3 minute read

Gagap Teknologi Tantangan Kuliah Daring di Papua

Dr. Indah Sulistiani, SE, M.I.Kom (Dosen STIKOM Muh Jayapura)

"Meski dengan keterbatasan karena tidak memiliki laptop, mereka tetap mengerjakan tugas dengan merangkai kalimat demi kalimat dengan durasi yang panjang melalui pesan WhatsApp (WA). Hal ini dilakukan, karena rental pengetikan tempat mereka mengerjakan tugas menutup jasa rental dampak pandemi Covid-19." Begitu cerita Indah Sulistiani salah satu dosen STIKOM Muhammadiyah Jayapura saat memaparkan kisah belajar mengajarnya di masa Covid-19.

Advertisement

Menjadi salah satu dosen STIKOM Muh Jayapura, Indah memulai karirnya sebagai seorang reporter pada tahun 1999. Wanita kelahiran Grobogan Jawa Tengah (1975) ini menyelesaikan program Sarjana Jurusan Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Cenderawasih Jayapura pada 1999, Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Hassanuddin Makassar di 2010, dan Program Doktor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di tahun 2017. Indah resmi bergabung dengan STIKOM Muh Jayapura pada 2004 dan saat ini memegang amanah sebagai dosen dari 5 prodi sekaligus.

STIKOM Muh Jayapura menjadi salah satu Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) yang terkena dampak dari pandemi saat ini. Mengikuti aturan dari pemerintah, kampus ini menerapkan perkuliahan daring guna meminimalisir terjadinya penyebaran Covid-19. "Perkuliahan online melalui grup WhatsApp, messenger, Facebook karena adanya keterbatasan jika menggunakan Zoom Meeting dan Google Classroom," ungkap Indah memulai perbincangan. Ia melanjutkan, mahasiswa STIKOM Muh Jayapura didominasi berasal dari daerah pegunungan seperti Yahukimo, Tolikara, Jayawijaya, Yalimo, Paniai,

Pegunungan Bintang, Mamberamao, dan daerah lainnya. Hal ini menyebabkan keterbatasan bagi mahasiswa baik dalam akses transportasi, teknologi komunikasi, akses informasi, sosial ekonomi dan budaya yang berbeda dengan saudara lainnya di pesisir pantai Papua. "Pada awalnya partisipasi mahasiswa sangat rendah, mereka keberatan dengan adanya kuliah online yang dianggap menyulitkan." Kampus terancam diboikot karena adanya keterbatasan teknologi komunikasi dan penerapan biaya SPP. Keterbatasan tersebut mengharuskan Indah untuk lebih sering menggunakan aplikasi pesan dibandingkan aplikasi tatap muka online pada umumnya. Prinsipnya, seorang dosen harus mampu adaptif, kreatif, dan inovatif dalam berbagai situasi. "Kreativitas dalam proses belajar mengajar senantiasa dilakukan meski tidak selalu menggunakan aplikasi teknologi terkini karena keterbatasan yang dimiliki oleh mahasiswa dan kondisi jaringan komunikasi di Papua," papar lulusan Pascasarjana ITB ini.

Indah konsisten untuk menjaga interaksi dengan mahasiswa secara dua arah agar lebih interaktif dalam pembelajaran daring. Salah satu metode yang diterapkan yaitu menyediakan web pribadi atau situs web kampus agar dapat diakses langsung oleh mahasiswa. Jika mahasiswa merasa kesulitan dalam mengakses internet, materi perkuliahan dapat diperoleh dari percetakan kampus. "Mahasiswa cukup menyalin materi dan pembelajaran dapat didiskusikan melalui via telepon, messenger, maupun WhatsApp," paparnya. Meski menghadapi berbagai keterbatasan dalam perkuliahan online, mahasiswa STIKOM Muh Jayapura, tetap memiliki semangat yang tinggi. Mereka saling membagikan materi perkuliahan dan tugas kepada mahasiswa lain yang tidak memiliki ponsel pintar. Bagi Indah, masa pandemi termasuk pengalaman berkesan sekaligus menimbulkan keprihatinan. “Mengatasi masalah koneksi jaringan dan kendala lainnya, saya tetap memberikan tugas individu kepada mahasiswa, melakukan kontak langsung via telepon maupun mengirim pesan melalui Short Message Service (SMS) yang berbiaya murah namun kurang praktis karena pesan yang dikirim terbatas," ungkapnya.

Saat ditanya pengalaman berkesan, Indah membagikan kesan dampak positif dan negatif dari Covid-19. Dalam proses perkuliahan daring, dampak positif Covid-19 di antaranya membuat dosen dan mahasiswa menjadi lebih terbiasa dengan teknologi komunikasi, serta memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga yang selama ini kesibukannya lebih banyak di kampus. Sementara dari dampak negatif, interaksi langsung dengan mahasiswa dan rekan sejawat menjadi berkurang, membutuhkan biaya lebih besar untuk membeli kuota internet, proses pembelajaran tidak maksimal karena tidak semua mahasiswa aktif dalam pembelajaran daring.

Indah setuju bahwa sejatinya mahasiswa adalah kaum intelektual yang seharusnya sudah terbiasa dengan teknologi komunikasi dan informasi. Faktanya, tidak semua keadaan mahasiswa bisa disamaratakan dengan anggapan mereka mampu untuk kuliah daring. Ada mahasiswa yang memiliki kemampuan baik dengan tingkat ekonomi yang cukup, namun mayoritas mahasiswa di Papua merupakan orang asli Papua yang baru mengenal teknologi komunikasi sehingga mereka masih gagap teknologi. “Jangankan terbiasa dengan kemajuan teknologi, tujuan mereka untuk kuliah di Kota Jayapura adalah dalam upaya belajar tentang kehidupan modern yang identik dengan teknologi komunikasi dan informasi,” paparnya.

Ia berharap pemerintah dapat memahami kondisi pendidikan dan kondisi masyarakat di luar pulau Jawa terkhusus di Papua. Perlu adanya bantuan secara khusus, bagi mahasiswa terdampak pandemi Covid-19 dengan menyediakan subsidi kuota internet bahkan bila perlu memberikan bantuan sarana komunikasi kepada mahasiswa tidak mampu agar proses pembelajaran daring dapat dilakukan. “Kita tidak ingin kemajuan pendidikan di Provinsi Papua sebagai pintu gerbang timur Negara Indonesia mengalami kemunduran disebabkan ketidakmampuan masyarakatnya untuk mengakses proses pendidikan secara daring terkhusus karena keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,” tutupnya. []APR

This article is from: