
2 minute read
Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis
Ridho Al-Hamdi
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Penerima Hibah RisetMu Batch III Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah.
Advertisement
Studi ini merupakan telaah epistemologis terkait paradigma politik Muhammadiyah. Epistemologi merupakan metode yang digunakan oleh studi ini untuk meraih tujuan berupa sebuah paradigma yaitu “paradigma politik Muhammadiyah”. Untuk meraih paradigma tersebut, studi ini mengajukan empat pertanyaan: Bagaimana metode atau cara memperoleh sumber kajian tersebut? Bagaimana asal mula lahirnya kesadaran politik Muhammadiyah? Apa saja sumber kajian dalam kesadaran politik Muhammadiyah? Bagaimana tolok ukur kebenaran (validitas) dalam kesadaran politik Muhammadiyah? Secara metodologis, studi ini menggunakan dua metode menelaah paradigma politik
Kesadaran politik Muhammadiyah berasal dari empat sumber, yaitu (1) pengaruh ide-ide pembaruan Islam dari Timur Tengah terutama pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, (2) kesadaran pembebasan dari keterbelakangan/kebodohan, (3) kesadaran pembebasan dari penjajahan, dan (4) kesadaran pembebasan dari penetrasi Kristen. Sementara itu, sumber kajian kesadaran politik Muhammadiyah terbentuk melalui tiga tahap proses yang merepresentasikan dimensi waktu: pembentukan (masa lalu), struktur (masa kini), dan nasib (masa depan). Perjalanan pembentukan kesadaran politik Muhammadiyah sejak 1912 hingga 2020 dapat dibagi ke dalam dua tahap: tahap pertama adalah kesadaran individual (1912-1971) dan tahap kedua adalah kesadaran institusional (1971- 2020). Alhasil, pembentukan kesadaran politik Muhammadiyah membentuk struktur akal politik Muhammadiyah yang terdiri dari dua madzhab utama: akal skripturalis-rasional sebagai akal dominan dan akal substansialis-pragmatis sebagai akal marjinal. Akal dominan adalah akal massa sedangkan akal marjinal adalah akal elite.

Ridho Al-Hamdi
Berpijak dua tahap tersebut, gagasan masa depan politik Muhammadiyah berpijak pada keyakinan, bahwa mendirikan partai politik bukanlah cara yang tepat untuk menyalurkan aspirasi politik Muhammadiyah di bawah sistem politik yang liberal seperti saat ini. Studi ini lebih menekankan diaspora kader-kader Muhammadiyah ke berbagai partai politik dan lembaga-lembaga strategis lainnya. Untuk menjalankan fungsi tersebut, pembentukan lembaga ad hoc bernama Pusat Strategi dan Pengembangan Kader Politik (PUSKAPI) adalah jalan tengah. Tentu massifikasi gerakan pemurnian dan reformasi terhadap sistem politik-demokrasi harus dilakukan guna mencari rumusan sistem pemerintahan terbaik bagi terwujudnya sebuah negeri yang dirindukan.
Terakhir, tolok ukur paradigma politik Muhammadiyah mencakup tiga dimensi: “kesadaran diri” mewakili dimensi spiritualis (ilahiah), “teologi pembebasan” mewakili dimensi aktivisme sejarah (humanisme), dan visi “Islam berkemajuan” mewakili dimensi modernitas (teknologi). Artinya, paradigma “kesadaran politik yang membebaskan” dan berorientasi visi Islam berkemajuan menunjukkan sebuah kenyataan, bahwa paradigma politik Muhammadiyah bukanlah paradigma sufistik yang lari dari realitas, bukan paradigma sekuler yang jauh dari unsur ketuhanan, dan bukan pula paradigma yang hanya bergantung pada teknologi saja yang terkadang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Paradigma politik Muhammadiyah adalah paradigma keseimbangan di antara tiga dimensi tersebut di atas. Tidak ada satu dimensi yang mendominasi dimensi yang lain karena satu sama lain saling mengimbangi sebagai paradigma yang kokoh tentang konsistensi cara berpikir (how to think) dan cara bertindak (how to behave).