5 minute read

Oleh Chaeruddin Hakim

Tafsir Kelong (Bagian 4)

Oleh Chaeruddin Hakim

Advertisement

Berdasarkan uraian di atas, maka religi dan perilaku mempunyai keterkaitan satu sama lain, yang terbagi atas tiga kategori menurut asosianya.

1) Perilaku religi primer.

Pengalaman batin yang otentik dari orang yang hebat dikombinasikan dengan dengan usaha apapun yang dilakukan orang untuk mengharmonisasikan kehidupannya dengan kehebatan itu. Religi sebagai pembawa kebenaran tertua bagi kepercayaan masyarakat dapat dikaji melalui komponen-komponen religi.

1. Emosi keagamaan Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusiaKompoenen emosi keagamaan merupakan komponen utama dari gejala religi, yang membedakan suatu sistem religi

2) Perilaku religi sekunder. Berusaha memperjelas pengalaman konversi untuk mencocokkan kategori perilaku primer. Sebagai akibatnya, inilah yang menyebabkan setiap orang masuk ke rumah ibadah dan secara tegas mempertegas dirinya sendiri untuk menyembah. 3) Perilaku religi tersier. Perilaku religius anak-anak menjadikan mereka pada mulanya bersahabat dengan adat-istiadat dan gagasan tertentu. Ia mungkin tumbuh dalam tipe primer ke mudian ke tipe sekunder. Namun demikian, observasi religius biasanya pertama dipelajari oleh proses persyaratan yang lebih atau kurang mekanis atau palsu. Oleh karena itu, banyak dikatakan bahwa orang tidak mampu memahami pengalaman spiritual yang nyata, tetapi kebanyakan dari mereka menjadi terkejut sendiri, bergerak secara mistik dan berubah, atau mempunyai visi kebenaran yang belum pernah mereka impikan.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain, yaitu: (1) sistem keyakinan; (2) sistem upacara keagamaan; dan (3) suatu umat yang menganut religi itu, (Koentjraningrat, 1986: 377). dari dari semua sistem sosial budaya yang lain dalam masyarakat manusia.

2) Sistem keyakinan Sistem keyakinan dalam satu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat (esyatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan mahlukmahluk halus lainnya. Sistem kepecayaan tersebut, biasanya terkandung dalam kesusastrraan suci, baik yang sifatnya tertulis maupun yang lisan.dari religi atau agama yang bersangkutan. Kesusastraan suci itu, biasanya berupa ajaran doktrin, tafsiran, serta penguraiannya dan juga dongeng-dongeng suci dan mitologi dalam bentuk prosa maupun puisi yang menceritakan dan melukiskan kehidupan roh, dewa, dan mahluk-mahluk halus dalam dunia gaib lainnya.

3) Sistem ritus Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan pengabdiannya terhadap Tuhan, dewadewa roh nenek moyang, atau mahluk halus lain, dan

dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Ritus atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja.melalui kegiatan-kegiatan: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, intoksikasi, bertapa, dan bersemedi.

4) Peralatan ritus dan upacara Peralatan ritus dan upacara, biasanya dipergunakan berbagai macam sarana dan prasarana peralatan, seperti: tempat pemujaan, patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian.

5) Umat agama Umat agama adalah kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus upacara, (Koentjaraningrat,1987: 80-82). Durkheim, walaupun seorang penganut atheis dan dibesarkan dalam keluarga Yahudi ortodoks, mengakui betapa pentingnya religi dalam hubungannya dengan tingkah laku moral, bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa kehadiran religi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan masyatakat. Menurut Marie Jean Guyau, religi timbul dari dua sumber, yakni adanya kebutuhan intelektual untuk mengerti dunia di sekeliling manusia dan adanya kebutuhan praktis akan sosiabilitas. Pendapat tersebut oleh Durkheim seharusnya terbalik. Menurut Durkheim, religi justru timbul dari kebutuhan praktik dalam kehidupan sosial. Pertamapertama manusia tidak menemukan dewa-dewa dan baru menghubungkan ide itu dengan aktivitas sosial. Formulasi kognitif tentang ide-ide religius justru merupakan ekspresi perasaan-perasaan sosial yang telah ada sebelumnya, yang mendahului penampilannya dalam refleksi yang sadar, (Muhni, 2000: 45). Wund menurut Durkheim, mengajukan teori yang lebih sederhana dibandingkan dengan Guyau tentang sifat-sifat religi yang esensial. Bagi Wund, religi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lebih sederhana, merupakan sumber utama dari kohesi sosial; kepercayaan religius terdiri atas spekulasi metafisik tentang susunan dan sifat-sifat alami, tetapi hal-hal itu dipadukan dengan bentuk-bentuk tingkah laku ritual dan disiplin moral. Religi dalam masyarakat seperti ini, menurut Wund, merupakan sumber sikap alturistik yang mempunyai dampak mengendalikan egosime, yang mendorong manusia untuk berkorban dan tidak pamrih. Dengan demikian, berarti mengikatkan diri dengan sesuatu di luar dirinya, membuat dirinya tergantung pada kekuatan-kekuatan penuh yang melambangkan cita-cita, (Muhni,2000:46). Menurut Muhni (2000:47), dalam akar semua pertimbangan-pertimbangan manusia, ada beberapa ide esensial yang menguasai keseluruhan kehidupan inlektualnya. Oleh Aristotels disebut kategori subtansi, kuantitas, ide, waktu, ruang relasi, posisi, kondisi, aksi, atau passivitas. Ide-ide ini cocok dengan sifat benda-benda yang universal. Mereka seperti suatu kerangka yang kokoh (padat), yang merangkum seluruh pemikiran. Jika religi primitif dianalisis secara sistrmatis, maka kategori-kategori pokok ini tentu terdapat di dalamnya. Ide-ide ini lahir dalam dan dari religi. Gambaran-gambaran religius, adalah gambaran kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif; upacara merupakan cara bertindak yang terlaksana di tengahtengah kelompok yang berkumpul dan dipersiapkan untuk membangkitkan, melestarikan atau menciptakan kembali keadaan mental tertentu dalam kelompok itu. Bagi Bergson dalam Muhni (2000: 100), religi terbagi atas dua bagian, yakni religi statis dan religi dinamis. Religi statis, adalah religi yang berfungsi menciptakan novel, drama dan mitos-mitos. Meskipun tidak setiap masyarakat memiliki dramawan dan sastrawan, pada kenyataan, tidak ada satu masyarakatpun yang tidak memiliki religi. Religi dinamis, adalah unsur dalam diri makhluk yang berakal, yang dituntut agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dan melengkapi kekurangankekurangan dalam hidupnya atas dasar kekuasaan Allah Yang Maha Esa. Bergson menyifatkan religi sebagai statik dan dinamik. Manusia memiliki insting atau naluri dan intelegendi atau intelek. Intelek atau akal, cara kerjanya sedikit banyak mendorong egoisme. Jika tidak ada yang mengendalikanya, ia akan berusaha untuk kepentingan dirinya sendiri. Jika pada suatu saat intelegensi manusia mulai mengancam kohesi masyarakat, maka haruslah ada kerseimbangan untuk ancaman. Melalui intelegensi milik manusia itu sendiri, bersama-sama insting yang masih melekat padanya, manusia membuat gambarangambaran imajinasi. Kemampuan ini oleh Bergson disebut “daya mencipta mitos”, yaitu kekuatan untuk melawan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh intelegensi. (Bersambung).

This article is from: