Siti

Nurbaya, ia menggunakan nama

Nunung—yang merupakan nama

panggilan oleh keluarganya—

dan menyematkan WS, singkatan dari Wachid Sa’ad, nama sang

ayah yang selalu ia hormati.

Karier Nunung merentang

sejak awal dekade 1970an hingga hari ini. Ratusan lukisan telah diciptakannya.

Selain konsistensi, sejumlah gaya ungkap telah ia geluti.

Jiwa dalam Manunggal adalah

sebuah pameran retrospektif oleh

Nunung WS. Pameran ini tidak hanya

5 PENGANTAR KURATORIAL

menampilkan karya-karya Nunung

terdahulu, yang menunjukkan bahwa seolah kariernya telah selesai. Justru, pameran ini banyak

menghimpun lukisan-lukisan terbaru Nunung, yang diciptakannya pada

periode 2020 hingga 2023. Meskipun demikian, mereka tetap mewakili puncak-puncak atau tubuh-tubuh

kekaryaan Nunung yang penting.

NUNUNG WS DALAM TIGA PERIODE

KEKARYAAN

Jika dijajarkan secara runut, tubuh-tubuh kekaryaan Nunung

mencakup tiga periode: Pertama

adalah manifestasi artistik dari

pencerapan Nunung terhadap alam di sekelilingnya. Ketika Nunung

berada pada masa puncak kebimbangan dan ketidakpuasan pada proses

pendidikan seni rupa di Akademi

Seni Rupa (Aksera) Surabaya—

tempat ia menimba ilmu, ada sebuah

6
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

kesempatan yang mengantarkannya ke Jakarta. Kesempatan ini berupa

sebuah pameran angkatan kelasnya

pada 1971 di Galeri Cipta, Taman

Ismail Marzuki, Jakarta. Pada

kesempatan ini ia bertemu dengan

Nashar pertama kali dan pada

kesempatan itu Nashar memuji

karya-karya Nunung yang sedang

dipamerkan. Nunung pun sudah

sejak lama mengagumi karya-karya

Nashar. Singkat cerita, kesempatan

ini Nunung ambil untuk berani

nyantrik kepada Nashar: ia acapkali

berbulan-bulan hidup di Jakarta

dan melukis di bawah bimbingan

sang pelukis kelahiran Padang

Pariaman ini. Ada beberapa alasan

yang membuat Nunung merasa nyaman

dan cocok untuk belajar langsung

di bawah bimbingan Nashar. Salah

satunya adalah Nashar memandangnya

sebagai rekan yang sederajat dan

7
PENGANTAR KURATORIAL

tidak canggung bahwa Nunung adalah perempuan.1

Di bawah bimbingan Nashar, kesadaran Nunung dalam melukis mulai berubah dari sebelumnya. Benda-benda, objek, dan pemandangan di sekitar dirinya mulai diwujudkan dalam sejumlah penyederhanaan yang bebas, bahkan melanggar kaidahkaidah bentuk dan anatomi figuratif (nonteknis) dan komposisi rupa yang

8
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

membidang dengan warna-warna pastel yang tegas.

Akan tetapi, rupa pada lukisan

itu tidak hadir pada karya-karya

gambar Nunung. Di sini ia justru

lebih ekspresif dan efisien dalam

mengelola tinta cina, arang, dan

cat air atau akrilik di atas

kertas. Gambar-gambarnya banyak

mewujud dengan tarikan-tarikan

senapas dari cat air dengan

sejumlah palet warna seperti biru, kuning, dan merah muda yang ringan diiringi dengan goresan-goresan arang. Nunung mengimba secara

lebih “manasuka” objek-objek yang

menggetarkan hatinya. Pada periode ini kita akan mendapati judul-judul karya yang merujuk ke sejumlah

lokasi tipikal seperti Bali, Maninjau, dan Borobudur.

Kekaryaan Nunung pada periode

ini menunjukkan apa yang disebut

9
PENGANTAR KURATORIAL

kritikus seni Sanento Yuliman

sebagai lirisisme. Oleh Yuliman, banyak pelukis Indonesia yang

mewujudkan pengalaman liris, yakni

tentang alam atau kehidupan “tanpa

melukis benda-benda dalam alam

itu sendiri.”2 Meskipun beberapa

kali kita masih dapat melihat dan

merasakan bentuk bentuk perbukitan

dalam karya Maninjau Nunung, tetapi

rupa yang realistis dari lembah

Maninjau tak terlihat dalam karyakarya Nunung, terlebih kita tidak

merasakan acuan-acuan tentang

horison. Tidak ada ilusi yang

mengimba dunia nyata dalam karya

10
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

ini, melainkan “ketidakaturan dan variasi dalam bentuk, yang

memperlihatkan rupa yang mempunyai prototipenya dalam alam” untuk

“mengungkapkan emosi dan perasaan pelukis dalam mengalami dunia.”3

Oleh Yuliman, lirisisme ini menandai seni lukis abstrak Masa Ketiga yang digeluti oleh banyak

pelukis Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.

Nashar, pembimbing Nunung, punya pemahaman yang unik sebagai pelukis

perihal keterhubungan manusia dan alam. Nashar selalu berusaha ingin “bersatu dengan alam” yang

ia elaborasi lagi dengan ungkapan, “Aku perhatikan sebuah kursi, aku

rasakan benda itu, hingga timbul

perasaan padaku bahwa kursi itu

ialah aku sendiri.”4 Pada Nunung, prinsip melukis itu hadir melalui

kesadarannya untuk tidak terlalu

bergantung pada indra penglihatan.

11
PENGANTAR KURATORIAL

Ia justru diminta Nashar untuk merasakan angin, mencium aroma, dan seterusnya, serta mendayagunakan intuisinya sebanyak mungkin.

Melalui ungkapannya, Nashar ingin menyatakan bahwa manusia memang seharusnya menjadi bagian dari alam dan bukan kebalikannya, alam menjadi entitas yang diobjektifikasi manusia. Oleh karena kondisikondisi tertentu, batin atau jiwa manusia juga seringkali tidak selaras dengan ritme-ritme alam.

Kita bisa menggarisbawahi bahwa periode di bawah bimbingan Nashar adalah saat di mana Nunung melatih diri untuk menajamkan kepekaan indrawinya, untuk menubuhkan dan menyelaraskan jiwanya dengan segala sensasi dan ritme-ritme alam.

Membicarakan tentang cerapan seniman pada alam, Bali memiliki posisi penting bagi Nunung, yang

12
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

juga diinspirasi oleh Nashar.

Nunung pernah menyebut bahwa Bali

merupakan “surga” bagi mata dan batinnya yang membuatnya lebih

mudah menghayati dan dengan demikian manunggal bersama alam.

Nunung sempat beberapa kali

menghabiskan waktu cukup lama di Bali bersama Nashar untuk melukis

setidaknya pada pertengahan 1970an sampai 1980-an. Bagi Nunung, Bali juga menawarkan tata kehidupan yang holistis di mana kehidupan

spiritual tidak terpisahkan dengan

kehidupan sekuler atau sehari-hari.

Maka Nunung selalu terkesima ketika

melihat upacara karena di dalamnya

“ada warna, gerak tarian, suara gending, dan musik yang menjadi satu.”5

Sebenarnya Bali tidak hanya

memesona Nunung dan Nashar, melainkan juga pelukis-pelukis

mancanegara dan dalam negeri

13
PENGANTAR KURATORIAL

sebelum dan sesudah mereka.

Ketertarikan ini lebih kurang

dipengaruhi atau bahkan dibentuk

oleh romantisasi dan imajinasi

Bali melalui lukisan-lukisan para pelukis Eropa yang bermukim di Bali

pada masa kolonial, terutama pada abad ke sembilan belas hingga dua puluh.

Akan tetapi jika ditilik lagi,

Nashar dalam catatannya berusaha

tidak mengulangi idealisasi

turistik dari para pelukis Eropa itu. Dalam catatannya ia pernah

tinggal sebuah desa miskin untuk

merasakan kehidupan Bali secara

lebih nyata di luar imajinasiimajinasi bentukan itu.6

Nunung pun demikian, kehidupan

berkeseniannya di Bali ia lakukan

dengan sederhana, bahkan cenderung

bohemian karena ia acapkali hanya

singgah di gardu-gardu atau

14
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

menempati rumah kontrakan sederhana di Bali untuk beristirahat.

Perkembangan karya Nunung yang

kedua berkutat pada ekspresi gestural, yang tercermin pada

sapuan-sapuan kuas yang makin ekspresif dan semarak. Perkembangan ini sangat intensif ia jelajahi

pada periode akhir 1980-an hingga

awal 1990-an. Dalam periode ini

penghayatan Nunung makin mendalam

terhadap benda-benda dan alam di sekitarnya, yang justru dalam

manifestasinya makin menjauhi

bentuk-bentuk atau figur-figur yang ia lihat di alam. Ini justru

bertolak dari penjiwaan Nunung pada alam dan kehidupan sekeliling yang makin menubuh.

Nunung juga makin terobsesi dengan

warna. Palet-palet warnanya pun makin beragam. Persepsinya pada

warna memperlihatkan juga bagaimana

15
PENGANTAR KURATORIAL

warna menyatu dengan dirinya atau

menjadi perpanjangan atas indra atau dirinya sendiri. Maka dari itu warna menjadi media untuk

ungkapan yang liris, seperti yang

ia nyatakan, “Warna bukan hadir

sebagai warna, tetapi warna itu hadir sebagai ekspresi juga sebagai ungkapan rasa pribadi yang dalam.”7

Dalam menjelajahi ekspresi gestural ini, Nunung juga meneladani

ekspresi khas kaligrafi, tidak

hanya kaligrafi Arab, melainkan

juga Jepang dan Tiongkok.

Ekspresi yang kaligrafis ini makin

menuntun Nunung kepada pencarian

pengalaman spiritual. Lekaklekuk garis (khat) yang khas pada

kaligrafi menginspirasi Nunung

dalam melahirkan sejumlah karyakarya dengan sapuan yang ekspresif

16
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

dan semarak, sekaligus efisien dan hening.

Gairah seniman untuk mencari dan merasakan daya spiritual sangat

umum terjadi pada periode 1970an hingga 1980-an. Gairah ini juga

tidak terpisahkan dengan kerinduan para seniman pada budaya tradisi yang menjadi asal-usul mereka

ataupun yang tidak. Satu alasan yang menyebabkan kecenderungan

17
PENGANTAR KURATORIAL

ini adalah kehidupan atau tata

sosial modern telah merenggut atau menggantikan tata kehidupan tradisi yang holistis. Kehidupan

modern yang diperkenalkan secara

paksa oleh kolonialisme memisahkan antara kehidupan spiritual dan yang sehari-hari. Ini memberikan kegamangan bagi orang-orang Indonesia modern.

Keberjarakan seniman Indonesia pada

hal-hal yang bersifat spiritualtradisional memberikan motivasi

kepada seniman dan penyair untuk

kembali mendekatinya. Sastrawan dan pemikir sastra Abdul Hadi

WM mengelaborasi tiga motivasi

perupa dan sastrawan Indonesia

untuk mendekati dan menyikapi

kembali tradisi pada rentang tahun

1970-an hingga 1980-an. Pertama

adalah adaptasi unsur-unsur

budaya tradisional demi inovasi

gaya ungkap. Para seniman dengan

18
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

kecenderungan ini melihat tradisi sebagai unsur yang relevan bagi dunia mutakhir. Kedua, mengadaptasi kebudayaan daerah tertentu seperti

Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, dan lain-lain untuk memberi corak

khas terhadap kesenian Indonesia. Ketiga, meneladani aspek-aspek spiritual dan agama tertentu dengan

menyadari bahwa budaya tradisional masyarakat Indonesia diperkaya oleh

agama-agama dan kepercayaan besar.8

Dari ketiga motif yang diajukan

Abdul Hadi, kecenderungan Nunung

dapat masuk ke motivasi pertama dan ketiga.

Meskipun Nunung kurang cocok disebut sebagai seniman yang

terinspirasi oleh tradisi, tetapi

latar belakang Islam keluarganya

yang kental membuatnya juga

dibentuk oleh tradisi Jawa yang

telah lama berakulturasi dengan

Islam. Nunung dibesarkan dalam

19
PENGANTAR KURATORIAL

naungan kehidupan golongan santri

yang memberinya landasan dan pola pikir religius yang kuat. Terlebih, suasana kehidupan Islam tradisional ini juga menjadikan Nunung

merasakan pengalaman spiritual yang spesifik, yang lantas membuatnya untuk selalu mencari pengalamanpengalaman spiritual berikutnya melalui laku melukis.

Tentu saja peneladanan Nunung pada

kaligrafi tidak mengarahkannya

kepada pemunculan tulisan kaligrafi di dalam lukisannya. Nunung

tidak terjebak kepada penciptaan

kaligrafi—terutama Islam—yang hanya

mengarahkan kepada pernyataanpernyataan doktrin dan teologi.

Nunung mungkin justru lebih

bersemangat untuk memahami apa yang

disebut oleh Abdul Hadi sebagai

Islam yang menjadi bagian tak

terpisahkan dalam perkembangan

tradisi dan peradaban masyarakat

20
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

Nusantara yang membentuk sistem

kepercayaan, peribadatan, dan

bentuk-bentuk spiritualitasnya.9

Untuk yang terakhir Nunung memenuhi

salah satu wawasan estetik Islam

yang diajukan oleh Abdul Hadi

WM, bahwa, “berkesenian merupakan

ikhtiar mentransformasikan

gagasan dan pengalaman batin ke

dalam objek-objek estetik, bukan

mentransformasikan objek-objek di luar dirinya yang dicapai oleh

penglihatan indra.”10 Melaluinya, ekspresi kekaryaan Nunung pada

periode ini naik setahap dari periode sebelumnya.

Ditegaskan kembali bahwa

perkembangan praktik Nunung WS

dikenali sebagai penemuan inovasi

yang diilhami atas pencarian

spiritual yang tidak terpisahkan

dari kehidupan tradisional yang

selama ini berkelindan dengan

pengaruh Islam. Pencarian yang

21
PENGANTAR KURATORIAL

spiritual oleh Nunung ternyata

menunjukan tidak terpisahkannya hal-hal spiritual dan budaya tradisi. Ini yang lantas

digarisbawahi oleh filsuf A.K.

Comaraswamy, bahwa tradisi selalu

menuntun kepada yang asali dan senantiasa mampu mewujudkan ekspresi estetik dari ilham atau

perenungan yang bersumber dari yang transenden.11

Ekspresi-ekspresi gestural kaligrafi menuntun Nunung pada periode

kekaryaan ketiga, yang menariknya makin dalam kepada pencarianpencarian suasana spiritual.

Periode ketiga ini terjadi sejak pertengahan 1990-an hingga sekarang.

Ekspresi Nunung yang meneladani kaligrafi gestural bisa dikatakan tidak berlanjut pada pertengahan

1990-an. Ia menemukan gaya ungkap

22
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

lain yang memungkinkannya terhubung pada pengalaman spiritual secara lain. Ia mulai mengembangkan bidang warna dan tumpukantumpukannya. Perbedaan mendasar dari ekspresi sebelumnya adalah pada periode ini Nunung banyak menghabiskan waktu untuk merenung dan membuat rancangan sebelum karya diekseskusi. Pada periode abstrak gestural sebelumnya Nunung lebih

banyak mengandalkan spontanitas dan intuisi. Pada periode ini lukisanlukisan Nunung hadir dengan palet warna yang efisien.

Pada periode ketiga ini goresangoresan Nunung makin membentuk bidang dengan palet warna yang makin cermat. Bidang-bidang itu bertumpuk dengan batas-batas yang menyugestikan suasana ambang.

Langkah lain yang signifikan mulai dilakukannya dengan menyematkan objek-objek konkret pada

23
PENGANTAR KURATORIAL

lukisannya, misalnya dengan kertas transparan. Kertas transparan ini meredam intensitas warna pada bidang yang ditumpuknya sehingga

memberikan sensasi temaram. Nuansa konkret juga dihadirkan Nunung

melalui kertas yang dilipat dengan beberapa cara. Objek konkret dan sensasi rupa yang dihasilkan dari

upaya non-melukis ini menghadirkan “nuansa abstraksi” yang kaya sekaligus menggetarkan. Gaya ungkap ini menunjukkan meluasnya sumber inspirasi Nunung. Nuansa transparan dan temaram itu bersumber dari sensasi rupa yang dilihat Nunung dan kelindan rumit benang-benang pada sarung ayahnya ataupun pada kain tenun Nusantara. Lipatanlipatan pada lukisannya dihadirkan dari ingatan masa kecil Nunung saat bermain melipat kertas.

Ini membuktikan bahwa pencarian Nunung terhadap yang spiritual

24
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

selalu bersumber pada kenyataan atau dunia material yang dinamis dan sehari-hari. Dengan dimediasi laku-laku khas seni lukis, Nunung

mencapai pengalaman mistik. Tidak berlebihan jika kritikus seni Carla

Bianpoen pernah menyebut Nunung, melalui laku melukisnya, sebagai peziarah di Tanah Suci.12

Dapat digarisbawahi pula bahwa

kekaryaan Nunung WS adalah sebuah daur. Nunung selalu menengok dan meramu kembali pencapaianpencapaiannya terdahulu dengan

kesadaran-kesadaran yang baru. Ini menuntunnya kepada cecabang baru yang membuka banyak kemungkinan. Pendekatan ini membuat tubuh

kekaryaan Nunung khas: selalu ada pola atau order dalam cara menarik garis, penggunaan bahan, warna, dan seterusnya. Kita berhadapan dengan

25
PENGANTAR KURATORIAL

sebuah perkembangan kekaryaan yang

tertata dan terukur.

NUNUNG WS DI TENGAH MEDAN SENI RUPA

INDONESIA

Menuju kematangannya sebagai

seniman dan manusia, Nunung

memang digerakkan oleh daya-daya

spiritual. Melukis adalah metodenya bersenandika dan merenung untuk

mencapai taraf spiritualitas demi

mencapai kemanunggalan jiwa dengan

zat-zat transenden. Ini adalah

sebuah upaya yang membutuhkan

komitmen total sepanjang hidupnya.

Komitmen yang diambil Nunung

bukannya tanpa tantangan, mengingat

dirinya adalah perempuan perupa

Indonesia di tengah medan seni rupa dan struktur kehidupan yang masih

26
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

terbelenggu patriarki, terutama pada masa Orde Baru.

Masa 1980-an hingga 1990-an adalah masa di mana Nunung WS sangat aktif berkarya. Ia sangat sering berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Nunung juga acapkali melakukan perjalanan dan residensi seni, serta memperoleh sejumlah penghargaan. Situasi ini tampak

menjadi anomali, mengingat Orde

Baru mengekang kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dunia seni. Aktivis gender Julia Suryakusuma telah

menuturkan bahwa represi terhadap

perempuan pada masa Orde Baru adalah berupa idealisasi dari peran tertentu perempuan yang menjebak mereka dalam ranah domestik.13

Dalam bidang seni rupa, Carla

Bianpoen dan seniman Mella Jaarsma

menyatakan bahwa seniman perempuan

27
PENGANTAR KURATORIAL

masih jarang dilibatkan dalam

pameran-pameran seni rupa berskala

besar atau arus utama pada 1980an hingga 1990-an. Dalam pendapat

mereka, ini disebabkan oleh

stereotip pelaku seni dominan, yakni laki-laki, yang meyakini

bahwa karya seniman perempuan

kurang bermutu atau motivasinya

berkeseniannya minim, sehingga

layak disebut sebagai perupa paruh

waktu atau perupa hari minggu.14

Bianpoen dan Jaarsma memperlihatkan

penyebab munculnya stereotip itu

dengan fakta-fakta yang menyedihkan

yang terjadi pada sejumlah perupaperupa perempuan Indonesia setelah

mereka menikah dengan teman-teman seprofesinya. Aktivitas melukis dan berkesenian mereka terhalang oleh

peran-peran domestik mereka sebagai

istri dan ibu, yang mencerminkan

28
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

harus mengalahnya mereka pada ego

sang suami yang juga seniman.15

Nunung mengakui bahwa ia beruntung

memiliki keluarga yang menjunjung

kesetaraan dalam pembagian

tugas dalam berumah tangga. Di depan calon suaminya, Nunung yang sejak lama telah berikrar

menjadi pelukis, secara asertif

menyatakan bahwa keputusan

apapun yang ia ambil dalam hidup, termasuk menikah, melahirkan, dan membesarkan anak, tidak boleh

menghalanginya untuk terus melukis.

Begitupun Nunung yang juga tidak

akan menghalangi calon suaminya

untuk melukis. Nunung dan Sulebar

Sukarman, calon suaminya itu

akhirnya menikah pada 1978 dan dikaruniai seorang putra bernama

Seno Ahmad pada 1979. Mereka terus

merawat komitmen-komitmen mereka

29
PENGANTAR KURATORIAL
30 NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

sebagai pasangan hingga Sulebar

berpulang pada Mei, 2022 lalu.16

Meskipun cukup banyak mendapatkan keleluasaan, Nunung tidak berada pada posisi nyaman. Ia menyadari masih ada ketimpangan dalam kesempatan yang dimiliki oleh seniman perempuan Indonesia untuk berkarya dan berpameran.

Ia kemudian bersama-sama sejumlah seniman perempuan mendirikan kelompok Nuansa Indonesia pada 1985. Ia lantas menjabat sebagai sekretaris dalam kelompok itu.

Anggaran dasar kelompok Nuansa Indonesia kurang lebih menyatakan menyatakan bahwa kelompok ini hendak memperjuangkan kedudukan seniman perempuan Indonesia sambil meningkatkan martabat seni rupa Indonesia sebagai profesi.17

Nuansa Indonesia telah melakukan sejumlah pameran dan di antaranya

PENGANTAR KURATORIAL 31

juga berkolaborasi dengan senimanseniman perempuan di Malaysia. Namun, aktivitas kelompok ini menurun dan berhenti pada

pertengahan 1990-an.

Bagaimanapun Nunung terus

berkarya hingga kini dengan

beragam ekpektasi dan tantangan yang dihadapinya. Maka dari itu

seniman Teguh Ostenrik pernah

menyebut Nunung sebagai seorang

perempuan belum pernah gagal untuk

membebaskan dirinya dari normanorma konvensional kehidupan.18

32 NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
ARSIP NUNUNG WS

CATATAN AKHIR

1) Carla Bianpoen dan Mella Jaarsma, “Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi”, dalam Perempuan Indonesia, Dulu dan Kini, Mayling Oey-Gardiner

Mildred L.E. Wagemann, Evelyn Suleeman, Sulastri (ed.). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) hlm. 87.

2) Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1975), hlm. 37.

3) Ibid. hlm. 37, 40.

4) Nashar, “Surat Ketiga Belas”, dalam Nashar oleh Nashar (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), hlm. 273.

5) Wawancara dengan Nunung WS pada 17 Mei 2023.

6) Nashar op. cit. hlm. 147, 151.

7) Nunung WS, “Wawasan berkarya”, dalam Katalog

Pameran Tunggal Nunung WS di Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta, 6-14 Desember 1989.

8) Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”, dalam Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik Dr. Abdul Hadi WM, Ali Akbar (edi.) (Jakarta: Penerbit

Pustaka Firdaus, 1999), hlm.6.

9) Ibid. hlm. 13.

10) Ibid. hlm. 15.

11) Ray Livingstone, The Traditional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1962), hlm. 15-17.

12) Carla Bianpoen, “A Pilgrim to Holy Land”, The Sunday Observer, 26 Oktober 1997.

13) Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 18-19.

14) Bianpoen dan Jaarsma op. cit. hlm. 74.

15) Bianpoen dan Jaarsma op. cit. hlm. 80.

16) Wawancara dengan Nunung WS pada 17 Mei 2023.

17) Sanento Yuliman, “Wanita Indonesia dan Seni Lukis” dalam katalog pameran Nuansa: Pameran Seni Lukis Wanita Indonesia-Malaysia, 1991.

18) Teguh Ostenrik, Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi, hlm. 89.

33
PENGANTAR KURATORIAL

PERIODE NASHAR

34
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

AWAL PERJALANAN

oil on canvas

70 x 80 cm 1977

35
PERIODE NASHAR

oil on canvas

80 x 100 cm

1978

36
BUNGA DI TAMAN
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
37 PERIODE NASHAR
38 NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
39 PERIODE NASHAR
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN 40
PERIODE NASHAR 41

BIDANG DI ATAS BIDANG

42
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
43
BIRU DAN HITAM
BIDANG DI ATAS KERTAS
acrylic on canvas 90 x 80 cm 2022

BIRU, KUNING DAN PUTIH

80 x 90 cm acrylic on canvas 2022

44
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
45 BIDANG DI ATAS KERTAS
GARIS-GARIS MERAH acrylic on canvas 150 x 150 cm 2017

acrylic on canvas

150 x 125 cm

2020

46 NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
HORISON

HIJAU

47 BIDANG DI ATAS KERTAS
LUKISAN acrylic on canvas 160 x 125 cm 2020

LUKISAN KUNING

acrylic on canvas

110 x 90 cm

2020

48 NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
49
VERZON acrylic on canvas 150 x 150 cm (7 panel)
BIDANG DI ATAS KERTAS
2009

TENUN

50
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
TENUN 51
AN NISA
acrylic on canvas 180 x 500 cm (5 panel) 2022

DIMENSI TENUN (LINGKARAN HIJAU KECIL DI KIRI ATAS)

acrylic on canvas 140 x 140 cm

2022

52
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

DIMENSI TENUN #1

acrylic on canvas 150 x 125 cm 2021

53 TENUN
54
DIMENSI TENUN #3
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
acrylic on canvas 140 x 120 cm 2022

DIMENSI TENUN #5

acrylic on canvas 160 x 280 cm (3 panels)

2022

55
TENUN

DIMENSI TENUN

acrylic on canvas 140 x 140 cm 2022

56
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
57
LUKISAN MERAH
TENUN
acrylic on canvas 150 x 120 cm 2020

KERTAS DI ATAS BIDANG

58
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
59
BUNGA KUNING acrylic on canvas
KERTAS DI ATAS BIDANG
160 x 125 cm 2002
60
BUNGA MERAH acrylic on canvas
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
140 x 120 cm 2023
61
HITAM PUTIH acrylic on canvas 110 x 90 cm
KERTAS DI ATAS BIDANG
2020
62
KEINDAHAN KALIGRAFI collage, acrylic on canvas 150 x 125 cm
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
2021

acrylic on canvas 120 x 140 cm 2022

63
LIPATAN MERAH PADA HITAM
KERTAS DI ATAS BIDANG

THE SPI RIT WIT HIN

A Curatorial Introduction to Nunung WS Retrospective Exhibition

National Gallery of Indonesia

64
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

NUNUNG WS is a name that stands for consistency, endurance, and energy in Indonesian abstract painting. Born Siti Nurbaya, she took the name Nunung—which was her childhood nickname—and took WS, an abbreviation of Wachid Sa’ad, the name of her father whom she always respected. Nunung’s career spans from the early 1970s to this very day. She has made hundreds of paintings. In addition to consistency, she has explored several styles.

The Spirit Within is a retrospective exhibition by Nunung WS. The exhibition is not all about Nunung’s previous works,

65
THE SPIRIT WITHIN

which might suggest that the end of her career is in sight. Instead, the exhibition includes many of Nunung’s most recent works, which were created between 2020 and 2023. Nonetheless, they still represent the important peaks or bodies of her work.

NUNUNG WS IN THREE PERIODS OF WORK

If we line them up, Nunung’s bodies of work cover three periods: The first is the artistic manifestation of Nunung’s perception of nature around her. When Nunung was at the peak of her indecision and dissatisfaction with the art education process at Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera)—where she studied, an opportunity brought her to Jakarta. It was during an exhibition of her class in 1971 at the Cipta Gallery, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. On this occasion,

66
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

Nunung encountered Nashar for the first time, who praised her works that were on display. Nunung had been admiring Nashar’s works for a long time. Long story short, Nunung took this opportunity to pursue art under Nashar’s guidance: she often spent months living in Jakarta where she painted under the mentorship of the Padang Pariaman-born painter. There are several reasons that made her feel comfortable and at ease when learning directly from Nashar. One of them is that Nashar saw her as an equal partner and was not awkward about the fact that Nunung is a woman.1

Under the mentorship of Nashar, her awareness of painting began to shift from where it had been before. The objects and scenery around her began to be manifested in a number of free simplifications,

67
THE SPIRIT WITHIN

even violating the rules of figurative (non-technical) form and anatomy, as well as compositions in the field of bold pastel colors.

However, the image in the painting was not present in Nunung’s drawings. She was more expressive and efficient in managing Chinese ink, charcoal, and watercolor or acrylic on paper. Many of her drawings took shape with breathless pulls of watercolor with a palette of colors such as blue, yellow, and light pink mixed with strokes of charcoal. Nunung depicted more “arbitrarily” the objects that stirred her heart. In this period, we find titles of works that refer to typical locations such as Bali, Maninjau, and Borobudur.

Nunung’s works of this period exhibit what art critic Sanento

Yuliman called lyricism. According

68
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

to Yuliman, many Indonesian painters embodied a lyrical experience of nature or life “without painting objects in nature itself.”2 Although we can still see and sense the shape of the hills in Maninjau by Nunung on several occasions, the realistic image of the Maninjau valley was absent from Nunung’s works, especially since there was no sense of reference to the horizon. There was no

69
THE SPIRIT WITHIN

illusion that depicting the real world in these works, but rather “irregularities and variations in shapes, which show a form that has its prototype in nature” to “express the artist’s emotions and feelings in experiencing the world.”3 This lyricism, as Yuliman mentioned it, marks the Third Period abstract painting that many Indonesian painters have been working on since the late 1960s.

The mentor, Nashar, has a unique understanding as a painter regarding the connection between humans and nature. Nashar always tried to “unite with nature,” which he elaborated with the phrase “I look at a chair, I feel it until the realization comes to me that I am the chair itself.”4 For Nunung, the principle of painting comes through her awareness of not relying too much on her sense of

70
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

sight. Instead, she was told by Nashar to feel the wind, smell the scents, and so on, and harness her intuition as much as possible.

Through his words, Nashar wanted to state that humans are supposed to be part of nature and not the other way around, with nature being the entity that humans objectify. Due to certain conditions, the human mind or spirit might also be out of sync with the rhythms of nature. We can underline that the period under Nashar’s mentorship was a time when Nunung worked on refining her sensory sensibilities, to establish and harmonize her spirit with all the sensations and rhythms of nature.

In terms of how artists immerse themselves in nature, Bali holds an important place for Nunung, who was also inspired by Nashar.

71
THE SPIRIT WITHIN

Nunung once mentioned that Bali was a “paradise” for her eyes and mind which made it easier for her to appreciate and thus be one with nature. Nunung spent several long periods of time in Bali along with Nashar to paint at least in the mid-1970s and 1980s. For Nunung, Bali also offers a holistic way of life where spiritual life is inseparable from the mundane or profane world. Therefore, Nunung is always amazed when seeing ceremonies because in them “there are colors, dance movements, the sound of gending and music become one.”5

Indeed, Bali has fascinated not only Nunung and Nashar but also foreign and local painters before and after them. These interests were more or less influenced or even shaped by the romanticization and imagination of Bali through

72
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

the paintings of European painters who settled in Bali during the colonial period, especially in the nineteenth to twentieth centuries. In retrospect, however, it seemed that Nashar was trying not to repeat the touristic idealization of the European painters. In his journal, he once lived in a poor village to experience Balinese life in a more real way outside of these imaginings.6 In a similar way, Nunung’s artistic life in Bali was humble, even bohemian as she often only stayed in shelters or rented houses in Bali.

The second phase of Nunung’s work developed around gestural expression, which was reflected in increasingly expressive and vibrant brushstrokes. She explored this very intensively in the period from the late 1980s to the early 1990s. During this period, Nunung’s

73
THE SPIRIT WITHIN

appreciation of the objects and nature around her deepened, which in manifestation became more distant from the forms or figures she saw in nature. Instead, Nunung’s sense of nature and life around her grew more and more intense.

Nunung has also become more obsessed with color. Her color palette has also become more

74
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

diverse. Her perception of the color showed how color merged with her or became an extension of her senses or herself. Therefore, color becomes a medium for lyrical expression, as she stated, “Color is not there as color, but it is there as an expression as well as an embodiment of deep personal feelings.”7

While exploring these gestural expressions, Nunung also emulated the typical expressiveness of calligraphy, not only Arabic calligraphy but also Japanese and Chinese. These calligraphic expressions even led Nunung to seek spiritual experiences. The distinctive lines (khat) of calligraphy inspired Nunung to create a series of works with

75
THE SPIRIT WITHIN

strokes that are expressive and lively, yet efficient and quiet.

The desire of artists to seek and experience spiritual power was prevalent during the 1970s and 1980s. This desire was also inseparable from the artists’ longing for the traditional culture from which they came or did not come. One reason for this tendency was that modern life or social order had taken away or replaced the holistic traditional way of life. Modern life, as forcibly introduced by colonialism, separates the spiritual from the everyday. This has left modern Indonesians in limbo.

The distance of Indonesian artists from spiritual-traditional matters has given artists and poets the motivation to return to it.

76
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

elaborated on three motivations for Indonesian artists and writers to approach and re-address tradition during the 1970s and 1980s. The first is the adaptation of traditional cultural elements in order to innovate their style of expression. Artists with this tendency see tradition as an element that is relevant to the contemporary world. Secondly, adapting certain regional cultures such as Java, Minangkabau, Malay Riau, and others to give a distinctive style to Indonesian art. Thirdly, to adapt certain spiritual and religious aspects by realizing that the traditional culture of Indonesian society is enriched by major religions and beliefs.8 Of these three motives that Abdul Hadi suggested, the first

77
THE SPIRIT WITHIN

and third are more likely to be Nunung’s tendencies.

Although Nunung might be less described as a tradition-inspired artist, her family’s strong Islamic background has shaped her along with the Javanese traditions that have been closely intertwined with the distinctive Islam. Growing up under the roof of the Islamic “santri” community, she formed a strong religious foundation and mindset. Moreover, this traditional Islamic setting also gave Nunung a specific spiritual experience, which led her to constantly seek further spiritual experiences through the practice of painting.

Indeed, Nunung’s adoration of calligraphy did not lead to the appearance of calligraphic writing in her paintings. Nunung did not fall into the trap of creating

78
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

calligraphy—especially Islam—that only led to statements of doctrine and theology. Instead, Nunung was probably more eager to understand what Abdul Hadi referred to as Islam, which became an integral part of the development of the traditions and civilization of the archipelago that shaped its belief system, rituals, and forms of spirituality.9 Nunung fulfilled one of the Islamic aesthetic ideas of Abdul Hadi WM, that, “Art is an attempt to transform ideas and spiritual experiences into aesthetic objects, rather than transforming objects outside of oneself that are reached by sensory vision.”10 Through this period, Nunung’s artistic expression has advanced a step from where it was in the previous period.

Furthermore, it was reaffirmed that the development of Nunung

79
THE SPIRIT WITHIN

WS practice was recognized as an innovation inspired by a spiritual quest that was inseparable from the traditional life that had been intertwined with Islamic influences. Nunung’s spiritual pursuit shows the inseparability of spirituality and traditional culture. This is highlighted by A.K. Comaraswamy, a philosopher who said tradition always leads to the original and is always able to realize the

80
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

aesthetic expression of inspiration or contemplation that comes from a transcendent source.11

The gestural expressions of calligraphy led Nunung to a third period of her work, which drew her deeper into the search for a spiritual atmosphere. This third period took place from the mid1990s to this day.

It is safe to say that Nunung’s expression modeled on gestural calligraphy did not last beyond the mid-1990s. She discovered a different style of expression that allowed her to connect to spiritual experiences in another way. She started to develop her color fields and stacks. The fundamental difference from his previous expression is that in this period Nunung spent a lot of time contemplating and designing before

81
THE SPIRIT WITHIN

the work was executed. In the previous abstract gestural period, Nunung relied more on spontaneity and intuition. In this period Nunung’s paintings come with an efficient color palette.

During this third period, Nunung’s strokes became more plane-shaped with a carefully crafted color palette. They were layered with borderlines that suggested a threshold atmosphere. Another significant step she took was to embed concrete objects in her paintings, such as transparent paper. This transparent paper dampens the intensity of the colors in the layered shapes, giving a dim sensation. The concrete nuance was also presented by Nunung through the papers that were folded in several ways. The concrete objects and visual sensations achieved through these non-painting attempts

82
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

have presented a rich yet thrilling “nuances of abstraction”. This style of expression showed the breadth of Nunung’s sources of inspiration. The transparent and dim nuances derived from the visual sensations Nunung saw and the intricate intertwining of threads in her father’s sarong or the woven fabric of Nusantara. The folds in her paintings came from Nunung’s childhood memories of folding paper.

This style of expression showed the broadness of Nunung’s sources of inspiration. The transparent nuance is delivered through the rich visual sensation of the intricate intertwining of threads in her father’s sarong or the woven fabric of the Nusantara. The folds in her paintings came from Nunung’s

83
THE SPIRIT WITHIN

childhood memories of playing and folding paper.

This proved that Nunung’s search for the spiritual always stemmed from the dynamic, everyday reality of the material world. Mediated by typical painting practices, Nunung has attained a mystical experience. It would be no exaggeration if art critic Carla Bianpoen once referred to her as a pilgrim in the Holy Land through her art practice.12

We can also underline that Nunung WS’s art practice is a cycle. Nunung constantly revisits and remixes her previous achievements with renewed awareness. This leads to new branches that open up many possibilities. This approach is what makes Nunung’s bodies of work distinctive: there is always a pattern or order in the way she draws lines, uses materials,

84
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

colors, and so on. We are dealing with an organized and measured development of her work.

NUNUNG WS IN THE MIDDLE OF THE INDONESIAN ART SCENE

In her quest for maturity as an artist and a human being, Nunung is indeed driven by spiritual forces. Painting is her method of

85
THE SPIRIT WITHIN
NUNUNG WS ARCHIVE

meditating and contemplating to reach the level of spirituality in order to achieve a unity of the spirit within transcendent substances. It is an endeavor that requires a lifetime of commitment. Nunung’s commitment has not been unchallenged, given that she is a female Indonesian artist in the midst of the art scene and living structures that were still shackled by patriarchy, especially during the New Order era.

The 1980s and 1990s were a period when Nunung WS became very involved in her work. She held many exhibitions, both at home and abroad. Nunung also frequently went on trips and art residencies and received a number of awards. This situation appeared to be an anomaly, considering that the New Order restricted the position of women in many fields, including in

86
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

the arts. Gender activist Julia Suryakusuma has said that the repression of women during the New Order was in the form of the idealization of certain roles of women that trapped them in the domestic sphere.13

In terms of art, Carla Bianpoen and artist Mella Jaarsma stated that women artists were rarely involved in large-scale or mainstream art exhibitions in the 1980s and 1990s. In their opinion, this was due to the stereotypes of the dominant art actors, male artists, who believed that women were less qualified or less motivated to make art, and thus deserved to be referred to as part-time or Sunday artists.14

Bianpoen and Jaarsma show the cause of this stereotype with the heart-breaking facts that happened to a number of Indonesian women artists once they married into

87
THE SPIRIT WITHIN

the profession. Their painting and art activities were hindered by their domestic roles as wives and mothers, which reflected the ego of the husbands who were also artists.15

Nunung admitted that she felt lucky to have a family that upholds equality in the distribution of household duties. In front of her future husband, Nunung, who has long vowed to be a painter, assertively stated that whatever decision she makes in life, including getting married, giving birth, and raising children, should not prevent her from continuously painting. And neither would Nunung prevent her future husband from painting. Nunung and Sulebar Sukarman, her then-husband, were married in 1978 and had a son named Seno Ahmad in 1979. They continued to honor their commitments as a

88
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

couple until Sulebar passed away in May 2022.16

Despite the amount of freedom, Nunung was not in a comfortable position. She realized that there was still an imbalance in the opportunities Indonesian women artists had to work and to make exhibitions. Together with a group of fellow female artists, she founded the Nuansa Indonesia collective in 1985. She then served as the group’s secretary. The Nuansa Indonesia collective’s articles stated that the group aimed to advocate for the position of Indonesian women artists while simultaneously upholding the dignity of Indonesian art as a profession.17

Nuansa Indonesia has held a number of exhibitions, including collaborations with female artists

89
THE SPIRIT WITHIN

in Malaysia. But activities of the collective declined and ceased in the mid-1990s.

Nevertheless, Nunung has been working to this day with all the expectations and challenges she has faced. That’s why artist Teguh Ostenrik once called Nunung a woman who has never failed to liberate herself from the conventional norms of life.18

90 NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN
NUNUNG WS ARCHIVE

END NOTES

1) Carla Bianpoen and Mella Jaarsma, “Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi”, in Perempuan Indonesia, Dulu dan Kini, Mayling Oey-Gardiner Mildred L.E. Wagemann, Evelyn Suleeman, Sulastri (eds.). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 87.

2) Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (Jakarta: Jakarta Arts Council, 1975), p. 37.

3) Ibid. hlm. 37, 40.

4) Nashar, “Surat Ketiga Belas”, in Nashar by Nashar (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), p. 273.

5) An interview with Nunung WS on May 17, 2023.

6) Nashar, op. cit. p. 147, 151.

7) Nunung WS, “Wawasan berkarya”, in Katalog Pameran Tunggal Nunung WS in Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta, December, 6-14 1989.

8) Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”, in Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik Dr. Abdul Hadi WM, Ali Akbar (ed.) (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1999), p 6.

9) Ibid. hlm. 13.

10) Ray Livingstone, The Traditional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1962), hlm. 15-17.

11) Ray Livingstone, The Traditional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1962), hlm. 15-17.

12) Carla Bianpoen, “A Pilgrim to Holy Land”, The Sunday Observer, 26 Oktober 1997.

13) Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), p. 18-19.

14) Bianpoen and Jaarsma op. cit. p. 74.

15) Bianpoen and Jaarsma op. cit. p. 80.

16) An interview with Nunung WS on May 17, 2023.

17) Sanento Yuliman, “Wanita Indonesia dan Seni Lukis” in Nuansa: Pameran Seni Lukis Wanita Indonesia-Malaysia the exhibition catalog, 1991

18) Teguh Ostenrik, Women Artists: Between Vision and Illusion, p. 89.

91
THE SPIRIT WITHIN

NUNUNG WS is an abstract artist with a career spanning over half a century. Despite receiving family pressure to study religion, her passion for the arts appeared at an early stage. In particular, she was inspired by Kartika Affandi, the artist daughter of Kusuma Affandi, who served as a role model that women too could succeed in art. Under the guidance of Nashar, Nunung transitioned

93
PROFILE

from the dynamic expressionism of Kartika and her father to more reflective studies, juxtaposing planes of color that are both meditative and jewel-like. She is a masterful and subtle colorist, using luminous hues to create artwork that stimulates and mirrors the subconscious’s dreams and emotions. Their beauty and power quickly earned her acclaim, as well as national and international group and solo exhibitions.

Nunung tries to re-create what she sees, experiences, lives, and feels in nature through color because colors always attract her attention. Therefore, while painting, she is not bound into shapes because it will only limit her work. Instead, she tries to go deep through total comprehension and the abstraction of forms to express her work solely by using

94
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

colors she wanted freely. For Nunung, The art of abstract is a transcendent journey-a spiritual journey. Three crucial factors describe her artistic journey, which is: magic, mystical, and religion. She believes that these three factors emerge as we start to drift away from our traditional and cultural beliefs and helps us create an even stronger bond as we try to push it away or forget it. She described the balancing of life as an interpretation of ‘soulscape,’ the major theme of her painting. She takes what she sees and refracts it through contemplation and her inner spiritual lens to express life through color and shape.

Nunung has been active in the Indonesian art scene and has held exhibitions since the 1970s,in Indonesia and overseas. The

95
PROFILE

education she received from her Islamic family has made her a strong woman, and her independent demeanor can be seen through her paintings. She chose to pursue abstraction because she wants to invite her observers to not only enjoy her work visually but also to understand what goes on during the process of creating her masterpieces.

96
NUNUNG WS THE SPIRIT WITHIN

A RETROSPECTIVE EXHIBITION NUNUNG WS "THE SPIRIT WITHIN"

GEDUNG A, GALERI NASIONAL INDONESIA

8 — 26 JUNI 2023

CURATOR

Chabib Duta Hapsoro

PROJECT OFFICER

Fiametta Gabriela

COMMUNICATION OFFICER

Indah Ariani

PHOTOGRAPHER

Kemal Yusuf

EDITOR & TRANSLATOR

Baiq Nadia Yunarthi

GRAPHIC DESIGNER

Gamaliel W. Budiharga

ART HANDLING

Serrum

INTERN & PUBLIC PROGRAM

Ayasha Siregar

PUBLISHED BY

D Gallerie, Jakarta - June 2023

Jl. Barito I No.3, Kebayoran Baru

Jakarta 12130, +62 21 739 9378

dgalleriejakarta@gmail.com

dgalleriejakarta.com

DIGITAL EDITION

ORGANIZED BY D Gallerie & National Gallery of Indonesia

SPONSORED BY UOB

SUPPORTED BY Jakarta Arts Council & Indonesian Visual Art Archive

ACKNOWLEDGEMENT

Indra Leonardi, Patrick Walujo, Cemara 6 Galeri - Toeti Heraty Museum

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.