22 minute read

2. Tamen Buring

Next Article
Biodata Penulis

Biodata Penulis

Alkisah pada zaman dahulu, hiduplah seorang bangsawan bernama Bango’ Ingan dengan tiga anaknya yaitu Buring, Iping dan Nyanding. Semua anaknya perempuan. Bangsawan itu juga akrab dipanggil Tamen Buring. Pada satu waktu, ia terlihat sedang berbincang dengan istrinya, Suling Belawan. Ia mengutarakan keinginannya untuk melakukan balas dendam atas kematian bapaknya yang dibunuh Jalung Buloq Atung. Bapak Bango' Ingan dibunuh ketika ia masih kecil. Suling Belawan sangat khawatir tentang rencana suaminya. “Sebelum melakukan penyerangan, datanglah ke Laking Kiok untuk minta nasihat,” ujar Suling Belawan. “Wahai istriku, Aku rasa tidak perlu meminta nasihat. Jumlah kita lebih banyak. Kita akan menang dengan mudah,” ungkap Tamen Buring penuh dengan percaya diri.

“Aku rasa, tidak ada salahnya kalau engkau datang ke sana. Bukankah apa yang ia katakan, selalu benar,” ungkap Suling Belawan. Setelah didesak dan dibujuk terus menerus, akhirnya hati Tamen Buring luluh juga. Suling Belawan merasa lega. Ia berharap, nasihat Laking Kiok dapat merubah rencana suaminya. Saat itu, Suling Belawan sedang mengandung anak yang keempat. Menurut kepercayaan masyarakat, pantang bagi seorang suami melakukan penyerangan tatkala Istri sedang mengandung. Sesuai janjinya, Tamen Buring beserta beberapa orang dekatnya datang ke rumah Laking Kiok. “Begini, Pui. Kami bermaksud menyerang Jalung Buloq Atung. Bagaimana menurut Pui?” tanya Tamen Buring. Laking Kiok terdiam dan merenung sejenak. “Kalian tunggu sebentar di sini,” jawab Laking Kiok memecah

Advertisement

keheningan. Kemudian Laking Kiok pergi menuju tempat ritual. Ia pejamkan mata dan membaca mantra untuk mendapatkan petunjuk. Tidak lama setelah itu, ia keluar berbicara dengan Tamen Buring. “Begini, berdasarkan petunjuk dari para leluhur, lebih baik engkau tunda penyerangan itu. Aku melihat, akan banyak korban dari warga kita, termasuk nyawamu. Kekalahan akan engkau dapatkan,” ujar Laking Kiok menasihati. Mendengar nasihat itu, raut muka Tamen Buring tampak kecewa. “Jumlah kita lebih banyak. Kalau kita menyerang sekarang, pasti akan menang mudah,” sergah Tamen Buring. “Jika kalian tetap bersikukuh melakukan penyerangan, terserah saja. Aku hanya menyampaikan firasat yang aku dapatkan,” jawab Laking Kiok. Nasihat Laking Kiok, tidak menyurutkan sedikit pun keinginan Tamen Buring. Berbagai persiapan terus dilakukan. Ratusan laki-laki yang dipandang kuat dan memiliki kemampuan dikumpulkan. Semua persenjataan dan baju perang juga sudah dipersiapkan. Namun nasihat Laking Kiok memunculkan rasa ragu di antara pengikut Tamen Buring. Mereka terbelah dua, antara yang sepakat melakukan penyerangan dan menunda terlebih dahulu. Kelompok yang ingin tetap melakukan penyerangan lebih kuat.

*** Tibalah waktu penyerangan sesuai yang direncanakan. Tamen Buring dan ratusan orang pengikutnya bergegas berangkat. Keyakinan akan menang mudah, memberi semangat pada diri mereka. Setelah menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah mereka di tempat yang dituju. Saat itu, terlihat beberapa anak sedang bermain di ujung kampung. Melihat rombongan yang datang begitu banyak, anak-anak itu menghentikan permainannya.

Salah seorang pengikut Tamen Buring datang menghampiri mereka. “Beri tahu kepada kami, siapa kepala adat di kampung ini?” ujarnya. “Jalung Buloq Atung,” jawab anak-anak itu. Lalu anak itu diperintahkan segera menyampaikan kedatangan mereka. Anak-anak itu segera berlari menuju rumah Jalung Buloq Atung. “Amai…., Amai, ada rombongan di ujung kampung mencari amai,” teriak anak-anak itu serentak. Jalung Buloq Atung langsung ke luar mendengar teriakan itu. Ia berdiri tegak, kemudian berkata dengan suara lantang, “Katakan pada mereka, jangan masuk ke kampung dulu. Mereka harus menunggu dan membuat tenda di sana, karena di kampung sedang dilaksanakan ritual pengusiran roh.” Anak-anak itu kemudian bergegas menyampaikan pesan Jalung Buloq Atung. Tamen Buring mengikuti perintahnya. Lalu mereka mendirikan tenda tepat di ujung kampung. Keesokan harinya, dua orang diutus menemui Jalung Buloq Atung. Pagi-pagi mereka pergi membawa pesan ajakan berperang. Jalung Buloq Atung menemui dua orang utusan dengan sopan. Setelah mendengar pesan yang disampaikan, ia segera menjawab. “Lebih baik kalian urungkan niat dan pulanglah. Meskipun jumlah kami lebih sedikit, belum tentu kalian mampu mengalahkan aku. Tapi kalau masih tetap mau menyerang, silakan. Jangan menyesal.” Dua orang utusan itu segera menyampaikan jawaban Jalung Buloq Atung. Mereka tetap bersikukuh untuk berperang. Penyerangan segera dilakukan. Mereka langsung diperintahkan memasuki kampung. Jalung Buloq Atung dan pengikutnya sudah siap menyambut kedatangan Tamen Buring. Kedua kelompok saling berhadapan. Semua orang terlibat pertempuran. Perang pun tak terelakan hingga beberapa saat lamanya.

Korban mulai berjatuhan. Bau anyir darah menyebar di mana-mana. Suara jerit orang terkena mandau saling bersahutan. Tamen Buring meninggal dalam pertempuran itu. Melihat Tamen Buring mati, salah satu wakilnya meminta perang dihentikan. Ia mengangkat bendera putih tanda kalah. Lalu dengan satu aba-aba, kedua kelompok saling menghentikan serangan. Meskipun dengan jumlah yang lebih sedikit, Jalung Buloq Atung memenangkan perang. Dibawalah kepala Tamen Buring sebagai simbol kemenangan dan digantung di tengah-tengah rumahnya. Para pengikutnya yang terluka dan selamat kemudian dikumpulkan. Setelah dihitung satu persatu jumlah yang selamat, mereka sepakat untuk kembali ke kampung. Lencau Tunyeng dan satu orang lainnya diperintahkan pulang terlebih dahulu. Ia diminta memberi tahu warga tentang peristiwa peperangan dan warga diperintahkan mempersiapkan makanan bagi pasukan yang akan pulang. Kabar datangnya Lencau Tunyeng disambut warga. Ia menyampaikan berita kekalahan, namun tidak menyebut nama-nama korban yang meninggal. Warga mendesak agar Lencau Tunyeng menyebutkan mereka yang meninggal. Namun ia tetap bungkam sesuai perintah yang dipesankan. Setelah pertemuan itu, warga mulai melakukan kegiatan sesuai perintah. Waktu yang ditunggu telah tiba. Warga kampung sudah menunggu di ujung jalan seraya berharap anggota keluarganya pulang dengan selamat. Rombongan mulai terlihat di ujung kampung. Mereka tampak sangat lesu. Warga langsung berhamburan mencari keluarga masing-masing. Hiruk pikuk suara orang memanggil-manggil memecah keheningan sore itu seiring ratap tangis kesedihan. Suling Belawan terus mencari Bango’ Ingan suaminya. Satu persatu orang didatangi. Suaminya tetap

tidak ditemukan. Rasa cemas yang mendalam, menghantui pikirannya. Ia merasa ada firasat buruk. Ia menunggu barisan paling belakang dengan suasana hati berkecamuk gelisah. Tampak seorang kakek tua terlihat berjalan tertatih-tatih. Suling Belawan mendekatinya. “Pui, apakah masih ada orang di belakang,” tanya Suling Belawan dengan suara lirih. “Sudah tidak ada lagi. Aku yang terakhir,” jawab kakek itu dengan kepala tertunduk. Wajah Suling Belawan mendadak pucat. Mulut tidak bisa berkata apa-apa. Lalu kakek itu berkata, “Relakan suamimu. Engkau tidak akan menjumpainya lagi. Ia telah mati. Ayo kita pulang,” ujar kakek dengan suara terbata-bata. Tak pelak isak tangis pun tumpah. Lalu dengan suara melengking nan menyayat, Suling Belawan meratap nyidau, Waktu kita berdua hidup di dunia ini, engkau sayang betul padaku. Apa yang aku minta, engkau selalu memenuhinya. Tidak pernah engkau berkata tidak. Engkau juga begitu sayang dengan anak-anak. Apa yang mereka minta, engkau selalu memenuhinya. Ini yang membuat aku sedih. Engkau kini sudah tidak ada lagi. Aku tidak tahu bagaimana harus memelihara anak-anak.” Sementara itu, ketiga anak Tamen Buring sudah menunggu di depan rumah. Mereka berharap bapaknya kembali dengan selamat. Ketiganya lari berhamburan begitu melihat mamak-nya datang dengan derai air mata. “Mamak, di mana Amai?” tanya Buring dengan rasa cemas. Kedua adiknya memegang tubuh dan tangan mamak-nya yang terasa bergetar. Lalu degan suara terbata-bata Suling Belawan menyampaikan kabar buruk pada mereka. Pecahlah tangis ketiga anak Bango’ Ingan yang menambah kesedihan Suling Belawan. Ketiga anaknya dipeluk erat-erat.

“Bagaimana kita dapat hidup tanpa amai?” tanya Buring sambil berurai air mata. “Kita harus sabar dan tabah menghadapi semua ini. Aku akan bekerja demi kalian semua,” ujar Suling Belawan kepada anak-anaknya. *** Meski mengalami kekalahan perang, namun warga tetap akan menggelar pesta syukur yang ditujukan bagi mereka yang selamat. Pada saat pesta syukur digelar, Suling Belawan dan ketiga anaknya tidak tampak. Mereka masih hanyut dalam kesedihan luar biasa. Suling Belawan mengajak anak-anaknya pergi ke hutan untuk mengusir kesedihan. Sampailah mereka di satu sungai besar yang memiliki pusaran air. Saat itulah, Suling Belawan melihat satu sosok laki-laki gagah sedang berdiri di atas pusaran air.

”Kalian bertiga tetaplah di sini. Mamak mau turun ke sungai,” kata Suling Belawan. “Ada apa, mak?” tanya Buring. “Tidak ada apa-apa. Kalian tunggu saja di sini,” ujar Suling Belawan. Sebelum turun ke sungai, Suling Belawan berpesan kepada Buring. ”Ketika mamak nanti turun ke sungai, jika nanti engkau melihat air sungai berwarna putih, itu pertanda mamak akan kembali. Namun jika air berwarna hitam, itu pertanda mamak tidak akan kembali”. Buring dan kedua adiknya hanya berdiri termangu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak tahu persis apa yang akan dilakukan mamak-nya. Tidak lama kemudian, turunlah Suling Belawan ke dalam sungai. Ketika turun dia bertanya kepada anak-anaknya. “Sampai mana aku?” Jawab Buring, ”Paha, mak.” Kemudian ia bertanya lagi, “Sampai mana?” Jawab Buring segera “Pusar, mak”. Lalu Suling Belawan menuruni sungai sambil bertanya lagi “Sampai mana?”. Kini giliran Iping menjawab “Mulut, mak”. Sejurus waktu kemudian, ia bertanya “Sekarang

sampai di mana?” Nyanding pun segera menjawab, “Mata, mak”. Seketika itu pula Suling Belawan tiba-tiba hilang. Air sungai berubah menjadi hitam. Raiblah Suling Belawan, ditelan air. Buring dan kedua adiknya dirundung kesedihan mendalam. Isak tangis kembali pecah. Sekarang mereka yatim piatu. Lalu Buring mengajak kedua adiknya untuk pergi dari kampung karena mereka sudah tidak memiliki orangtua lagi. “Adikku, apakah kita mau pulang kampung, atau kita berjalan saja menyusuri hutan belantara? Kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” tanya Buring. ”Engkau saja yang memutuskan, kami ikut apa yang engkau katakan,” jawab Iping. Akhirnya, mereka bersepakat tidak pulang ke kampung. Lalu mereka berjalan menyusuri rimbunnya hutan belantara tanpa bekal apa pun.

*** Setelah berjalan beberapa lama, Nyanding mulai kelaparan dan kehausan. Tiba-tiba samar terdengar suara burung Merak dari kejauhan. “Itu ada suara burungnya. Ayo kita ke sana,” ajak Iping. Sambil berlari-lari kecil, mereka mendekat ke arah suara tersebut. Ketika mendekat, burung itu sudah tidak ada lagi. Buring melihat ada satu bunga tergeletak di bekas burung Merak berdiri. Rupanya burung itu meninggalkan sesuatu. Nyanding sudah sangat haus dan lapar. Ia makan bunga itu dengan lahapnya. Tiba-tiba tubuhnya kejangkejang. Ia meninggal dalam pangkuan Buring. Pecahlah tangis Buring dan Iping menyesali kematian adiknya, namun tidak akan membuat adiknya hidup kembali. Nyanding dikubur dengan galian makam yang tidak terlalu dalam, sehingga sebagian tubuhnya tampak menyembul. Kemudian, Buring dan Iping melanjutkan perjalanannya. Tidak lama kemudian, burung Merak itu

kembali lagi. Ia berdiri tepat di atas makam Nyanding. Ia melihat ada seonggok tubuh manusia. Ia kepakkan kedua sayapnya untuk menyingkirkan tanah yang menyelimuti tubuh Nyanding, sambil terus berkicau ”Kung kuwai anak palo matai... Kung kuwai anak palo matai....” Tanah yang menyelimuti tubuh Nyanding, lama kelamaan terbuka. Tubuh Nyanding mulai kelihatan utuh. Burung Merak itu terus mengepakkan sayapnya agar Nyanding bisa bernafas. Tidak lama setelah itu, Nyanding hidup kembali. ”Siapa namamu? Apakah engkau memiliki saudara?” tanya burung Merak. ”Namaku Nyanding, saudaraku Buring dan Iping,” jawab Nyanding. Kemudian burung Merak itu berkicau dengan keras memanggil binatang lainnya, “Hai, datanglah ke sini! Ini ada anak manusia. Cobalah datang ke sini melihatnya!” Tidak beberapa lama, beberapa binatang datang. Satu persatu mereka melihat Nyanding. ”Apakah kalian tahu anak ini?” tanya burung Merak. Namun tidak satu pun yang mengenal Nyanding. “Kalau begitu, siapa yang bisa mengantar anak ini ke saudaranya?” tanya burung Merak. Semua terdiam. Tidak ada satu pun yang bersedia mengantar. Tiba-tiba datanglah burung Gagak hitam sambil berkata lantang, ”Aku bersedia mengantar anak ini.”

Burung Gagak hitam itu lalu menggendong Nyanding. Sambil terbang, ia berkicau di sepanjang perjalanan, “Buring pekena sadim ading. Kelet Lucau Kelet Lingau Abun Buding. (Buring, tunggu adikmu ini dulu)” Terperangahlah Buring dan Iping tatkala mendengar suara itu. “Dengarlah ada suara memanggilmu. Mungkin itu suara Nyanding. Kita tunggu di sini” pinta Iping. Suara itu terdengar semakin mendekat. Burung Gagak hitam itu melihat Buring dan Iping. Lalu turunlah ia dan menyerahkan Nyanding kepada mereka berdua.

Buring dan Iping tampak kaget, adiknya hidup kembali. Nyanding kemudian bercerita tentang pertemuannya dengan burung Merak yang membuatnya hidup kembali. Mereka kembali utuh seperti semula. Perjalanan pun segera dilanjutkan. Suatu saat, mereka melihat rumah tinggi dengan tiang yang panjang. Penuh rasa keheranan, mereka melihat-lihat sekeliling rumah. Namun tak seorang pun ditemuinya. “Bagaimana kalau kita cari orang yang punya rumah ini?” tanya Buring pada adik-adiknya. Iping dan Nyanding mengangguk setuju. Mereka sudah terlalu lelah dan ingin segera beristirahat. ”Siapa yang punya rumah ini?” teriak Buring keras-keras. Seorang gadis bernama Bungan Malai mendengar teriakan Buring. Ia melihat Buring dan dua adiknya dari jendela. “Ini rumah Ulong Pengetak,” sahutnya. “Bolehkah kami singgah di rumah ini?” tanya Buring. ”Boleh. Sebentar aku ambilkan tangganya,” jawab Bungan Malai. Tidak lama setelah itu, mereka naik ke rumah dan tidak mengetahui bahwa orangtua Bungan Malai adalah raksasa pemakan manusia. ”Kecilkanlah kedua adikmu, lalu masukkan ke dalam belaung. Kalau orang tuaku melihat kalian bertiga, kalian pasti akan dimakannya,” ujar Bungan Malai. Buring tampak terkejut dan ketakutan mendengar penjelasan itu. Tanpa berpikir panjang, Buring mengecilkan kedua adiknya lalu ia masukkan ke dalam belaungsesuai saran Bungan Malai. “Kalian tentu lapar, ayo kita makan sekarang!” ajak Bungan Malai. Kemudian Bungan Malai mengajak Buring ke dapur. Ia sangat ketakutan ketika melihat beberapa potongan tubuh manusia tergeletak di beberapa tempat. Ia bertambah kaget ketika membuka periuk nasi, ia dapati potongan tubuh manusia yang sudah direbus dan siap

dimakan. Tidak ada nasi sedikit pun di dalamnya. Selera makan Buring langsung hilang. Buring lalu pergi ke belakang untuk melihat situasi rumah. Ia dapati banyak tempat untuk mengurung manusia. Pada saat itu tampak ada beberapa orang yang masih hidup. ”Mengapa kamu masuk rumah ini? Hatihatilah karena engkau pasti akan dijadikan santapan oleh Ulong Pengetak,” pesan salah seorang yang ada di dalam kurungan. Mendengar nasihat itu, Buring amat ketakutan. Jiwanya merasa terancam. Tubuhnya akan dipotongpotong dijadikan santapan keluarga Ulong Pengetak, seperti yang ia lihat di dapur. Buring berpikir dengan keras mencari cara menyelamatkan diri. Pada saat pikirannya masih berkecamuk resah, terdengar samar suara orang berjalan dengan menggunakan tongkat. Dum..., dum…, dum..,. bunyi tongkat yang menyentuh tanah. Lambat laun suara terdengar makin keras. “Lihatlah mereka sudah pulang,” ucap Bungan Malai kepada Buring sambil menunjuk kedua orang tuanya. Buring terpana kaget dan takut luar biasa. Seluruh tubuhnya bergetar, melihat dua sosok raksasa berjalan menuju ke rumah. Beberapa ekor anjing sebesar kerbau, ikut mengiringinnya. Saat itu Ulong Pengetak dan istrinya membawa satu tubuh manusia yang sudah meninggal. “Bungan, tolong ambilkan tangga!” teriak Ulong Pengetak. Setelah diambilkan tangga, keduanya bergegas naik dan disambut Bungan Malai. “Aku punya teman baru,” kata Bungan pada mamak-nya. ”Oh, baiklah kalau engkau sudah punya teman. Siapa namanya,” tanya mamak-nya. “Bungan Sakay,” jawab Bungan Malai. Saat memperkenalkan diri, Buring tidak memberikan nama aslinya. Ia mengaku bernama Bungan Sakay.

“Oh baiklah. Masaklah untuk Bungan Sakay sekarang,” pinta mamakBungan Malai. Kemudian Bungan Malai pergi ke dapur dan segera memasak di bak besar seperti yang pernah Buring lihat sebelumnya. Buring terus berpikir, mencari cara untuk keluar dari rumah. Di tengah lamunannya, terdengar perintah Ulong Pengetak kepada Bungan Malai ”Makanlah dulu dengan temanmu.” Buring tentu saja tetap tidak mau makan. “Kenapa engkau tidak makan? Tidak laparkah engkau?” tanya Ulong Pengetak tanpa menunggu jawaban Buring. Tidak lama setelah itu, Ulong Pengetak dan istrinya hendak beristirahat, lalu ia berpesan kepada Buring. “Nanti engkau tidur berdua dengan Bungan Malai. Engkau di sebelah sini dan Bungan Malai di dekat dinding,” ujarnya. “Baik, Amai,” jawab Buring. Namun Buring teringat pesan orang dalam kurungan yang ia temui. Mata Buring terus terjaga agar ia tidak tertidur. Tiba-tiba muncullah ilham.

*** Sebelum tidur, Buring mengambil selimut yang dipakai Bungan Malai dan menukar posisi tidurnya. Sekarang posisi berubah dan ia berharap, Ulong Pengetak tidak mengetahuinya. Saat dini hari tiba, Ulong Pengetak dan istrinya bangun. Satu kuali besar sudah dipanasi untuk memasak Buring. “Ah, ini makanan paling enak untuk kita berdua,” ucap Ulong Pengetak pada istrinya. Ulong Pengetak bergegas pergi menengok tempat tidur anaknya dan ingin segera mengambil Buring. Bungan Malai tertidur pulas dan tidak menyadari kalau posisinya sudah berpindah. Ulong Pengetak langsung masuk ke kamar. Ia masih belum menyadari kalau Buring sudah berpindah posisi tidur. Tanpa sadar, ia angkat anaknya sendiri lalu dimasukkan ke dalam kuali yang mendidih.

Seketika itu pula terdengar suara teriakan ”Ayai Amai…, ayai Amai (aduh bapak…., aduh bapak)”. “Mengapa kamu panggil aku amai? Kamu bukan anakku,“ sergah Ulong Pengetak. Ia masih belum menyadari kalau yang ia masak adalah Bungan Malai. Ia terus melanjutkan merebus anaknya sampai selesai. Sejurus waktu kemudian ia membangunkan Buring yang disangkanya Bungan Malai “Ayo bangun, amai sudah masak. Ayo makan segera,” ujarnya. ”Saya masih kenyang, makanlah duluan,” jawan Buring dengan suara perlahan. Ulong Pengetak dengan istrinya segera makan dengan sangat lahap hingga kekenyangan. “Kita sudah kenyang, ayo tidur lagi,” ajak Ulong Pengetak pada istrinya. Ketika keduanya terlelap tidur, Buring mencoba lari. Ia turunkan tangga pelan-pelan agar tidak membangunkan mereka. Pada saat itu Buring melihat beberapa ekor anjing raksasa tertidur di bawah. “Kalau anjing ini bangun, pasti aku akan langsung disantapnya,” pikir Buring dalam hati. Buring menuruni tangga dengan sangat hati-hati. Ketika kakinya telah menyentuh tanah, ia berjalan mengendap-ngendap pelan. Untunglah anjing raksasa itu tidak terbangun. Setelah dirasa aman, ia langsung lari sekuat tenaga menuju arah hutan. Buring berhasil lolos dan selamat dari santapan Ulong Pengetak dan anjing penjaganya. Ia terus berlari sekuat tenaga menembus hutan belantara. Ulong Pengetak terbangun ketika Buring sudah jauh. “Malai..., Malai..., ayo bangun dan makan. Hari sudah siang!”, panggil Ulong Pengetak membangunkan anaknya. Namun tak ada suara jawaban sama sekali. “Ah tidak seperti biasanya, Malai masih tidur hingga siang hari. Aneh?” gerutu Ulong Pengetak. Namun mereka terus

memanggil anaknya beberapa kali. Namun tetap tidak ada jawaban, lalu mereka pergi ke kamar Bungan Malai. “Astaga, di mana Malai? Apakah anak yang aku masak tadi Malai bukan temannya?” pikir Ulong Pengetak. Kemudian mereka terus mencari Bungan Malai hingga ke sudut-dudut rumah. Namun tetap tidak menemukannya. Mereka tersadar bahwa yang mereka masak adalah Bungan Malai, anaknya sendiri. Kedua raksasa itu murka luar biasa. Mereka sangat marah telah ditipu Buring. Mereka langsung turun dan mengejar Buring sekuat tenaga. Anjing raksasanya juga ikut mengejar. Buring terus berlari sekuat tenaga dengan membawa dua adiknya yang masih ada dalam belaung. Ia kemudian mengeluarkan kedua adiknya setelah agak jauh dan dirasa sudah aman.

*** Tentu saja Iping dan Nyanding merasa bingung. Mereka tidak tahu ada di mana. Saat mereka masih dilanda kebingungan, terdengar suara kaki raksasa menuju arah mereka. “Lari.....,” teriak Buring sambil menarik kedua tangan adiknya. Mereka terus berlari menghindari kejaran Ulong Pengetak yang sedang murka. Hingga mereka tidak menemukan jalan untuk berlari lagi, karena di depannya terbentang sungai besar dan dalam. Mereka tidak putus asa, bergegas mereka susuri sungai dengan perasaan cemas. Tak lama kemudian, mereka melihat seseorang berperahu di seberang sungai. “Amai..., Amai..., tolong. Kami dikejar raksasa. Cepat seberangkan kami!” teriak Buring sekuat tenaga untuk meminta pertolongan. Namun suara teriakan itu tidak terdengar cukup jelas karena jaraknya cukup jauh. “Tunggu dulu! Amai angkut padi ini dulu karena mau hujan,” teriak orang itu sambil mengambil padi yang baru dijemur. Buring dan kedua adiknya sangat ketakutan. Anjing raksasa sudah semakin dekat, bahkan suara

teriakan Ulong Pengetak terdengar semakin keras. “Tolong kami sekarang, Amai! Cepat kemari. Raksasa itu mengejar kami. Mereka mau membunuh kami. Cepat, Amai!” teriak Buring semakin lantang. Teriakan Buring didengar dengan baik. Perahu diarahkan menjemput Buring. Orang itu juga mendengar suara dum..., dum…, dum... yang menandakan langkah kaki raksasa itu kian mendekat. “Ayo cepat naik! Cepat...cepat...!” perintah orang itu. Mereka langsung melompat ke perahu, kemudian orang itu bergegas mendayung perahu dibantu Buring. Saat mereka sampai di tengah sungai, kedua anjing raksasa itu datang dan menggonggong dengan suara keras. Ulong Pengetak dan istrinya segera berlari menyusul. Namun wajah mereka tampak kecewa, karena buruannya sudah menyeberang sungai. Buring dan kedua adiknya selamat. “Kalian mau ke mana?” tanya orang tua itu. “Kami tidak tahu mau ke mana,” jawab Nyanding. Lalu Buring menceritakan nasib yang mereka alami. Orang tua itu merasa iba lalu menawarkan agar mereka bersedia tinggal bersamanya. Namun Buring bersikukuh melanjutkan perjalanan, meski orang tua itu berusaha mencegahnya. Sementara itu, Iping dan Nyanding sudah terlalu lelah dan mau menerima tawaran orangtua yang baik hati itu. Mereka bersepakat istirahat satu malam. Saat pagi tiba mereka sudah bersiap meneruskan perjalanan. Setelah makan pagi, Buring memohon izin melanjutkan perjalanan. Orang tua itu dengan berat hati mengizinkan mereka meneruskan perjalanan. “Baiklah, aku tidak bisa mencegahmu. Bawalah bekal ini. Jika engkau kembali, aku menerima dengan senang hati,” ujar orang tua itu. Kemudian mereka berjalan kembali menyusuri hutan belantara tanpa tujuan. Mereka sudah berjalan selama dua hari satu malam. Tidak ada seorang pun yang mereka jumpai. Iping

meminta untuk istirahat. “Iping sudah capai. Nanti istirahat saja jika bertemu dengan orang lagi,” pintanya. “Iya, adikku,” jawab Buring sambil mengajak kedua adiknya terus berjalan. Tidak lama setelah itu, samar terdengar suara arus sungai. “Dengar, itu ada sungai. Ayo ke sana! Siapa tahu ada orang di sana,” pinta Iping sambil menggandeng Buring menuju ke arah sungai. Mereka bertiga langsung pergi ke sungai. Tampak terlihat sosok nenek perempuan sedang menjemur padi. Iping dan Nyanding terlihat sangat bahagia. Nenek itu terlihat kaget, melihat mereka tiba-tiba muncul dari dalam hutan. “Hantu…., hantu!” teriak nenek ketakutan. Ia amati serius ketiga anak itu. Buring, Iping dan Nyanding tertawa melihatnya. “Maaf, kami sudah membuat nenek ketakutan,” ucap Buring. “Oh iya, engkau dari mana dan mau ke mana?” tanya nenek itu. Buring kemudian memperkenalkan dirinya serta asal muasal mereka. Mendengar penjelasan itu, nenek yang bernama Urei Iyut sangat terharu dan iba. “Bolehkah kami tinggal bersama nenek?” pinta Buring. ”Baiklah, nenek akan angkat padi ini dulu. Mungkin sampai sore. Kalian bisa tunggu di sini,” jawab nenek Urei Iyut. Kemudian Urei Iyut melanjutkan pekerjaannya. Buring, Iping dan Nyanding menunggu sambil beristirahat. Sejurus kemudian, nenek Urei Iyut berkata, “Ayo kita pulang. Jika kalian mau tinggal bersamaku, nenek sangat senang, karena nenek tidak punya siapa-siapa lagi,” ucap Urei Iyut. “Tapi Kami nanti tidak bisa membantu nenek,” ucap Nyanding. “Janganlah berpikir tentang itu. Nenek bisa bekerja sendiri. Apa yang nenek hasilkan cukup buat kita,” jawab Nenek Urei Iyut. Buring, Iping dan Nyanding sangat bahagia mendapat jawaban itu. Sejak saat itu, mereka tinggal di rumah Urei Iyut. ***

Hari demi hari mereka lalui bersama Urai Iyut. Buring dan dua adiknya sudah dianggap sebagai anak sendiri. Buring sekarang tampak sudah tumbuh dewasa. Wajah cantiknya mulai terlihat. Pada suatu hari, saat Buring dan kedua adiknya mandi di sungai, ada seekor katak besar (wangkup) yang melihatnya. ”Wah, cantik betul anak-anak ini. Aku dengar Suit Lirung dan Jalung Ila belum punya istri. Nanti aku akan memberitahu mereka berdua,” kata wangkup dalam hati. Kemudian wangkup berjalan ke kampung Suit Lirung dan Jalung Ira untuk bertemu mereka. “Apakah kalian berdua sudah beristri?” tanya wangkupketika bertemu Suit Lirung dan Jalung Ira. “Belum punya. Siapa yang mau sama kami?” jawab Suit Lirung. Wangkuplalu bercerita kepada mereka tentang Buring yang ia lihat ketika mandi di sungai. ”Ah, seperti apa mereka itu? Ayo kita pergi ke sana!” ajak Suit Lirung kepada Jalung Ila. Beberapa hari kemudian, mereka pergi ke kampung untuk menemui Urei Iyut. Mereka melihat Iping dan Nyanding sedang bermain di luar. ”Maaf, dengan siapa kalian tinggal di sini?” tanya Suit Lirung. “Tinggal dengan nenek Urai Iyut,” jawab Iping. “Di mana beliau?” lanjut Jalung Ila. “Nenek sedang mengambil kayu,” tambah Iping. “Bisakah engkau panggilkan pui?” pinta Jalung Ira. Iping kemudian menemui Urai Iyut dan ia segera menemui dua tamunya setelah menyelesaikan pekerjaannya. “Maafkan nenek karena kalian harus menunggu agak lama. Nenek selesaikan dulu pekerjaan di belakang,” ujar nenek Urai Iyut. Pada saat itu Buring sedang ada di belakang. Nenek Urai Iyut memanggil dan minta kepada Buring untuk mengambil nanas, tebu dan pepaya untuk tamunya. Buring lalu pergi ke belakang sesuai permintaan Urai Iyut. Perbincangan lalu dilanjutkan. Urai iyut memahami maksud kedatangan mereka. “Kalian berdua

