5 minute read

Dayak Kenyah Lepoq Jalan Jejak Migrasi dalam Aura Desa Budaya

Dayak Kenyah Lepoq Jalan, Lung Anai

 Jejak Migrasi Dalam Aura Desa Budaya

Advertisement

Menurut tutur lisan, leluhur Dayak Kenyah berasal dari migran keturunan bangsa Tiongkok bernama Haka. Diceritakan Haka berniaga di Borneo, dan suatu waktu ia singgah di sebuah goa untuk beristirahat. Ternyata di dalam goa dihuni seekor naga yang mempunyai batu permata di kepala. Haka sangat ingin memiliki batu permata itu, tapi tak kuasa melawan naga yang sanggup mengeluarkan api dari mulutnya. Niat untuk mengambil batu permata diurungkan dan pulanglah Haka ke negeri Tiongkok untuk meminta bantuan dari Kerajaan. Maka kemudian dikirimlah pasukan dari Tiongkok untuk merebut permata di kepala naga. Permata itu berhasil direbut ketika naga sedang tertidur, namun dalam situasi terakhir ketika kapal pasukan Tiongkok akan kembali, sang naga terbangun dan mengejar pasukan Tiongkok. Malang bagi Haka, dia tertinggal karena kapal telah angkat sauh berlayar ke Negeri Tiongkok. Akhirnya Haka dan sebagian prajurit yang masih tertinggal masuk ke wilayah pedalaman, menyusuri sungai dan tiba di perkampungan, kemudian mereka berbaur dengan masyarakat hingga beranak-pinak. Setelah sekian tahun kemudian, Haka membawa sebagian masyarakat pindah ke Apau Ahe dan perkampungan itu berkembang pesat serta diyakini sebagai cikal bakal leluhur Dayak Kenyah Tutur Riwayat Migrasi Suku Dayak Kenyah sejatinya bermula dari daerah Baram, Serawak yang bermigrasi ke wilayah Kalimantan Utara dan terpecah menjadi dua bagian, sebagian menuju

Apau Kayan yang sebelumnya telah ditempati suku Dayak Kayan, sedangkan sebagian lainnya menuju sungai Bahau. Suku Dayak Kenyah terdiri dari beberapa subsuku diantaranya adalah Lepoq Tepu, Lepoq Badeng, Lepoq Bakung, Lepoq Bem, Lepoq Jalan, Lepoq Ke, Lepoq Kudaq, Lepoq Kulit, Lepoq Maut, Lepoq Tau, Lepoq Tao', Lepoq Timei, Uma Jalan, Umaq Alim, Umaq Baka, Umaq Bakung, Umaq Lasan, Umaq Lung, Umaq Tukung.4 Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan semula hidup berkelompok dalam sebuah sistem umaq (rumah panjang) dan lepoq (huma). Semula mereka bermukim Long Nawang dan Long Ampung yang kemudian bermigrasi ke berbagai daerah di Kalimantan Timur. Pergerakan migrasi Dayak Kenyah itu hingga ke wilayah Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, Kutai Timur, Berau, Bulungan dan Malinau. Pemukiman suku Dayak Kenyah di Kabupaten Mahakam Ulu berada di Batu Majang, Rukun Damai, Datah Bilang Ulu dan Datah Bilang Ilir, sedangkan di Kabupaten Kutai Kartanegara berada di Bila Talang, Buluk Sen, Long Lalang, Ritan Baru, Tukung Ritan, Umaq Bekuai, Umaq Dian, Umaq Tukung, Lekaq Kidau, Long Anai dan Berambai. Sedangkan di Kota Samarinda mereka bermukim di Pampang. Pemukiman Dayak Kenyah di Kabupaten Kutai Timur berada di wilayah Kecamatan Batu Ampar, Busang, Kongbeng, Long Masengat, Muara Ancalong, Muara Bengkal, Muara Wahau dan Telen. Sedangkan di Kabupaten Berau di Kecamatan Kelay. Segah dan Sambaliung, di Kabupaten Malinau berada di Kecamatan Sungai Boh, Pujungan, Bahau Hulu, Kayan Hulu, Kayan Hilir dan Kayan Selatan, adapun di Kabupaten Bulungan

4 William W Bevis. Borneo Log: The Struggle for Sarawak's Forests. University of Washington Press, 1995.

berada di Kecamatan Peso, Peso Ilir, Sekatak, Tanjung Palas dan Tanjung Palas Barat. Peristiwa Ganyang Malaysia membuat gelombang migran besar-besaran dari tanah leluhur mereka. Tidak ada informasi akurat mengenai periodesasi migrasi dari Apo Kayan. Ketika berpindah dari Apo Kayan menuju Lung Anai, terdapat delapan titik tempat yang dilalui. Umaq Lung Tisai ditengarai sebagai kelompok yang pertama pindah berjumlah sekitar 200-an Kepala Keluarga. Disusul kemudian Umaq Lulau dengan 50-an Kepala Keluarga, Umaq Sungan dengan 50 Kepala Keluarga, lalu berangsur-angsur dari kelompok lain mengikuti perpindahan dalam jumlah semakin banyak. Terdapat beberapa tempat yang menjadi jalur perpindahan kolosal suku Dayak Kenyah. Salah satunya jalur perjalanan yang ditempuh kelompok Lung Tisai. Perjalanan itu diawali dari Apau Kayan mereka menuju Jeng di wilayah Long Nawang, yang ditempuh sekitar satu bulan menyusuri sungai Kayan dan sungai Lamp ke hilir. Kemudian mereka bermukin di Jeng selama tiga tahun dan berladang sambil membuat perahu sebagai persiapan untuk perjalanan selanjutnya. Perjalanan dimulai lagi menuju Lekaq Way dengan menyusuri sungai Luy. Mereka berdiam di salah satu pinggiran sungai Lekaq Way sekitar sepuluh tahun. Selain berladang di Lekaq Way mereka mulai bekerja mencari butiran emas. Pada saat di Lekaq Way mereka mulai mengadakan kontak dengan pembeli hasil tambang emas yang mereka sebut sebagai orang Cina (Tionghoa). Selain itu mereka juga ada yang menjual emas sampai ke Samarinda. Lantaran dianggap tidak cocok lagi di Lekaq Way, mereka melanjutkan perjalannya ke Belinau, melewati Long Sule. Belinau adalah kampung yang dihuni suku Dayak Punan, namun mereka diterima dengan ramah.

Namun mereka masih tetap berkeyakinan perjalanan harus dilanjutkan. Mereka lalu berjalan kaki ke hulu sungai Tabang dan mereka mulai mengenal penebangan kayu yang dulu dikenal dengan istilah Banjirkap. Mereka terus bermigrasi hingga ke kawasan sungai Pedohon dan bermukim sekitar dua tahun. Setelah itu, mereka menuju Lulau Lupa yang mereka huni dua tahun. Tak berhenti sampai di situ, kemudian menyusuri sungai Atan menuju Gemar Lama dan menetap selama sepuluh tahun. Lalu berpindah lagi ke Gemar Baru yang juga dihuni selama sepuluh tahun. Pada tahun 1985-1986 mereka melanjutkan eksodus ke Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dihuni beberapa kelompok migran Apo Kayan. Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai masing-masing berasal dari Long Segar, Gemar Baru, dan Sentosa. Akhir bulan Mei 2006, warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, menyambut kedatangan 26 KK dari Datah Bilang Ilir, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Kutai Barat. Acara penyambutan berlangsung di Lamin Adat dan pada kesempatan itu mereka saling menukar mandau sebagai simbol saling membantu dalam mengarungi kehidupan selanjutnya. Desa Budaya Lung Anai Kampung Lung Anai semula dikenal dengan Tanah Merah. Kedatangan warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan di hulu sungai Jembayan ini diawali oleh beberapa tetua warga. Pada mulanya Pelujuk dan Pangit melakukan survei sebelum memastikan Lung Anai layak dijadikan perkampungan. Semula mereka memilih Gitan yang berada di hulu Lung Anai dan mereka berjumpa orang Dayak Basap yang sudah menghuni kawasan ini. Gitan dianggap cocok untuk areal perladangan, sedangkan Lung Anai dianggap cocok untuk

perkampungan, meski pada mulanya adalah dusun dari desa Sungai Payang. Hunian Lung Anai diapit dua kampung. Pada bagian hilir, kampung Kuntap yang dihuni suku Dayak Tunjung Benuaq, dan di hulunya kampung Sentuk yang didiami suku Kutai dan Banjar. Kampung Long Anai tidak mengikuti pola ruang mengikuti alur sungai, tetapi membentuk huruf T, sehingga mereka tidak memiliki rakit jamban di sungai. Aktivitas mandi dan mencuci tidak lagi dilakukan di sungai setelah air dari pegunungan mengalir ke rumah masingmasing sejak tahun 1994. Kampung Lung Anai berada di ujung jalan raya bekas jalan perusahaan kayu PT. ITCI. Jalan sepanjang 25 km ini menghubungkan Lung Anai dengan ibukota Kecamatan Loa Kulu. Sejak Januari 2007, warga Lung Anai lebih intensif menggunakan jalan raya ini karena lebih efisien. Predikat Desa Budaya yang disandang Lung Anai, sejak 2007 lalu, ternyata tidak serta merta membuat desa itu diperhatikan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara terutama pengembangan dan pelestarian budaya. Desa Lung Anai seolah ditinggalkan begitu saja, setelah ditetapkan menjadi Desa Budaya. (*).

Sumber Naskah: Heru Prasetia, “Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara”, hasil penelitian Desantara dan Naladwipa Institute for Social and Cultural Studies, http://www.desantara. or.id/2013/09/sejarah-masyarakat-dayak-kenyah-lepoq-jalan-lunganai-kutai-kartanegara/

Roedy Haryo Widjono AMZ, “Dilema Invensi Budaya dan Siasat PenguasaanSumber Penghidupan”, dalam buku Dilema Transformasi Budaya Dayak, Nomaden Institute Cross Cultural Studies dengan Lembaga Literasi Dayak, Tangerang, 2016.