
6 minute read
Oleh Maysir Yulanwar
PRESIDENTIAL SUITE
Oleh Maysir Yulanwar
Advertisement
Nafasku tak lagi teratur. Hidungku yang mulai berkeringat telah menempel di dadanya yang empuk. Baunya lembut, parfum mahal bercampur keringat birahinya menarik nafasku. Aku bagai buronan yang dikejar hingga ke tengah laut, berenang di tengah ombak malam, mencuri udara di antara belahan dadanya yang dalam. Busyet, kemana mataku tadi?
36 jam yang lalu “Interupsi pimpinan rapat. Hadirnya perempuan dalam tim investigasi Makassar Undercover, sebaiknya dipertimbangkan lagi. Melacak kehidupan bisnis pelacuran di Makassar saya rasa berlebihan jika menghadirkan rekan kita perempuan. Bukan masalah risiko ya… tapi ndak pantas saja, tengah malam berbaur di tempat-tempat prostitusi.” “Justru, pimpinan rapat!... Justru karena saya perempuan, saya bisa leluasa masuk ke tempat mereka. Saya tahu bagaimana mendekati mereka. Lagi pula, mengapa selalu berpikir malam? Hei, di Makassar praktek macam itu justru sering dilakukan pagi dan siang hari. Salon, panti pijat dan sejenisnya sudah beroperasi mulai pagi. Maaf, saya tidak setuju dengan usulan Anda,” ketus Lidya ke arahku. “Betul, tapi coba kau lihat dari sisi keamananmu. Keamanan yang saya mak…” “Kenapa dengan keamanan saya? Saya tidak takut!” potong Lidya. “Tunggu, Lidya… sabar dulu, saya belum selesai. Keamanan yang saya maksud adalah keamanan sosialmu. Kau harus aman dari penilaian buruk yang bisa muncul saat kau keluar masuk di tempat-tempat yang diduga tempat prostitusi. Bagaimana bisa kau
menahan curiga mereka, jika puluhan pasang mata melihat dan memperbincangkanmu?” “Saya hargai itu, Andhra. Tapi saya tetap bersikeras ikut dalam tim ini. Saya bisa jaga diri. Saya tahu batas-batas dimana saya harus berada dan bertindak apa. Saya punya beberapa kenalan yang bisa membantu menunjukkan tempat dan memberi informasi yang kita butuhkan. Percayalah, untuk rubrik investigasi kali ini, kalian membutuhkan bantuan saya,” ungkap Lidya percaya diri. Sebuah senyum kembali ia layangkan ke atas meja rapat. Mengapung begitu saja. Aku tahu senyum itu menujuku, tapi kubiarkan minatku mengabaikannya. “Baik. Saya terima alasan itu. Saya suka semangat jenis ini ada pada tim kita,” kata Kenzo si pimpinan rapat. “Lidya, siapkan dirimu. Kamu ikut tim investigasi majalah kita,” suara Kenzo terdengar tegas, tersungging sedikit senyum wibawanya. “Dua hari dari sekarang sudah harus ada laporan yang masuk ke meja saya.”
Saya tertunduk. Lalu mengangkat wajah, membuang nafas. “Untuk gadis sepolos kamu, kau tidak tahu dunia apa yang sedang kita bicarakan,” bathinku sambil memandang Lidya yang sedang mencatat sesuatu. “Dunia yang lorongnya saja adalah racun.” Seolah tahu ia kupandang, Lidya menoleh ke arahku. Sebuah anggukan kuhadiahkan untuk membalas permintaan matanya. Anggukan yang sama sekali kosong. Aku mungkin mencintainya diam-diam, itu sebabnya kusayangkan keras kepalanya kali ini. Mengapa ia tidak pernah mau belajar bahwa cinta tak selamanya datang dari pujian? Bahwa perhatian bisa datang dalam bentuk larangan?
“Ikuti saja kemauannya, Ndhra. Ia bersedia memberi kita data, asal kau mau ikuti syarat-syaratnya,” desak Lidya. Suaranya terdengar lemah, aku bahkan mengiranya ia sedang berbisik. “Kamu sakit, ya?” “Agak lemas. Pra flu mungkin. Bagaimana, mau tidak? Mau ya! “Syaratnya apa saja?” “Ia cuma mau diwawancara sama kamu, itu syarat pertama.” “Kenapa harus saya?” Tanpa sadar hape yang masih terdengar kicauan suara Lidya kupelototi. “Halo.. haloo…Yaa... kenapa harus saya, Lidya?” “Mana saya tahu, temanku bilangnya sih begitu, bahwa si Lavender itu maunya cuma kamu, ndak mau diwawancara wartawan lain.” “Lavender? Siapa sih? “Iiih!! Kan sudah saya jelaskan kemarin. Dia itu salah satu mucikari kelas satu di kota ini.” Sesekali suara batuk Lidya terdengar. “Trus, ia tahu saya dari mana?” “Ini anak! Yaa dari sayalah! Saya yang menceritakan semuanya tentang kamu kepada penghubung saya. Sudah deh… Syarat kedua, si Lavender tidak mau kau datang berdua, harus sendiri. Hendrik jangan ikut. Ia tidak mau kalau ada fotografer. Ketiga, wawancara berlangsung di kamar yang telah ia tentukan. Keempat, saat wawancara ruangan harus gelap, hanya cahaya handphone-nya yang diizinkan di ruangan itu, itu pun diarahkan kepadamu. Kelima..” “Lidya, tunggu…” “Apaaa… dengar saja dulu! Kelima, kamu cuma punya waktu 15 menit. Keenam, sebelum wawancara, ia ingin mengetahui apa-apa saja yang akan kau tanyakan. Jadi ketik pertanyaanmu, lalu serahkan printout-nya..” “Lid, tunggu.. halo..” “Yaa.. uhuk..uhuk..” “Kenapa harus gelap?” “Si Lavender ndak mau jati dirinya kamu tahu, Ndhra. Cukup suaranya saja, itu pun mungkin ia menjawab pertanyaan-pertanyaanmu lewat tulisan saja.” “Bagaimana saya .. halo.. bagaimana saya bisa tahu ia Lavender?” “Setiba di lokasi, kamu akan diarahkan. Cari Bu Siska..” “Bu Siska?” “Iya… perlihatkan pada Bu Siska kartu yang saya berikan kemarin.” “Oke.. tempat dan waktunya masih sama?” “Iya, ndak berubah. Ingat, besok jam sepuluh pagi.” “Baik..” “Oke?” “Eh tunggu.. kamu besok bagaimana? Ikut yaa…” “Ini anak! Aku kan sakit, Ndhra! Lagian, syaratnya kamu harus datang sendiri, kan? Ok? Udah yah..” “Iya deh.. trims… bye.” “Bye..”
… Punggungku kurebahkan begitu saja di atas sofa. Mataku menerawang. Langit-langit kantor yang berwarna putih kulihat bagai awan, berarak dan.. akh, kenapa harus wajahnya yang muncul. Syukur dia sakit. Aku memang tidak pernah berharap dia bisa ikut.
Jam 10.10 pagi Belum habis mataku asyik mengitari kemewahan ruangan ini, lampu tiba-tiba mati. Gelap seketika menyergap. Ingatanku segera bekerja. Tak ada kursi, yang ada cuma sebuah ranjang besar di tengah ruangan luas dan beberapa meja minimalis. Saya memilih duduk di tepi ranjang, karena tempat itu yang paling mudah kujangkau. Kasurnya yang tebal, terasa bagai hendak menenggelamkan bokongku. Perasaanku tiba-tiba terjaga. “Ada yang mendekat,” bisikku, membathin. Kasur tempatku duduk kurasakan bergerak. Seseorang baru saja duduk tak jauh dariku. Sebuah wangi baru muncul, wangi ringan yang mahal. Tapi.. sepertinya aku kenal dengan wangi ini. Siapa? Mataku tersentak. Cahaya putih dari hape mengarah langsung ke wajahku, membuyarkan ingatanku. Ia menggerakkan tangannya, meminta sesuatu. “Oh, iya… ini, Bu,” Selembar kertas berisi lusinan pertanyaan menyeberang ke tangannya. Sulit mengenali wajahnya. Bahkan saat ia mendekatkan dirinya ke arahku, wajahnya belum juga kurupa. Menunggu respon atas kertas yang saya sodorkan, jemarinya justru sudah bermain di atas pahaku. Perlahan tapi pasti jemari itu kini sudah menemukan kulitku, masuk di antara sela-sela kancing kemejaku. Kuambil tangannya lalu menghempaskannya ke udara. “Jangan… saya minta berhenti!” Aku mengambil jarak.
“Siapa kamu? Jawab! Apakah kamu Lavender?” Ia mengarahkan cahaya hapenya ke atas kertas. Menulis singkat. Lalu terlihat samar mengambil sesuatu dari balik tas kecilnya. Kertas itu ia sodorkan. Sebilah belati mini yang tak lagi bersarung ia pegang. “Aku Lavender. IKUTI MAUKU.” Susunan huruf di atas kertas itu terlihat tegas. Aku kenal gaya menulisnya. Terutama cara menulis huruf ‘a’.
Ia mendekat. Menaruh belati itu ke dadaku. Mudah saja kancing bajuku dilepasnya dengan belati. Jantungku berdegup kuat. Urat darahku seketika kencang bak dilintasi formula satu. Nafasku tak teratur. Hidungku yang mulai berkeringat telah menempel di dadanya yang empuk. Baunya lembut, parfum mahal bercampur keringat birahinya menarik nafasku. Aku bagai buronan yang dikejar hingga ke tengah laut, berenang di tengah ombak malam, mencuri udara di antara belahan dadanya yang dalam. Busyet, kemana mata wartawanku. “Lidya?” bathinku bertanya. Rasa senang dan bimbang bercampur. Apa maksud semua ini? Atau jangan-jangan… mana mungkin ia sudah menyiapkan semuanya? “Mengapa aku mengira ini Lidya?” Meski sulit, kutarik kepalaku dari tangannya yang menekan ke dadanya. Beberapa detik dari kebebasanku itu, aku segera meraba wajahnya, memastikan siapa si Lavender ini. Tapi sia-sia. Kedua tangannya seketika melingkar di leherku dan menariknya ke wajahnya, hendak menutup mulutku dengan mulutnya. “Uhuk… uhuk…” “Lidya, kaukah?” Kutarik badanku. “Jawab, kaukah?” Suaraku membisik di telinganya. Ia semakin memeluk. Erat memeluk. Beberapa hentakan benda dingin terasa di pinggang dan perutku. Lalu sebuah hentakan bersarang di dadaku. Kasur di punggungku mulai terasa basah. Seolah ada genangan. “Aku sudah mengira dari awal. Wangimu aku kenal. Permainanmu boleh juga… Lavender, judul yang menarik untuk sebuah tulisan.”
Dua hari kemudian Garis polisi sudah terpasang. Pita kuning dibuat menyilang di depan pintu kamar Presidential Suite. Tempat kejadian perkara pembunuhan seorang pemuda diisolasi dengan ketat. Ada lima tusukan yang bersarang di tubuhnya. Empat di pinggang dan di perut, satunya lagi di dada. “Lihat koran ini, maa… beritanya sudah keluar,” Lidya menyodorkan lipatan suratkabar pada perempuan paruh baya yang terlihat masih cantik, modis. “Mmm… anak kacangan yang mau merusak bisnis mama.” Membaca sekilas judulnya, koran itu lalu ia hempaskan ke atas pangkuan Lidya. Foto Andhra terpampang di sisi headline berita “Wartawan Dibunuh Secara Sadis”. Lidya memandang foto itu dengan datar. Garis air meleleh di pipinya. Dingin. “Uhuk… uhuk…” []