

This book was published as a supplement to the group exhibition
This book was published as a supplement to the group exhibition
AGUS PUTU SUYADNYA
I A b ADIOU P IKO
Iq I qO r O r
M.A rO z I q
PALITO P E r AK
Curator Riski Januar
held at D Gallerie, Jakarta May, 31st— June, 21st, 2025
Published by D Gallerie Jl. Barito I No.3, RT.10/RW.7, Kramat Pela, Kec. Kby. Baru Kota Jakarta Selatan Indonesia
I A b ADIOU P IKO
Iq I qO r O r M.A rO z I q
PALITO P E r AK
Molek secara kata diartikan sebagai elok atau cantik.1 Di wilayah seni rupa, kata “molek” melekat dalam sejarah awal seni rupa Indonesia, yaitu Hindia Molek atau Mooi Indie (19201938). Kata molek digunakan untuk menandai lukisan-lukisan yang menggambarkan Indonesia dalam keadaan yang “indah-indah”. Namun, molek dalam konteks penandaan zaman tersebut mendapatkan banyak protes dari para seniman nasionalis pada masa itu yang menganggap bahwa lukisan Hindia Molek adalah upaya penjajah untuk mencitrakan daerah jajahannya yang sejahtera di mata dunia. Untuk melawan itu, para seniman menggambarkan keindahan dengan apa adanya; lukisan perang, orang-orang pinggiran, hingga potret-potret para pejuang. Keindahan bukan lagi tentang yang tampak, tapi tentang apa yang dirasa, yang jujur.
Pameran bersama yang diinisasi oleh lima orang seniman yaitu; Palito Perak, Iqi Qoror, M.A Roziq, Agus Putu Suyadnya, dan Iabadiou Piko ini merupakan presentasi kedua kalinya. Pameran yang pertama diadakan di Semarang Gallery dengan tajuk “Simulasi : Menghadirkan, Menghilangkan, dan Memunculkan Kembali”. Tajuk “Simulasi” diteruskan pada pameran kali ini dengan mengusung sub-tema “Molek”.
Mengutip katalog pameran pertama di Semarang Gallery, “Simulasi” adalah cara, upaya, dan keadaan dimana seniman mengambil jarak dengan dirinya, untuk melihat diri dan sekitarnya secara utuh. Maka, dalam proses ini seniman terus menerus mensimulasikan keadaan yang bermuara kepada penciptaan karya seni.2 “Simulasi” adalah benang merah untuk melihat proses dari kelima orang seniman ini, dimana terdapat siklus penciptaan yang hampir mirip yaitu; pengulangan, peniruan, dan cara mengkontruksi makna.
1 Kbbi.web.id/molek/ Diakses pada Kamis, 8 April 2025, 00:03 WIB
2 Januar Riski, Katalog Pameran “Simulation : Presenting, Removing, and Reappear”,( Semarang : Semarang Gallery, 2024), Hal. 5
Sub tema “Molek” adalah pembicaraan tentang memaknai keindahan yang elok maupun cantik.
Penggunaan kata ini tidak hanya merujuk kepada sesuatu yang tampak tapi bagaimana menyimpulkan yang tampak tersebut dari yang membentuknya hingga menjadi tampak. Hal ini merujuk kepada proses dan gagasan seniman dalam menawarkan sebuah karya yang dianggap indah, yang bahkan dalam prosesnya mungkin tidak ada tendensi untuk menciptakan keindahan itu sendiri. Dengan demikian, keindahan bukan sifat bawaan, melainkan kontruksi konseptual dan sosial yang merupakan produk dari proses kreatif, penafsiran, dan persetujuan estetik.
Mengutip pemikiran Gadamer, seorang ahi filsafat Jerman, menyatakan bahwa tidak ada karya seni yang pernah utuh dan selesai namun juga mengundang penyelesaian melalui berbagai macam model manifestasi dan resepsi.3 Pada akhirnya, karya seni bukanlah objek mati yang memiliki makna tunggal dan final melainkan sesuatu yang selalu terbuka untuk dipahami kembali, ditafsirkan ulang, dan dimaknai secara baru oleh setiap penikmat dalam konteks pengalaman yang berbeda.
Oleh karena itu, kata “Molek” dipilih untuk membuka kemungkinan penafsiran tentang memaknai keindahan. “Molek” dalam konteks pameran ini dapat dianalogikan seperti satu paket pemandangan yang sekelilingnya dipenuhi bunga-bunga yang indah, air terjun yang megah, namun juga ada tebing curam, lautan ganas, dan hutan yang berbahaya. Semuanya dilihat dari jauh dalam kesadaran tentang keindahan secara harfiah ataupun ketidakindahan yang indah.
Dalam wilayah gagasan, lima orang seniman ini mengemukakan tiga persoalan mendasar seperti identitas, ingatan dan hal-hal yang bersifat transenden.
3 Gadamer, Hans-Georg, Truth and Method, (New York: Crossroad Publishing, 1986) Hal. 234
Identitas
Iqi Qoror dan Agus Putu Suyadnya pada karyanya membicarakan tentang identitas tetapi dalam perspektif yang berbeda. Karya Iqi mengemukakan persoalan tentang fenomena masyarakat urban tentang siapa yang dilihat sebagai asing. Pada visualnya, Iqi menempatkan citra orang-orang kota di wilayah pedesaan, orang-orang kota ini digambarkan dengan gaya busana pada figur lukisannya yang melakukan aktifitas sosial dan pekerjaan sederhana yang identik dengan kehidupan masyarakat desa
serta tempat yang juga menggambarkan sebuah visual pedesaan yang tercermin dari jalan setapak, keadaan alam, furnitur dan arsitektur bangunan.
Penempatan ini merupakan penggambaran fenomena sosial dimana citra orang-orang kota selalu menjadi acuan entah dari gaya bahasa, penampilan, dan gaya hidup yang kerap diadopsi oleh masyarakat rural, yang ditiru dari citra yang dikonsumsi lewat televisi dan internet. Sebaliknya orang-orang kota mengekslusifkan dirinya dan memandang desa sebagai tempat yang dilihat secara eksotis.
Hal ini sejatinya adalah akar yang berulang, mirip dengan pemikiran orientalisme barat yang menganggap timur sebagai yang asing.4 Maka lukisan Iqi dapat pula dibaca sebagai bentuk eksotisasi yakni penciptaan citra tentang “yang lain” bukan berdasar realitasnya melainkan berdasarkan imajinasi kuasa yang mendominasi.
Dalam hal ini, desa menjadi objek visual yang dikonstruksi oleh perspektif kota; bukan lagi sebagai ruang hidup yang otentik, melainkan sebagai latar yang “dihiasi” oleh nilai, gaya, dan simbol kota agar sesuai dengan fantasi estetika urban. Representasi ini bukan netral, melainkan sarat dengan kekuasaan simbolik yang halus, dimana kota memproyeksikan makna dan otoritasnya atas desa sehingga menjadikan desa sekadar refleksi dari apa yang kota ingin lihat bukan berdasarkan realitas sebenarnya.
4 Sunarti Sastri, Membaca Kembali Orientalisme Edwar Said, (Jakarta: Badan Bahasa, 2017)
Cara Iqi mengemasnya dalam lukisan menjadi menarik karena lukisan ini dapat dipahami bukan lagi sebagai representasi desa yang nyata melainkan sebagai tiruan dari tiruan realitas yang telah kehilangan acuannya.
Ketika figur-figur urban dimasukkan kedalam ruang desa dan menjalani aktivitas khas desa dengan busana dan gestur kota, maka yang muncul bukanlah desa atau kota, melainkan suatu bentuk realitas semu: simulasi tentang desa sebagaimana dibayangkan oleh kota.
Dalam konteks ini, lukisan-lukisan Iqi menjadi citra yang tampak seperti kenyataan, namun sebenarnya menyembunyikan kenyataan itu sendiri dan memiliki konsekuensi yaitu; terjadinya pembauran, pencampuran antara yang asli dan yang palsu, yang benar dan yang salah, yang fakta dan bukan fakta, yang rill dan yang imajiner serta yang penanda dan yang petanda.5 Hal-hal ini mungkin tergambar dari bagaimana cara Iqi menampilkan figur. Figur-figur ini seolah diatur dengan pose dan arah pandang untuk sadar terhadap pengamat yang mempertanyakan ulang tentang siapa yang mengamati dan diamati, tentang siapa yang asing.
Gagasan Iqi menyentuh banyak hal tentang fenomena kehidupan pada hari ini. Komparasi antara kota dan desa adalah simbol yang mencerminkan struktur relasi kuasa dalam budaya visual dan sosial yang lebih luas tentang bagaimana identitas, ruang bahkan makna dapat dibentuk oleh mereka yang berada dalam posisi simbolik yang lebih kuat. Karya-karya Iqi memuat lapisan ketegangan kultural dan ideologis yang lebih kompleks dan luas.
Berbeda halnya dengan apa yang dilihat oleh Agus Putu Suyadnya dalam menilai identitas. Lukisanlukisan Agus dikenal dengan figur astronot yang ditempatkan diantara bentang alam. Figur astronot mewakili tentang diri sebagai yang asing yang berdiri di tengah alam, simbol-simbol ini digunakan 5 lsfdiscourse.org/jean-baudrillard-simulakra-dan-hiperrealitas-masyarakat-postmodern/ Diakses pada Kamis, 8 April 2025, 00:19 WIB
untuk mempertanyakan tentang hakikat manusia, kesadaran atas keberadaan, dan hubungan dengan alam.
Pada karyanya, Agus menampilkan bangunan-bangunan heritage yang telah menyatu dengan alam, yang menampakkan akar-akar pohon tumbuh dan hampir menutupi keseluruhan bangunan tersebut. Simbol-simbol ini digunakan untuk mengingat dan mempertanyakan kembali tentang “asal”.
Diwakili dengan figur astronot sebagai representasi keberadaan manusia yang berkutat dengan persoalan keberadaan dan identitas diri yang merupakan sebuah persoalan kehidupan modern dengan segala kecanggihan dan percepatan teknologi. Hingga sampai pada titik dimana manusia tidak pernah benarbenar menyadari keberadaannya, melainkan terus menerus dalam pencarian makna atas keberadaan tersebut.6
Karya Agus menyoroti hal yang lebih luas dari kondisi zaman dan fenomena kekinian seperti urbanisasi, globalisasi, dan krisis lingkungan. Keadaan-keadaan ini menciptakan kondisi alienasi eksistensial dimana individu terputus dari akar identitasnya; tempat, tradisi, dan nilai-nilai kolektif.
Dalam dunia kontemporer, alienisasi ini diperkuat oleh homogenisasi budaya akibat globalisasi dan transformasi ruang publik menjadi ruang-ruang tanpa makna yang disebut non-places.7 Ruang hidup bukan lagi menjadi ruang berdiam tetapi sebagai ruang berlalu, tidak lagi menjadi tempat pulang tetapi sebagai tempat singgah.
Karya Agus mengajak kita mengingat kembali tentang “asal”. Asal tidak hanya berbicara tentang tempat tapi tentang bagaimana keberadaan dipahami dan disadari sebagai ruang, memori, sejarah, warisan budaya, dan relasi ekologis.
6 Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson, (New York : Harper & Row, 1962), Hal. 174182
7 Marc Auge, Non- Places : Introduction to an Anthropology of Supermodernity, (London : Verso, 1995), Hal. 77
Ingatan
Iabadiou Piko dengan lukisan abstrak ekspresionisnya memperlihatkan sebuah proses dialektis antara ingatan dan kemungkinan yang dia istilahkan dengan cahaya dan bayang.
Penciptaan karya Piko adalah proses meluapkan dan melepaskan. Sebuah proses reflektif untuk membentuk persepsi terhadap identitas. Karya-karya ini tidak mewujud sebagai bentuk yang dapat dipahami tapi sebagai sesuatu yang dapat dirasakan seperti ingatan yang tidak mewujud tapi membentuk sesuatu.
Maka dalam proses yang sangat kontemplatif ini, karya-karyanya menampakkan ketegangan visual; tabrakan warna, lapisan-lapisan cat, dan sapuan-sapuan ekspresif. Ketegangan visual ini menciptakan sebuah keindahan yang lain yaitu keindahan yang tidak hadir sebagai harmoni tetapi justru sebagai bentuk-bentuk gangguan atau gesekan visual yang memunculkan kesadaran kritis tentang bagaimana ingatan diluapkan.
Ingatan adalah sebuah pengulangan emosional yang terus menerus mengemuka, terlepas dari upaya untuk melupakan.8 Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya ini lebih dari sekedar representasi melainkan sebuah ruang untuk merenung tentang bagaimana memori kolektif membentuk persepsi tentang identitas.
Pada pameran ini Piko membawa seri karya “Setumpuk Berlapis”. Setumpuk berlapis adalah dialektika cahaya dan bayang sebagai metafora bagi identitas manusia yang selalu dalam proses menjadi –tak pernah utuh, tak pernah final. Pada lukisannya, setiap lapisan adalah ingatan yang tertimbun, terdistorsi atau diterangi oleh waktu. Cahaya tidak sekedar mengungkap tetapi juga membelokkan; bayangan tidak sekedar menyembunyikan tetapi juga membentuk.
8 Cathy Caruth, Unclaimed Expreience: Trauma, Narrative, and History (Baltimore : Johns Hopkins University Press, 1996) Hal. 4-5
Karyanya memainkan kontradiksi: apa yang nampak justru mungkin ilusi, sementara yang tersembunyi menyimpan kebenaran yang terfragmentasi. Seperti ingatan budaya, ia tidak linier –ia berlapis, retak dan saling menindih. Ada yang pudar menjadi bayangan, ada yang muncul secara mendadak dalam sorotan tetapi keduanya saling bergantung dalam dinamika yang menciptakan makna.
Setumpuk berlapis mengajak kita merenung: apakah identitas kita lebih ditentukan oleh apa yang disinari atau justru oleh apa yang dibiarkan dalam kegelapan ? Lalu bisakah kita seperti cahaya itu sendiri, menjadi perusak dan penawar diri kita yang terus berubah ?.
Maka, berdasar hal tersebut Piko berada di area abu-abu. Dia hanya mengingat dan meluapkan tanpa peduli atau ingin mengemukakan ingatannya secara spesifik. Hal ini berkaitan dengan cara Piko membuat judul untuk karya-karyanya yaitu; “Jika”, “Hanya”, “Dan”, “Lalu”. Kata-kata ini adalah konjungsi yang berfungsi untuk menghubungkan kalimat. Piko menggunakannya sebagai upaya menggantung narasi ; bahwa ingatan nyaris tidak pernah selesai, seperti kalimat yang tidak pernah utuh dan berkesudahan. Transenden
Karya M.A Roziq adalah warna yang diambil dari warna bunga-bunga tetapi Roziq tidak membicarakan bunga, dia menguji interpretasi tentang warna dan bunga sebagai metafor.
Roziq menghamparkan sebidang warna dan menyerahkan bentuk kedalam imajinasi pengamat yang dijembatani dengan judul-judul karya memakai nama bunga. Pelepasan kuasa narasi kepada pengamat sepenuhnya memberi keleluasaan mengapresiasi. Roziq mungkin ingin menguji bagaimana warna menjembatani pemahaman orang terhadap diri, pengalaman dan kehidupannya masing-masing. Maka interpretasinya dibiarkan bebas dan liar.
Roziq memiliki pengalaman empiris tentang bunga, dia pernah merawat dan menunggu mekar. Proses
merawat dan menunggu ini bagi Roziq adalah sebuah proses kontemplatif yang memicu kesabaran dan penerimaan. Kondisi mekarnya bunga tidak lagi menjadi tujuan karena proses merawat lebih memiliki arti dan nilai.
Dari pengalaman itu, Roziq menilai bahwa bukan bentuk yang menjadi tanda. Tapi esensi akan bentuk yang menandai sesuatu dan menjadi makna. Esensi inilah yang kemudian menjadi warna yang disadur dari bunga dan pemaknaanya dikembalikan kepada pengamat.
Karya-karya Roziq mengajak audiens untuk mengalami keheningan sebagai bahasa dan ketakterhinggaan sebagai ruang tafsir. Pengalaman estetis yang ia hadirkan tidak berujung pada pemahaman rasional melainkan pada perenungan dan pelepasan. Sebuah pengalaman tentang keterhubungan kita dengan alam, memori, dan dimensi spiritual yang kerap tersembunyi dalam kesadaran.
Lain hal dengan karya Palito Perak yang merupakan sebuah proses kekaryaan yang panjang dan gagasan yang terus berkembang. Karya-karya palito sebelumnya berangkat dengan gagasan simulakra, tentang bagaimana citra dan realitas dikontruksi.
Jika pada lukisan sebelumnya Palito secara kesuluruhan melihat dunia beserta fenomenanya, karyanya kali ini melihat dirinya dan dunia di sekelilingnya. Proses penarikan diri ini lumrah dalam proses kreatif seniman. Wilayah ini adalah bagian kontemplatif dimana seniman mengambil jarak sejenak dengan persoalan diluar dirinya dan kembali melihat dirinya, bukan sebagai persoalan tetapi proses refleksi dari apa yang selama ini dia maknai.
Visual blur, bunga, dan teks tetap menjadi karakter karya-karya Palito. Blur adalah tabir, dimana keadaan dibaliknya tidak dapat kita atur dan lihat. Bunga adalah simbol dari kehidupan itu sendiri, sedangkan teks merupakan bagian pengharapan, motivasi, dan penyerahan.
Visual blur merupakan metafor dari kesadaran akan batas kendali manusia. Dalam filsafat Stoik, dunia
luar sering kali tidak dapat diatur atau dipahami sepenuhnya sehingga “sesuatu”-nya tidak dapat benarbenar diatur, dikendalikan ataupun memaksakan. Mengutip Epictetus, seorang ahli filsafat Yunani, “Halhal di luar diri kita bukanlah milik kita, dan karenanya tidak seharusnya menggangu jiwa kita”.9
Pemahaman ini sepertinya selaras dengan gagasan Palito untuk karya-karya ini. Palito menempatkan dirinya sebagai orang yang menerima, teks seperti “hahaha”, “blablabla” adalah upaya untuk meletakkan sesuatu di luar kendalinya, sehingga apapun yang terjadi di depan tabir adalah sesuatu yang semestinya diterima, entah itu hal yang baik atau buruk.
Gagasan ini juga didukung dengan cara Palito mengemas karyanya. Dia membingkai lukisan dengan bentuk yang tidak konvensional. Memperlihatkan sebuah kelenturan, tanpa siku, bidang dan batas.
Relasi gagasan pada karya-karya ini dengan gagasan sebelumnya menunjukkan kesadaran bahwa sesuatu yang berjalan dalam simulasi-pun (simulakra) tetap tidak melahirkan sebuah kepastian. Jika kita melihat dalam konteks yang lebih luas, fenomena sosial hari ini banyak menunjukkan hal-hal tersebut sehingga memunculkan konsekuensi moral, mental dan sosial baik personal maupun komunal karena hal yang diatur tidak memberikan hasil yang bisa diatur.
Dari kelima seniman ini, keberagaman gagasan dan eksplorasi visual dan cara mengemas karya memberikan kita banyak pilihan dalam mengapresiasi. Melanjutkan narasi tentang “Molek” yang didefenisikan sebagai sesuatu yang elok; indah; dan cantik, melalui karya-karya ini kita mendapatkan banyak perspektif untuk menilai sesuatu yang indah.
9 Epictetus, Enchiridion, in Discourses and Selected Writing, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classic, 2008), §1
Sekarang adalah bagaimana menafsirkan molek sebagai sebuah kompromi untuk memaknai keindahan itu sendiri. Apakah molek selalu menjadi sesuatu yang tampak atau apakah alasan dibalik yang tampak itu menjadi sebuah kemolekan ?
Sebagai penutup saya mengutip kembali kalimat di awal tulisan, yaitu “Pameran ini merupakan satu paket pemandangan yang sekelilingnya dipenuhi bunga-bunga yang indah, air terjun yang megah namun juga ada tebing curam, lautan ganas, dan hutan yang berbahaya. Semuanya dilihat dari jauh dalam kesadaran tentang keindahan secara harfiah ataupun ketidakindahan yang indah.”
Selamat menikmati.
Riski Januar
Bantul, 11 Mei 2025
Karya Agus adalah hasil dari refleksi mendalam tentang kehidupan yang berusaha menggali hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Setiap karya yang diciptakan adalah ruang simulasi, tempat dimana kehadiran dan makna dapat diuji, dieksploitasi dan dipahami. Seni adalah medium untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar yang melibatkan siapa kita, darimana kita berasal dan ke mana kita akan pergi.
Karya Piko adalah ruang untuk mengeksplorasi hubungan dialektis antara cahaya dan bayangan sebagai metafora identitas dan ingatan. Berangkat dari pertanyaan tentang bagaimana ingatan kolektif membentuk persepsi terhadap identitas, karya-karya ini menghadirkan bentuk-bentuk yang ambigu dan struktur berlapis yang membuka ruang reflektif bagi audiens.
Karya Iqi mengeksplorasi dinamika kehidupan kontemporer melalui simbolisasi relasi antara kota dan desa sebagai refleksi dari struktur kuasa dalam lanskap budaya visual dan sosial. Komparasi ini tidak semata-mata tentang dua entitas geografis melainkan tentang bagaimana identitas, ruang, dan makna dibentuk, dikonstruksi, dan bahkan dimonopoli oleh kekuatan dominan.
Karyanya menjadi ruang artikulasi kritis terhadap cara kita memandang dunia serta menawarkan kemungkinan untuk membaca ulang relasi sosial yang selama ini tersembunyi di balik wacana keseharian.
Executive After Hour, 150 x 200 cm, Acrylic on Canvas, 2025
Artist
Karya Roziq menghadirkan pengalaman visual yang merangkul keheningan sebagai bentuk bahasa serta membuka ruang tafsir yang luas melalui impresi ketakterhinggaan. Setiap bidang warna dan komposisi yang dihadirkan tidak dimaksudkan untuk dimaknai secara rasional atau naratif melainkan untuk dirasakan secara intuitif dan kontemplatif.
Karya-karya ini tidak memberikan kesimpulan tetapi mengundang pelepasan dari pemaknaan yang tetap dan menumbuhkan kesadaran terhadap hal-hal yang kerap tersembunyi dalam diri.
Karya Palito menunjukkan kesadaran bahwa sesuatu yang berjalan dalam simulasi-pun (simulakra) tetap tidak melahirkan sebuah kepastian. Karyanya menjelaskan bahwa ketidakpastian bukanlah kelemahan melainkan ruang kontemplatif untuk meraba ulang relasi antara realitas, imajinasi, dan pengalaman eksistensial.
Simulasi bukan sekedar pengganti realitas melainkan medan dimana keraguan, harapan dan makna terus bergeser dan diperiksa kembali.
Shaping The Future #1, 120 x 90 cm, Acrylic on Canvas, 2025
Shaping The Future #2, 110 x 117 cm, Acrylic on Canvas, 2025
Shaping The Future #3, 114 x 55 cm, Acrylic on Canvas, 2025
The Future
Ag US P UTU S U yADN yA (b. 1985, Denpasar). Lives and works in Yogyakarta, Indonesia.
Education
BFA Yogyakarta Indonesia Institute of Arts (2010).
Award
2019 - fourth place winner, Indonesia Painting Contest 2019, Solo.
2015 - Finalist, “UOB Painting of The Year 2015, Jakarta.
2013 - Best Project, “BIOartNERGY#2 Bioscience and Art Synergy”, Jogja National Museum, Yogyakarta.
2010 - Finalist, “Contemporaneity” Indonesia Art Award 2010, Jakarta.
2008 - Finalist, “Warna-Warni Jakarta”,Jakarta Art Awards 2008, Jakarta.
2008 - The Best Five Finalist, Radar Bali Art Award 2008, Bali. 2006 - Special Award, “Kisi-kisi Jakarta” Jakarta Art Awards 2006, Jakarta
Solo Exhibition
2025 - “SYMBIOTIC UTOPIA- The Peaceable Kingdom of Agus Putu Suyadnya”, Sapar Contemporary, New York.
2018 - “Pemburu Cahaya”, (Peaceful Seeker#2), 6 in 1 Balebajar Sangkring program, Balebanjar Sangkring, Yogyakarta.
2014 - “Suburb Stories”, Lestari Grill & Pasta and Art Space Seminyak, Bali.
2011 - “Karakteristik Wayang Sebagai Sumber Inspirasi Dalam Lukisan”, Indonesia Institute of The Art, Yogyakarta
group Exhibition Selected
2025 - Art Jakarta Garden 2025, with Semarang Gallery, Hutan kota by Plataran, Jakarta..
2024 - “The Night Carnival : Somewhere in Laguna”, Fuse & MCM, Manila.
- “POPART: Gotta Collet’Em All”, Unicorn Gallery, Surabaya.
- “Xavier Art Fest 2024”, with Fuse Art Project, Xavier School San Juan Philippines, Philippines
- “Kama Chitra”, SDI Yogyakarta x Sangkring, Sangkring Art Space, Yogyakarta.
- “Simulation : Presenting, Removing and Reappear”, Semarang Gallery, Semarang.
- “KOLOM#2” Warta Project, Sarang Building Blok II, Yogyakarta.
- “Wonderland : Curious Nature”, New York Botanical Garden (NYBG), New York Art Jakarta. 2024 - Semarang Gallery, Jiexpo Kemayoran, Jakarta “RECTOVERSO”, Ning Art Space, Yogyakarta. 2023 - Pecefull Seeker#3 “Agreement Simulation”, Vinautism Gallery, Surabaya.
- MoCAF 2023, Vinyl on Vinyl, Fairmont Makati, Phillippines.
- YAA#8 “SDI x SDI”, Sangkring Art Space, Yogyakarta.
- Xavier Art Fest 2023, Xavier School San Juan, Metro Manila, Philippines “SYMPHONY”, Artotel Artspace, Batam.
- “Hic Et Nunc”, Jago Tarung Yogyakarta, Botega & Artisan, Jakarta. 2022
- “SENANDIKA”, Indie Art House, Yogyakarta.
- Art Jakarta-Tonyraka art Gallery, JCC Senayan, Jakarta.
- “Rethinking of Diaspora Kala Patra Sanggar Dewata Indonesia Yogyakarta”, Sangkring Art Space, Yogyakarta.
- “Festival Seni Asia Changwon 2022
- Masyarakat Nano”, Balai Seni Seongsan, Korea Selatan. 2021
- “Korea – Indonesian digital contemporary arts exchange exhibition, Incheon, Korea Selatan
- “Akara”, Gedung DPD PDI Perjuangan DIY, Yogyakarta.
- “Warta” Jogja Gallery, Yogyakarta.
- Yogya Annual Art #6, “Transboundaries”, Balebanjar Sangkring, Yogyakarta
I ABADIOU PI kO
Contemporary visual artist | mixed media & installation
Born in 1984 in Prabumulih, South Sumatera, Indonesia. Live and work in Yogyakarta, Indonesia.
Education
Diploma Iii, Visual Design - Major In Art Photography Design , Akademi Desain Visi Yogyakarta, (Advy ) 2005
Solo Exhibition
2025 - “ Eureka Threshold “, Michael Janssen Gallerie , Berlin, Germany
2022 - “ Mind - Resistance “, Hatch Art Project , Singapore
- “ Natural Mindscape “, Nunu Fine Art , Taipei, Taiwan
2021 - “ Iabadiou Piko “, Michael Janssen Gallerie , Position Berlin, Germany
2019 - “ Haiku Aku “, Hatch Art Project , Singapore
- “ Catharsis “, Mono 8 Gallery , Manila, Phillipine
2018 - “ Tegak Lurus Dengan Sunyi “, Orbital Dago , Bandung, Art Dubai 12th Edition, Medinat Jumeirah, Dubai, Uae
- “ The Storm Of Perception “, Nunu Fine Art , Taipei, Taiwan
2017 - “ Menumpuk Di Atas Hamparan “, D Gallerie , Jakarta, Indonesia, Curator By Chabib Duta Hapsoro
2016 - “ Proporsi Biru “Der Anteil Des Blaus“, Michael Janssen , Berlin, Germany, Writen By Doni
Dwihandono Achmad
2015 - “ Kabar Angin “Gambar-Gambar Iabadiou Piko“, Lotf Lotf , Bandung, Indonesia, Written By Aulia Fitrisari
group Exhibition Selected
2025 - “ Soundtrack : Merayakan Ke—Indonesiaan “, Contemporary Art Gallery “ Cag “ , Tmii, Jakarta
2024 - “ Negeri Elok “, The Brick Hall Fatmawati City Center , Jakarta
- “ Alchemy “ Vinyl On Vinyl, Makati Ph
- “ Kolom #2 “ Sarang Building, Yogyakarta, Indonesia
- “ Simulation : Presenting, Removing, And Reappear “ Semarang Gallery, Indonesia
- “ Reveal Jersey Merah Putih “ Tim Indonesia Olimpiade Paris 2024, Nusantara Garden , The Dharmawangsa Jakarta
2023 - “ Art Jakarta “, Bale Project , Bandung
- “ Art Jakarta “, D Gallerie , Jakarta, Indonesia
- “ L ( Imitation )“, Ace/Cbd , Yogyakarta
- “ Jakarta Art Garden “, D Gallerie , Jakarta, Indonesia
2022 - “ Art Moments “, D Gallerie , Jakarta, Indonesia
- “ Positions Berlin Art Fair “, Michael Janssen , Berlin, Germany
- “ Bakaba #8 Noise “, Sarang Building Ii, Yogyakarta, Indonesia
- “ Lotte Art Fair Busan “ Busan, Korea, Hatch Art Project, Singapore, 2021 - “ Broken Capitalism “ Hatch Art Project,
- “ I & The Me “ The Shophouse, Hongkong
2020 - “ Art Ph “ Nunu Fine Art, Taipe, Taiwan
2019 - “ Shanghai Art 021 “ Hatch Art Project, Singapore
- “ Greng, 100 Tahun Widayat “ Museum Dan Tanah Liat, Yogyakarta
- “ Unlearning And Relearning To See “ 1335 Mabini, Makati, Philippines
- “ Art Jakarta“ Hatch Art Project , Singapore, Jcc Senayan, Jakarta
- “ Sepasang “ Arka Arts , Art Moment, Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel
- “ Art Central Hk “ Nunu Fine Art, Taipei , Hongkong
- “ Art Dubai “ Michael Janssen , Berlin, Medinat Jumeirah, Dubai, Uae
- “ Art Fair Philippines “ Nunu Fine Art , Taipei
2018 - “ Positions International Art Fair “ Michael Janssen , Berlin
- Art Jakarta “ D Gallerie, The Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta
- “ Volta 14 Basel “ Nunu Fine Art, Elsasserstrasse 215, Basel, Switzerland
- “ Rituals : Ink, Oil, Cotton, And Thread “ Nova Contemporary, Bangkok, Thailand,
- “ Manifesto 6.0 : Multifolar “ Galeri Nasional , Jakarta
- “ Art Fair Ph Feb ’18 “ Nunu Fine Art, Taipei, At Makati Manila, Philippine
2017 - “ Gajah Open House “ Gajah Gallery, Yogyakarta, Indonesia
- “ Menolak Sekaligus Merengkuh “ Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia
- “ Art Jog 10“ Changing Perspective, Jogja National Museum, Yogyakarta
- “Cumulus Blimp: A Transnational Platform Of Discourse, “ Rinne Abrugena – Iabadiou Piko “
- “ Ind“One”Sia “ Bakaba #6, Sakato Art Community, Jogja Gallery, Yogyakarta
2016 - “ Bazaar Art Jakarta “ Orbital Dago, At The Ritz – Carlton Jakarta Pacific Place
- “ Art Stage Jakarta 5-7 July “ Bale Project, Bandung.
- “ Contrroled Coincidence “ Nunu Fine Art “ Taipei , Taiwan
- “ Art Stage Singapore 21-24 Jan ’16 “ Michael Janssen Gallerie, Berlin
2015 - “ Transit #3 “Horison“, Artists In Residence Exhibition, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung.
2014 - “Asyaaf “, Culture Station Seoul 284, Korea
- “ On Klik “, Bkdp (Balai Keseharian Dan Pemajangan), Yogyakarta
2013 - Portas Abertas Open Doors, Artistas Contemporaneos 60 Countries, Museum Evora, Forum Eugenio De Almeida , Portugal, Curated By Claudia Giannetti
2012 - “The 5th Beijing International Art Biennale, China 2012 Exhibition”, The National Art Museum Of China, Beijing, China.
- “The 40th World Gallery Of Drawing, Osten Biennial Of Drawing”, Skopje Macedonia 2012, - The 3rd Bangkok Triennale International Print And Drawing Exhibition, Chiang Mai University Art Center, Sanamchandra Art Gallery, Thailand
Professional Experience Residency
2018 - “ Art Dubai Residency Programme For 12th Edition ”, Ware House 421 , Abu Dhabi , Uae
2016 - “ Luzhunan Historical House ”, Luzhunan, Miaoli , Taiwan
2015 - “ Transit #3 ”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung Awards
2017 - Top10 Recognition Featured Personality In The Top 10 Of Asia Publication “ Asia’s Most Inspiring Visual Artists “ , By Top Asia Corporate Ball, Kuala Lumpur, Malaysia
2016 - Finalist Redbase Foundation Young Artist Award , Yogyakarta
2015 - Finalist The Uob Painting Of The Year 2015
2014 - Finalist The Uob Painting Of The Year 2014
- (Ieaa 2012-2013 Edition) Featured “Emerging Artist Of The Month” Published On All Elevision Media Screens Across #Dubai Supported By Elevision Media, Presented By International Emerging Artist Award
2013 - Finalist Shortlisted Candidates International Emerging Artist Award Dubai 2012 - 2013 2nd Edition ( Ieaa ), Jury By Patricia Millns, Carole Rinaldi, Julie De Waroquier, Olivier Henry, Kerimcan Guleryuz, Didier Gourvennec Ogor
2012 - Osten Award “The 40th World Gallery Of Drawing, Osten Biennial Of Drawing”, Skopje Macedonia
- Finalist The 5th Beijing International Art Biennale, Bhina 2012 Exhibition The National Art Museum of China, Beijing, China, Chief Curator by Liu Dawei, Deng yuan, Wang Mingming, Wu Changjiang. International Curator by Gustafsson Roger
Iq I qOROR
1984, Surabaya
Education
2002-2007 - Tenth November Institute of Technology (ITS), Surabaya, Bachelor of Industrial Design. 2010- 2012 - Indonesia Institute of The Art, Yogyakarta, Master of Fine Art
Solo Exhibition
2009 - “Wood Mood”, ORE-ARTSPACE, Surabaya. 2011 - “Love/Lie/Laugh/Lust”, CCCL Gallery, Surabaya. 2012 - “Family Gray Diary”, Bentara Budaya, Yogyakarta. 2014 - “Black Bourgeois” Artfront Gallery, Singapore.
2015 - “Authority of Madness” Graffik Gallery, London.
2018 - Solo Show at Art stage Singapore.
2019 - “I Prefer Not to Do Anything”, Hatch Art Project, Singapore.
2020 - “OUT OF PLACE: DE-stereotyping Iqi’s Arabism”, Jogja Gallery, Yogyakarta.
2022 - “Perception in Tow”, Artplex Gallery, Los Angeles.
2023 - “Sub-Value”, Galeri RJ Katamsi, Yogyakarta Institute of Art, by Srisasanti Gallery
group Exhibition Selected
2025 - “Portraits Of Paradox”, Artplex Gallery, Los Angeles.
- Art Garden with Kendy’s Gallery, Jakarta.
2024 - “Closed Alpha Testing”, Kendy’s Gallery, Jakarta.
- Art Garden, with Kendy’s Gallery, Jakarta.
- “Bridging Realities” Artplex Gallery, Los Angeles.
- “GBK Unfolds” Artotel Senayan, Jakarta.
- Warta Project, Sarang, Yogyakarta.
- “Simulation: Presenting, Removing, and Reappear” Semarang Gallery.
- Art Moment with Kendy’s Gallery, Jakarta.
- Art Jakarta with Kiniko Art, Jakarta.
- “Sign System” Yuan Gallery, Jakarta.
2023 - Art Garden, with Andi’s Gallery, Jakarta.
- The Big Picture, Andi’s Gallery, Ashta Distric 8, Jakarta.
- “Seni Agawe Sentosa” Semarang Gallery, Semarang.
- “Flex: Art at Sphere, Hatch Art Project, Singapore.
- Yogya Annual Art, Sangkring Art Space, Yogyakarta.
- “Smoke ’Em If You Got ’Em, Presented by John Wolf, Los Angeles.
- “A Kind of Blue” Hatch Art Project, Singapore.
- Art Moments Bali, With Andys Gallery, Intercontinental Bali Resort, Bali.
- “Jeda Sebelum Pulang” Kiniko, Yogyakarta.
- “The Painter” The Medium, Bali.
- “Dynamic Voices” Artplex Gallery, Los Angeles.
- “Art Jakarta, with Semarang Gallery, Jakarta.
2022
- AAF New York, with Artplex Gallery.
- (SMS) Stop Making Sense, Hatch Art Project, Singapore.
- Yogya Annual Art, Sangkring Art Space, Yogyakarta.
- “Bentang Bontang”, Sarinah Art Distrik, Jakarta.
- “Senandika”, Indieart House, Yogyakarta.
2021 - Art Jakarta, with Hatch Art Project, online exhibition.
- “Warta” Jogja Galeri, Yogyakarta. - Yogya Annual Art, Sangkring Art Space, Yogyakarta
M.A R OZI q September 1978
Education
2002 - Diploma Fine Art Photography , Akademi Desain Visi Yogyakarta, Indonesia
Solo Exhibition
2012 - “Gift For My Children” Via-Via Café Yogyakarta. 2015 - “Durasi Kebenaran” Nalarroepa Ruang Seni Yogyakarta.
2021 - “ Membangun Tidur” Bale Banjar Sangkring, Yogyakarya
group Exhibition Selected
2021 - the milestone” Art space Artotel Thamrin, Jakarta.
- Identitas yang hidup” Museum dan tanah liat Yogyakarta.
- “Water” Gallery Lukisan Bergen op Zoom, Belanda.
- “Gangsar” Jogja National Museum, Yogyakarta.
- “The Milestone” LabX Gallery x Artotel sanur Bali.
- “ Potret Kyai” Galeri R.J. Katamsi Yogyakarta.
2022 - “Dinding” pop up gallery, Plaza indonesia Jakarta.
- “Kebun ingatan” CGartspace Jakarta.
- Art jakarta, Jakarta convention centre, Jakarta.
- “This is not the end” Vinyl on Vinyl Gallery, Manila.
- “ Senandika” Indie art house, Yogyakarta.
2023 - Xafier Art Fest 2023, Fr.Rafael cortina sports center, Xafier school, Greenhills San juan, Phillipines.
- Simphony, Artotel Batam, Indonesia.
- “Infinity #8” Yogya Annual Art, Sangkring art space Yogyakarta.
- “Art Jakarta” Art Serpong Gallery, JiExpo Jakarta.
- “Unraveling body colonies” Vinyl on Vinyl Gallery, Manila.
2024 - “Art Future” Grand Hyatt Taipei.
- “Xavier Art fest” Xavier school San juan Philippines.
- “Balistik24” Jogja Gallery, Yogyakarta.
- “Palette of perspectives” Ion Gallery Singapore.
- “Alchemy” Vinyl on vinyl Gallery Manila.
- “Art Gardens” Hutan kota by Pelataran, Jakarta.
- “Kolom #2” Sarang building blok II , Yogyakarta.
- “Simulation : Presenting, Removing and Reappear” Semarang Gallery, Semarang, Jawa Tengah.
- “Astra Cre-Art
- ” Menara Astra, Jakarta. - “ArtJakarta” , Art Serpong Gallery, JiExpo Jakarta.
2025 - Xavier Art Fest phillipines.
- Art Jakarta Gardens, Art Serpong Gallery, Jakarta.
- Art Jakarta Gardens, Semarang Gallery, Jakarta.
- “BUKA” Sakato Art Community Art Space, Yogyakarta.
PALITO P ERA k Bukittinggi,November 1984
Education
Institut Seni Indonesia
Award
2023 - Gold Medal UOB Painting Of The Years, 2023
Solo Exhibition
2023 - SOWWW, Stem Project, Rj Katamsi, Yogyakarta.
2024 - HistoryStory, Kiniko Art, Yogyakarta.
2025 - Flower Don’t Lie, G13 Gallery, Selangor, Malaysia
group Exhibition Selected 2025 - Crescendo, C Square Gallery, Taiwan.
2024
- Artjakarta Garden, Gallery Ruang Dini.
- Artjakarta 2024. CH art space.
- Artjakarta 2024, UOB both.
- Art Moment, G13 gallery, malaysia.
- Mantagi Rupa, Sakato Art Community, Sarang Building II, Yogyakarta.
- Simulation, Semarang Gallery, Semarang.
- Re-Reading Landscape, Sakato art community, Nadi Gallery, Jakarta.
- ArtJakarta Garden, Semarang Gallery.
- ArtJakarta Garden, CG Gallery.
2023 - ARTJAKARTA, Gallery Ruang DIni, Jakarta.
- MJK, Golden Goal, Jogja Gallery, Yogyakarta.
- Something Old, Something New, Sometihing Borrowed, Something Blue, Srisasanti Sindicate, Pacific Place, Jakarta.
- 0 / 100, UCYY, Surabaya.
- SOWWW, STEM Project, RJ. Katamsi, Yogyakarta.
- STEM Cut at by Pillar, Jakarta.- Warta Project, Sarang Building, Yogyakarta.
- Jogja Affordable Art, Yogyakarta.
- Artjakarta Garden, S.T.E.M Project.
- Tutti Frutti: SEA Group Exhibition, Tang Gallery Bangkok.
2022 - REVVV, All Abouth Gallery, Singapore.
- ARTJAKARTA, Ruci Art Space, Jakarta.
- BAKABA #8, Sakato Art Community, Sarang Buyilding II, Yogyakarta.
- S.T.E.M Show: two, Tirtodipuran Link, Yogyakarta.
- 3 Tahun Dari Sekarang, Ruang dalam Art House, Yogyakarta.
- Jogja Affordable Art, Jogja Gallery, Yogyakarta.
- After mooi indie #4, Rj Katamsi Gallery, Yogyakarta.
2021 - In – Between, Cakravala, Ruang Kreasi.
- Mini Sexy, Tanding tapi Sanding, Ruang Dalam Art House, Yogyakarta.
- Cek Ombak, Langgeng Gallery, Yogyakarta