sedang mencari teman hidup, bukan? Dari tiga anak gadis ini, hanya Buring yang bisa. Dua adiknya masih terlalu kecil. Bagaimana?” ujar nenek Urai Iyut. Suit Lirung dan Jalung Ila saling berpandangan. Mereka berdua tampaknya tertarik dengan kecantikan Buring. Perbincangan terus berlanjut. Tidak terasa, malam pun tiba. “Ini sudah larut malam. Tak baik kalian pulang. Tidurlah di sini sambil menunggu pagi,” kata Urai Iyut memecahkan kebekuan suasana. Maka, Suit Lirung dan Jalung Ila tidur di rumah Urai Iyut untuk malam itu. Buring mempersiapkan tikar untuk mereka berdua. Suit Lirung dan Jalung Ila membicarakan pernyataan Urai Iyut. Mereka saling berebut mendapatkan Buring. Pada saat itu, Buring mendengar pembicaraan dan Suit Lirung melihat tanpa sengaja. “Kemarilah, kami berdua sedang berbicara tentang dirimu. Kami sama-sama ingin meminangmu. Bagaimana ini?” ujar Suit Lirung. Buring merasa bingung mendapat pertanyaan itu. “Kalau kalian ingin meminang, tentu tidak bisa. Harus ada yang mengalah. Nanti saya bicarakan dengan nenek,” jawab Buring. Malam semakin larut, mereka lalu beristirahat. Keesokan harinya, Buring menceritakan pembicaraan semalam kepada Urai Iyut. “Nanti aku akan berbicara dengan mereka. Kamu siapkan makan saja untuk mereka,” pinta nenek Urai Iyut. Buring mempersiapkan makan untuk Suit Lirung dan Jalung Ila, sebelum mereka pulang. Saat bersantap, nenek Urai Iyut bertanya, ”Apakah sudah ada keputusan? Jika belum, pulanglah kalian dan berperanglah. Siapa yang menang, berhak mendapatkan Buring.” Suit Lirung dan Jalung Ila saling berpandangan. Tidak terbayangkan, persahabatan yang terjalin lama, harus berakhir dengan perang memperebutkan Buring. Namun, karena itulah jalan satu-satunya, maka mereka sepakat untuk berperang.

Kedua sahabat itu kemudian pulang ke kampung. Selama perjalanan, keduanya bersikap biasa, seperti tidak terjadi sesuatu. Padahal mereka pulang untuk berperang memperebutkan tambatan hati. Suit Lirung dan Jalung Ila tiba kembali di kampung. Mereka segera mengkabarkan pada warga tentang rencana itu. “Ah, mereka mau berperang? Bukankah mereka bersahabat”, gerutu beberapa orang yang mendengar kabar itu. *** Waktu terus berlalu. Pada hari yang sudah ditentukan, warga berkumpul di lapangan yang terletak di tengah kampung. Mereka tergerak untuk melihat pertarungan antar dua sahabat. Jalung Ila dan Suit Lirung berjalan dengan gagah memasuki lapangan. Pertempuran dimulai. Keduanya saling menyerang dan menghindar. Pertempuran berjalan seimbang sejak awal. Sesekali keduanya saling melompat sampai di atas awan. Pertarungan hari pertama selesai. Keduanya samasama kuat. Pertempuran segera dihentikan menjelang malam untuk dilanjutkan esok hari. Warga kembali riuh memenuhi lapangan. Jumlah warga lebih banyak dibandingkan hari pertama. Kehebatan pertarungan di antara keduanya, sungguh menarik perhatian. Pertarungan dimulai. Terjadi saling serang silih berganti. Baju Suit Lirung pecah dan terjatuh di tanah terkena tebasan mandau. Saat tengah hari, pertempuran dihentikan atas permintaan Suit Lirung. Pertempuran dilanjutkan esok hari. Suit Lirung tampak terlihat lebih siap. Saling serang dan menghindar terus terjadi. Saat Jalung Ila lengah, Suit Lirung mengayunkan mandaunya dan pecahlah baju Jalung Ila. “Apakah masih mau dilanjutkan?” tanya Suit Lirung. “Sudah, kita akhiri pertempuran ini. Aku serahkan Buring kepadamu,” ucap Jalung Ila. Keduanya mengakhiri

pertempuran dengan berjabat tangan dan saling berpelukan. Warga sangat puas melihat pertarungan antara dua sahabat itu. Meskipun Jalung Ila kalah, warga tetap menghormatinya. Kemudian, warga disibukkan dengan persiapan pernikahan Suit Lirung dengan Buring. Pesta besar-besaran sudah dipersiapkan. Pada hari yang sudah ditentukan, Suit Lirung disertai para tetua kampung pergi menjemput Buring. Rombongan ini berangkat pagi hari menggunakan beberapa perahu. “Nenek, aku datang menjemput Buring,” kata Suit Lirung begitu tiba di rumah Urai Iyut. “Aku sudah tidak berhak lagi atas Buring. Aku serahkan kepadamu,” jawab nenek Urai Iyut. Melihat rombongan yang datang untuk menjemput kakaknya, Iping dan Nyanding pun sangat khawatir. ”Bagaimana dengan kami jika engkau pergi? Kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” ucap Nyanding tersedu. ”Kakakmu sekarang sudah mempunyai teman hidup. Kalian berdua bisa ikut kakakmu,” jawab Urai Iyut menenangkan. Akhirnya, Buring dan Suit Lirung menikah dengan pesta meriah. Iping dan Nyanding tinggal bersama Buring hingga dewasa. Keluarga Suit Lirung dan Buring hidup penuh kebahagiaan sampai akhir hayat. (*)

This article is from: