
8 — 26 Juni 2023
Gedung A
Galeri Nasional Indonesia
8 — 26 Juni 2023
Gedung A
Galeri Nasional Indonesia
Pengantar Kuratorial
Pameran Retrospektif
Nunung WS
Galeri Nasional Indonesia
Oleh CHABIB DUTA HAPSORO
NUNUNG WS adalah sebuah nama
untuk konsistensi, daya tahan, dan energi dalam seni lukis abstrak Indonesia.
Terlahir dengan nama Siti
Nurbaya, ia menggunakan nama
Nunung—yang merupakan nama
panggilan oleh keluarganya—
dan menyematkan WS, singkatan dari Wachid Sa’ad, nama sang
ayah yang selalu ia hormati.
Karier Nunung merentang
sejak awal dekade 1970an hingga hari ini. Ratusan lukisan telah diciptakannya.
Selain konsistensi, sejumlah gaya ungkap telah ia geluti.
Jiwa dalam Manunggal adalah
sebuah pameran retrospektif oleh
Nunung WS. Pameran ini tidak hanya
menampilkan karya-karya Nunung
terdahulu, yang menunjukkan bahwa seolah kariernya telah selesai. Justru, pameran ini banyak
menghimpun lukisan-lukisan terbaru Nunung, yang diciptakannya pada
periode 2020 hingga 2023. Meskipun demikian, mereka tetap mewakili puncak-puncak atau tubuh-tubuh
kekaryaan Nunung yang penting.
NUNUNG WS DALAM TIGA PERIODE
KEKARYAAN
Jika dijajarkan secara runut, tubuh-tubuh kekaryaan Nunung
mencakup tiga periode: Pertama
adalah manifestasi artistik dari
pencerapan Nunung terhadap alam di sekelilingnya. Ketika Nunung
berada pada masa puncak kebimbangan dan ketidakpuasan pada proses
pendidikan seni rupa di Akademi
Seni Rupa (Aksera) Surabaya—
tempat ia menimba ilmu, ada sebuah
kesempatan yang mengantarkannya ke Jakarta. Kesempatan ini berupa
sebuah pameran angkatan kelasnya
pada 1971 di Galeri Cipta, Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. Pada
kesempatan ini ia bertemu dengan
Nashar pertama kali dan pada
kesempatan itu Nashar memuji
karya-karya Nunung yang sedang
dipamerkan. Nunung pun sudah
sejak lama mengagumi karya-karya
Nashar. Singkat cerita, kesempatan
ini Nunung ambil untuk berani
nyantrik kepada Nashar: ia acapkali
berbulan-bulan hidup di Jakarta
dan melukis di bawah bimbingan
sang pelukis kelahiran Padang
Pariaman ini. Ada beberapa alasan
yang membuat Nunung merasa nyaman
dan cocok untuk belajar langsung
di bawah bimbingan Nashar. Salah
satunya adalah Nashar memandangnya
sebagai rekan yang sederajat dan
tidak canggung bahwa Nunung adalah perempuan.1
Di bawah bimbingan Nashar, kesadaran Nunung dalam melukis mulai berubah dari sebelumnya. Benda-benda, objek, dan pemandangan di sekitar dirinya mulai diwujudkan dalam sejumlah penyederhanaan yang bebas, bahkan melanggar kaidahkaidah bentuk dan anatomi figuratif (nonteknis) dan komposisi rupa yang
membidang dengan warna-warna pastel yang tegas.
Akan tetapi, rupa pada lukisan
itu tidak hadir pada karya-karya
gambar Nunung. Di sini ia justru
lebih ekspresif dan efisien dalam
mengelola tinta cina, arang, dan
cat air atau akrilik di atas
kertas. Gambar-gambarnya banyak
mewujud dengan tarikan-tarikan
senapas dari cat air dengan
sejumlah palet warna seperti biru, kuning, dan merah muda yang ringan diiringi dengan goresan-goresan arang. Nunung mengimba secara
lebih “manasuka” objek-objek yang
menggetarkan hatinya. Pada periode ini kita akan mendapati judul-judul karya yang merujuk ke sejumlah
lokasi tipikal seperti Bali, Maninjau, dan Borobudur.
Kekaryaan Nunung pada periode
ini menunjukkan apa yang disebut
kritikus seni Sanento Yuliman
sebagai lirisisme. Oleh Yuliman, banyak pelukis Indonesia yang
mewujudkan pengalaman liris, yakni
tentang alam atau kehidupan “tanpa
melukis benda-benda dalam alam
itu sendiri.”2 Meskipun beberapa
kali kita masih dapat melihat dan
merasakan bentuk bentuk perbukitan
dalam karya Maninjau Nunung, tetapi
rupa yang realistis dari lembah
Maninjau tak terlihat dalam karyakarya Nunung, terlebih kita tidak
merasakan acuan-acuan tentang
horison. Tidak ada ilusi yang
mengimba dunia nyata dalam karya
ini, melainkan “ketidakaturan dan variasi dalam bentuk, yang
memperlihatkan rupa yang mempunyai prototipenya dalam alam” untuk
“mengungkapkan emosi dan perasaan pelukis dalam mengalami dunia.”3
Oleh Yuliman, lirisisme ini menandai seni lukis abstrak Masa Ketiga yang digeluti oleh banyak
pelukis Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.
Nashar, pembimbing Nunung, punya pemahaman yang unik sebagai pelukis
perihal keterhubungan manusia dan alam. Nashar selalu berusaha ingin “bersatu dengan alam” yang
ia elaborasi lagi dengan ungkapan, “Aku perhatikan sebuah kursi, aku
rasakan benda itu, hingga timbul
perasaan padaku bahwa kursi itu
ialah aku sendiri.”4 Pada Nunung, prinsip melukis itu hadir melalui
kesadarannya untuk tidak terlalu
bergantung pada indra penglihatan.
Ia justru diminta Nashar untuk merasakan angin, mencium aroma, dan seterusnya, serta mendayagunakan intuisinya sebanyak mungkin.
Melalui ungkapannya, Nashar ingin menyatakan bahwa manusia memang seharusnya menjadi bagian dari alam dan bukan kebalikannya, alam menjadi entitas yang diobjektifikasi manusia. Oleh karena kondisikondisi tertentu, batin atau jiwa manusia juga seringkali tidak selaras dengan ritme-ritme alam.
Kita bisa menggarisbawahi bahwa periode di bawah bimbingan Nashar adalah saat di mana Nunung melatih diri untuk menajamkan kepekaan indrawinya, untuk menubuhkan dan menyelaraskan jiwanya dengan segala sensasi dan ritme-ritme alam.
Membicarakan tentang cerapan seniman pada alam, Bali memiliki posisi penting bagi Nunung, yang
juga diinspirasi oleh Nashar.
Nunung pernah menyebut bahwa Bali
merupakan “surga” bagi mata dan batinnya yang membuatnya lebih
mudah menghayati dan dengan demikian manunggal bersama alam.
Nunung sempat beberapa kali
menghabiskan waktu cukup lama di Bali bersama Nashar untuk melukis
setidaknya pada pertengahan 1970an sampai 1980-an. Bagi Nunung, Bali juga menawarkan tata kehidupan yang holistis di mana kehidupan
spiritual tidak terpisahkan dengan
kehidupan sekuler atau sehari-hari.
Maka Nunung selalu terkesima ketika
melihat upacara karena di dalamnya
“ada warna, gerak tarian, suara gending, dan musik yang menjadi satu.”5
Sebenarnya Bali tidak hanya
memesona Nunung dan Nashar, melainkan juga pelukis-pelukis
mancanegara dan dalam negeri
sebelum dan sesudah mereka.
Ketertarikan ini lebih kurang
dipengaruhi atau bahkan dibentuk
oleh romantisasi dan imajinasi
Bali melalui lukisan-lukisan para pelukis Eropa yang bermukim di Bali
pada masa kolonial, terutama pada abad ke sembilan belas hingga dua puluh.
Akan tetapi jika ditilik lagi,
Nashar dalam catatannya berusaha
tidak mengulangi idealisasi
turistik dari para pelukis Eropa itu. Dalam catatannya ia pernah
tinggal sebuah desa miskin untuk
merasakan kehidupan Bali secara
lebih nyata di luar imajinasiimajinasi bentukan itu.6
Nunung pun demikian, kehidupan
berkeseniannya di Bali ia lakukan
dengan sederhana, bahkan cenderung
bohemian karena ia acapkali hanya
singgah di gardu-gardu atau
menempati rumah kontrakan sederhana di Bali untuk beristirahat.
Perkembangan karya Nunung yang
kedua berkutat pada ekspresi gestural, yang tercermin pada
sapuan-sapuan kuas yang makin ekspresif dan semarak. Perkembangan ini sangat intensif ia jelajahi
pada periode akhir 1980-an hingga
awal 1990-an. Dalam periode ini
penghayatan Nunung makin mendalam
terhadap benda-benda dan alam di sekitarnya, yang justru dalam
manifestasinya makin menjauhi
bentuk-bentuk atau figur-figur yang ia lihat di alam. Ini justru
bertolak dari penjiwaan Nunung pada alam dan kehidupan sekeliling yang makin menubuh.
Nunung juga makin terobsesi dengan
warna. Palet-palet warnanya pun makin beragam. Persepsinya pada
warna memperlihatkan juga bagaimana
warna menyatu dengan dirinya atau
menjadi perpanjangan atas indra atau dirinya sendiri. Maka dari itu warna menjadi media untuk
ungkapan yang liris, seperti yang
ia nyatakan, “Warna bukan hadir
sebagai warna, tetapi warna itu hadir sebagai ekspresi juga sebagai ungkapan rasa pribadi yang dalam.”7
Dalam menjelajahi ekspresi gestural ini, Nunung juga meneladani
ekspresi khas kaligrafi, tidak
hanya kaligrafi Arab, melainkan
juga Jepang dan Tiongkok.
Ekspresi yang kaligrafis ini makin
menuntun Nunung kepada pencarian
pengalaman spiritual. Lekaklekuk garis (khat) yang khas pada
kaligrafi menginspirasi Nunung
dalam melahirkan sejumlah karyakarya dengan sapuan yang ekspresif
dan semarak, sekaligus efisien dan hening.
Gairah seniman untuk mencari dan merasakan daya spiritual sangat
umum terjadi pada periode 1970an hingga 1980-an. Gairah ini juga
tidak terpisahkan dengan kerinduan para seniman pada budaya tradisi yang menjadi asal-usul mereka
ataupun yang tidak. Satu alasan yang menyebabkan kecenderungan
ini adalah kehidupan atau tata
sosial modern telah merenggut atau menggantikan tata kehidupan tradisi yang holistis. Kehidupan
modern yang diperkenalkan secara
paksa oleh kolonialisme memisahkan antara kehidupan spiritual dan yang sehari-hari. Ini memberikan kegamangan bagi orang-orang Indonesia modern.
Keberjarakan seniman Indonesia pada
hal-hal yang bersifat spiritualtradisional memberikan motivasi
kepada seniman dan penyair untuk
kembali mendekatinya. Sastrawan dan pemikir sastra Abdul Hadi
WM mengelaborasi tiga motivasi
perupa dan sastrawan Indonesia
untuk mendekati dan menyikapi
kembali tradisi pada rentang tahun
1970-an hingga 1980-an. Pertama
adalah adaptasi unsur-unsur
budaya tradisional demi inovasi
gaya ungkap. Para seniman dengan
kecenderungan ini melihat tradisi sebagai unsur yang relevan bagi dunia mutakhir. Kedua, mengadaptasi kebudayaan daerah tertentu seperti
Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, dan lain-lain untuk memberi corak
khas terhadap kesenian Indonesia. Ketiga, meneladani aspek-aspek spiritual dan agama tertentu dengan
menyadari bahwa budaya tradisional masyarakat Indonesia diperkaya oleh
agama-agama dan kepercayaan besar.8
Dari ketiga motif yang diajukan
Abdul Hadi, kecenderungan Nunung
dapat masuk ke motivasi pertama dan ketiga.
Meskipun Nunung kurang cocok disebut sebagai seniman yang
terinspirasi oleh tradisi, tetapi
latar belakang Islam keluarganya
yang kental membuatnya juga
dibentuk oleh tradisi Jawa yang
telah lama berakulturasi dengan
Islam. Nunung dibesarkan dalam
naungan kehidupan golongan santri
yang memberinya landasan dan pola pikir religius yang kuat. Terlebih, suasana kehidupan Islam tradisional ini juga menjadikan Nunung
merasakan pengalaman spiritual yang spesifik, yang lantas membuatnya untuk selalu mencari pengalamanpengalaman spiritual berikutnya melalui laku melukis.
Tentu saja peneladanan Nunung pada
kaligrafi tidak mengarahkannya
kepada pemunculan tulisan kaligrafi di dalam lukisannya. Nunung
tidak terjebak kepada penciptaan
kaligrafi—terutama Islam—yang hanya
mengarahkan kepada pernyataanpernyataan doktrin dan teologi.
Nunung mungkin justru lebih
bersemangat untuk memahami apa yang
disebut oleh Abdul Hadi sebagai
Islam yang menjadi bagian tak
terpisahkan dalam perkembangan
tradisi dan peradaban masyarakat
Nusantara yang membentuk sistem
kepercayaan, peribadatan, dan
bentuk-bentuk spiritualitasnya.9
Untuk yang terakhir Nunung memenuhi
salah satu wawasan estetik Islam
yang diajukan oleh Abdul Hadi
WM, bahwa, “berkesenian merupakan
ikhtiar mentransformasikan
gagasan dan pengalaman batin ke
dalam objek-objek estetik, bukan
mentransformasikan objek-objek di luar dirinya yang dicapai oleh
penglihatan indra.”10 Melaluinya, ekspresi kekaryaan Nunung pada
periode ini naik setahap dari periode sebelumnya.
Ditegaskan kembali bahwa
perkembangan praktik Nunung WS
dikenali sebagai penemuan inovasi
yang diilhami atas pencarian
spiritual yang tidak terpisahkan
dari kehidupan tradisional yang
selama ini berkelindan dengan
pengaruh Islam. Pencarian yang
spiritual oleh Nunung ternyata
menunjukan tidak terpisahkannya hal-hal spiritual dan budaya tradisi. Ini yang lantas
digarisbawahi oleh filsuf A.K.
Comaraswamy, bahwa tradisi selalu
menuntun kepada yang asali dan senantiasa mampu mewujudkan ekspresi estetik dari ilham atau
perenungan yang bersumber dari yang transenden.11
Ekspresi-ekspresi gestural kaligrafi menuntun Nunung pada periode
kekaryaan ketiga, yang menariknya makin dalam kepada pencarianpencarian suasana spiritual.
Periode ketiga ini terjadi sejak pertengahan 1990-an hingga sekarang.
Ekspresi Nunung yang meneladani kaligrafi gestural bisa dikatakan tidak berlanjut pada pertengahan
1990-an. Ia menemukan gaya ungkap
lain yang memungkinkannya terhubung pada pengalaman spiritual secara lain. Ia mulai mengembangkan bidang warna dan tumpukantumpukannya. Perbedaan mendasar dari ekspresi sebelumnya adalah pada periode ini Nunung banyak menghabiskan waktu untuk merenung dan membuat rancangan sebelum karya diekseskusi. Pada periode abstrak gestural sebelumnya Nunung lebih
banyak mengandalkan spontanitas dan intuisi. Pada periode ini lukisanlukisan Nunung hadir dengan palet warna yang efisien.
Pada periode ketiga ini goresangoresan Nunung makin membentuk bidang dengan palet warna yang makin cermat. Bidang-bidang itu bertumpuk dengan batas-batas yang menyugestikan suasana ambang.
Langkah lain yang signifikan mulai dilakukannya dengan menyematkan objek-objek konkret pada
lukisannya, misalnya dengan kertas transparan. Kertas transparan ini meredam intensitas warna pada bidang yang ditumpuknya sehingga
memberikan sensasi temaram. Nuansa konkret juga dihadirkan Nunung
melalui kertas yang dilipat dengan beberapa cara. Objek konkret dan sensasi rupa yang dihasilkan dari
upaya non-melukis ini menghadirkan “nuansa abstraksi” yang kaya sekaligus menggetarkan. Gaya ungkap ini menunjukkan meluasnya sumber inspirasi Nunung. Nuansa transparan dan temaram itu bersumber dari sensasi rupa yang dilihat Nunung dan kelindan rumit benang-benang pada sarung ayahnya ataupun pada kain tenun Nusantara. Lipatanlipatan pada lukisannya dihadirkan dari ingatan masa kecil Nunung saat bermain melipat kertas.
Ini membuktikan bahwa pencarian Nunung terhadap yang spiritual
selalu bersumber pada kenyataan atau dunia material yang dinamis dan sehari-hari. Dengan dimediasi laku-laku khas seni lukis, Nunung
mencapai pengalaman mistik. Tidak berlebihan jika kritikus seni Carla
Bianpoen pernah menyebut Nunung, melalui laku melukisnya, sebagai peziarah di Tanah Suci.12
Dapat digarisbawahi pula bahwa
kekaryaan Nunung WS adalah sebuah daur. Nunung selalu menengok dan meramu kembali pencapaianpencapaiannya terdahulu dengan
kesadaran-kesadaran yang baru. Ini menuntunnya kepada cecabang baru yang membuka banyak kemungkinan. Pendekatan ini membuat tubuh
kekaryaan Nunung khas: selalu ada pola atau order dalam cara menarik garis, penggunaan bahan, warna, dan seterusnya. Kita berhadapan dengan
sebuah perkembangan kekaryaan yang
tertata dan terukur.
NUNUNG WS DI TENGAH MEDAN SENI RUPA
INDONESIA
Menuju kematangannya sebagai
seniman dan manusia, Nunung
memang digerakkan oleh daya-daya
spiritual. Melukis adalah metodenya bersenandika dan merenung untuk
mencapai taraf spiritualitas demi
mencapai kemanunggalan jiwa dengan
zat-zat transenden. Ini adalah
sebuah upaya yang membutuhkan
komitmen total sepanjang hidupnya.
Komitmen yang diambil Nunung
bukannya tanpa tantangan, mengingat
dirinya adalah perempuan perupa
Indonesia di tengah medan seni rupa dan struktur kehidupan yang masih
terbelenggu patriarki, terutama pada masa Orde Baru.
Masa 1980-an hingga 1990-an adalah masa di mana Nunung WS sangat aktif berkarya. Ia sangat sering berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Nunung juga acapkali melakukan perjalanan dan residensi seni, serta memperoleh sejumlah penghargaan. Situasi ini tampak
menjadi anomali, mengingat Orde
Baru mengekang kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dunia seni. Aktivis gender Julia Suryakusuma telah
menuturkan bahwa represi terhadap
perempuan pada masa Orde Baru adalah berupa idealisasi dari peran tertentu perempuan yang menjebak mereka dalam ranah domestik.13
Dalam bidang seni rupa, Carla
Bianpoen dan seniman Mella Jaarsma
menyatakan bahwa seniman perempuan
masih jarang dilibatkan dalam
pameran-pameran seni rupa berskala
besar atau arus utama pada 1980an hingga 1990-an. Dalam pendapat
mereka, ini disebabkan oleh
stereotip pelaku seni dominan, yakni laki-laki, yang meyakini
bahwa karya seniman perempuan
kurang bermutu atau motivasinya
berkeseniannya minim, sehingga
layak disebut sebagai perupa paruh
waktu atau perupa hari minggu.14
Bianpoen dan Jaarsma memperlihatkan
penyebab munculnya stereotip itu
dengan fakta-fakta yang menyedihkan
yang terjadi pada sejumlah perupaperupa perempuan Indonesia setelah
mereka menikah dengan teman-teman seprofesinya. Aktivitas melukis dan berkesenian mereka terhalang oleh
peran-peran domestik mereka sebagai
istri dan ibu, yang mencerminkan
harus mengalahnya mereka pada ego
sang suami yang juga seniman.15
Nunung mengakui bahwa ia beruntung
memiliki keluarga yang menjunjung
kesetaraan dalam pembagian
tugas dalam berumah tangga. Di depan calon suaminya, Nunung yang sejak lama telah berikrar
menjadi pelukis, secara asertif
menyatakan bahwa keputusan
apapun yang ia ambil dalam hidup, termasuk menikah, melahirkan, dan membesarkan anak, tidak boleh
menghalanginya untuk terus melukis.
Begitupun Nunung yang juga tidak
akan menghalangi calon suaminya
untuk melukis. Nunung dan Sulebar
Sukarman, calon suaminya itu
akhirnya menikah pada 1978 dan dikaruniai seorang putra bernama
Seno Ahmad pada 1979. Mereka terus
merawat komitmen-komitmen mereka
sebagai pasangan hingga Sulebar
berpulang pada Mei, 2022 lalu.16
Meskipun cukup banyak mendapatkan keleluasaan, Nunung tidak berada pada posisi nyaman. Ia menyadari masih ada ketimpangan dalam kesempatan yang dimiliki oleh seniman perempuan Indonesia untuk berkarya dan berpameran.
Ia kemudian bersama-sama sejumlah seniman perempuan mendirikan kelompok Nuansa Indonesia pada 1985. Ia lantas menjabat sebagai sekretaris dalam kelompok itu.
Anggaran dasar kelompok Nuansa Indonesia kurang lebih menyatakan menyatakan bahwa kelompok ini hendak memperjuangkan kedudukan seniman perempuan Indonesia sambil meningkatkan martabat seni rupa Indonesia sebagai profesi.17
Nuansa Indonesia telah melakukan sejumlah pameran dan di antaranya
juga berkolaborasi dengan senimanseniman perempuan di Malaysia. Namun, aktivitas kelompok ini menurun dan berhenti pada
pertengahan 1990-an.
Bagaimanapun Nunung terus
berkarya hingga kini dengan
beragam ekpektasi dan tantangan yang dihadapinya. Maka dari itu
seniman Teguh Ostenrik pernah
menyebut Nunung sebagai seorang
perempuan belum pernah gagal untuk
membebaskan dirinya dari normanorma konvensional kehidupan.18
1) Carla Bianpoen dan Mella Jaarsma, “Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi”, dalam Perempuan Indonesia, Dulu dan Kini, Mayling Oey-Gardiner
Mildred L.E. Wagemann, Evelyn Suleeman, Sulastri (ed.). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) hlm. 87.
2) Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1975), hlm. 37.
3) Ibid. hlm. 37, 40.
4) Nashar, “Surat Ketiga Belas”, dalam Nashar oleh Nashar (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), hlm. 273.
5) Wawancara dengan Nunung WS pada 17 Mei 2023.
6) Nashar op. cit. hlm. 147, 151.
7) Nunung WS, “Wawasan berkarya”, dalam Katalog
Pameran Tunggal Nunung WS di Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta, 6-14 Desember 1989.
8) Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”, dalam Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik Dr. Abdul Hadi WM, Ali Akbar (edi.) (Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 1999), hlm.6.
9) Ibid. hlm. 13.
10) Ibid. hlm. 15.
11) Ray Livingstone, The Traditional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1962), hlm. 15-17.
12) Carla Bianpoen, “A Pilgrim to Holy Land”, The Sunday Observer, 26 Oktober 1997.
13) Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 18-19.
14) Bianpoen dan Jaarsma op. cit. hlm. 74.
15) Bianpoen dan Jaarsma op. cit. hlm. 80.
16) Wawancara dengan Nunung WS pada 17 Mei 2023.
17) Sanento Yuliman, “Wanita Indonesia dan Seni Lukis” dalam katalog pameran Nuansa: Pameran Seni Lukis Wanita Indonesia-Malaysia, 1991.
18) Teguh Ostenrik, Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi, hlm. 89.
AWAL PERJALANAN
oil on canvas
70 x 80 cm 1977
oil on canvas
80 x 100 cm
1978
BIRU, KUNING DAN PUTIH
80 x 90 cm acrylic on canvas 2022
acrylic on canvas
150 x 125 cm
2020
LUKISAN KUNING
acrylic on canvas
110 x 90 cm
2020
DIMENSI TENUN (LINGKARAN HIJAU KECIL DI KIRI ATAS)
acrylic on canvas 140 x 140 cm
2022
acrylic on canvas 160 x 280 cm (3 panels)
2022
acrylic on canvas 140 x 140 cm 2022
A Curatorial Introduction to Nunung WS Retrospective Exhibition
National Gallery of Indonesia
by CHABIB DUTA HAPSORONUNUNG WS is a name that stands for consistency, endurance, and energy in Indonesian abstract painting. Born Siti Nurbaya, she took the name Nunung—which was her childhood nickname—and took WS, an abbreviation of Wachid Sa’ad, the name of her father whom she always respected. Nunung’s career spans from the early 1970s to this very day. She has made hundreds of paintings. In addition to consistency, she has explored several styles.
The Spirit Within is a retrospective exhibition by Nunung WS. The exhibition is not all about Nunung’s previous works,
which might suggest that the end of her career is in sight. Instead, the exhibition includes many of Nunung’s most recent works, which were created between 2020 and 2023. Nonetheless, they still represent the important peaks or bodies of her work.
If we line them up, Nunung’s bodies of work cover three periods: The first is the artistic manifestation of Nunung’s perception of nature around her. When Nunung was at the peak of her indecision and dissatisfaction with the art education process at Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera)—where she studied, an opportunity brought her to Jakarta. It was during an exhibition of her class in 1971 at the Cipta Gallery, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. On this occasion,
Nunung encountered Nashar for the first time, who praised her works that were on display. Nunung had been admiring Nashar’s works for a long time. Long story short, Nunung took this opportunity to pursue art under Nashar’s guidance: she often spent months living in Jakarta where she painted under the mentorship of the Padang Pariaman-born painter. There are several reasons that made her feel comfortable and at ease when learning directly from Nashar. One of them is that Nashar saw her as an equal partner and was not awkward about the fact that Nunung is a woman.1
Under the mentorship of Nashar, her awareness of painting began to shift from where it had been before. The objects and scenery around her began to be manifested in a number of free simplifications,
even violating the rules of figurative (non-technical) form and anatomy, as well as compositions in the field of bold pastel colors.
However, the image in the painting was not present in Nunung’s drawings. She was more expressive and efficient in managing Chinese ink, charcoal, and watercolor or acrylic on paper. Many of her drawings took shape with breathless pulls of watercolor with a palette of colors such as blue, yellow, and light pink mixed with strokes of charcoal. Nunung depicted more “arbitrarily” the objects that stirred her heart. In this period, we find titles of works that refer to typical locations such as Bali, Maninjau, and Borobudur.
Nunung’s works of this period exhibit what art critic Sanento
Yuliman called lyricism. According
to Yuliman, many Indonesian painters embodied a lyrical experience of nature or life “without painting objects in nature itself.”2 Although we can still see and sense the shape of the hills in Maninjau by Nunung on several occasions, the realistic image of the Maninjau valley was absent from Nunung’s works, especially since there was no sense of reference to the horizon. There was no
illusion that depicting the real world in these works, but rather “irregularities and variations in shapes, which show a form that has its prototype in nature” to “express the artist’s emotions and feelings in experiencing the world.”3 This lyricism, as Yuliman mentioned it, marks the Third Period abstract painting that many Indonesian painters have been working on since the late 1960s.
The mentor, Nashar, has a unique understanding as a painter regarding the connection between humans and nature. Nashar always tried to “unite with nature,” which he elaborated with the phrase “I look at a chair, I feel it until the realization comes to me that I am the chair itself.”4 For Nunung, the principle of painting comes through her awareness of not relying too much on her sense of
sight. Instead, she was told by Nashar to feel the wind, smell the scents, and so on, and harness her intuition as much as possible.
Through his words, Nashar wanted to state that humans are supposed to be part of nature and not the other way around, with nature being the entity that humans objectify. Due to certain conditions, the human mind or spirit might also be out of sync with the rhythms of nature. We can underline that the period under Nashar’s mentorship was a time when Nunung worked on refining her sensory sensibilities, to establish and harmonize her spirit with all the sensations and rhythms of nature.
In terms of how artists immerse themselves in nature, Bali holds an important place for Nunung, who was also inspired by Nashar.
Nunung once mentioned that Bali was a “paradise” for her eyes and mind which made it easier for her to appreciate and thus be one with nature. Nunung spent several long periods of time in Bali along with Nashar to paint at least in the mid-1970s and 1980s. For Nunung, Bali also offers a holistic way of life where spiritual life is inseparable from the mundane or profane world. Therefore, Nunung is always amazed when seeing ceremonies because in them “there are colors, dance movements, the sound of gending and music become one.”5
Indeed, Bali has fascinated not only Nunung and Nashar but also foreign and local painters before and after them. These interests were more or less influenced or even shaped by the romanticization and imagination of Bali through
the paintings of European painters who settled in Bali during the colonial period, especially in the nineteenth to twentieth centuries. In retrospect, however, it seemed that Nashar was trying not to repeat the touristic idealization of the European painters. In his journal, he once lived in a poor village to experience Balinese life in a more real way outside of these imaginings.6 In a similar way, Nunung’s artistic life in Bali was humble, even bohemian as she often only stayed in shelters or rented houses in Bali.
The second phase of Nunung’s work developed around gestural expression, which was reflected in increasingly expressive and vibrant brushstrokes. She explored this very intensively in the period from the late 1980s to the early 1990s. During this period, Nunung’s
appreciation of the objects and nature around her deepened, which in manifestation became more distant from the forms or figures she saw in nature. Instead, Nunung’s sense of nature and life around her grew more and more intense.
Nunung has also become more obsessed with color. Her color palette has also become more
diverse. Her perception of the color showed how color merged with her or became an extension of her senses or herself. Therefore, color becomes a medium for lyrical expression, as she stated, “Color is not there as color, but it is there as an expression as well as an embodiment of deep personal feelings.”7
While exploring these gestural expressions, Nunung also emulated the typical expressiveness of calligraphy, not only Arabic calligraphy but also Japanese and Chinese. These calligraphic expressions even led Nunung to seek spiritual experiences. The distinctive lines (khat) of calligraphy inspired Nunung to create a series of works with
strokes that are expressive and lively, yet efficient and quiet.
The desire of artists to seek and experience spiritual power was prevalent during the 1970s and 1980s. This desire was also inseparable from the artists’ longing for the traditional culture from which they came or did not come. One reason for this tendency was that modern life or social order had taken away or replaced the holistic traditional way of life. Modern life, as forcibly introduced by colonialism, separates the spiritual from the everyday. This has left modern Indonesians in limbo.
The distance of Indonesian artists from spiritual-traditional matters has given artists and poets the motivation to return to it.
Author and scholar Abdul Hadi WMelaborated on three motivations for Indonesian artists and writers to approach and re-address tradition during the 1970s and 1980s. The first is the adaptation of traditional cultural elements in order to innovate their style of expression. Artists with this tendency see tradition as an element that is relevant to the contemporary world. Secondly, adapting certain regional cultures such as Java, Minangkabau, Malay Riau, and others to give a distinctive style to Indonesian art. Thirdly, to adapt certain spiritual and religious aspects by realizing that the traditional culture of Indonesian society is enriched by major religions and beliefs.8 Of these three motives that Abdul Hadi suggested, the first
and third are more likely to be Nunung’s tendencies.
Although Nunung might be less described as a tradition-inspired artist, her family’s strong Islamic background has shaped her along with the Javanese traditions that have been closely intertwined with the distinctive Islam. Growing up under the roof of the Islamic “santri” community, she formed a strong religious foundation and mindset. Moreover, this traditional Islamic setting also gave Nunung a specific spiritual experience, which led her to constantly seek further spiritual experiences through the practice of painting.
Indeed, Nunung’s adoration of calligraphy did not lead to the appearance of calligraphic writing in her paintings. Nunung did not fall into the trap of creating
calligraphy—especially Islam—that only led to statements of doctrine and theology. Instead, Nunung was probably more eager to understand what Abdul Hadi referred to as Islam, which became an integral part of the development of the traditions and civilization of the archipelago that shaped its belief system, rituals, and forms of spirituality.9 Nunung fulfilled one of the Islamic aesthetic ideas of Abdul Hadi WM, that, “Art is an attempt to transform ideas and spiritual experiences into aesthetic objects, rather than transforming objects outside of oneself that are reached by sensory vision.”10 Through this period, Nunung’s artistic expression has advanced a step from where it was in the previous period.
Furthermore, it was reaffirmed that the development of Nunung
WS practice was recognized as an innovation inspired by a spiritual quest that was inseparable from the traditional life that had been intertwined with Islamic influences. Nunung’s spiritual pursuit shows the inseparability of spirituality and traditional culture. This is highlighted by A.K. Comaraswamy, a philosopher who said tradition always leads to the original and is always able to realize the
aesthetic expression of inspiration or contemplation that comes from a transcendent source.11
The gestural expressions of calligraphy led Nunung to a third period of her work, which drew her deeper into the search for a spiritual atmosphere. This third period took place from the mid1990s to this day.
It is safe to say that Nunung’s expression modeled on gestural calligraphy did not last beyond the mid-1990s. She discovered a different style of expression that allowed her to connect to spiritual experiences in another way. She started to develop her color fields and stacks. The fundamental difference from his previous expression is that in this period Nunung spent a lot of time contemplating and designing before
the work was executed. In the previous abstract gestural period, Nunung relied more on spontaneity and intuition. In this period Nunung’s paintings come with an efficient color palette.
During this third period, Nunung’s strokes became more plane-shaped with a carefully crafted color palette. They were layered with borderlines that suggested a threshold atmosphere. Another significant step she took was to embed concrete objects in her paintings, such as transparent paper. This transparent paper dampens the intensity of the colors in the layered shapes, giving a dim sensation. The concrete nuance was also presented by Nunung through the papers that were folded in several ways. The concrete objects and visual sensations achieved through these non-painting attempts
have presented a rich yet thrilling “nuances of abstraction”. This style of expression showed the breadth of Nunung’s sources of inspiration. The transparent and dim nuances derived from the visual sensations Nunung saw and the intricate intertwining of threads in her father’s sarong or the woven fabric of Nusantara. The folds in her paintings came from Nunung’s childhood memories of folding paper.
This style of expression showed the broadness of Nunung’s sources of inspiration. The transparent nuance is delivered through the rich visual sensation of the intricate intertwining of threads in her father’s sarong or the woven fabric of the Nusantara. The folds in her paintings came from Nunung’s
childhood memories of playing and folding paper.
This proved that Nunung’s search for the spiritual always stemmed from the dynamic, everyday reality of the material world. Mediated by typical painting practices, Nunung has attained a mystical experience. It would be no exaggeration if art critic Carla Bianpoen once referred to her as a pilgrim in the Holy Land through her art practice.12
We can also underline that Nunung WS’s art practice is a cycle. Nunung constantly revisits and remixes her previous achievements with renewed awareness. This leads to new branches that open up many possibilities. This approach is what makes Nunung’s bodies of work distinctive: there is always a pattern or order in the way she draws lines, uses materials,
colors, and so on. We are dealing with an organized and measured development of her work.
In her quest for maturity as an artist and a human being, Nunung is indeed driven by spiritual forces. Painting is her method of
meditating and contemplating to reach the level of spirituality in order to achieve a unity of the spirit within transcendent substances. It is an endeavor that requires a lifetime of commitment. Nunung’s commitment has not been unchallenged, given that she is a female Indonesian artist in the midst of the art scene and living structures that were still shackled by patriarchy, especially during the New Order era.
The 1980s and 1990s were a period when Nunung WS became very involved in her work. She held many exhibitions, both at home and abroad. Nunung also frequently went on trips and art residencies and received a number of awards. This situation appeared to be an anomaly, considering that the New Order restricted the position of women in many fields, including in
the arts. Gender activist Julia Suryakusuma has said that the repression of women during the New Order was in the form of the idealization of certain roles of women that trapped them in the domestic sphere.13
In terms of art, Carla Bianpoen and artist Mella Jaarsma stated that women artists were rarely involved in large-scale or mainstream art exhibitions in the 1980s and 1990s. In their opinion, this was due to the stereotypes of the dominant art actors, male artists, who believed that women were less qualified or less motivated to make art, and thus deserved to be referred to as part-time or Sunday artists.14
Bianpoen and Jaarsma show the cause of this stereotype with the heart-breaking facts that happened to a number of Indonesian women artists once they married into
the profession. Their painting and art activities were hindered by their domestic roles as wives and mothers, which reflected the ego of the husbands who were also artists.15
Nunung admitted that she felt lucky to have a family that upholds equality in the distribution of household duties. In front of her future husband, Nunung, who has long vowed to be a painter, assertively stated that whatever decision she makes in life, including getting married, giving birth, and raising children, should not prevent her from continuously painting. And neither would Nunung prevent her future husband from painting. Nunung and Sulebar Sukarman, her then-husband, were married in 1978 and had a son named Seno Ahmad in 1979. They continued to honor their commitments as a
couple until Sulebar passed away in May 2022.16
Despite the amount of freedom, Nunung was not in a comfortable position. She realized that there was still an imbalance in the opportunities Indonesian women artists had to work and to make exhibitions. Together with a group of fellow female artists, she founded the Nuansa Indonesia collective in 1985. She then served as the group’s secretary. The Nuansa Indonesia collective’s articles stated that the group aimed to advocate for the position of Indonesian women artists while simultaneously upholding the dignity of Indonesian art as a profession.17
Nuansa Indonesia has held a number of exhibitions, including collaborations with female artists
in Malaysia. But activities of the collective declined and ceased in the mid-1990s.
Nevertheless, Nunung has been working to this day with all the expectations and challenges she has faced. That’s why artist Teguh Ostenrik once called Nunung a woman who has never failed to liberate herself from the conventional norms of life.18
1) Carla Bianpoen and Mella Jaarsma, “Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi”, in Perempuan Indonesia, Dulu dan Kini, Mayling Oey-Gardiner Mildred L.E. Wagemann, Evelyn Suleeman, Sulastri (eds.). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 87.
2) Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (Jakarta: Jakarta Arts Council, 1975), p. 37.
3) Ibid. hlm. 37, 40.
4) Nashar, “Surat Ketiga Belas”, in Nashar by Nashar (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), p. 273.
5) An interview with Nunung WS on May 17, 2023.
6) Nashar, op. cit. p. 147, 151.
7) Nunung WS, “Wawasan berkarya”, in Katalog Pameran Tunggal Nunung WS in Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta, December, 6-14 1989.
8) Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”, in Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik Dr. Abdul Hadi WM, Ali Akbar (ed.) (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1999), p 6.
9) Ibid. hlm. 13.
10) Ray Livingstone, The Traditional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1962), hlm. 15-17.
11) Ray Livingstone, The Traditional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1962), hlm. 15-17.
12) Carla Bianpoen, “A Pilgrim to Holy Land”, The Sunday Observer, 26 Oktober 1997.
13) Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), p. 18-19.
14) Bianpoen and Jaarsma op. cit. p. 74.
15) Bianpoen and Jaarsma op. cit. p. 80.
16) An interview with Nunung WS on May 17, 2023.
17) Sanento Yuliman, “Wanita Indonesia dan Seni Lukis” in Nuansa: Pameran Seni Lukis Wanita Indonesia-Malaysia the exhibition catalog, 1991
18) Teguh Ostenrik, Women Artists: Between Vision and Illusion, p. 89.
NUNUNG WS is an abstract artist with a career spanning over half a century. Despite receiving family pressure to study religion, her passion for the arts appeared at an early stage. In particular, she was inspired by Kartika Affandi, the artist daughter of Kusuma Affandi, who served as a role model that women too could succeed in art. Under the guidance of Nashar, Nunung transitioned
from the dynamic expressionism of Kartika and her father to more reflective studies, juxtaposing planes of color that are both meditative and jewel-like. She is a masterful and subtle colorist, using luminous hues to create artwork that stimulates and mirrors the subconscious’s dreams and emotions. Their beauty and power quickly earned her acclaim, as well as national and international group and solo exhibitions.
Nunung tries to re-create what she sees, experiences, lives, and feels in nature through color because colors always attract her attention. Therefore, while painting, she is not bound into shapes because it will only limit her work. Instead, she tries to go deep through total comprehension and the abstraction of forms to express her work solely by using
colors she wanted freely. For Nunung, The art of abstract is a transcendent journey-a spiritual journey. Three crucial factors describe her artistic journey, which is: magic, mystical, and religion. She believes that these three factors emerge as we start to drift away from our traditional and cultural beliefs and helps us create an even stronger bond as we try to push it away or forget it. She described the balancing of life as an interpretation of ‘soulscape,’ the major theme of her painting. She takes what she sees and refracts it through contemplation and her inner spiritual lens to express life through color and shape.
Nunung has been active in the Indonesian art scene and has held exhibitions since the 1970s,in Indonesia and overseas. The
education she received from her Islamic family has made her a strong woman, and her independent demeanor can be seen through her paintings. She chose to pursue abstraction because she wants to invite her observers to not only enjoy her work visually but also to understand what goes on during the process of creating her masterpieces.
A RETROSPECTIVE EXHIBITION NUNUNG WS "THE SPIRIT WITHIN"
GEDUNG A, GALERI NASIONAL INDONESIA
8 — 26 JUNI 2023
CURATOR
Chabib Duta Hapsoro
PROJECT OFFICER
Fiametta Gabriela
COMMUNICATION OFFICER
Indah Ariani
PHOTOGRAPHER
Kemal Yusuf
EDITOR & TRANSLATOR
Baiq Nadia Yunarthi
GRAPHIC DESIGNER
Gamaliel W. Budiharga
ART HANDLING
Serrum
INTERN & PUBLIC PROGRAM
Ayasha Siregar
PUBLISHED BY
D Gallerie, Jakarta - June 2023
Jl. Barito I No.3, Kebayoran Baru
Jakarta 12130, +62 21 739 9378
dgalleriejakarta@gmail.com
dgalleriejakarta.com
DIGITAL EDITION
ORGANIZED BY D Gallerie & National Gallery of Indonesia
SPONSORED BY UOB
SUPPORTED BY Jakarta Arts Council & Indonesian Visual Art Archive
ACKNOWLEDGEMENT
Indra Leonardi, Patrick Walujo, Cemara 6 Galeri - Toeti Heraty Museum