

“…kursi itu ialah aku sendiri.”
Nashar & Nunung WS
Gaya lirisisme dan dekoratif sangat dominan dalam seni rupa Indonesia pada masa 1970an. Dominasi keduanya, yang berbasis pada seni rupa abstrak, salah satunya disebabkan oleh rezim Orde Baru yang memberikan peluang yang besar untuk gaya ini tumbuh.
Gaya seni ini pun tumbuh seiring menguatnya akademi seni rupa yang memberikan pedoman pada kecenderungan gaya seni abstrak itu sendiri. Mereka mengembangkan pendidikan dan pengajaran seni
rupa akademik seperti di Departemen Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung dan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta. ASRI perlu mendapatkan sedikit pengecualian karena pada masa awal berdirinya, seniman-seniman sanggar berperan menjadi pengajar. Mereka menerapkan pendekatan khas sanggar untuk mengajar. Perlahan pendekatan akademik mulai menyingkirkan pendekatan sanggar, meskipun ada beberapa metode sanggar yang masih dipertahankan.
Di tengah makin mendominasinya seni rupa akademik, terdapat beberapa seniman yang keras kepala mempertahankan nilai-nilai sanggar. Mereka adalah anggota dan produk sejumlah sanggar revolusioner di Yogyakarta dan, oleh karena beberapa faktor mereka berada di Jakarta sejak awal 1960an. Nashar (19281994), dan kedua rekannya Oesman Effendi (19191985) dan Zaini (1926-1977) adalah seniman-seniman yang dimaksud dan fakta mereka adalah perantau dari Minangkabau memberikan dimensi lain ketika mereka dibentuk oleh sanggar-sanggar itu. Ketiganya pun menjadi bagian penting dalam program-program dan pengembangan Dewan Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki, sebuah pusat kebudayaan yang didirikan pada 1969 atas patronase Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Kelak mereka juga menjadi bagian penting dalam Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ), sebuah akademi seni yang berada di kompleks
Taman Ismail Marzuki.
Sebagai pendidik di LPKJ Nashar, Zaini dan Oesman Effendi menanamkan prinsip-nilai sanggar, dengan jargon ‘akademi bebas’ di mana praktik dan pengalaman punya porsi lebih besar dibandingkan teori. Nashar bahkan menekankan bahwa seniman harus melukis dibandingkan dengan duduk di kelas dan membaca buku teks. Pendapat ini bisa dianggap sebagai kelakar belaka namun Nashar mempercayai bahwa seseorang tidak bisa dididik ataupun dicetak sebagai seniman. Seniman adalah individu yang bebas. Maka dari itu ketika ketika seorang master mengajar calon seniman, niscaya ia tidak akan memperoleh hasil yang ia inginkan. Alih-alih seorang master atau guru seharusnya mengajak calon seniman untuk bekerja berdasarkan kapasitas calon seniman itu dan tidak melakukan intervensi. Bahkan Nashar menekankan bahwa guru dalam melukis adalah alam dan kehidupan itu sendiri. Salah satu pernyataan Nashar yang penting dalam menggarisbawahi hal ini adalah ketika ia menyatakan, “Aku perhatikan sebuah kursi, aku rasakan benda itu, hingga timbul perasaan padaku bahwa kursi itu ialah aku sendiri.”
Nashar lantas dipertemukan kepada Nunung WS dalam sebuah pembukaan pameran di mana Nunung menjadi
“Nashar mempercayai bahwa seseorang tidak bisa dididik ataupun dicetak sebagai seniman. Seniman adalah individu yang bebas.”
salah satu pesertanya di TIM. Tidak butuh waktu lama untuk Nunung mengajukan diri untuk dapat menjadi murid Nashar dan sang seniman bohemian ini menerima dengan tangan terbuka. Momen fundamental perolehan paradigma dan kecakapan melukis Nunung dari Nashar adalah ketika mereka melakukan ekskursi ke Bali.
Pada momen ini Nunung mulai diperkenalkan dengan prinsip kebersatuan dengan alam yang diyakini oleh Nashar. Untuk memperoleh objektif ini Nashar meminta Nunung untuk mempergunakan seluruh inderanya sebagai seniman, dalam rangka mencerap energi dari alam. Dari sini Nunung juga memahami
bahwa alam bukanlah entitas yang seharusnya ditaklukkan. Sebaliknya, sudah seharusnya manusia dan seniman menjadi bagian dari alam. Melalui Nashar Nunung WS menemukan bagaimana manusia bersatu dengan alam ketika mereka merasakan langsung kehidupan holistik masyarakat Hindu Bali. Di sana kehidupan duniawi, spiritual dan kesenian menyatu secara harmonis serta diiringi oleh wawasan-wawasan ekologis.
Pameran ini menampilkan penghayatan Nashar dan Nunung WS pada alam sebagai entitas dengan keseimbangan proporsi yang diabstraksi secara artistik oleh kedua seniman melalui goresan-goresan ekspresif sekaligus efisien. Pada awalnya kita masih dapat merasakan dan menandai kesan-kesan alam secara mudah yang merujuk pada pemandangan pegunungan, suasana pesisir, halaman rumah, dan lain-lain. Kesan-kesan alam itu makin sukar kita kenali karena keduanya makin menggambarkan alam secara abstrak atau menggambarkan pemandangan alam yang mereka interpretasi sendiri. Maka lirisisme tidak hanya bisa ditandai dengan abstraksi yang secara jelas menampilkan kesan alam, tetapi juga tidak langsung merujuk kepada alam itu sendiri.
Setelah periode yang membuat Nashar dan Nunung bersinggungan secara intensif sebagai guru dan
murid, yang ditandai dengan kemiripan kekaryaan mereka, Nunung perlahan menemukan jalan melukis sendiri. Gaya khas lukisan Nashar yang menawarkan nuansa misterius, ganjil dan enigmatik tidak diikuti oleh Nunung. Nunung justru menjelajahi aspek-aspek gestural yang ia gali dari penciptaan kaligrafi. Periode berikutnya adalah ketika ia menjelajahi pendekatan abstrak geometrik yang wawasannya ia dapatkan dari komposisi tenun-tenun Nusantara.
Pameran ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa fragmen peristiwa pada seni rupa Indonesia pada awal dekade 1970 yang masih belum mendapatkan pembahasan komprehensif dalam diskursus sejarah seni rupa kita. Bahwa perbendaharaan gaya-gaya lirisisme tidak hanya disumbang oleh akademi-akademi seni rupa.
Bahan bacaan: Nashar, Nashar oleh Nashar, Bentang Budaya, 2002. Katherine L. Bruhn, Nature Acts as our Teacher: Minangkabau Art World Making in Indonesia, Dissertation, University of California, Berkeley, 2023. Jiwa, Cita, Nuansa: Lima Dekade Nunung WS Berkarya, PT Veda Adhvan Pratima, 2023

signed with artist's monogram and dated '9.6.77', lower right

Irama II (Rhythm II)
oil on canvas - 66,5 x 95 cm - 1985
signed with artist monogram and dated ‘4.3.85’, upper left

signed with artist's monogram and dated '17.9.89', lower right

signed with artist’s monogram and dated ‘7.9.77’, upper left

signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled gouache on paper - 24,5 x 36 cm - 1981
signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled gouache on paper - 27 x 37 cm - 1982 signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled gouache on paper - 27 x 37 cm - 1982 signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled gouache on paper - 27,5 x 38 cm - 1982 signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled gouache on paper - 27,5 x 38 cm - 1982
signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled gouache on paper - 27,5 x 38 cm - 1982
signed with artist's monogram and dated, upper left

Untitled ink on paper - 35 x 24 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled ink on paper - 34 x 24 cm - 1969 signed with artist's monogram and dated, upper left

Untitled ink on paper - 53,5 x 35,5 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled ink on paper - 34 x 24 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled ink on paper - 34 x 24 cm - 1971 signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled ink on paper - 34 x 24 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled ink on paper - 35 x 24 cm - 1971 signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled ink on paper - 35 x 24 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled ink on paper - 34 x 24 cm - 1971 signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled ink on paper - 34 x 24 cm - 1971 signed with artist's monogram and dated, lower right

Untitled mixed media on paper - 38 x 55 cm - 1961

Untitled ink on paper - 24 x 34 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower left

Untitled ink on paper - 24 x 34 cm - 1969
signed with artist's monogram and dated, lower right


Kontemplasi






mixed media on paper - 33 x 25 cm - 2007



Offering monotype on paper - 32 x 25 cm - 2005

mixed media on paper - 20 x 46 cm - 1989

mixed media on paper - 20 x 46 cm - 1989

mixed media on paper - 18 x 46 cm - 1989

mixed media on paper - 20 x 50 cm - 1989


Kampung Nelayan
pastel on paper - 38 x 43 cm - 1970-1980

Pura pastel on paper - 1970-1980

mixed media on paper - 18 x 27 cm - 2003

mixed media on paper - 24 x 24 cm - 1995-2002

mixed media on paper - 36 x 26 cm - 1995-2002

mixed media on paper - 36 x 26 cm - 1995-2002

Sketsa #10
conte on paper - 38 x 56 cm - 1980

conte on paper - 37 x 44,5 cm - 1972

Sketsa #5
conte on Paper - 38 x 56 cm - 1980

conte on paper - 38 x 56 cm - 1980